Sabtu, 04 Agustus 2012

Makasar Kota Maritim Utama Indonesia Timur Abad 16--17 M


Latar Belakang
Sejak awal pertumbuhannya di abad 15, Makassar telah menunjukkan peran sebagai kota pelabuhan yang penting dalam perdagangan dunia. Pada saat itu Makassar telah masuk dalam jaringan perdagangan sutera yang menghubungkan antara dunia niaga Asia dan Eropa. Makassar adalah titik temu antara jalur niaga di belahan Timur (Maluku, Irian Jaya) dan Barat (Kalimantan, Malaka, Jawa, Asia Selatan dan juga Eropa), dan antara jalur niaga di belahan utara (Filipina, Jepang dan Cina) dan selatan (Nusa Tenggara dan Australia).[1]
Pelabuhan harus mempunyai daya tarik yang besar bagi kapal-kapal dari luar, misalnya pasar yang ramai tempat hasil hutan dari pedalaman diperdagangkan dan bahan makanan dan air minum disediakan untuk konsumsi di kapal. Ada korelasi erat antara besarnya volume perdagangan (termasuk persediaan bahan makanan) dan frekuensi kunjungan serta jumlah kapal yang singgah di suatu pelabuhan.[2]
Perkembangan Makassar sebagai bandar niaga tidak dapat dipisahkan dari bandar-bandar lain khususnya di Nusantara. Perdagangan tidak terlepas dari interaksi para pelakunya, perorangan maupun antarkelompok. Kota Makassar adalah kota pelabuhan dan perdagangan, karena letaknya yang strategis, menjadikan Makassar ramai dikunjungi nelayan dan pedagang yang mengikuti pelayaran lokal ataupun yang ingin menuju ke kawasan Asia Pasifik dan Eropa. Karena mempunyai letak yang strategis juga Makassar menjadi sesuatu yang dipertikaikan untuk kepentingan bangsa-bangsa yang ingin menguasai perdagangan.[3]
Dalam kegiatan ini pentingnya Makassar adalah sebagai kota pelabuhan dan kota perdagangan. Dalam dua fungsi ini Makassar diuntungkan oleh letaknya yang sangat strategis. Dalam posisinya yang sedemikian strategis itu, Makassar menjadi ramai dikunjungi orang baik oleh nelayan dan pedagang yang mengikuti rute pelayaran lokal maupun mereka yang hendak menuju kawasan Asia Pasifik dan Eropa. Dengan posisinya yang strategis itu pula, Makassar menjadi ajang pertikaian antara kepentingan bangsa-bangsa yang ingin menguasai perdagangan.[4]
Kota Makassar dimulai dengan ditinggali oleh orang-orang Makasar asli. Petani, pedagang, nelayan adalah mata pencaharian mereka. Perkampungan Makassar menjadi ramai setelah dibangunnya benteng-benteng pertahanan Kerajaan Gowa termasuk benteng Ujung Pandang. Makassar lebih berkembang setelah banyak dikunjungi dan disinggahi pedagang-pedagang dari luar yaitu Asia, Eropa, dan pedagang dari daerah Indonesia lainnya.[5]
Makassar terletak di pesisir pantai sehingga merupakan kota pantai bercorak maritim pada masa Gowa ataupun sesudahnya. Sesudah tahun 1667, selain menjadi kota pelabuhan Makassar digunakan pula sebagai pusat pemerintahan kolonial Belanda. Di dalam benteng Ujung Pandang (Fort Rotterdam) terdapat kantor gubenur. Dari benteng itu lah kota diatur. Sejak VOC dan pada masa Hindia Belanda, Jepang dan Republik Indonesia, Makassar digunakan pula sebagai ibukota pemerintahan Propinsi Sulawesi, Propinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara, selanjutnya Propinsi Sulawesi Selatan.[6]
Informasi Umum Kota Makassar
Di dalam Kitab Negarakertagama yang berasal dari abad 14, nama Makassar telah ditemukan, tetapi belum ada kepastian sejak kapan nama Makassar digunakan untuk nama tempat atau suku bangsa. Nama Makassar pun belum ada arti pastinya, tetapi ada beberapa pengertian dari kata Makassar. Pertama, sebagai nama suku bangsa dan bahasa yang menempati bagian selatan pulau Sulawesi, yang mempunyai adat-istiadat, bahasa, karakter, dan bentuk atau ciri tubuh sendiri dan mereka memakai bahasa Makassar. Biasana mereka bertempat di daerah Maros, Gowa, Galesong, Takalar, Topejawa, Laikang, Cikoang, Jeneponto, dan Bangkala. Kedua, sebagai nama kota yang terletak di pantai selatan Pulau Sulawesi. Pulau Sulawesi sendiri pulau besar yang terletak sebelah tenggara Benua Asia dan juga terletak antara Kalimantan bagian barat dan Kepulauan Maluku sebelah timur dan antara kepulauan Sulu yang merupakan wilayah negara Filipina dan kepulauan Nusa Tenggara di bagian Selatan. Ketiga, sebagai nama selat yang terletak antara Sulawesi Selatan dan pulau Kalimantan. Selat ini dari sejak dulu ramai dilayari kapal-kapal.[7]
Sejak abad ke-16, sejarah Kerajaan Gowa ditandai dengan konflik dan ancaman Belanda, sehingga raja Gowa X, Tunipalangga memperkuat tiga benteng utama, selain Sombaopu, juga ada benteng Ujungpandang di sebelah utara dan benteng Panakukang si sebelah selatan. Pada abad ke-16, Makassar terdapat dua pusat pemerintahan, yaitu Kale Gowa yang terdapat di tanah tinggi pinggiran utara sungai Jeneberang, dan yang lain di muara sungai Tallo.[8]
Untuk keterangan berkenaan dengan luas wilayah pada abad ke 16 dan 17 sangat sukar diperoleh. Karena waktu itu Makassar terdiri dari sejumlah perkampungan yang terpencar di sepanjang pantai yang kira-kira terletak pada tempatnya sekarang, dengan penambahan ke daerah pedalaman. Di sepanjang pantai, perkampungan membujur dari Tallo di sebelah utara sampai ke sungai Jeneberang di sebelah selatan, dan perkampungan Jawa di Timur.[9]
Daerah perkotaannya tediri dari pusat-pusat perkampungan yang bangunannya terbuat dari bahan yang tidak permanen. Di seluruh daerah tersebar serangkaian benteng-benteng  yang merupakan tempat tinggal anggota-anggota bangsawan yang dibangun dengan gaya arsitektur yang kokoh dan permanen. Di belakang pantai juga terdapat daerah pertanian. Daerah pantai pun penghasil komoditi perikanan dan terdapat suatu pasar untuk kegiatan perdagangan. Di sekitar itu terdapat bangunan-bangunan yang didirikan oleh para saudagar yang tinggal di Makassar sebelum dikuasai Belanda. Letak pantainya pun  memudahkan bagi orang yang ingin turun berlayar yang membuat para pelaut semangat unruk mencari perhubungan keluar melalui lautan. Juga terdapat sejumlah pelabuhan yang digunakan sebagai tempat tinggal. Di dalam peta tahun 1605 terlihat bahwa Benteng Sombaopu menjadi tempat kediaman Raja Gowa dan keluarganya, para pembesar dan pegawai kerajaan.[10]
Penduduk negeri pedalaman di bagian utara biasa disebut orang Bugis dan di selatan orang Makassar, yang menjadi pendukung kehidupan kota. Para pedagang dari bagian barat Nusantara menuju daerah rempah-rempah bagian timur, singgah di Makassar. Terkadang ada pedagang dari barat dan dari timur bertemu dan melakukan transaksi. Mereka membentuk perkampungan sendiri di bawah koordinasi seorah syahbandar yang dipilih oleh sesama bangsanya yang bertugas mewakili mereka. Di antara kampung-kampung itu sampai sekarang masih ada, seperti kampung Jawa, kampung Melayu, kampung Baru yang dulunya sebagai tempat penimbun beras dan rempah-rempah.[11]
Karakter Orang Makassar dan Kondisi Sosio-Kultural

Mereka (Orang Makassar) tak beragama, tetapi sangat mudah berhubungan dan hidup berdampingan dengan mereka, dan menghargai hak, keadilan, serta ketertiban menurut adat mereka (Hugh Fayne, 1610, dalam LREIC 1:71).[12]
Dunia mengenal Sulawesi Selatan atas keberhasilannya yang gemilang dalam menghadapi tantangan kapitalisme dan imperialisme di masa silam. Kejayaannya pada abad 17, selain karena majunya perdagangan juga didukung oleh faktor-faktor sosio-kultural yang mendorong Makassar tumbuh menjadi sebuah kekuatan besar. Di sini, akan diuraikan beberapa watak orang Makassar dan kondisi sosio-kultural yang mendorong Makassar tumbuh menjadi sebauh kekuatan besar pada abad 17.
Keterbukaan
Awalnya Makassar membuka diri dan memberlakukan semua pedagang asing dengan sama. Namun, pertengkaran antara Portugis, Belanda, dan Inggris membuat kebijakan terbuka ini sulit dipertahankan. Ketika VOC membuka kantor dagang (loji) di Makassar (1607-1615), berbagai tuntutan untuk memutuskan hubungan dagang dengan Portugis terus muncul. Untuk menjawab tuntutan-tuntutan semacam ini, Sultan Alaudin mengelurkan pernyataan terkenalnya “Tuhan menciptakan darat dan laut, daratan dibagikannya di antara manusia dan laut diberikan-Nya kepada semua orang. Belum pernah saya mendengar seseorang harus dilarang melayari lautan.” (Stapel 1922: 44)[13]
Tahun 1672, pimpinan Maskapai Dagang Inggris menuntut agar diambil tindakan yang lebih keras terhadap orang Portugis. Namun, kuasa dagang Inggris setempat memaparkan:
“Sang Raja menghendaki agar keduanya [Inggris dan Portugis] sama-sama bebas di pelabuhan Makassar, namun karena segan mengusik salah satu di antara keduanya, dan kebaikannya terhadap Inggris tak pernah luntur, seakan tidak ada lagi pemimpin politik Eropa yang dapat melebihinya. Akan tetapi negerinya pun sangat memerlukan pasokan barang dari orang-orang Portugis, sehingga hal terbaik yang dapat kita lakukan adalah berdiri di tengah-tengah dan tidak akan saling mengganggu di pelabuhan sang raja, namun begitu, meninggalkan pantai Sulawesi kita akan berjuang mati-matian melawan mereka.” (Hawley 1627, dalam Sainsbury 1884: 368).[14]
Kebijakan pintu terbuka ini bisa dipandang tak lebih dari sekedar sikap pragmatis tehadap kebutuhan perdagangan Makassar. Namun, kebijakan ini disertai dengan kesediaan yang unik untuk mengadopsi ide-ide segar yang dianggap bermanfaat. Makassar beralih dari satu keberhasilan ke keberhasilan lain, tidak hanya dalam soal penaklukan tetapi juga dalam inovasi teknik dan intelektual.
Pluralisme
Konsep cakrawartin (penguasa-dunia) tampaknya tidak memiliki akar di Sulawesi Selatan. Kronik dan mitos menunjukkan bahwa asal-usul kerajaan di wilayah ini berasal dari kebudayaan animis yang masih terus bertahan. Kekuasaan berasal dari dewa langit, dan menitis ke bumi di berbagai tempat: Luwuq, Bone, Soppeng, dan Pammana (Wajoq) untuk kalangan Bugis; Goa, Bajeng (Polombangkeng), Galesong, dan Onto (Bantaeng) untuk Makassar. Semuanya mengklaim bahwa dinasti mereka berasal dari keturunan dewata tomanurung yang berbentuk benda-benda magis yang kemudian dijadikan pusaka kerajaan, yang memiliki anak setelah membumi dangan penduduk setempat kemudian kembali menghilang ke langit, dan hanya para tomanurung ini yang berhak memerintah. Meski ada sedikit pengaruh Jawa pada awal berdirinya kerajaan, dan tentunya pengaruh Melayu-Islam setelahnya, kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan pada dasarnya terbentuk secara endogenus dan membentuk rasa kemerdekaan mereka sendiri.[15]
Salah satu contoh menonjol tentang pluralisme ini adalah Talloq. Kerajaan ini berbeda dari dinasti kecil lainnya yang dikuasai atau berkonsiliasi dengan Goa di awal abad 16. Kemitraan istimewa dua dinasti yang nyaris sederajat ini tidak akan mampu mempertahankan kekuasaan Goa yang sedang tumbuh jika tiga rumpun keluarga Talloq berturut-turut tidak mampu memegang kendali pada saat-saat kritis dan menegaskan pandangan dualistik mereka.[16]
Hubungan Patron-Klien
Sejalan dengan sistem stratifikasi sosial masyarakat yang berdasarkan pada keturunan dan pengakuan atas kekuasaan raja-raja di unit-unit wilayah, dalam masyarakat Bugis juga dikenal sistem patron-klien. Jika stratifikasi sosial menyebabkan tingkat stabilitas sosial, sistem patron-klien juga memungkinkan terjadinya mobilitas sosial karena adanya persaingan di antara mereka yang sederajat, kerjasama antarstrata sosial, dan integrasi dalam berbagai kelompok yang biasanya tidak memperhitungkan batas wilayah.[17]
Jabatan politis yang ada dalam pemerintahan Bugis tidak berdasarkan pewarisan mutlak melainkan suksesi kekuasaan yang ‘hanya’ memerlukan status kebangsawanan dan keanggotaan dalam silsilah yang longgar. Oleh karena itu, nilai lebih mereka yang bersaing untuk menduduki sebuah jabatan ditentukan pula oleh besarnya jumlah dan pengaruh pengikutnya. Melalui para pengikut inilah struktur piramida kekuasaan terbangun dengan beberapa kelompok pengikut bersatu melalui pemimpin masing-masing di bawah satu patron lebih tinggi. Salah satu buktinya adalah besarnya pengaruh pemimpin terkenal Arung Palakka di abad ke-17 berakar dalam sistem semacam ini.[18]
Perjanjian
Tidak jauh dari wajah pluralistiknya, komunitas Bugis dan Makassar juga memiliki kesiapan mengatur hubungan mereka lewat perjanjian antara dua pihak, di mana masing-masing mengakui hak pihak lain. Unit-unit politik yang lebih besar dibentuk lewat perjanjian semacam ini, yang lebih sering terjadi ketimbang penaklukan fisik belaka.
 Istilah-istilah yang sering digunakan dalam perjanjian-perjanjian menegaskan kepercayaan mereka terhadap sumpah adat. Berdasarkan catatan sejarah, istilah-istilah yang paling sering digunakan dalam bahasa Makassar adalah maqqulukana (Bugis makkuluada) dan sitalliq (Bugis sitalliq) yang berarti ‘bersumpah demi kehormatan’ dan ‘sumpah untuk saling membantu antara dua kerajaan’. Kekuatan pengikat dalam perjanjian ini berasal dari kepercayaan pada masa pra-Islam, sebuah kepercayaan bahwa arwah yang telah meninggal dapat melakukan sesutu kepada orang yang masih hidup. Jika sumpah dilanggar, maka pihak yang melanggar dipercaya akan tertimpa penyakit, kematian, atau kesialan.
Perjanjian yang sering terjadi denga pihak-pihak yang sederajat tapi memiliki otonomi biasanya digambarkan sebagai perjanjian antar dua orang yang bersaudara. Sedangkan perjanjian yang paling dianggap keramat adalah perjanjian yang berlangsung antara dua kerajaan berposisi setara dalam berbagai hal. Begian pembukaan perjanjian seperti ini biasanya mencantumkan dengan jelas ungkapan berikut:
“Kita adalah saudara, sama-sama hebat, tak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah, kita berdua sama-sama tunduk hanya di hadapan Déwata. Tak ada yang boleh takluk terhadap yang lain. Kita akan saling berbicara terbuka, berdiri sama tinggi, duduk sama rendah” (dikutip dari Andaya: 1981: 10-9).[19]
Model perjanjian semacam ini terbukti efektif dalam rangka berhubungan dengan pedagang asing. Misalnya dalam perjanjian antara Raja Tunipalangga (1854-1866) dan perwakilan dagang Melayu yang akan membuka pangkalan dagang di Makassar. Para pedagang Melayu ini mendapat jaminan bahwa wilayah yang mereka tempati tidak akan dimasuki oleh orang Makassar, dan peraturan Makassar tertentu tidak berlaku bagi mereka dan keluarganya. Dengan demikian, pedagang-pedagang ini memperoleh semacam wilayah kekuasaan sendiri tetapi dilarang menghukum pelanggar kejahatan tanpa seizin penguasa setempat.[20]
Perbudakan dan Kebebasan
Pada akhir abad ke-18, Bugis mulai dikenal sebagai wilayah di Asia yang paling cinta kebebasan. Orang-orang Bugis menyusun sejumlah aturan yang meletakkan dewan di atas penguasa, dan menggunakan prinsip-prinsip pemilihan untuk banyak jabatan.
Perbudakan menjadi hal yang kurang dominan di Makassar. Pada abad 17, jumlah budak milik pribadi mecapai angka terendah di Makassar. Pada masa ini pula budak asal Bugis-Makassar tidak diekspor. Perbudakan di Makassar lebih tidak lazim dari negara-negara tetangganya.
Namun, Wajoq dan Makassar tetap merupakan bagian dari satu rangkaian kultural, di mana hak-hak para aristokrat, dan kendali mereka terhadap orang-orang mereka sendiri tidak boleh dilanggar demi raison d’etat.[21] Di Makassar dan Wajoq, kelas Penguasa terdiri dari orang-orang yang bangga akan status, sadar akan hak dan kewajiban, serta dapat bertindak dan berpikir sebagai orang merdeka.
Sistem Tenaga Kerja
Ata merupakan sebutan bagi pekerja di Makassar. Mereka bekerja sebagai bagian dari kewajiban terhadap majikan dan tidak mengharapkan upah. Meski begitu, ata tidak bisa diartikan langsung sebagai budak, karena penghambaan secara pribadi (private slavery) hanya merupakan salah satu dari banyak kewajiban di Makassar. Terdapat hubungan antara ata dengan kewajiban bekerja, tetapi ata lebih merupakan ekspresi sebuah hubungan daripada status sosial.[22]
Dengan adanya pola seperti ini, banyak pekerjaan besar yang dapat terselesaikan. Hal ini dapat terlaksana berkat sistem obligasi yang rumit, di mana setiap bangsawan wajib mengerahkan orang-orangnya (ata) untuk ikut bekerja pada proyek-proyek besar ini. selain itu beberapa wilayah taklukan diwajibkan oleh syarat penyerahan diri mereka untuk mengirmkan pekerja ke kota yang biasanya dilakukan secara bergiliran (rotasi).
Dari uraian di atas, dapat kita tarik sebuah benang merah faktor-faktor sosio-kultural yang turut mempengaruhi keberhasilan Makassar pada abad 17.  Hal ini antara lain adalah pluralisme yang mendorong gagasan-gagasan baru, penghargaan lebih terhadap hak-hak adat dan kerjasama menguntungkan daripada kekuasaan raja, dan sistem yang dapat meminta tenaga kerja tanpa menekan hak-hak inisiatif. Sistem patron-klien yang berlaku juga memungkinkan terjadinya mobilitas sosial sehingga meningkatkan persaingan dalam iklim politik Makassar.


Pelayaran Suku Bugis-Makassar di Nusantara
Suatu pelayaran sangat bergantung pada angin. Pelayaran besar yang tergantung pada tenaga angin tentu memerlukan pengalaman dan pengetahuan tentang sistem angin, khususnya pelayaran di kepulauan Indonesia. Dengan memanfaatkan perubahan angin pada musim tertentu—terutama pada bulan Oktober—kapal-kapal berangkat dari Maluku menuju pusat-pusat perdagangan di Makassar, Gresik, Demak, Banten, sampai ke Malaka dan kota-kota lain di sebelah barat. Sebaliknya, pada bulan Maret pelayaran ke timur bisa dilakukan dengan menggunakan angin Barat.[23]
Pada abad ke-17 atau sebelumnya, pelayaran orang Bugis-Makassar sudah meliputi hampir seluruh perairan Nusantara. Dari catatan terbaru, seperti hukum laut Amanna Gappa dan juga dari peta laut Bugis, dapat dilihat bahwa pelayaran mereka sudah sampai ke Aceh, Kedah, dan Kamboja; ke Timur sampai ke Teluk Kei dan Ternate; dan ke Utara sampai ke pulau-pulau Filipina (Sulu) dan Kalimantan Utara (Berau).[24] 
Peran orang-orang Bugis-Makassar dalam pelayaran di Nusantara sudah berlangsung sejak abad ke-16. Pada waktu itu kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan, seperti Gowa dengan pelabuhannya di Makassar, Bone, Wajo, Luwu, dan lainnya merupakan kerajaan dagang yang kuat. Kekuatan perdagangan laut ini didukung oleh penduduk yang mayoritas hidup dari hasil dan perniagaan di laut. Sudah sejak abad ke-16, mereka memperdagangkan produk rempah-rempah dari Maluku untuk ditukar dengan barang-barang yang dibeli dari Jawa dan Malaka, seperti beras, tekstil, barang-barang logam, sutera, porselain, dan lain-lain.[25]
Persebaran orang Makassar dan Bugis secara besar-besaran tidak hanya sekedar berdagang, tetapi juga berpindah tempat tinggal mengakibatkan orang Bugis dan Makassar menetap di kepulauan Riau, Jawa Timur, dan kepulauan Nusa Tenggara. Keadaan ini dipicu oleh penaklukan kerajaan Gowa-Tallo yang bersuku Makassar terhadap kerajaan-kerajaan Bugis, seperti Wajo, Bone, Luwu, dan lainnya. Penaklukan oleh orang-orang Makassar ini membuat banyak orang Bugis yang pindah dan menyebar ke seluruh Nusantara, terutama di daerah sekitar Sumatera Timur dan Semenanjung Malaya. Sementara pengungsian besar-besaran dilakukan oleh orang-orang Makassar pasca penaklukkan Kerajaan Gowa-Tallo oleh kekuatan militer VOC dalam Perang Makassar 1666-1669. Dalam catatan sumber-sumber Belanda, sejak Perjanjian Bongaya, 1667, yang menandai kekalahan Kerajaan Gowa, membuat bangsawan Makassar dan para pengikutnya merasa terhina dan pergi meninggalkan tanah Makassar. Pengungsian besar-besaran terjadi pada 1669 ketika secara final VOC mengalahkan pemberontakan orang Makassar, terlebih lagi ketika Arung Palakka, penguasa Bone, menjadi pemimpin utama di wilayah Sulawesi Selatan.[26]
Perang Makassar (1666-1669) sebenarnya dipicu oleh perang dagang antara Kerajaan Makassar, yang menjadikan pelabuhannya bebas dikunjungi oleh kapal dari Eropa ataupun dari Asia dan Nusantara, dengan pihak VOC yang ingin memaksakan monopoli. Pelabuhan Makassar dianggap menyaingi perniagaan VOC. Keinginan VOC untuk mengontrol jalur perniagaan laut, ditolak oleh Sultan Hasanuddin. Jawaban ini meneguhkan oleh semangat orang-orang Makassar untuk melawan, karena menurut mereka sudah sejak lama perniagaan laut di Asia Tenggara berjalan dengan sistem pasar bebas. Pihak penguasa hanya mengontrol keamanan laut dan pelabuhan dengan menarik cukai atas bermacam barang dagangan.[27]
Sementara itu sebagian besar bangsawan Bugis di Wajo yang menjadi sekutu Kerajaan Gowa-Tallo juga melakukan pengungsian setelah ibukota kerajaan di Tosora dihancurkan oleh VOC. Namun, para pengungsi Makassar dan Bugis generasi awal telah beradaptasi dengan baik di lingkungan barunya. Kebanyakan orang Bugis menetap di wilayah kepulauan Riau dan Semenanjung Malaya, sedangkan orang Makassar menetap di Jawa dan Madura. Sedangkan dalam jumlah kecil mereka menyebar hampir di seluruh wilayah kepulauan Indonesia.[28]




Perdagangan Suku Bugis-Makasar
Sejak abad 16, Makassar merupakan pelabuhan yang ramai dengan berbagai macam komoditi dari berbagai daerah yang dapat dibeli seperti barang-barang dari Maluku, Bali, Lombok, Sumbawa, Sumba, Flores, Timor, Irian, Jawa, Kalimantan dan Philipina Selatan. Budak, rempah-rempah, prodak dari laut dan juga kayu cendana merupakan produk utama dari daerah timur. Di Makassar pula diperdagangkan produk-produk dari India dan Cina yang didapat dari kehadiran kapal asing di Malaka, atau para pedagang Makasar yang membelinya dari Pelabuhan Malaka. Berdasarkan penggalian reruntuhan benteng Sumbaopu di Makassar, terukir gambar tripang dalam sisa batu bata. Hal ini menunjukan sejak abad ke-16 sesuai dengan pembangunan benteng Sumbaopu, perdagangan tripang sudah ada di Pelabuhan Makassar.
Dalam sumber-sumber abad ke-17 tercatat tripang sudah menjadi produk perdagangan dan konsumsi di Cina Utara dan Jepang. Pada tahun 1763 ada satu junk Cina yang mengunjungi Makassar untuk membeli tripang, jung Cina ini memiliki bobot 600 ton. Sejak itu pelabuhan Makassar tercatat sebagai pasar yang menjual produk tripang yang didatangkan dari berbagai wilayah.  Di antaranya laporan syahbandar Pelabuhan Makasar 1717-1718 mencatat adanya tujuh pikul tripang yang datang dari Buton dan Trambora (Sumbawa).[29]
Dalam kasus perlayaran dan perdagangan tripang orang Bugis-Makassar, pelayaran penangkap-penangkap tripang ke Marege (yaitu nama penduduk Australia dalam bahasa Bugis-Makassar) mengambil rute sebagai berikut: Ujungpandang, Salayar, Wetar, Leti, Moa, selanjutnya ke arah Selatan Tenggara ke Pelabuhan Darwin, dan seterusnya.[30] Produk tripang ini biasanya sudaha diolah (dikeringkan atau diasap) dan dipilah-pilah berdasarkan kualitasnya. Jenis tripang Marege merupakan produk tripang terbaik yang diperdagangkan dan yang ditangkap di perairan Australia.
Kondusifnya Makassar sebagai pelabuhan perdagangan tersebut karena didukung oleh dua faktor yakni faktor dari dalam dan faktor dari luar[31]. Pertama, tumbuhnya kerajaan Gowa menjadi kerajaan yang menghimpun dan melindungi negeri-negeri orang Makassar di sepanjang pesisir selatan jazirah selatan Sulawesi. Kerajaan ini juga menjadikan Makassar sebagai pusat perdagangannya. Kemudian diikuti oleh penyusunan sistem administrasi dan birokrasi negara maritim kerajaan Gowa yang kuat. Kedua, kedatangan orang-orang bangsa Eropa ke Nusantara yang  meramaikan perdagangan di Makassar. Di samping itu dengan kedatangan Portugis ke Makassar, orang-orang Makassar belajar dan memperoleh pengalaman dalam membuat bangunan-bangunan istana yang indah dan mendirikan benteng-benteng pertahanan di pantai. Kemudian dampak faktor ini terhadap kemajuan Makasar adalah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis. Jatuhnya Malaka menyebabkan berpindahnya pusat penyebaran Islam ke bagaian timur Nusantara.
Kondisi tersebut mampu mencatatkan Makassar menjadi pusat perdagangan di Indonesia bagian timur pada awal abad 17. Pada masa itu Makassar memegang supermasi perdagangan sesudah Jawa Timur, yaitu tempat berkumpul barang-barang dagangan terutama rempah-rempah dari Maluku untuk selajutnya dikrim ke barat melalui pedagang-pedagang Melayu yang berpusat di Malaka. Kondisi tersebut terus berlangsung hingga kedatangan VOC di pelabuhan Makassar dan terdiasporanya orang-orang Makassar dari tanah asalnya.

Perkembangan Agama Islam di Kota Pelabuhan Makassar
Kedatangan dan penyebaran agama Islam merupakan satu faktor penting bagi perkembangan bandar-bandar dagang di Nusantara. Kedatangan para “importir” Islam tersebut dimulai dari ujung Sumatera kemudian merayap dan menyebar sampai ke pelosok-pelosok Indonesia. Ada banyak teori yang menyebutkan asal dan tahun kedatangan mereka berdasarkan bukti-bukti yang dimiliki para pengaju teori masing-masing, teori abad ke-7, ke-11, dan ke-13. Namun, sebenarnya perlu dipisahkan tiga pengertian yaitu tahap kedatangan, tahap proses penyebaran, dan tahap perkembangan Islam.[32]
Abad ke-7 digolongkan sebagai tahap permulaan kedatangan. Hal ini ditandai dengan permukiman Tashih di Kota Kuala Brang (Sumatera Selatan) yang saat itu berada dalam kekuasaan Sriwijaya.[33] Belum dapat dipastikan apakah mereka menyebarkan Islam atau tidak. Abad ke-13 dengan didasarkan data yang lebih konkret dengan lahirnya Kerajaan Islam pertama, Samudera Pasai. Barulah masa ini digolongkan dalam tahap penyebaran dan perkembangan Islam di wilayah tersebut, kemudian keluar wilayah dan merupakan proses penyebaran lagi.[34]
Mengenai dari mana pembawa Islam, masing-masing teori kuat berdasarkan fakta-fakta sendiri. Karena itu maka mungkin lebih baik mengatakan Islam disampaikan oleh orang-orang muslim dari Arab, Persia, dan India (Gujarat, Benggala).[35] Namun, seluruh pendapat mempunyai persamaan bahwa pembawa Islam adalah golongan pedagang sehingga motif ekonomi-perdagangan juga merupakan alasan kedatangan mereka ke Nusantara.
Proses penyebaran Islam
Antara kedatangan Islam, terbentuknya masyarakat muslim, lebih-lebih munculnya kerajaan-kerajaan Muslim mengambil proses waktu yang berabad-abad. Dengan demikian pula proses  tersebut melalui bermacam-macam saluran. Secara garis besar proses penyebaran Islam dapat melalui berbagai saluran seperti : perdagangan, perkawinan, birokrasi-pemerintahan, pendidikan (pesantren) tasawuf, cabang-cabang kesenian dan lainnya.[36]
Berbeda dengan daerah-daerah di Indonesia bagian barat, sentuhan pertama Indonesia Timur dengan Islam adalah melalui orang-orang Melayu. Interaksi yang dilakukan tidak hanya terbatas dalam hubungan dagang, melainkan juga dalam penyebaran Islam dan bahkan dalam birokrasi ketika dalam struktur kerajaan banyak orang Melayu yang memainkan peranan penting. Bahkan salah satu sumbangan terbesar orang Melayu untuk Indonesia Timur, khususnya Sulawesi adalah penyebaran agama Islam.
Pada abad ke-15—16 diceritakan oleh Tome Pires bahwa di Sulawesi Selatan terdapat 50 buah kerajaan yang raja dan rakyatnya masih menyembah berhala.[37] Baru lah pada tahun 1632 rombongan Melayu dari Patani tiba di Makassar. Rombongan besar ini dipimpin oleh seorang bangsawan yang bernama Datuk Maharajalela. Kemudian raja Gowa memberikan tempat permukiman di selatan Sombaopu yang sampai sekarang dikenal dengan nama Kampung Patani (Salajo).[38]
Dr. Uka Tjandrasasmita mengatakan bahwa kota-kota muslim mengalami masa pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam di Indonesia dari abad ke-13 sampai abad ke-18.[39] Dengan demikian terbentuknya kota-kota muslim adalah akibat kedatangan dan proses penyebaran Islam. Di Makassar sendiri hal ini terbukti ketika raja Islam pertama Kerajaan Makassar yakni Sultan Alaudin. Bahwa pada masa kekuasaannya (1591—1638), ia berhasil menguasai Pulau Sulawesi, kepulauan Timor, dan sebagian Kalimantan yang menjadikan Makassar menjadi kerajaan Islam terbesar di kawasan Indonesia Timur. Pada masa pemerintahannya pula, kerajaan menjalin persahabatan dengan raja Aceh dan Mataram.[40] Kemudian diteruskan oleh cucu beliau, Sultan Hasanudin, yang di bawah kekuasaanya Makassar dijadikan pusat perdagangan Indonesia Timur dengan menaklukan sebagain besar kawasan tersebut.
Islam memberikan perubahan dalam kehidupan masyarakat di berbagai bidang. Dalam bidang politik pemerintahan adalah seorang sultan sebagai pemimpin negara merangkap sebagai pemimpin agama, raja dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi, penggunaan istilah-istilah Arab dalam jabatan dan pangkat pemerintahan, dan majelis ulama sebagai lembaga penasihat raja dalam kenegaraan dan keagamaan di Makassar.
Tempat-tempat pesisir yang didatangi orang-orang muslim dan tempat terjadinya Islamisasi tumbuh menjadi kota-kota muslim, yang di antaranya berfungsi sebagai kota-kota pelabuhan dan perdagangan dan apa pula sebagai kota-kota pusat kerajaan (pusat politik). Di antara kota-kota muslim di pesisir jelas ada yang berfungsi rangkap yaitu sebagai kota pelabuhan dan pusat pemerintahan.[41] Dengan demikian corak pemerintahan yang berada di pesisir merupakan kerajaan maritim dimana pelayaran dan perdagangan sangat diutamakan.
Letak geografisnya yang sangat menguntungkan, di tengah jalur Malaka-Maluku dan dihalangi gugusan kepulauan Spermonde dari terpaan ombak besar, membuat Makassar kian berkembang. Pemanfaatan sebagai bandar dagang dan sebagai pusat pemerintahan. Bahkan, setelah dikuasai oleh kolonial, Makassar dimanfaatkan dengan baik sebagai bandar dagang persinggahan kapal-kapal Eropa yang berlayar Batavia-Maluku.
Perubahan-perubahan yang dibawa oleh para pembawa Islam telah terjadi dalam bidang sosial, politik, ekonomi, budaya, dan keagamaan melalui proses akulturasi. Oleh karena itu, cara-cara Islam telah memupuk perkembangan berbagai kota pelabuhan di sepanjang pantai Nusantara dengan suburnya.
Kesimpulan
Kitab Negarakertagama (abad 14) telah mecatat nama Makassar. Namun tidak diketahui jelas sejak kapan nama Makassar digunakan untuk nama tempat atau suku bangsa. Nama Makassar pun belum ada arti pastinya, tetapi ada beberapa pengertian dari kata Makassar. Pertama, sebagai nama suku bangsa dan bahasa yang menempati bagian selatan pulau Sulawesi, yang mempunyai adat-istiadat, bahasa, karakter, dan bentuk atau ciri tubuh sendiri dan mereka memakai bahasa Makassar. Kedua, sebagai nama kota yang terletak di pantai selatan Pulau Sulawesi. Ketiga, sebagai nama selat yang terletak antara Sulawesi Selatan dan pulau Kalimantan. Selat ini dari sejak dulu ramai dilayari kapal-kapal.
faktor-faktor sosio-kultural turut mempengaruhi keberhasilan Makassar pada masa itu.  Hal ini antara lain adalah pluralisme yang mendorong gagasan-gagasan baru, penghargaan lebih terhadap hak-hak adat dan kerjasama menguntungkan daripada kekuasaan raja, dan sistem yang dapat meminta tenaga kerja tanpa menekan hak-hak inisiatif. Sistem patron-klien yang berlaku juga memungkinkan terjadinya mobilitas sosial sehingga meningkatkan persaingan dalam iklim politik Makassar.
Dari sisi aspek pelayaran-perdagangan, wilayahnya yang kondusif sebagai pelabuhan perdagangan ikut menjadi faktor keberhasilan Makassar sebagai kota maritim. Hal itu didukung oleh dua faktor yakni faktor dari dalam dan faktor dari luar. Pertama, tumbuhnya kerajaan Gowa menjadi kerajaan yang menghimpun dan melindungi negeri-negeri orang Makassar di sepanjang pesisir selatan jazirah selatan Sulawesi. Kerajaan ini juga menjadikan Makassar sebagai pusat perdagangannya. Kedua, kedatangan orang-orang bangsa Eropa ke Nusantara yang  meramaikan perdagangan di Makassar. Kemudian jatuhnya Malaka ke tangan kolonial menjadi faktor penting pula. Jatuhnya Malaka menyebabkan berpindahnya pusat penyebaran Islam ke bagaian timur Nusantara.
Kondisi-kondisi tersebut mampu mencatatkan Makassar menjadi pusat perdagangan di Indonesia bagian timur pada awal abad 17. Pada masa itu Makassar memegang supermasi perdagangan sesudah Jawa Timur, yaitu tempat berkumpul barang-barang dagangan terutama rempah-rempah dari Maluku untuk selajutnya dikrim ke barat melalui pedagang-pedagang Melayu yang berpusat di Malaka. Kondisi tersebut terus berlangsung hingga kedatangan VOC di pelabuhan Makassar dan terdiasporanya orang-orang Makassar dari tanah asalnya.
Perubahan-perubahan yang dibawa oleh para pembawa Islam juga menjadi aspek penting dalam mendukung suksesnya kota maritim Makassar yang telah terjadi dalam bidang sosial, politik, ekonomi, budaya, dan keagamaan melalui proses akulturasi. Oleh karena itu, cara-cara Islam telah memupuk perkembangan berbagai kota pelabuhan di sepanjang pantai Nusantara dengan suburnya.



DAFTAR PUSTAKA
Lapian, A.B. 2008.  Pelayaran dan Perdagangan Nusantara Abad ke-16 dan 17. Jakarta: Komunitas Bambu.
Pradjoko, Didik. 2007. dalam Dari Kurun Niaga hingga Orde Baru: Bunga Rampai Sejarah Indonesia. Depok: FIB UI.
Paeni, Muchlis, dkk. 1984. Sejarah Sosial Daerah Sulawesi Selatan: Mobilitas Sosial kota Makasar 1900-1950. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Pelras, Christian. 2005. Manusia Bugis. Jakarta: Penerbit Nalar.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka.
Rasyid, Abdul, Restu Gunawan, Moh Hisyam. 2000. Makassar Sebagai Kota Maritim. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Reid, Anthony. 2009. Pluralisme dan Kemajuan Makassar Abad ke-17 dalam Kuasa dan Usaha di Masyarakat Sulawesi Selatan. Jakarta: KITLV-Jakarta.
Sagimun. 1992. Sultan Hasanudin. Jakarta: Balai Pustaka.
Tjandrasasmita, Uka. 2000. pertumbuhan dan perkembangan kota-kota muslim di Indonesia. Kudus: Menara Kudus.



[1]Abdul Rasjid dan Restu Gunawan, Makassar sebagai Kota Maritim, 2000, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, hlm. 1
[2] A.B. Lapian, Pelayaran dan Perniagaan Nusantara abad ke-16 dan 17, 2008, Jakarta: Komunitas Bambu, hlm. 96
[3] Opcit.,
[4] Ibid., hlm. 10
[5] Dr. Muchlis Paeni, dkk, Sejarah Sosial Daerah Sulawesi Selatan: Mobilitas Sosial kota Makasar 1900-1950, (Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984), hlm. 1
[6] Ibid.
[7] Op. Cit., Adul Rasyid. hlm. 9—10
[8] Ibid., hlm. 10—11
[9] Ibid., hlm 11
[10] Ibid., hlm. 11—12
[11] Ibid., hlm. 12
[12] Anthony Reid, Pluralisme dan Kemajuan Makassar Abad ke-17 dalam Kuasa dan Usaha di Masyarakat Sulawesi Selatan, (Jakarta, KITLV-Jakarta, 2009), hlm. 73
[13] Ibid., hlm. 78
[14] Ibid., hlm. 79
[15] Ibid., hlm. 83
[16] Ibid., hlm. 85
[17] Christian Pelras, Manusia Bugis, (Jakarta, Penerbit Nalar, 2005), hlm. 203
[18] Ibid., hlm. 207
[19] Op. Cit., Reid, hlm. 87
[20] Ibid., Reid, hlm. 88
[21] Ibid., hlm. 90
[22] Ibid., hlm. 90-91
[23] A. B. Lapian, Pelayaran dan Perdagangan Nusantara Abad ke-16 dan 17, (Jakarta, Komunitas Bambu, 2008), hlm. 4-5
[24] Ibid., hal 4647
[25]Lihat artikel Didik Pradjoko dalam tentang Pelayaran dan Perdagangan dalam Dari Kurun Niaga hingga Orde Baru: Bunga Rampai Sejarah Indonesia, Depok, FIB UI, 2007, hlm. 20
[26] Ibid., hal. 20—21
[27] Ibid., hal. 21
[28] Ibid., hal 22
[29] Op. Cit., Lapian, hlm. 28
[30] Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia III, (Jakarta, Balai Pustaka, 1993), hlm. 125
[31] Op. Cit., Abdul Rasjid, hlm. 19
[32] Op. Cit., Marwati Djoened Poesponegoro, hlm. 180
[33] Ibid., hlm.182
[34] Ibid.
[35] Ibid., hlm.183
[36] Uka Tjandrasasmita, pertumbuhan dan perkembangan kota-kota muslim di Indonesia, (Kudus, Menara Kudus, 2000), hlm.25
[37] Ibid., hlm.19
[38] Op. Cit., Abdul Rasyid hlm.18
[39] Op. Cit., Uka Tjandrasasmita, hlm.1
[40] Sagimun, Sultan Hasanudin (Jakarta, Balai Pustaka, 1992), hlm. 90
[41] Op. Cit., Uka Tjandrasasmita., hlm.41

Tidak ada komentar:

Posting Komentar