Sabtu, 25 Agustus 2018

Partisipasi Politik dalam Struktur Politik Era Demokrasi Terpimpin


Latar Belakang
            Pembahasan tentang partisipasi politik tak bisa dilepaskan dari keberadaan warganegara yang mendiami wilayah yuridiksi suatu negara. Warganegara (citizen) merupakan elemen penting, di samping keberadaan wilayah dan pemerintah, pembentuk struktur negara. Dengan demikian, partisipasi politik akan menyinggung sistem dan kehidupan politik pemerintahan di mana sistem politik tersebut berlangsung.
Secara harfiah, partisipasi politik berarti keikutsertaan dalam proses politik. Menurut Miriam Budiarjo,  partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara, secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (Budiardjo: 1988) Sedangkan menurut Huntington dan Nelson, Partisipasi Politik yakni kegiatan warganegara yang bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah (Huntington dan Nelson: 1994).
Dari perspektif di atas, partisipasi politik di Indonesia telah berlangsung jauh sebelum Indonesia berdiri secara formal. Rakyat (pengertian lain dari warganegara) merupakan bagian yang terus-menerus diikutsertakan dalam proses politik. Bahkan dalam sistem pemerintahan kolonial, partisipasi politik juga tampak sebagai bagian dari usaha-usaha untuk mendapatkan hak politik kemerdekaan. Namun, para ahli membatasi pembahasan partisipasi politik dalam konteks negara pascakolonial. Pasalnya pemerintah mewujudkan partisipasi rakyat sebagai bagian dari upaya pengelolaan negara. Secara umum, partisipasi politik bisa dalam bentuk terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif (Huntington dan Nelson: 1994).
Di negara-negara demokratis, pemikiran yang mendasari konsep partisipasi politik adalah bahwa rakyat memiliki kedaulatan masing-masing. Hal tersebut diwujudkan melalui kegiatan bersama untuk nenetapkan tujuan-tujuan serta masa depan masyarakat itu dan untuk menentukan orang-orang yang akan memegang tampuk pimpinan. Jadi, partisipasi politik merupakan pengejawantahan dari penyelenggaraan kekuasaan politik yang absah oleh rakyat (Budiarjo: 3).

Permasalahan
            Pascakemerdekaan, Indonesia menjalankan sistem pemerintahan demokratis sebagai wujud komitmen tinggi terhadap kedaulatan rakyat. Namun demikian Indonesia telah berulangkali menyelenggarakan sistem politik bervariasi. Bervariasinya sistem politik tersebut berpangkal pada perbedaan wawasan tentang bagaimana sistem politik demokrasi itu seharusnya cukup tangguh untuk melaksanakan pembangunan dengan partisipasi rakyat seraya menghindarkan timbulnya praktek diktatorial.
Studi sejarah tentang demokrasi Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan menunjukkan adanya empat model pelaksanaan yang mempunyai warna tersendiri. Namun, fase proklamasi kemerdekaan hingga pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda (1945-1949), dimaknai sebagai model pemerintahan yang tidak murni buatan Indonesia. Sejarah menunjukkan bahwa Indonesia tak mandiri dalam menyusun model pemerintahan yang efektif bagi rakyat Indonesia. Saat itu, wacana tentang partisipasi politik jauh dari pembahasan yang penting. Oleh karenanya, para pakar memasukkan periode pemerintahan efektif baru benar-benar terjadi saat Indonesia menjalankan pemerintahan secara mandiri sekitar tahun 1950-an. Yaitu masa demokrasi konstitusional, yang menonjolkan peran parlemen, serta partai-partai dan yang karena itu dinamakan Demokrasi Parlementer.
            Merasa bahwa penyelenggaraan negara tak efektif, Presiden Soekarno saat itu mengubah demokrasi Indonesia yang lebih menguatkan sistem presidensialisme. Baginya, berbagai krisis sosial disebabkan struktur politik yang terlalu terbuka (liberal) dalam wujud demokrasi parlementer. Hal itu terjadi karena kelompok-kelompok politik (dan partai politik) sangat berorientasi pada kepentingan ideologinya sendiri dan kurang memperhatikan kepentingan politik nasional secara menyeluruh. Oleh karenanya, Sistem demokrasi liberal dirasa tidak cocok diterapkan di Indonesia.

Pertanyaan Penelitian
Implementasi kebebasan berkumpul dan berserikat pada Demokrasi Parlementer terlihat jelas dengan masifnya aktivitas berbagai partai politik. Euforia sebelum dan sesudah pemilu pertama Indonesia tahun 1955 menandai tingginya tingkat partisipasi politik warganegara. Bahkan kesulitan teknis kepemiluan yang diikuti 172 partai politik dapat diantisipasi oleh peran aktif setiap fungsionaris partai untuk menjelaskan prosedur pemilu (Feith: X). Namun, prosedur demokrasi yang terlampau hebat justru berdampak negatif seperti persaingan tidak sehat dan kekacauan di masyarakat.
Dengan kondisi parlemen dan masyarat yang terus tak stabil, presiden melakukan tindakan mengeluarkan keputusan Presiden RI No. 75/1959, sebuah dekrit yang selanjutnya dikenal dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Tujuan dikeluarkan dekrit adalah untuk menyelesaikan masalah politik yang semakin tidak menentu dan untuk menyelamatkan negara. salah satu kebijakan Demokrasi Terpimpin yang kontras dari sistem parlementer adalah kebijakan penyederhanaan partai politik.
Sebagaimana diketahui, partai politik merupakan salah satu saluran partisipasi politik warganegara. Partai politik dibentuk tidak hanya dengan tujuan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan tetapi juga bertujuan untuk bisa menjadi wadah penampung aspirasi masyarakat yang dilaksanakan melalui fungsinya sebagai jembatan antara yang memerintah dan yang diperintah. Oleh karena itu, pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menghasilkan pertanyaan soal bagaimana bentuk partisipasi politik pada masa Demokrasi Terpimpin?

Landasan Teoritik
            Telah dijelaskan di atas bahwa konsep partisipasi politik adalah proses ikut sertanya warganegara dalam kehidupan politik di suatu negara. Menurut Miriam, fokus utamanya adalah usaha-usaha untuk mempengaruhi (Budiardjo: 2). Artinya, pengertian tersebut berfokus lebih luas dari wujud kegiatan partisipatif dan bersifat abstrak. Miriam menggunakan istilah “political efficacy” untuk efek dari kegiatan politik yang dilakukan warganegara. Terlepas bahwa tindakan politik tersebut sedikit memberi pengaruh atau hanya menjadi perhatian pemangku kebijakan.
Untuk menjawab pertanyaan tentang partisipasi politik, tulisan ini akan diarahkan pada karya Huntington dan Nelson (1994) yang secara spesifik membahas tipikal partisipasi politik di negara berkembang. Penulis membuat model-model alternatif yang menghubungkan partisipasi politik dengan variabel-variabel pembangunan lainnya. Model tersebut tediri dari: model borjuis, otokratis, populis, dan teknokatis.
Mengacu kerangka teori yang dirumuskan Huntington dan Nelson, tulisan ini hendak menjawab pertanyaan penelitian dengan cara mencocokkan model partisipasi politik seperti apa yang diterapkan era Demokrasi Terpimpin. Tinjauan kesejarahan terhadap sistem pemerintahan pada era Demokrasi Terpimpin menunjukkan tujuan politik yang berbeda dengan era sebelumnya. Oleh karenanya, ia akan berpengaruh secara langsung atau tidak langsung terhadap model partisipasi politik pada masa itu.

Uraian
Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dimulai dengan berlakunya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Sebenarnya, simbol Demokrasi Terpimpin terpimpin mulai dominan sejak pertengahan tahun 1958 ketika terjadinya pertentangan antara pemerintah pusat dengan para pemimpin Sumatera yang mendirikan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) beberapa bulan sebelumnya. Menurut Feith (1988), pengambilalihan semua hak milik Belanda dalam bulan Desember 1957 menyebabkan timbulnya susunan politik baru, di mana pemerintah jauh lebih bersifat otoriter, sedangkan partai-partai dan parlemen sangat lemah. Soekarno dan para pemimpin Angkatan Bersenjata jauh lebih besar perannya.
Isi Dekrit Presiden adalah:
a. Pembubaran konstituante
b. Tidak berlakunya UUDS 1950 dan berlakunya kembali UUD 1945.
c. Pembentukan MPRS dan DPAS

Dekrit Presiden mempunyai implikasi luas pada perubahan sistem ketatanegaraan dan peta politik Indonesia. Pertama, tindakan tersebut mengakhiri tugas kabinet, parlemen, dan periode sistem parlementer itu sendiri. Kedua, berakhirnya periode parlementer tersebut sekaligus mengakibatkan berakhirnya pula periode pemerintahan oleh partai politik. Ketiga, berubahnya sistem negara dari model parlementer ke model presidensial di bawah kekuasaan Presiden Sukarno.
Pandangan negatif Soekarno terhadap sistem liberal pada akhirnya berpengaruh terhadap kehidupan partai politik di Indonesia. Partai politik dianggap sebagai sebuah penyakit yang lebih parah daripada perasaan kesukuan dan kedaerahan. Penyakit inilah yang menyebabkan tidak adanya satu kesatuan dalam membangun Indonesia. Pendapat Soekarno banyak diamini oleh berbagai lapisan masyarakat. Fragementasi politik yang terlalu besar berakibat luas tak hanya di tataran elite, namun juga di level masyarakat.
Menurut Ricklefs (2008), upaya ilmuan mendeskripsikan Demokrasi Terpimpin bercorak determinasi psiko-kultural sosok pemimpin Jawa. Isbodroini (1978) menggunakaan neo tradisionalisme dalam pemikiran Soekarno dengan corak pemikiran akomododatif (sinkretik). Soekarno dilihat sebagai pusat legitimasi kekuasaan yang diperlukan bagi pemimpin lainnya. Walaupun memang terlihat identik, Ricklefs banyak menganulir identifikasi yang tak sama antara Soekarno dengan raja-raja Jawa.


Struktur Politik
Dalam pidatonya pada peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus 1959, Sukarno menguaraikan ideologi Demokrasi Terpimpin yang kemudian dinamakan Manipol (Manifestasi Politik) yang isinya berintikan USDEK (Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia). Sebagai konsep politik negara, Manipol-USDEK harus diterima dan dijalankan dalam setiap aktifitas berbangsa dan bernegara. MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) yang merupakan institusi bentukan presiden menetapkan Manipol USDEK sebagai GBHN (Garis Besar Haluan Negara). GBHN menjadi alat pemersatu dalam upaya pembangunan nasional tanpa lagi melihat perbedaan ideologi politik dan identitas primordial. Temasuk dalam berbagai tingkatan pendidikan dan kantor pemerintahan.
Suatu badan lain yaitu Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang diketuai oleh Presiden Soekarno yang fungsinya memberi masukan atau pertimbangan kepada presiden. sementara, DPR hasil Pemilu tahun 1955 tetap menjalankan tugasnya dengan landasar UUD 1945 dan dengan menyetujui segala perombakan yang dilakukan pemerintah, hingga dibentuk DPR baru. Namun, insiden penolakan RAPBN 1960 oleh DPR justru membuat Soekarno langsung menyusun komposisi DPR baru yang bernama DPR-GR (Gotong Royong). Melihat komposisinya, perbandingan perwakilan golongan Nasionalis, Islam, dan Komunis adalah 44, 43, 30 orang. Jika dibandingkan komposisi pemilu 1955, terjadi peningkatan untuk golongan Nasionalis dan Komunis. Kerugian bagi kelompok Islam. keputusan ini jelas mencerminkan salah satu ciri Demokrasi Terpimpin lewat perimbangan ideologi (Nasakom).
Soal perwakilan partai, terdapat variasi sikap dan pendapat. Mr Ishaq (tokoh senior PNI) mengatakan bahwa anggota partai mereka yang duduk di DPR-GR bukalah wakil PNI karena hubungan antara mereka dan PNI tidak ada lagi, sebab mereka duduk dalam DPR-GR itu atas hasil penunjukkan (Poesponegoro dan Notosusanto, 1993). Salah satu bentuk perlawanan elite politik atas DPR-GR adalah “Liga Demokrasi” yang tersusun dari kelompok partai yang tak setuju dengan ide nondemokratis Soekarno.
Organisasi selanjutnya yang dibentuk Soekarno adalah Front Nasional yang dijadikan sebagai basis massa Soekarno dalam menggaungkan semangat nasionalisme dan revolusi. Selain itu Front Nasional dijadikan alat mobilisasi politik untuk pengerahan massa dalam menerima tamu negara, perayaan-perayaan hari bersejarah dan mengadakan kursus-kursus kader. Kursus-kursus kader ini dianggap penting karena merupakan usaha indoktrinasi yang paling ampuh (Febriani, 1990). PKI dan  ideologi komunis yang merupakan bagian dari ideologi Nasakom mendapat keuntungan yang besar atas indoktrinasi ini dan melakukan berbagai infiltasi kader ke berbagai institusi/lembaga politik dan masyarakat.
Sebenarnya hanya di sebagian masyarakat politik saja Manipol-USDEK diterima sepenuh hati, sedangkan di sebagian yang lain menaruh kecurigaan dan kekhawatiran. Manipol-USDEK itu sendiri tidaklah begitu jelas. Selain itu, bukan pula suatu upaya untuk menyelaraskan semua pola penting dari orientasi politik yang ada di Indonesia. Ideologi negara apapun belum mampu menjembatani perbedaan-perbedaan besar orientasi politik kutub aristokratis Jawa dan kutub kewiraswastaan Islam. Pada pelaksanaannya, Manipol-USDEK tidak mampu mengatasi permasalahan tersebut. Jadi, banyak kalangan Islam yang kuat keyakinannya, khususnya dari suku bukan Jawa, melihat rumusan baru itu sebagai pemikiran yang asing. Karena itulah maka pelaksanaan manipol Usdek dapat disimpulkan dilakukan dengan paksaan.
Berdasarkan pemikiran tersebut maka langkah yang diambil pemerintah Sukarno adalah melakukan seleksi dan penyederhanaan partai politik. Dengan dikeluarkanya Pen-pres No.7 1959 pada tanggal 31 Desember 1959 tentang syarat-syarat dan penyederhanaan partai maka menjadi pertanda dimulainya intervensi politik pemerintah terhadap partai-partai. Pemerintah hanya mengakui adanya 10 partai politik yaitu : PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partai Indonesia, Murba,   PSII, IPKI, Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Persatuan Tarbiyah Islam.
Soekarno berusaha mengumpulkan seluruh kekuatan politik yang saling bersaing dari Demokrasi Terpimpin dengan jalan turut membantu mengembangkan kesadaran akan tujuan-tujuan nasional. Ia menciptakan suatu ideologi nasional yang mengharapkan seluruh warga negara memberi dukungan kesetiaan kepadanya. Pancasila ditekankan olehnya dan dilengkapi dengan serangkaian doktrin seperti Manipol-Usdek dan Nasakom.
Pada masa Orde Lama, fungsi pers secara tersurat terkandung dalam ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960 yakni sebagai alat membangun kesadaran revolusi. Surat Ijin Terbit (SIT) diperketat dengan ketentuan 19 pasal yang msengandung janji pertanggungjawaban surat kabar atau majalah tersebut dalam mendukung Manipol Usdek. (Poesponegoro dan Notosusanto, 1993).

Lembaga Ekonomi
Sebagaimana yang termaktub dalam Manipol Demokrasi Terpimpin, pemerintah mengambil beberapa kebijakan ekonomi penting guna menanggulangi keadaan ekonomi dan keuangan Indonesia mengalami masa suram. Untuk melaksanakan pembangunan Ekonomi Terpimpin, Kabinet Karya membentuk Dewan Perancang Nasional (Depernas) yang dipimpin oleh Muh. Yamin dengan anggota berjumlah 50 orang. Dalam waktu singkat, Depernas berhasil menyusun Rancangan Dasar Undang-Undang Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan tahun 1961-1969. Tahun 1963, Depernas diganti oleh Badan Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas) yang dipimpin langsung oleh Presiden Soekarno. Bappenas bertugas menyusun rencana jangka panjang dan rencana tahunan, baik nasional maupun daerah, mengawai dan menilai pelaksanaan pembangunan dan menyiakan dan menilai mandataris untuk MPRS (Poesponegoro dan Notosusanto: 1993).
Dalam perjalanan pembangunan ekonomi, tim ekonomi Soekarno melihat bahayanya peredaran uang yang terlalu banyak di masyarakat. Untuk itu, upaya pemerintah untuk mengatasi inflasi adalah dengan cara melakukan sanering yang berlaku tanggal 25 Agustus 1959 pukul 06.00 pagi. Peraturan ini bertujuan mengurangi banyaknya uang yang beredar yang mengakibatkan tingginya angka inflasi untuk kepentingan perbaikan keuangan dan perekonomian negara.
Salah satu kebijakan Ekonomi Terpimpin adalah perjuangan reformasi agraria. Pada era yang lebih dikenal sebagai Demokrasi Terpimpin inilah lahir momen yang sangat bersejarah, yakni diundangkannya UU No. 5 tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA). Reformasi agraria ini menegaskan fungsi sosial dari tanah serta larangan dominasi pihak swasta dalam sektor agraria. Ini merupakan kemenangan kecil bagi kaum tani miskin. “Molornya” waktu pelaksanaan reformasi agraria itu, antara lain, karena perjuangan merebut kembali Irian Barat dari tangan kolonialis Belanda pada kurun waktu 1961-1963. Selain itu, ketidaksiapan birokrasi dan belum dicabutnya status negara dalam keadaan darurat perang (SOB) oleh militer turut memperlambat jalannya land reform.
 Dalam tataran politik, model pembangunan Demokrasi Terpimpin mendekati jenis partisipasi politik otokrasi, dimana sumber kekuatan politik terletak pada satu orang yaitu pemimpin negara (pemusatan kekuasaan). Konsep nasakom ialah konsep mempersatukan tiga ideologi yang sebenarnya memiliki landasan epistemologi berbeda, tapi berusaha disatukan sebagai ladasan philosofis kebangsaan.
Demokrasi terpimpin yang lahir sebagai antitesa dari kegagalan demokrasi liberal pada akhirnya menjadi sebuah sistem politik yang totaliter, otoriter dan bersifat diktaktor, begitu juga dengan konsep nasakom yang pada awalnya diciptakan untuk mempersatukan semua kekuataan-kekuatan politik yang ada, menjadi paham yang memaksakan homogenitas pemikiran, pihak-pihak yang tidak setuju dengan demokrasi terpimpin dan nasakom akan dijustifiaksi sebagai antek-antek neo imperialisme kolonialisme dan kontra revolusi.
   Pemusatan kekuasaan di tangan Soekarno menjadikan dirinya seorang tiran yang memberangus kebebasan berdemokrasi, lembaga-lembaga negara yang tidak sehaluan dengan arah kebijakanya kemudian dibubarkan. Demokrasi Terpimpin menutup partisipasi politik kelompok menengah. Beberapa tokoh politik tidak luput dari represifnya, mereka yang berasal dari Masyumi dan PSI, menjadi sasaran kebijakan demokrasi terpimpinya, mereka banyak dijebloskan ke penjara karena sikap politiknya yang bersebrangan dengan yang digariskan oleh penguasa.
Strategi kebijakan ekonomi Demokrasi Terpimpin sebenarnya mirip dengan model otokratis dengan mengedepankan upaya pertumbuhan dan pemerataan ekonomi. Untuk mencapai kesejahteraan rakyat jelata, tidak bisa hanya dengan mengandalkan demokrasi politik saja. Akan tetapi perlu diadakannya pendemokrasian dalam segala bidang, terutama dalam bidang ekonomi. Lewat doktrin Ekonomi Terpimpin, Soekarno membangun tim-tim yang bekerja untuk membangkitkan perekonomian Indonesia. Keberadaan Bappenas mengawali konsep strategi pembangunan ekonomi tahunan dan jangka panjang pemerintah.
Implementasi reformasi agraria merupakan ciri penting dari model partisipasi politik otokratik. Usaha untuk meningkatkan perekonomian rakyat sekaligus menghapus tanah partikelir dan desa perdikan. Jika pemerintah mampu melaksanakan land reform itu, kecenderungan ke arah ketimpangan ekonomi akan diakibatkan pertumbuhan ekonomi akan bisa diatasi. Untuk mencapai hasil tersebut diperlukan konsentrasi kekuasaan negara dan pelaksanaan kebijakan pemerintah oleh birokrasi.
Pelaksanaan kebijakan ekonomi Demokrasi Terpimpin tak mampu memberikan dampak positif yang berarti terhadap pertumbuhan ekonomi. Bahwa segala tindakan moneter tak berhasil mencapai sasarannya karena pemerintah tidak mempunyai kemauan politik untuk menahan diri dalam pengeluaran-pengeluarannya (Poesponegoro dan Notosusanto: 1993). Proyek infrastruktur Mercusuar Ganefo dan Conefo tak mampu menahan laju inflasi yang terus meningkat setiap tahunnya.
Persatuan yang dislogankan melalui beberapa media propaganda ternyata hanya mampu mempersatukan elemen-elemen politik ditingkat permukaan saja, terbukti setelah pecah tragedi 30 September 1965 persatuan yang selama ini dipropagandakan pemerintah tidak mampu mencegah pembantaian terhadap jutaan orang-orang yang dituduh komunis. Konsep integralistik beberapa aliran ideologi yang dirumuskan oleh Soekarno terbukti telah gagal mempersatukan masyarakat Indonesia.

Kesimpulan
Dekrit Presiden mempunyai implikasi luas pada perubahan sistem ketatanegaraan dan peta politik Indonesia. Dalam tataran politik, model pembangunan Demokrasi Terpimpin mendekati jenis partisipasi politik otokrasi, dimana sumber kekuatan politik terletak pada satu orang yaitu pemimpin negara (pemusatan kekuasaan). Konsep nasakom ialah konsep mempersatukan tiga ideologi yang sebenarnya memiliki landasan epistemologi berbeda, tapi berusaha disatukan sebagai ladasan philosofis kebangsaan.
Implementasi reformasi agraria merupakan ciri penting dari model partisipasi politik otokratik. Selain itu, ciri khas doktrin Ekonomi Terpimpin, Soekarno membangun tim-tim yang bekerja untuk membangkitkan perekonomian Indonesia. Keberadaan Bappenas mengawali konsep strategi pembangunan ekonomi tahunan dan jangka panjang pemerintah. Sehingga, upaya total dalam membangun ekonomi terlihat masif dengan struktur lembaga-lembaga ekonmi yang dibuat.


Temuan Penelitian
Diskursus penting tentang partisipasi politik soal keikutsertaan dalam konteks proses politik. Ia adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik yaitu dengan jalam memilih pimpinan negara, secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah. Namun, fakta tentang partisipasi politik pada masa Demokrasi Terpimpin dilakukan dengan cara otoriter lewat aksi represi memberangus kebebasan berdemokrasi dan membubarkan lembaga-lembaga negara yang tidak sehaluan dengan arah kebijakanya.
Lewat perspektif Huntington Nelson, pembangunan politik yang dilakukan Soekarno memang searah dengan model otokrasi. Secara sepihak, Soekarno melakukan satu perubahan penting di bidang politik dengan mengubah sistem pemerintahan parlementer ke sistem presidensial. Lewat berbagai institusi negara yang dibentuknya—termasuk orang-orang pilihanya, Soekarno melakukan penertiban politik lewat dokrin Manipol Usdek. Kemudian, ia menjalankan partipasi politik berdasarkan kerangka model otokratik di tahap pertama.


Implikasi Teori
Jika penggambaran di atas tepat, maka model pembangunan politik yang masa Demokrasi Terpimpin adalah otokratis. Partisipasi rakyat lebih banyak bersifat digerakkan (mobilized). Bahkan lebih jauh, doktrin politik Manipol Usdek menjadi wahana manipulasi yang sebenarnya kebijakan yang keliru yang dilakukan pemerintah Demokrasi Terpimpin, atau setidak-tidaknya belum dibutuhkan oleh masyarakat saat itu.
Kerangka analisis Huntington Nelson terhadap model partisipasi politik kemudian menimbulkan pertanyaan dalam konteks sejarah Indonesia. Dalam mengidentifikasi tipe partisipasi, sebenarnya apakah satu periode kekuasaan harus berangkat dari tahap satu lalu secara perlahan masuk ke tahap dua. Padahal, bisa saja pergantian penguasa bukan berarti harus mengulang lagi dari pertama. Sebagaimana temuan penelitian di atas, periode kekuasaan Demokrasi Terpimpin cocok dengan tahap satu model otokratik, namun tak bisa berlanjut pada tahap kedua karena terjadi tragedi sosial politik yang mengakibatkan runtuhnya kekuasaan Demokrasi Terpimpin.



Referensi
Argenti Gili, Dini Sri Istiningdias. 2017. Pemikiran Politik Soekarno tentang Demokrasi Terpimpin. Karawang: Jurnal Politikom Indonesiana.
Budiardjo, Miriam (ed). 1998. Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta: Obor Indonesia.
Feith, Hebert, Lance Castle, 1988. Pemilkiran Politik Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Huntington, Samuel, Joan Nelson. Partisipasi Politik. Jakarta: Rikena Cipta Press.
Poesponegoro Marwati, Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka.
Ricklefs. 2008. Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: Serambi
Zesfi Febriani Front Nasional pada masa demokrasi terpimpin (1959-1965) 1990

Tidak ada komentar:

Posting Komentar