Jumat, 09 Februari 2018

Politik versi Plato dan Aristoteles

           Pentingnya warisan intelektual zaman Yunani kuno yang berlangsung dari abad 8-6 SM hingga abad 2 M diyakini sebagai tonggak awal kelahiran berbagai ilmu pengetahuan. Yunani kuno secara tipikal lebih kita anggap sebagai nenek moyang ‘kita’ dalam lingkungan politik, baik secara ideologi, mitologi, dan simbolis.[1] Berbagai istilah yang dikenal lahir di sana seperti monarki, tirani, oligarki, aristokrasi, demokrasi dan lain sebagainya menjadi legitimasi yang fundamen di atas bangunan politik sebagai ilmu pengetahuan. Oleh karenanya, tak ada pernah habis penyampaian kredit dialamatkan kepada peradaban Yunani kuno saat karya akademis yang membahas asal muasal ilmu pengetahuan.
            Setidaknya, periode pusat peradaban Yunani kuno berlangsung pada abad 5-4 SM saat entitas masyarakat yang bernama Athena menjadi tempat kontestasi ide dan pengetahuan yang sangat filosofis. Sejak kelahiran hingga perkembangannya dewasa ini, pemikiran dan filsafat politik Barat sangat dipengaruhi oleh filsuf Yunani kuno seperti Plato dan Aristoteles. Jejak pengaruh Aristoteles, misalnya, bisa dilacak dalam karya The Prince Marchiavelli, gagasan pemisahan kekuasaan L’esprit de lois Montesquieu, Teori Hegel tentang konstitusi negara sebagai ekspresi kesadaran diri negara, gagasan Marx tentang hubungan ekonomi dan politik.[2] Secara spesifik, tulisan ini akan membahas tentang periode penting lahirnya ilmu pengetahuan lewat representasi para tokohnya.
            Sokrates, Plato, dan Aristoteles adalah tiga tokoh Yunani kuno masyhur yang paling banyak diteliti ilmuwan. Representasi atas ketiganya tak lepas dari sumbangan mereka kepada ilmu pengetahuan lewat tulisan dan institusi pendidikan (akademi) yang mereka bentuk. Secara genealogis, keterkaitan ketiganya adalah hubungan antara guru dan murid. Sokrates adalah guru Plato, dan Plato adalah guru Aristoteles. Dalam berbagai karya akademis, kesinambungan dan kontradiksi pemikiran antara Sokrates, Plato, dan Aristoteles dijadikan satu sebagai usaha menunjukkan gambaran besar tentang pemikiran Yunani klasik. Namun, penggandengan antara Plato dan Aristoteles lebih sering muncul karena beberapa alasan. Selain karena gagasan keduanya yang lebih kompatibel dan relevan hingga kini dibandingkan Sokrates, faktanya warisan intelektual Sokrates adalah upaya dokumentasi yang dilakukan oleh Plato. Oleh karenanya, penceritaan tentang pemikiran Sokrates sering mengalami pembiasan hingga diimajinasikan sebagai “Sokrates”-nya Plato. Terkait hal itu, sumbangan Plato dianggap sangat signifikan dengan menyebut seluruh sejarah filsafat Barat, termasuk pemikiran Aristoteles (serta para filsuf Yunani setelahnya) hanyalah rangkaian dari catatan kaki Plato.[3] Lepas dari hal tersebut, sebagaimana judulnya, tulisan ini memang secara spesifik membahas pemikiran Plato dan Aristoteles.
            Gagasan utama dalam pendekatan politik atas pemikiran Plato dan Aristoteles bahwa kerja intelektual keduanya adalah upaya untuk mencapai masyarakat yang baik. Konsepsi virtue (kebajikan) menurut mereka adalah tujuan eksistensi manusia yang ideal dalam entitas masyarakat tertinggi (negara). Namun, arah pemikiran Plato bergerak pada relasi pengertian negara dengan aspek jiwa manusia, sedangkan Aristoteles memandang negara sebagai suatu bentuk lanjutan dari kumpulan-kumpulan yang ada dan berbentuk kecil.[4] Plato memberikan pemaknaan mendalam atas prinsip kebajikan, hingga menurutnya pembentukan negara adalah jalan paling efektif menuju kehidupan manusia yang penuh dengan kebajikan. Tak heran jika ia memformulasikan konsep raja-filsuf (the Philospher king) sebagai pemimpin ideal sebuah negara. Istilah negarawan[5] yang mengandung pengertian lebih dari sekadar seorang kepala negara, setidaknya mendekati konsep pemimpin yang dibayangkan oleh Plato.
            Istilah manusia zoon politikon bukan sekadar konsep yang Aristoteles kemukakan, tetapi merupkan premis dasar adanya negara. Bagi Aristoteles, manusia membutuhkan negara sebagai tempat mereka menjalin kontak, relasi, interaksi, dan kolaborasi. Menurutnya, orang yang tak memerlukan masyarakat dan negara, artinya ia tak menjalankan fitrahnya. Ia sepakat dengan Plato tentang keberadaan negara sebagai penjamin proses kesempurnaan hidup manusia lewat peran institusi pendidikan.
            Dari pemikiran keduanya, kita dapati bahwa konsep negara adalah unit kekuasaan tertinggi di mana tiap manusia di dalamnya mendedikasikan diri dan bertukar kepentingan. Dengan istilah yang berlainan, kedunya menilai negara merupakan wahana perwujudan nilai-nilai virtue. Mereka tak melihat kemungkinan pengimpelementasian nilai-nilai virtue: wisdom, courage, temperance, dan justice[6] di atas entitas negara. Padahal  dalam perkembangan dunia modern, konsep supranasional yang diperkenalkan oleh ilmuan merupakan proses alamiah manusia yang saling membutuhkan satu sama lain. Sifat manusia sebagai makhluk sosial direpresentasikan oleh negara, lalu negara menjalankan sifat sosialnya dengan melakukan kerjasama antarnegara.
            Sebenarnya, perbedaan sosiohistoris atau state of nature antara kondisi modern dan masa Yunani kuno yang membuat gagasan kerjasama internasional tak pernah terbayangkan oleh pemikir Yunani kuno. Mereka hidup dalam ratapan kehancuran Athena dalam perang Peloponnesos, hingga membuat proyeksi kontras atas model pemerintahan dan negara sebelumnya. Negara saat itu bersifat saling invasif untuk mendapatkan keuntungan sendiri. Selain itu, pesatnya perkembangan teknologi dan industri saat ini mengubah peta global dari awalnya negara bersifat self-sufficient berubah menjadi saling bergantung yang mengharuskan mereka bekerja sama untuk meraih keuntungan masing-masing. Dari pespektif liberal, kerjasama antarnegara mempromosikan saling pengertian, toleransi, dan saling ketergantungan.[7]
Perihal kerjasama, sebenarnya Plato telah menyampaikan konsep tentang nilai-nilai kolektivisme. Gagasan ini adalah akar pemikiran tentang gagasan komunisme dan antiindividualisme sebagaimana yang dikembangkan oleh Marx dan pengikutnya. Bahkan, pemikiran Plato bisa disebut lebih ekstrim dengan menyebut istri dan anak adalah bagian dari common properties. Harapan Plato bahwa tanggung jawab bersama atas anak-anak negara bisa menjadikan mereka sebagai manusia unggul yang tak terikat oleh ikatan keluarga dan mempunyai loyalitas penuh kepada negara.[8] Walaupun ada alasan-alasan luhur dari gagasan Plato, justru kritik dengan mudah muncul perihal kekhawatiran jika yang terjadi adalah “pengabaian bersama” oleh para laki-laki. Terlepas dari hal tersebut, lagi-lagi konsep kolektivisme Plato terbatas pada skup negara.
Gambaran tentang negara Yunani kuno jelas sangat berbeda dengan konsep negara modern. Menurut Sabhine, kunci memahami pemikiran mereka adalah pemahaman tentang konsep the Greek city-states.[9] Sebagai gambaran, negara Athena saat itu hanya dihuni kurang lebih 100 ribu jiwa[10] dengan luas yang lebih kecil dari provinsi Jakarta sekarang[11] yang memungkinkan setiap orang berinteraksi satu sama lain dan menerapkan sistem pemerintahan demokrasi langsung. Selain itu, dalam struktur politik mereka tak dikenal perbedaan antara negara dan masyarakat. Artinya, ketika orang membicarakan masyarakat, maka ia sedang membicarakan negara. Tak heran, semua orang terbiasa membangun solusi bagi kemaslahatan negara, sebagaimana contoh pionir dalam tokoh Plato dan Aristoteles.


Daftar Pustaka:
Heywood, Andrew. (2004) Political Theory: an Introduction. New York: Palgrave Macmillan.
McDonald, Lee Cameron. (1962) Western Political Theory: from Its Origins to the Present New York: Harcort, Brace & World.
Noer, Deliar. (1982) Pemikiran Politik di Negeri Barat, Jakarta: Persada.
Rowe, Christopher, Malcolm Schofield. (2001) Sejarah Pemikiran Politik Yunani dan Romawi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sabhine, George H.(1959) A History of Political Theory London: George G. Harrap.
Suhelmi, Ahmad. (2004) Pemikiran Politik Barat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
           



[1] Christopher Rowe, Malcolm Schofield, Sejarah Pemikiran Politik Yunani dan Romawi, (Raja Grafindo Persada: 2001), 5.
[2] Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, (Gramedia Pustaka Utama, 2004), 5.
[3] Ibid, 36.
[4] Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat, (Persada, 1982), 28.
[5] Merriam-webster dictionary mengartikan statesman sebagai “a wise, skillful, and respected political leader”. Sedangkan Longman Dictionary menggunakan istilah “one who is respected as being wise, honourable, and fair”.
[6] Lee Cameron McDonald, Western Political Theory: from Its Origins to the Present (New York, 1962), 19.
[7] Andrew Heywood, Political Theory: an Introduction (New York, 2004), 105.
[8] Suhelmi, Opcit, 40
[9] George H. Sabhine, A History of Political Theory (London, 1959), 17.
[10] Noer, Opcit, 3
[11] Suhelmi, Opcit, 27.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar