Sabtu, 04 Agustus 2012

TUGAS UJIAN AKHIR SEMESTER Mengulas Buku “Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi” Karya Heater Sutherland


TUGAS UJIAN AKHIR SEMESTER
Mengulas Buku “Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi” Karya Heater Sutherland
Mata Kuliah Sejarah Birokrasi
Muhammad Ridho Rachman, 0806343973
PENDAHULUAN
Terbentuknya sebuah elite birokrasi adalah sebuah kajian penulisan sejarah sosial yang luar biasa dari sejarawan Belanda, Heather Sutherland. Pada tahun penulisan ini, ia keluar dari mainstream tulisan sejarah yang ada. Biasanya tulisan-tulisan populer yang lahir adalah mengenai gerakan nasionalis, gerakan revolusi, atau masyarakat Asia tanpa kolonialisme di mana negara-negara Asia tersebut telah merdeka. Rata-rata penulisan dililhat dari sudut pandang Barat. Namun, dalam kasus tulisannya, Sutherland mencoba menggalinya dari berbagai sumber yang dikenal dengan Indonesia Sentris.
Sebenarnya Sutherland hanya mencoba meneruskan aliran penulisan yang telah dirumuskan oleh gurunya, Harry Benda. Ia meneliti mengenai Pangreh Praja, elite birokrasi pribumi, yang dibentuk di Hindia Belanda. Adalah sistem kontrol negara jajahan yang sangat efektif bermula dari pengkajian mendalam bahwa Hindia Belanda telah memiliki suatu sistem pemerintahan sendiri yang dengan membiarkannya tetap ada maka kontrol lebih mudah dan efisien.
Dikatakan bahwa sistem pemerintahan indirect rule oleh kekuasaan kolonial cukup dengan mendudukan para pangreh praja yang dengan simbol-simbol penguasa tradisional mampu menjadi kaki tangan yang baik bagi pemerintah kolonial. Tentu sistem yang diterapkan pada sebuah negeri jajahan merupakan sistem yang sangat berbeda dengan lainnya yang misalkan di Birma, Inggris menghapus bersih sistem kerajaan dan elite birokrasi tradisional yang ada yang kini menjadikan Birma seperti sekarang ini.
Tentu pilihan pada sistem ini sangat beralasan, VOC yang pada masa itu bukan lah suatu badan militer yang mempunyai cukup kekuatan untuk menancapkan kekuatan militernya di seluruh Hindia (Jawa dalam hal ini). Kemudian dengan mendudukan elite birokrasi pangreh praja, kekuatan kolonial sangat menyentuh akar rumput dimana elite-elite menjalankan dengan baik kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial.
Buku ini mencoba menelaah bagaimana pandangan Belanda mengenai sifat Asia dari tata pemerintahan Jawa dikombinasikan dengan tujuan-tujuan praktis berjangka pendek untuk merusak hubungan antara priyayi dan petani. Pemimpin-pemimpin masyarakat dan pejabat-pejabat kerajaan diubah menjadi sekutu bawahan, kaki tangan, dan akhirnya menjadi alat politik dan birokrasi kekuatan asing. Dalam proses ini, priyayi kehilangan fungsi militernya dan pembatasan kegiatan ekonominya, mereka menjadi semakin bergantung pada kekuatan baru di Batavia daripada kemampuannya sendiri dalam bekerja.
Karena terikat oleh pembatasan-pembatasan kolonial dan ketidakmampuan menjawab tuntutan sosial ekonomi, pejabat pribumi ini pada akhir abad ke-19 merupakan elite yang tercerabut. Gaya hidup kebudayaannya yang tinggi dan berlebihan itu bisa dikatakan adalah sebab ketidakmampuan dibanding sebuah peninggalan kebudayaan Jawa.
Pemerintah sipil pribumi merupakan penghubung yang efektif antara rakyat dan pemerintah Belanda, dan bagaimana hubungan ini berjalan adalah masalah penting untuk mengerti hubungan antara pemerintah kolonial dan penduduk pedesaan. Lebih lagi ternyata pemerintah pribumi merupakan penerus dan pelindung tradisi-tradisi aristokrat, mereka adalah kelanjutan dari kelas lama yang berkuasa dan merupakan sumber utama dari elite Jawa di zaman modern. Dengan demikian maka sipil ini memainkan peranan yang penting dalam sejarah sosial dan politik Indonesia.
Dalam tulisan ini kemudian memperlihatkan perkembangan dari elite sipil pribumi tersebut, bagaimana perannya bergeser dari kekuatan utama di masing-masing wilayah menjadi kekuatan penyambung bagi kebijakan-kebijakan kolonial dan mereka seakan menginduk pada kekuatan besar di Batavia yang menjadi pusat kebijakan seluruh Hindia Belanda.



RINGKASAN
BAB I: POLA-POLA POLITIK DAN PEMERINTAHAN
Kepegawaian sipil pribumi pada masa akhir kolonial Hindia Belanda mengalami perubahan yang mendasar. Pangreh praja “Penguasa Kerajaan”sebuah kekuasaan yang tidak lagi sekuat dahulu karena dalam artian kolonial, mereka dianggap sebatas “Inlandsch Bestuur” pemerintahan pribumi, suatu tingkatan yang lebih rendah dari pemerintah setempat. Pejabat-pejabat pemerintah itu memang merupakan kelas penguasa yang ditakuti sekaligus dikagumi, tetapi mereka itu merupakan wakil-wakil bawahan dari sebuah kekuatan asing.
Masing-masing kelompok memiliki kepentingan-kepentingan yang sudah mapan, tradisi dan kebijaksanaan yang diakui kebenarannya, nilai-nilai, persepsi serta prasangkanya sendiri. Dengan demikian bukan hanya rezim kolonial dan fungsi birokratis kepegawaian sipil itu saja yang harus dipertimbangkan melainkan juga dasar-dasar budaya dan intelektual BB dan pangreh praja.
Hubungan antara priyayi dengan pejabat Eropa tumbuh dari adaptasi sehari-hari terhadap lingkungan VOC yang mengutamakan masalah ekonomi. Pejabat Belanda menentukan kebijakan, sedangkan pejabat pribumi bekerja sama dengan rakyat memproduksi barang dagangan. VOC hanya memiliki kepentingan yang sempit, VOC hanya mendesak keras agar para bupati mengakui kedaulatannya. Gaya upacara kebesaran pemimpin-pemimpin pribumi dipertahankan, dan mereka tetap meneruskan tata cara kehidupan sesuai tradisi.
VOC akhirnya runtuh pada akhir abad ke-18 karena keadaan keuangan yang parah. Setelah itu nasib Jawa jatuh ketangan pemerintah Kolonial Belanda. Di bawah Deandles dan Raffles, gaya kepemimpinan VOC diubah keluar dari tradisi yang sebelumnya. Deandles menjalankan kebijakan pemusatan kekuasaan di batavia dan perketat administasi keuangan atas pemimpin pribumi. Raffles melanjutkan dengan penempatan wakil-wakil pemerintah di tengah-tengah rakyat. Kemudian reformasi kewajiban pembayaran pajak oleh rakyat menggantikan wajib kerja. Namun, karena waktu yang pendek memerintah, perubahan kearah revolusioner mengendur kembali. Walaupun demikian, pada masa kedua gubernur jendral itu, kedudukan bupati berada pada titiknya yang terendah.
Pada taraf permulaan menuju birokratisasi ada keyakinan bahwa dengan mempertahankan prestise pejabat pribumi merupakan unsur kunci dalam kekuatan kontrol di zaman kolonial. Namun, pendidikan bagi para pejabat pribumi merupakan hal yang penting, yakni bagi persiapan menuju gaya-gaya birokrasi baru maupun menggerakan mereka lebih erat dengan pemikiran Batavia dan sikap-sikap Eropa. Mulailah masuk pendidikan-pendidikan Barat seperti Hoofdenscholen, Opleidingsscholen voor Inlandsche Ambtenaren, dan OSVIA.

BAB II: PRIYAYI PEMERINTAH: GAYA HIDUP DAN KEBUDAYAAN SOSIAL
Di jawa tidak terdapat satuan tunggal pemerintahan pribumi, terlebih lagi terdapat sekitar dua puluh badan-badan yang terpisah, seperti setiap karesidenan mempunyai pemerintah priyayi dengan hierarkinya sendiri. Para bupati dan priyayi sering dilukiskan sebagai wakil dari kebudayaan kota dan mereka memang membentuk bagian dari lapisan sosial dan budaya supradesa Jawa ini. Namun, tidak semua para bupati itu kosmopolitan yang merasa sama seperti di rumah sendiri, baik bila berada di kota-kota pelabuhan dunia maupun bila berada di keraton yang sangat halus tata caranya. Kebanyakan mereka lebih menyerupai bangsawan desa daripada aristokrat istana.
Hampir semua bupati di abad ke-19, melakukan poligami, mempunyai istri utama, raden ayu atau padmi, yang derajatnya setara dengan sang Bupati dan biasanya putri dari bupati lain. Ia mungkin istri pertama (atau mungkin tidak), tergantung urutan waktu menikah sang Bupati. Kemudian terdapat istri-istri kedua yang disebut selir atau ampeyan. Agama Islam memperbolehkan seorang lelaki beristri empat pada setiap saat, dan karena perceraian mudah dilakukan maka menjadi sangat mungkin seorang bupati untuk mempunyai lebih dari empat orang istri selama hidupnya.
Perkawinan antarbupati adalah hal yang biasa, teristimewa dalam satu karesidenan, sehingga terciptalah suatu hubungan jaringan kerja yang luas yang berpusat pada bupati. Merupakan kecenderungan yang umum kalau anak-anak yang lahir dari istri utama dikawinkan dengan keluarga sesama bupati. Sedangkan anak-anak dari selir biasanya dikawinkan dengan priyayi yang lebih yunior dalam kedudukannya di karesidenan itu sendiri.
Di dalam lingkup kabupaten, para bupati hidup megah, walaupun tidak semegah bupati zaman VOC. Namun masih mampu mendatangkan kesan bagi pengamat-pengamat Eropa maupun Jawa, sebagaimana yang memang dikehendaki. Kesempatan pertama para bupati mempertontonkan kemewahannya adalah saat pesta pelantikan sebagai bupati. Biasanya dalam pesta tersebut disediakan hidangan makanan minuman dan hiburan pada suatu resepsi, yang pertama diperuntukan bagi golongan Eropa, orang Cina dan priyayi, kemudian baru untuk rakyat umum.
Pesta besar tersebut merupakan awalan dari rentetan pesta besar yang ‘mesti’ dilakukan para bupati dalam bentuk penyelenggaraan pesta perjamuan. Perayaan besar berikutnya meliputi perkawinan, khitanan, atau penerimaan gelar—tanda kehormatan baru—dan keberhasilan-keberhasilan lainnya yang ia capai. Dalam kebudayaan Eropa pun biasanya para bupati ikut merayakan seperti ulang tahun ratu, kedatangan suatu tamu kehormatan (Eropa). Semua itu patut diadakan perayaan yang tidak lah sederhana.
Status sosial priyayi menengah diperlihatkan dalam bentuk ukuran perayaan yang diselenggarakan seta hak yang dianggap wajar mesti ia terima. Hal itu terkait kebaikan jasa-jasa yang telah menyelenggarakan pesta-pesta besar. Biasanya rakyat akan datang guna dimintai hal-hal yang diinginkan oleh sang Bupati. Misalnya, sepuluh hari sebelum perkawainan putri Wedana Blora pada tahun 1897, priyayi-priyayi setempat dan puluhan penduduk desa datang tanpa diminta berkumpul di rumahnya, petani dari desa membawa daun bambu dan nipa untuk membangun tarub serta mendiriakn tiang-tiang yang dihiasi lampu-lampu minyak berkaca warna-warni. Seminggu sebelum perkawinan, gamelan sudah mulai dibunyikan mengalun mengiringi temu-tamu dari jauh yang sudah mulai berdatangan. Dua hari sebelum perkawinan, hiburan pun dimulai wayang golek, tari topeng, tayuban, minum-minum, dan lain-lain.

BAB III: PANGREH PRAJA DAN BINNENLANSCH BESTUUR
Gambaran mengenai ikatan antara atasan dan priyayi bawahan—juga priyayi dengan rakyat—dikatakan sebagai kelanjutan dari hubungan kawula-gusti menurut tradisi klasik Jawa. Ini merupakan suatu ikatan antara perintah dan kepatuhan tanpa syarat, tetapi juga merupakan suatu ikatan yang bersifat sangat pribadi, yaitu ketergantungan sangat rapat antara kedua manusia. Teori seperti ini bisa sangat terlihat pada praktik magang seorang priyayi muda yang mulai memasuki dinas pemerintahan.
Masa magang seorang priyayi yunior tidak jelas. Ia bekerja tanpa dibayar. Biasanya ia bekerja sebagai juru tulis, tingkatan terendah dari pangreh praja. Ikatan yang terjalin antara pemagang kepada seorang pejabat adalah bagaimana ketulusannya mengabdikan diri. Begitu pula seorang atasan, semakin banyak orang yang magang kepadanya menunjukkan kewibawaan di mata masyarakat dan di antara para pangreh praja lain.
Sistem pendidikan dan seleksi telah lama berlaku di Jawa. Sistem ini juga berlaku bagi seseorang yang hendak mengabdikan diri di lingkungan keluarga-keluarga dan lingkungan keraton. Bagi priyayi, ini dinamakan nyuwita. Hadirnya sekolah-sekolah Barat dalam keseharian mereka, tidak mengubah pola tradisional ini. Malah timbul suatu pola kombinasi logis dari keduanya. Bupati dan priyayi berlomba-lomba menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah Barat, menitipkan mereka di keluarga Barat selama mereka bersekolah. Tujuannya tetap sama: untuk menguasai ketrampilan sosial dan kedinasan yang diperlukan bagi kemajuan dari bangsa Eropa tersebut. Hal ini, bisa dikatakan bahwa tugas yang diemban seorang nyuwita semakin luas, pelajaran-pelajaran baru termasuk di dalamnya. Praktis pada abad ke-19, kenaikan pangkat pangreh praja tidak menggunakan kriteria obyektif, seperti pendidikan ataupun kesenioran, maka berbagai bentuk sikap menjilat dan nepotisme berkembang subur.
Pada abad ke-18 dan ke-19, para pejabat Eropa sangat terpengaruh oleh priyayi, baik dalam kehidupan profesionalnya maupun dalam kehidupan pribadinya. Rumah, makanan, pakaian, bahasa, istri, cara penjamuan mereka biasanya mengambil dari tradisi Jawa yang dikombinasikan dengan gaya mereka sendiri (campuran:mestizo) mengenai cara kehidupan aristokrat yang nyaman. “Jawanisasi” BB dan westernisasi pangreh praja sampai batas tertentu merupakan campuran dari dua tradisi.
Secara keseluruhan, para pejabat Belanda berpendapat bahwa kebiasaan-kebiasaan Jawa adalah cocok, pejabat VOC mengubah para pengawal-pengawal bersenjata lengkap dengan payung. Para BB yakin bahwa unsur-unsur tradisional ini diperlukan untuk memelihara kewibawaan bupati dan priyayi. Namun, ada pula segolongan kecil yang menginginkan adanya modernisasi. Namun, pada golongan ini muncul tokoh-tokoh penting seperti Snouck Hurgronje sebagai penasihat-penasihat urusan pribumi.
Snouck merumuskan kebijakan-kebijakan penting bagi pemerintah, salah satunya ia sangat konsisten menganjurkan agar dilakukannya pemisahan priyayi muda dengan keluarganya agar terjadi westernisasi intelektual murni dengan menitipkan mereka pada keluarga Belanda pada masa studi. Tidak lagi ada campuran. Kemudian, anjurannya agar pribumi diberi tanggung jawab jabatan yang lebih luas dengan demikian mereka pada nantinya akan mampu memangku sebagai kontrolir dan asisten residen.
Mengenai hubungan BB dengan priyayi, Residen H.E. Steinmetz sejalan dengan pikiran Snouck. Ia memberikan kecaman keras kepada BB, menyalahkan mereka yang menjadi penyebab menurunnya peran bupati sampai menjadi seperti tak berguna. Ia menunjukkan bahwa tanggung jawab efektif berada di tangan asisten residen, kontrolir, dan wedana.
Pada akhir abad ke-19, mulailah bermunculan kritik keras pejabat Eropa dan Jawa oleh berbagai kalangan yang pro rakyat kecil. Hal ini pastinya bergerak dari pusat, Belanda, di mana arus politik di Belanda berubah ke arah kesadaran baru akan kepedulian nasib rakyat pribumi Jawa dari karya Max Havelaar (1860).

BAB IV: PATRON, KLIEN, DAN PENDIDIKAN PRIYAYI
Perubahan pola hubungan semakin kentara di masyarakat pribumi menjelang Perang Dunia pertama. Pola hubungan antara BB dengan pangreh praja, penduduk desa dengan priyayi menimbulkan pertentangan-pertentangan baru. Munculnya kelompok baru yang melepaskan diri dari tradisi patron-klien mereke terhadap Belanda. Mereka merasa bahwa pemerintah tidak berhasil memenuhi kebutuhan rakyat, mereka kemudian mencari struktur dan ideologi baru bagi pemenuhan rakyat terhadap keadilan dan kesejahteraan. Organisasi baru bermunculan: persatuan pedagang, organisasi buruh, partai politik dan lainnya. Kegiatan ini entah dimengerti atau tak sengaja disambut dengan kebijakan  yang searah yaitu Politik Etis yang diucapkan oleh Ratu Wihelmina tahun 1901.
Etisi mengenai pendidikan menjadi satu pilar paling penting bagi golongan baru ini. Para priyayi besar dari biografi-biografinya memperlihatkan peranan yang sangat penting dari patron-patron  Eropa. Mereka tinggal di lingkungan Eropa, bahkan ada sebagian kecil yang sampai mendapat kesempatan bersekolah di luar negeri. Namun, sebagian besar tetap mendapat porsi Barat di negeri sendiri.
Pendirian sekolah OSVIA tahun 1900 bagi kalangan priyayi merupakan momentum perubahan bagi mereka. Mereka menemukan kondisi kebebasan dari kehidupan di asrama dan kota-kota besar merupakan sesuatu yang baru dan memberi semangat. Lulusan OSVIA merupakan minoritas kecil, tetapi mereka memainkan peranan pimpinan dalam gerakan-gerakan yang timbul bagi kalangannya. Hal itu telah membangkitkan perhatian yang lebih luas seta keterbuakaan bagi perubahan, dan ini membedakan mereka dari teman sejawatnya yang lain.

BAB V: MOBILITAS SOSIAL DAN PEMBARUAN POLITIK
Awal abad 20, muncul suatu unsur baru dalam masyarakat pribumi di kota-kota Hindia Belanda, yaitu lapisan cendekiawan. Walaupun para anggotanya pada umumnya berasal dari lingkungan priyayi, namun mereka telah keluar dari kerangka pangreh praja, dan dalam batasan tertentu, keluar dari kultur tradisional. Mereka hidup di antara perbatasan masyarakat pribumi dan kolonial, bekerja pada lembaga kota kelas menengah, sebagai guru atau wartawan, berpindah-pindah pekerjaan dan tepat kerja. Orang-orang ini tidak lagi senang menduduki tempat yang telah disediakan baginya dan yang telah mapan di masyarakat Hindia Belanda. Mereka memperoleh pekerjaan-pekerjaan, sarana penunjang, gagasan, dan informasi yang baru.
Di sisi lain pula, muncul “priyayi profesional” yang berbeda dengan priyayi yang pemerintah. Mereka tampil menjadi bagian dari pemerintah dengan kematangan ilmu dalam bidang yang mereka miliki. Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa pegawai pribumi tidak lagi satu-satunya sarana mobilitas keatas, bahwa jalan pada priyayi tradisional bukan lagi satu-satunya bentuk kehidupan yang baik.
Perubahan-perubahan sosial yang terjadi di masyarakat luas menyebabkan pangreh praja mendapat tekanan dari dua front. Di kota-kota kecil muncul kalangan elite profesional yang memiliki wibawa cukup dan memungkinkan adanya peranan lebih dari mereka. Di kota-kota besar, muncul tekanan yang lebih di kalangan cendekiawan. Mereka secara radikal menolak kekuasaan moral, sosial, dan politik pangreh praja. Fenomena ini muncul dari kondisi kekosongan yang ditimbulkan dari kegagalan pejabat pribumi tradisional dalam menyokong dan membantu nasib rakyat kecil.
Pembentukan Budi Utomo tahun 1908, biasanya dianggap sebagai pertanda dimulainya gerakan nasionalis. Walaupun dalam tataran nasionalis belum bisa dikatakan sesuai sebagai organisasi nasional. Namun, setidaknya sebagai tahapan awal, Budi Utomo dipandang lebih berhak sebagai perhimpunan nasionalis daripada apa yang terlihat sebelumnya.
Budi Utomo merupakan organisasi yang dapat dikatakan “perhimpunan bupati”. Perhimpunan yang merupakan satu langkah tepat menuju perbaikan dari para bupati, sehingga mereka dapat memimpin rakyat secara lebih efektif. Setelah BU, berkembanglah organisasi-organisasi dengan cepat.
Percepatan timbulnya organisasi-organisasi merupakan suatu kebutuhan masyarakat pribumi yang menyadari bahwa perkumpulan-perkumpulan gaya Barat adalah landasan terbaik bagi berbagai kegiatan mereka. Muncullah serikat-serikat pekerja yang diinspirasi oleh orang Eropa dan Cina, seperti serikat buruh, persatuan guru-guru, persatuan pegawai dan lainnya. Kemudian peranan pers yang juga mengalami perkembangan merupakan dinamika positif bagi keadaan yang sedang berlangsung.
Mereka tidak beranggapan bahwa para pangreh praja yang sudah ada harus dinasionalisasikan. Mereka berhadap bahwa suatu sistem kepegawaian yang jujur, rasional, dan efektif akan dapat berfungsi secara terhormat, baik bagi pemerintah Hindia Belanda maupun rakyat pribumi. Mereka berpendirian, pangreh praja adalah pemimpin yang wajar dan terbaik bagi rakyat, oleh karenanya mereka sangat mengharapkan perubahan kearah yang lebih baik dari para pangreh praja yang ada.



BAB VI: REFORMASI PEMERINTAH KOLONIAL DAN TANGGAPAN PANGREH PRAJA
Pada peralihan keabad 20, beberapa orang residen mulai mempertegas sistem penerimaan dan kenaikan pangkat kepegawaian. Diawali oleh karesidenan Cirebon dengan menggunakan daftar kepangkatan secara umum guna mencegah terjadinya penangkatan secara sesuka hati, dan klik-klik di dalamnya. Perbaikan ini menunjukkan hasil positif, barulah yang lainnya mengikuti. Untuk itu Batavia menyambut baik dengan menyeragamkan seluruh Jawa dengan peraturan-peraturan yang disampaikan lewat BB dan perangkat lainnya.
Peraturan yang mengarah pada restrukturisasi pemerintahan ini sampai pada peraturan tentang pengangkatan bupati. Sedikit demi sedikit diterapkan prasyarat tertentu yang harus dimiliki seorang bupati. Sekalipun, aspek turun-temurun tetap menjadi dasar kebijakan Belanda. Ditetapkan bahwa seorang calon harus berpendidikan sekurang-kurangnya OSVIA dan harus berdinas sekurang-kurangnya dua tahun dengan predikat memuaskan patih atau wedana, dan harus mengerti bahasa Belanda.
Pada perkembangan peraturan pemerintah kolonial selanjutnya, penting untuk dikemukakan bahwa pada tahun 1915 mulai diberlakukannya penghapusan sistem magang. Suatu sistem yang dianggap memperkenalkan suatu sistem yang terstandarisasi dan berorientasi efisien, untuk menyalurkan pejabat-pejabat pribumi ke hierarki pemerintahan. Namun, tidak berarti mengubah lisensi tradisional, hanya membatasinya. Preferensi keturunan tinggi masih tetap menjadi pertimbangan utama, dan priyayi masih sangat tergantung dari penilaian pribadi seorang BB dan bupati. Dapat dikatakan bahwa, sistem ini merupakan usaha mendapatkan yang terbaik dari dua dunia, dan sama sekali mengherankan bahwa akhirnya terbukti bahwa hal itu tidak mungkin.
Banyak pejabat Eropa sendiri yang mengalami kesukaran untuk menyesuaikan diri dengan perubahan, baik di masyarakat pribumi maupun peraturan pemerintah. Mereka merasa bahwa golongan pribumi yang selama ini diperas tenaganya oleh Pemerintah Pusat terlalu diberi hati. Mereka merasa telah dikhianati dan diremehkan oleh pemerintah dengan memberikan ruang luas kepada kaum nasionalis dan ekstrimis.
Pengaruh timbal balik antara berbagai pandangan yang timbul, baik pribumi maupun pemerintah, membentuk latar belakang dari peristiwa-peristiwa setelah Perang Dunia I, pada saat ketika masalah perubahan administrasi pemerintahan dan hubungan antara priyayi pemerintah dan gerakan nasionalis menguasai perkembangan pangreh praja.

BAB VII: STRATEGI KOLONIAL: PEJABAT KONTRA KAUM NASIONALIS, 1918—1927
Satu hal yang jelas dari berbagai dinamika yang terjadi awal abad 20, bahwa hubungan antara pemerintah kolonial dan rakyat umum sedang mengalami perubahan. Kebijakan etis diumumkan, kemajuan dan kesejahteraan menjadi tujuan resmi, kepekaan moral dikatakan menjadi lebih tajam, dan di samping itu kaum politisi Belanda yang kritis dan para pemimpin nasionalis sering membuka masalah-masalah tentang itu.
Arena Politik Hindia Belanda
Peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum tahun 1920 mendorong terjadinya polarisasi, kemudian memperkuat tuntutan golongan konservatif agar pemerintah melakukan intervensi dalam bidang politik di mana masa itu adalah pesatnya berbagai organisasi politik, terutama Sarekat Islam (pasca keberhasilan Revolusi Rusia). Di negeri Belanda sendiri, golongan sosial demokrat mulai meyerukan pemerintahan sosialis. Hal ini menyebabkan kekhawatiran yang meluas di Belanda dan Hindia Belanda. Dalam Volksraad, Limburg Stirum membacakan “Deklarasi November”  guna menghalau pertumbuhan gerakan sosialis dengan menjanjikan perubahan sosial dan kesejahteraan yang lebih besar.
Hal itu ditanggapi sikap pesimis dan optimis dari berbagai kalangan. Terutama kalangan nasionalis yang sangat tertarik dengan isu kesejahteraan dan perubahan sosial, dibuat lahirnya harapan-harapan besar yang tidak realistis hingga waktu yang membuktikan. Oleh karenanya, gubernur jendral langsung mendamaikan kalangan nasionalis, dan orang-orang Belanda semakin yakin bahwa Stirum telah melakukan tindakan yang terlalu jauh dengan sikapnya mengambil hati kalangan nasionalis.
Polisi dan Penindasan
Garis pertahanan terakhir pemerintahan kolonial Belanda adalah kekekuatan fisik: polisi dan tentara. Pembentukan Politieke Inlichtingen Dients (PID) pada Mei 1916 merupakan kebijakan yang paling represif dan gambaran ketegangan pemerintah dari berbagai organisasi nasionalis yang ada. PID adalah kesatuan intelijen yang bertugas mengumpulkan informasi mengenai partai-partai politik, pribadi-pribadi, dan membuat penilaian mengenai suasana politik di masyarakat.
Dalam praktik yang lebih terlihat, pemerintah membentuk polisi lapangan dalam usaha memperbaiki keamanan di pedesaan. Kebijakan sebelumnya yang keras dari polisi bersenjata mendapat kecaman dari Volksraad yang mengganggap mereka menyerupai tentara pendudukan. Maka dari alasan tersebut polisi lapangan dibentuk untuk melindungi rakyat sekaligus kekuatan antimiliter.
Secara keseluruhan keresahan itu dapat diatasi oleh usaha bersama antara para pejabat dan polisi. Kekacauan di pedesaan itu menimbulkan kekhawatiran besar bagi Batavia, yang merasa tindakan subversif dan pemberantasan para agitator di luar dapat segera memulihkan rust en orde.












ANALISIS
Dalam rentang waktu perjalanan birorasi, Indonesia tercatat berbagai sistem telah dilalui. Di awal, sistem birokrasi adalah sistem monarki dimana sistem kekerabatan (Aescitysm System) merupakan satu bentuk birokrasi yang bercorak tradisional patrimonial. Sistem ini berkembang pesat karena dapat dikatakan dianut oleh seluruh kerajaan yang ada pada masa agama Hindu-Buddha.
Masa selanjutnya memperlihatkan perubahan sistem birokrasi di Indonesia. Bersamaan dengan penyebaran pesat agama Islam ke seluruh dunia, termasuk di antaranya Indonesia, sistem birokrasi yang ada bergeser ke sistem yang dalam kreasi para elitenya tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Pada masa kerajaan Islam di Indonesia, dapat digeneralisasikan bahwa birokrasi menganut sistem legal-formal yang artinya bahwa telah ada penempatan orang-orang ahli dan memiliki prestasi dalam menduduki jabatan tinggi di pemerintahan (Merit System).
Kedatangan dan dominasi bangsa Eropa di tanah Indonesia secara langsung mengubah sistem pemerintahan yang sebelumnya telah bertahan lama. Tata pemerintah masa kolonial melalui pendekatannya dikelompokkan menjadi empat jenis. Pertama, VOC (1602—1799) yang sistem pemerintahannya cenderung konservatif (koersif), kedua kekuasaan awal kolonial (1800—1825) yang cederung liberal, ketiga masa cultuur stelsel (1825—1870) pendekatan kolonial kembali konservatif, dan terakhir keempat pada masa liberal (1870—1900) kembali liberal.
Latar belakang VOC sebagai sebuah perusahaan dagang, mencirikan suatu model yang berbeda sendiri dengan sistem mengkolonisasi sebuah wilayah. Melihat kawasan Indonesia yang sangat potensial bagi keuntungan ekonomi membutakan VOC untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya dengan melakukan monopoli perdagangan hingga akhirnya menguasai wilayah tersebut. VOC tidak memiliki armada militer yang besar dan tangguh, pun hak mempersenjatai diri sebagai perlindungan diri saja sudah bagus. Hal ini lah salah satu yang melatarbelakangi sistem kolonialisasi konservatif yang diterapkan oleh VOC.
Elite penguasa pribumi di berbagai wilayah dibiarkan tetap pada status sosial yang mereka tempati. Sebagai penguasa yang telah menjajah, VOC tidak mengubah struktur sosial yang sudah tetap. Sistem pengaturan kepada rakyat dilakukan melalui sistem yang disebut indirect rule. Suatu sistem yang ternyata berhasil. Para pejabat Belanda, mulai dari gubernur, residen, asisten residen, kontrolir dan lainnya, selalu ada organisasi pejabat-pejabat pribumi yang terdiri dari bupati, patih, wedana, camat, dan lainnya.
Para peneliti mengagumi sistem yang diterapkan ini karena dengan adanya pangreh praja “penguasa kerajaan”, tangan-tangan Belanda mampu menjangkau seluruh rakyat di lapisan terbawah dan kekurangan akan tenaga personalia dapat dibantu dari keberadaan para pejabat pribumi yang murah. Ketimbang harus mendatangkan staf dari Belanda kalau ada pemerintahan langsung (direct rule).
Pangreh praja (Indisch Bestuur) seperti yang dikatakan di atas berasal dari para penguasa setempat dari sisa-sisa kerajaan-kerajaan tradisional. Para elite kerajaan ini menjadi kaki tangan kebijakan-kebijakan kolonial dalam memperoleh tujuan kolonial Belanda.
Kedatangan VOC ke suatu wilayah, tidak serta-merta langsung menduduki wilayah tersebut. Namun, dari berbagai wilayah yang telah didudukinya didapat kesamaan cara yang dilakukan. Tujuan VOC datang ke suatu kawasan adalah jelas untuk menguasai sumber daya alam. Mereka datang dengan kemudian mengadakan perjanjian dagang, merumuskan perjanjian untuk memperoleh hak monopoli perdagangan di kawasan tersebut. Yang cukup penting adalah mereka ikut campur dalam tataran birokratis penguasa setempat dan mejalankan politik pecah belah bagi pihak-pihak yang sedang bertikai.
Pangreh praja berasal dari tradisi penguasa tradisional atau patrimonial yang tidak mengenal pemisahan kepentingan pribadi dan jabatan. Kepala desa mendapat hak tanah bengkok dan hak mempekerjakan rakyat di bawahnya sebagai penghasilannya. Dalam masa kolonial VOC contoh-contoh seperti ini dipertahankan pada kedudukan yang demikian.
Masa kekuasaan VOC selanjutnya digantikan oleh negeri Belanda. Oleh karena itu, jelas bahwa pada masa selanjutnya, Indonesia dijajah oleh sebuah negara yang dengan pemikiran dan struktur sebuah negara mencoba ditanamkan pada jajahannya. Masa awal pemerintahan Kolonial Belanda, kedudukan seorang gubernur jendral memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan arah kebijakan di wilayah koloni dibanding masa VOC.
Kondisi yang menyebabkan keruntuhan VOC adalah kondisi keuangan yang semakin memburuk karena ketidakberesan administrasi keuangan hingga munculnya berbagai penyelewengan oleh para administratur dan terjadinya kekacauan dan pemberontakan yang dipimpin oleh para bupati di banyak wilayah. Kemudian Hindia Belanda diserahkan kepada negeri Belanda.
Tercatat pada awal abad ke-19, Belanda telah menggantikan peran VOC menguasai Indonesia. Gubernur Jendral yang cukup terkenal dengan pembaruannya pada masa kolonial awal adalah Daendles dan Raffles. Belanda di jajaran bangsa Eropa termasuk dalam bangsa kecil terbukti dengan dijajahnya negeri tersebut oleh bangsa Prancis saat Revolusi Prancis pimpinan Napolen. Dengan itu maka seluruh kekuasaan Belanda termasuk negeri jajahannya jatuh ketangan Prancis. Daendles (1811—1816) seorang kebangsaan Prancis diutus mengurus Hindia Belanda. Pada masanya tercatat berbagai revolusi birokrasi dengan tujuan efisiensi.
Paham-paham Revolusi Prancis (liberte, egalite, fraternite) tergambar dari kebijakan-kebijakannya di Hindia Belanda. Isu liberalisasi dunia yang sedang berkembang juga masuk ke Indonesia. Kebijakan oleh para gubernur jendral selanjutnya seperti Raffles, Elout, Buyskes, Capellen, dan Gisinger juga terlihat liberal karena memiliki pemahaman yang sama dengan Deandles.
Perubahan ke arah sistem yang cenderung liberal ini adalah hasil koreksi dari kebijakan-kebijakan VOC yang dinilai tidak cocok lagi diterapkan di Hindia Belanda. Koreksi yang paling terlihat adalah dimana tidak lagi digunakan fungsi bupati sebagai wakil kolonial di daerah, seperti dihapuskannya jabatan gubernur Pantai Timur Laut Jawa dan membagi wilayah itu kedalam prefektur-prefektur yang masing-masing dipimpin oleh orang Eropa. Dan diberikan keleluasaan untuk berjalan di bawah pengawasan langsung gubernur jendral. Pada masanya, Deandles menjadikan Jawa sebagai pusat pemerintahan dan membaginya dalam beberapa prefektur seperti yang telah disebutkan di atas.
Hak-hak bangsawan keraton dikurangi. Sebagai gantinya mereka diangkat sebagai adminitratur daerah yang menerima gaji dan kedudukan dikorelasikan dengan kepangkatan militer. Sejak itu, kebanggannya bukan lagi bersumber dari identifikasi diri dengan kejayaan masa lalu, melainkan denga peranannya sebagai seorang abdi raja baru.
Pada masa akhir-akhir pemerintahan liberal. Banyak kendala yang muncul khususnya di negeri Belanda sendiri yang mengalami kekalahan perang dan kemerosotan ekonomi. Maka dipilihlah kembali menggunakan kebijakan konservatif yang ketat guna mendorong kelajuan ekonomi yang besar bagi pemulihan negeri Belanda. Kebijakan ini disebut “Tanam Paksa”. Suatu kebijakan yang mewajibkan para pemilik tanah menggarap sebagian lahannya untuk tananam ekspor dan ditambah wajib kerja sebagai ganti pajak yang diterapkan di masa sebelumnya. Kerjasama dengan pemimpin pribumi adalah sangat penting manakala penduduk pedesaan hendak dimobilisasi. Demikianlah tujuan praktis yang dikemukakan Gubernur Jendral van den Bosch (1830—1833) dengan mengembalikan para bupati itu pada kedudukan sebelum masa Deandles. Namun, dengan kehati-hatian terhadap mengulangnya pemberontakan-pemberontakan pimpinan bupati kepada pemerintah kolonial.
Kebijakan yang diterapkan van den Bosch adalah reformulasi dari kebijakan konservatif VOC. Perlibatan kembali para bupati atau kepala desa yang dikenal dengan istilah Dessa Hoofden. Dalam tataran kebijakan, cultuur stelsel sistem uji daya tahan tanaman ekspor yang aturan-aturannya sebenarnya tidak terlalu memberatkan rakyat pribumi. Namun, di tingkat aplikatif, sistem ini sangat memberatkan dan menyengsarakan pribumi karena adanya suntikan komisi (cultuur procenten) bagi para karyawan Eropa dan bupati yang wilayahnya menghasilkan produk tertinggi. Hasilnya, para bupati berlomba-lomba mencari keuntungan dengan memaksakan rakyatnya bekerja lebih dari kewajiban seharusnya.
Kebijakan yang lebih menitikberatkan pada sektor ekonomi ini sangat dipengaruhi oleh kondisi perekonomian dalam negeri Belanda sendiri. Pada saat itu, Belanda sedang menghadapi minimnya sumber dana akibat utang perang yang menumpuk. Tanam Paksa ini lah jawabannya dan merupakan kebijakan politik yang bermotifkan ekonomi pertama yang diterapkan di Hindia Belanda. Dengan kebijakan ini, Belanda mulai melakukan eksploitasi kekayaan alam Indonesia untuk menutup utang-utang yang dimilikinya.
Pada tahun 1870, Belanda menerapkan kebijakan ekonomi pintu terbuka bagi negara-negara jajahan. Dengan kebijakan ini, dimulailah era komersialisasi, moneterisasi, dan industrialisasi di Indonesia. Belanda memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada perusahaan swasta asing untuk masuk ke Indonesia, melakukan perdagangan, dan menanamkan modalnya di Indonesia. Politik pintu terbuka ini didorong oleh kebijakan pembukaan Terusan Suez di Mesir pada tahun 1869. Pembukaan terusan ini semakin memudahkan lalu lintas perdagangan internasional.
Pengaruh gerakan liberal terhadap Indonesia secara umum adalah: dihapuskannya tanam paksa, munculnya modal swasta asing, Hindia Belanda menjadi penghasil perkebunan penting dunia.
Pelaksanaan sistem liberal ternyata tidak lebih baik dari sistem tanam paksa. Malah pemerasan yang terjadi oleh dua pihak: swasta pemilik modal dan pemerintah. Pemerintah secara tidak langsung memeras rakyat dengan pajak tinggi bagi para pemilik perkebunan. Kemudian pihak swasta demi memperoleh keuntungan besar mengurangi upah buruh pribumi, tidak memperhatikan kesehatan, dan menyewakan lahan bagi rakyat untuk membayar hutang.
Di samping itu, para pekerja perkebunan diikat dengan sistem kontrak, sehingga mereka tidak dapat melepaskan diri. Mereka harus mau menerima semua yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Mereka tidak berani melarikan diri walaupun menerima perlakuan yang tidak baik, karena mereka akan kena hukuman dari pengusaha jika tertangkap. Pihak pengusaha memang mempunyai peraturan yang disebut Poenale Sanctie (peraturan yang menetapkan pemberian sanksi hukuman bagi para buruh yang melarikan diri dan tertangkap kembali). Keadaan yang demikian ini menyebabkan tingkat kesejahteraan rakyat semakin merosot sehingga rakyat semakin menderita.
Jadi, pada masa tanam paksa rakyat diperas oleh pemerintah Hindia Belanda, sedangkan pada masa politik pintu terbuka rakyat diperas baik pengusaha swasta maupun oleh pemerintah. Walaupun pemerintah melakukannya secara tidak langsung. Kekuatan liberal mendesak pemerintahan kolonial melindungi modal swasta dalam mendapatkan tanah, buruh, dan kesempatan menjalankan usaha atau perkebunan. Negara menjadi pelayan modal lewat dukungan infrastruktur dan birokrasi, dengan menelantarkan pelayanan masyarakat. Dengan demikian politik kolonial liberal yang semula menghendaki liberalisasi tanah jajahan lalu berkembang menjadi bagaimana mengatur tanah jajahan untuk memperoleh.
Kekuatan liberal Belanda, didukung pemilik modal dan kelas menengah, meraih kekuasaan di negeri sendiri, lalu mengontrol perekonomian Hindia Belanda. Berkredo "kebebasan usaha, kebebasan kerja, dan pemilikan pribadi", kekuatan liberal mendesak pemerintahan kolonial melindungi modal swasta dalam mendapatkan tanah, buruh, dan kesempatan menjalankan usaha atau perkebunan. Negara menjadi pelayan modal lewat dukungan infrastruktur dan birokrasi, dengan menelantarkan pelayanan masyarakat. Kaum liberal memandang Hindia Belanda sebagai ladang pihak swasta sehingga dapat menimbulkan akibat-akibat, diantaranya : 1). Timbulnya urbanisasi. Hal ini dapat terjadi karena rakyat yang sudah tidak mempunyai tanah, pergi ke kota untuk mencari kehidupan dengan bekerja pada pabrik-pabrik yang telah didirikan oleh pihak swasta maupun pemerintah. 2). Penduduk kota semakin bertambah padat. 3). Timbulnya kaum buruh. 4). Rakyat pedesaan mulai mengenal uang. 5). Tanah perkebunan semakin luas.

















PENUTUP
Pangreh praja “Penguasa Kerajaan”sebuah kekuasaan yang tidak lagi sekuat dahulu karena dalam artian kolonial, mereka dianggap sebatas “Inlandsch Bestuur” pemerintahan pribumi, suatu tingkatan yang lebih rendah dari pemerintah setempat.
Pangreh Praja, elite birokrasi pribumi, yang dibentuk di Hindia Belanda. Adalah sistem kontrol negara jajahan yang sangat efektif bermula dari pengkajian mendalam bahwa Hindia Belanda telah memiliki suatu sistem pemerintahan sendiri yang dengan membiarkannya tetap ada maka kontrol lebih mudah dan efisien.
Dikatakan bahwa sistem pemerintahan indirect rule oleh kekuasaan kolonial cukup dengan mendudukan para pangreh praja yang dengan simbol-simbol penguasa tradisional mampu menjadi kaki tangan yang baik bagi pemerintah kolonial. Tentu sistem yang diterapkan pada sebuah negeri jajahan merupakan sistem yang sangat berbeda dengan lainnya yang misalkan di Birma, Inggris menghapus bersih sistem kerajaan dan elite birokrasi tradisional yang ada yang kini menjadikan Birma seperti sekarang ini.
Tentu pilihan pada sistem ini sangat beralasan, VOC yang pada masa itu bukan lah suatu badan militer yang mempunyai cukup kekuatan untuk menancapkan kekuatan militernya di seluruh Hindia (Jawa dalam hal ini). Kemudian dengan mendudukan elite birokrasi pangreh praja, kekuatan kolonial sangat menyentuh akar rumput dimana elite-elite menjalankan dengan baik kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial.
Kemudian diperlihatkan perkembangan dari elite sipil pribumi tersebut, bagaimana perannya bergeser dari kekuatan utama di masing-masing wilayah menjadi kekuatan penyambung bagi kebijakan-kebijakan kolonial dan mereka seakan menginduk pada kekuatan besar di Batavia yang menjadi pusat kebijakan seluruh Hindia Belanda.
Jauh sebelum hadirnya elite birokrasi pribumi seperti pangreh praja, sistem birokrasi adalah sistem monarki dimana sistem kekerabatan (Aescitysm System) merupakan satu bentuk birokrasi yang bercorak tradisional patrimonial yang terdapat pada masa kerajaan Hindu-Buddha.
Kemudian pada masa kerajaan Islam di Indonesia, birokrasi menganut sistem legal-formal yang artinya bahwa telah ada penempatan orang-orang ahli dan memiliki prestasi dalam menduduki jabatan tinggi di pemerintahan (Merit System).
Setelah kejayaan Islam dalam struktur birokrasi kerajaan berjaya selama beberapa abad kemudian digantikan oleh sistem modern Eropa. Tata pemerintah masa kolonial melalui pendekatannya dikelompokkan menjadi empat jenis. Pertama, VOC (1602—1799) yang sistem pemerintahannya cenderung konservatif (koersif), kedua kekuasaan awal kolonial (1800—1825) yang cederung liberal, ketiga masa cultuur stelsel (1825—1870) pendekatan kolonial kembali konservatif, dan terakhir keempat pada masa liberal (1870—1900) kembali liberal.
Pada kurun waktu yang cukup panjang, masa kolonial menerapkan sistem baru yang sama sekali berbeda pada corak birokrasi sebelumnya. Orang-orang Eropa datang dan memaksakan sistem birokrasi yang tentunya untuk kepentingan mereka dahulu. Ini lah perbedaan mendasar dengan sistem-sistem sebelumnya dilihat dari tujuan mereka kemudian diteruskan dengan aplikasi sistem tersebut yang semakin menunjukkan perbedaan-perbedaan.
Dalam buku Heater Sutherland ini, ia secara pandai mampu mengangkat sisi lain dari sebuah perjalanan sistem kebijakan politik yang diterapkan. Lebih dalam lagi, ia menyoroti liku perjalanan elite birokrasi kerajaan pada masa kolonial yang sangat bergolak. Elite pribumi seperti yang telah banyak disebutkan di atas tetap memegang jabatan penting di wilayahnya. Namun, ia tidak lagi berdiri paling tinggi dalam kekuasaan. Pada masa kolonial ia dapat disebut sebagai pegawai pemerintah kolonial.
Pangreh praja sebagai kolaborator kolonial mempunyai perkembangan sejarahnya sendiri yang tidak dapat dilepaskan dari kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial di pusat, Batavia. Oleh karenanya, berbagai perubahan yang terjadi ditataran kebijakan pemerintah. Dari perubahan-perubahan tersebut yang jelas terjadi adalah bagaimana kekuasaan elite pribumi diintervensi oleh kekuatan baru yang sangat kuat dan hak-hak kerajaan dahulu dihapuskan sehingga mereka mencoba bergeliat dengan berbagai kondisi yang ada. Semua dijelaskan ditulisan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar