Jumat, 09 Februari 2018

Pemikiran Politik Hobbes dan Locke

            Negara berikut perangkat pemerintah dan masyarakatnya memiliki suatu sistem tertentu untuk mencapai keteraturan sosial. Gagasan ini muncul karena hubungan antara pemerintah dan masyarakat merupakan unsur resiprokal yang menghasilkan suatu sistem kenegaraan. Asumsinya, masyarakat membuat kesepakatan bersama yang dijalankan oleh institusi negara sebagai representasi kepentingan masyarakat. Sebagai produk pasca Abad Skolastik Eropa, tesis ini muncul sebagai bantahan kepada konsep kekuasaan Tuhan, yang mana masyarakat hadir lebih dulu dibandingkan kekuasaan.    
Dalam sejarah perkembangan pemikiran politik, Eropa mengalami kemajuan pesat pasca mundurnya Gereja Roma dari ranah politik. Menurut Dagger, setidaknya percepatan pemikiran Eropa modern disebabkan oleh “black death, exploration new world, Renaissance, and Protestant Reformation.”[1] Gerakan reformasi protestan merupakan suatu peristiwa sejarah yang tak hanya membawa perubahan sosial politik Eropa, melainkan pula pemikiran politik Barat. Melaluinya, Eropa berpindah dari Abad Pertengahan yang didominasi doktrin gereja memasuki era kebebasan berpikir (Age of Enlightenment) yang mendorong peningkatan kehidupan manusia karena kekuatan pikiran. Di era ini, banyak melahirkan pemikir dan filsuf yang memberi pandangan mengenai kehidupan sosial politik dan ilmu pengetahuan. Thomas Hobbes dan John Locke merupakan produk abad pencerahan (filsuf) yang terkenal dan telah memberi pengaruh signifikan bagi pemikiran politik dunia. Secara spesifik, tulisan ini akan berfokus pada periode penting abad pencerahan lewat representasi pemikiran Hobbes dan Locke.
            Gagasan utama dalam pendekatan politik atas pemikiran Hobbes dan Locke bahwa keduanya menggunakan pendekatan yang sama dalam membangun konsep negara melalui teori state of nature dan social contract. Walaupun hidup sezaman, dua pemikir Inggris ini tak berinteraksi secara personal maupun pemikiran lantaran kondisi sosial politik yang tidak kondusif. Kesamaan pembahasan keduanya lebih merupakan representasi atas fakta sosiohistoris Inggris yang mengalami perang sipil berkepanjangan. Saat itu terjadi perebutan kekuasaan antara kerajaan yang didukung oleh geraja dengan parlemen yang disokong oleh kelompok puritan. Peperangan yang terjadi di level kekuasaan melibatkan faktor sosial, ekonomi, dan agama.
           Hobbes menulis gagasan tentang negara dalam pelariannya di Perancis dengan judul Leviathan, sebuah negara yang dalam istilah modern disebut pemerintahan absolut. Sedangkan, Locke menulis sebuah karya fenomenal Two Treaties of Government yang membangun model pemerintahan monarki konstitusional sebagaimana sistem pemerintahan Inggris saat ini. Perbedaan kesimpulan kedua tokoh tersebut sejatinya dibangun lewat premis-premis yang serupa terhadap unit analisis yang sama, tentang state of nature dan social contract. Oleh karena itu, setidakanya secara singkat tulisan ini hendak membahas konsep-konsep tersebut lewat pengontrasan gagasan kedua tokoh di atas.
Sebelum menelaan konsep state of nature (kondisi alamiah), pada mulanya kedua pemikir Inggris ini membahas tentang sifat dasar manusia. Mereka membangun premis-premis yang berseberangan tentang sifat manusia. Sama-sama sepakat bahwa keadaan alamiah menciptakan kebebasan bagi manusia, namun Hobbes menilai pada titik tersebut justru menciptakan manusia yang berorientasi pemenuhan hawa nafsu dan kebahagiaan pribadi hingga berimplikasi sebagai sebab penderitaan orang lain. Sementara, Locke melihat hal yang berbeda terhadap sifat alamiah manusia yang sejatinya penuh dengan nilai kebaikan dan solidaritas sosial. Locke menilai rasionalitas mengarahkan manusia untuk tak merugikan orang lain. Akal budi merupakan representasi hukum alam yang jika manusia melanggarnya, maka alam sendiri yang akan mengganjarnya.
Lewat perbedaan pandangan soal sifat manusia, gagasan tentang state of nature merupakan akibat yang sangat mempengaruhi pembentukan masyarakat ideal menurut Hobbes dan Locke. Hobbes mengajak para pembaca bukunya untuk membayangkan kondisi manusia dengan kebebasan sempurna tanpa negara dan pemerintah. Situasi tersebut menurut Hobbes akan mengarah pada kondisi manusia yang saling perang (state of war). Tak heran jika Hobbes menyarankan negara memiliki kekuatan besar untuk mengontrol penuh masyarakatnya demi menjaga ketertiban sosial. Sementara, menurut Locke bahwa keadaan alamiah manusia adalah situasi yang penuh dengan kedamaian, kebajikan, saling melindungi, penuh kebebasan, tak ada rasa takut, dan penuh kesetaraan.[2] Lebih jauh, Locke menilai hadirnya pemerintahan ditujukan untuk menyempurnakan keadaan alamiah yang sudah ada. Pemerintah merupakan pihak penengah yang memediasi hubungan sosial ekonomi di dalam masyarakat. Sekaligus, pemerintah menjadi penjamin tiga hak dasar kemanusiaan versi Locke: hak hidup, kebebasan, dan hak kepemilikan (properti) dari sifat buruk manusia yang culas dan curang.
            Sepakat dengan Hobbes, Locke mengakui bahwa sifat proteksi diri (self-preservation) yang merupakan hukum alam yang dimiliki oleh semua manusia. Konsep inilah yang mengarahkan pemikiran mereka pada penyusunan teori perjanjian sosial (social contract) dalam dimensi state of nature yang berbeda. Hobbes melihat ketakutan atas ancaman dari luar membuat manusia secara beramai-ramai memberikan mandat kepada “penguasa” dengan menyerahkan hak-haknya sebagai jaminan. Dengan alasan itulah, manusia bersedia membatasi kebebasan alami, demi keselamatan jiwanya. Dari perspektif lain, Locke tak memandang bahwa all war all merupakan keadaan alamiah manusia. Oleh karenanya, penyerahan kebebasan manusia kepada “pemerintah” justru untuk menjamin tiga hak dasar kemanusiaan tetap terjaga. Kontrak sosial versi Locke mengikutsertakan pemerintah untuk tunduk dalam aturan yang dibuat bersama. Bahkan, Locke menilai masyarakat mempunyai hak untuk menggulingkan pemerintahan dan membentuk yang baru jika terjadi pelanggaran atas perjanjian yang sudah disepakati bersama.
            Sebagaimana ide persamaan manusia dan kebebasaan yang berkembang saat itu, Hobbes dan Locke juga menolak adanya tingkatan status manusia atas dasar fixed or ascribed by nature. Keduanya juga percaya bahwa pemerintah dibentuk lewat persetujuan rakyat. Jika Hobbes percaya bahwa implementasi kekuasaan dengan model apapun bermuara pada ketertiban masyarakat. Sedangkan, Locke tak percaya pada pemerintah yang tak terbatas. Ia menyatakan rakyat hanya akan patuh pada pemerintahan terbatas (konstitusional), bahkan rakyat mempunyai right of revolution.[3] Paham ini lah yang dipercayai oleh berbagai akademisi, bahwa pemikiran Locke mengilhami terjadinya Revolusi Perancis dan perang sipil Amerika Serikat.
Thomas Hobbes dan John Locke merupakan filsuf politik yang memberi kontribusi penting dalam perkembangan politik Barat pada periode setelah periode Reformasi Protestan dan masa Renaissance. Pemikiran mereka tentang manusia dan kondisi alamiah manusia menjembatani lahirnya teori kontrak sosial hingga terbentuknya negara dan penguasa ideal. Namun, fakta tentang banyaknya model pemerintahan absolut yang runtuh membuktikan bahwa teori negara versi Hobbes tak empiris. Bahkan Inggris tak pernah menyentuh level monarki absolut sepeninggal Hobbes. Kekeliruan Hobbes muncul dari kesalahannya memprediksi konsep altruisme kekuasaan yang dijalankan penguasa. Alih-alih memberikan rasa aman, model negara absolut justru menghadirkan rasa ketakutan bagi rakyatnya sendiri. Selain itu, konsep civil society yang diabaikan oleh Hobbes justru menjadi salah satu aspek determinan dalam perkembangan teori negara modern.

Daftar Pustaka:
Ball, Terence, Richard Dagger, Daniel O’neill (2009) Political Ideologies and The Democratic Ideal. Boston: Pearson.
Suhelmi, Ahmad. (2004) Pemikiran Politik Barat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.



[1] Terence Ball dkk, Political Ideologies and The Democratic Ideal (Boston, 2009), 49.
[2] Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, (Gramedia Pustaka Utama, 2004), 190.
[3] Ibid, 55.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar