Jumat, 09 Februari 2018

Pemikiran-Pemikiran tentang Liberalisme

A. Pengantar
Sumbangan Barat (Eropa) dalam tradisi keilmuan dan pemikiran politik diyakini merupakan tonggak awal perkembangan faham-faham politik di seluruh dunia. Tanpa mengucilkan peradaban-peradaban di belahan bumi lainnya pada rentang periode yang sama, sejarah menunjukkan bahwa tanah Eropa menghasilkan berbagai konsep politik yang solid dan koheren hingga pada gilirannya pemikiran politik Barat banyak diadaptasi oleh berbagai entitas politik di berbagai tempat, atau sekurang-kurangnya sekadar dipelajari. Atas sumbangan tersebut, telah banyak akademisi mencoba merangkum pemikiran politik Barat sebagai wujud dokumentasi warisan intelektual agar terus dikaji dan dikembangkan untuk kepentingan ilmu pengetahuan.[1]
Dalam melacak pemikiran politik Barat, peran peradaban Yunani kuno memiliki peran yang sangat penting. Yunani kuno dianggap sebagai nenek moyang ‘kita’ dalam lingkungan politik, baik secara ideologi, mitologi, dan simbolis.[2] Berbagai istilah yang dikenal lahir di sana seperti monarki, tirani, oligarki, aristokrasi, demokrasi dan lain sebagainya menjadi legitimasi yang fundamen di atas bangunan politik sebagai ilmu pengetahuan. Lewat perspektif yang berbeda, Suhelmi menilai pemikiran Barat berbeda dengan tradisi pemikiran Yunani kuno. Pasalnya, ada konsep kelahiran kembali (rebirth) dari “puing-puing” kehancuran peradaban tersebut. Oleh karenanya, ia menyebut pemikiran Barat berhutang budi kepada peradaban Yunani—termasuk Romawi, Judeo-Kristiani, dan Islam.[3]
Salah satu sumbangan pemikiran politik Barat yang terkenal hingga kini adalah liberalisme. Ia merupakan istilah yang berasal dari bahasa Latin liber, yang artinya “bebas”. Dalam sejarah pemikiran politik barat, ideologi liberalisme masuk kategori yang hadir belakangan di antara berbagai ideologi politik yang lain. Namun, liberalisme muncul sebagai konsep politik justru pada awal abad ke-19 lewat nama partai politik Liberales di Spanyol yang membawa misi perubahan sistem negara menjadi pemerintahan konstitusional.[4] Liberalisme awalnya dikenal sebagai istilah yang bermakna “murah hati” dan “toleran” (generous and tolerant) di dalam masyarakat. Ia digunakan untuk merujuk pada orang yang memperlakukan orang lain dengan cara yang santun (gentleman).[5] Pada perkembangan selanjutnya, liberal (dan liberalisme) menjadi sebuah istilah yang merujuk pada suatu cara pandang dan ideologi dalam pemikiran politik hingga saat ini.
B. Permulaan Liberalisme
Dalam perkembangan sejarah, liberalisme menjadi faham yang terkenal dan sangat berpengaruh dalam rentang periode yang panjang. Liberalisme tidak ditemukan sekaligus dan tak ada tokoh yang mengakuisisi liberalisme sebagai miliknya pribadi. Sebagaimana disebut di atas, konsep politik ini lahir dari fenomena di masyarakat yang merujuk pada sikap individu yang murah hati dan toleran. Oleh karenanya, liberalisme merupakan mozaik pemikiran yang dikembangkan oleh banyak tokoh dan perkembangannya adalah sebuah proses dari wacana publik yang berkembang di masyarakat. Sehingga secara umum, proses keberterimaan faham liberalisme menjadi konsensus alami di masyarakat.
Walau muncul belakangan, liberalisme merupakan sebuah ideologi politik pertama di dunia. Sebagai ideologi, liberalisme merupakan seperangkat nilai yang mengendalikan manusia pada kebenaran mutlak tentang konsep hak asasi manusia yang tak boleh dilanggar oleh siapapun. Mengutip ball, ideologi adalah seperangkat ide yang koheren dan komprehensif yang menjelaskan dan mengevalusi kondisi sosial, membantu orang memahami peran manusia dalam masyarakat, dan menyediakan program sosial dan tindakan politik.[6] Oleh karenanya, liberalisme mengatur tindakan manusia untuk bertindak sesuai kebenaran mutlak yang dipercayainya.
Dari perspektif historis, perkembangan awal liberalisme di daratan Eropa muncul karena tiga faktor: Pertama, fenomena perkembangan seni dan kreativitas yang berlepas dari dogma-dogma agama kristen pada abad 14-15 yang dikenal sebagai abad pencerahan (Enlightenment atau Renaissance). Bahkan, semua ciri liberalisme merupakan aspek penting yang diciptakan masa ini.[7] Tradisi pencerahan yang lahir di tanah Italia membawa spirit sekularisme pada perkembangan pemikiran manusia Eropa. Faktor kedua adalah progresivitas penemuan alat-alat mekanis yang sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat dalam satu masa yang dikenal dengan revolusi industri (scientific revolution). Perkembangan sain dan teknologi yang cepat saat itu membawa perubahan masyarakat secara signifikan dari masyarakat agraris menjadi industri. Sementara, Ball melihat hal ini dari kacamata lain dengan menyebutnya sebagai fase “exploration new world” untuk mencari wilayah kehidupan baru. Fenomena ini menjadi simbol kebebasan berpikir dan munculnya harapan baru bagi para individu yang menolak nilai-nilai konservativisme di masyarakat dengan cara meninggalkan wilayahnya. Terakhir, adalah peristiwa sejarah dinamai Reformasi Gereja (Protestant Reformation), sebuah gerakan yang menuntut domestifikasi gereja dari urusan-urusan sosial dan politik.[8]
Dari faktor-faktor di atas, fenomena reformasi gereja menjadi peristiwa sejarah yang berdampak sangat penting terhadap masyarakat Eropa. Lewat konsep “calling” (panggilan Tuhan),  manusia mengubah perspektif mereka tentang pentingnya konsep determinasi hidup yang mewajibkan manusia berusaha dalam kehidupannya. Dalam sejarahnya, peristiwa ini bermula saat seorang pendeta Kardinal Jerman, Martin Luther menempelkan 99 tuntutannya di pintu-pintu gereja pada tahun 1521. Namun, realitasnya Martin Luther hanyalah merupakan bagian dari gelombang protes yang sudah muncul sebelumnya. Ia ibarat letupan besar di antara letupan-letupan kecil, hanya saja pendeta ini melakukan pembangkangan dalam momentum sejarah yang tepat. Penemuan mesin cetak pada masa itu dijadikan medium memperluas pemikirannya hingga menghasilkan kesadaran luas di masyarakat dan memperoleh banyak dukungan pada gerakannya. Perlindungan Raja Jerman terhadap keselamatan nyawanya menjadikan nafas reformasi bersejarah ini semakin ekslatif dan mampu mengubah kebijakan gereja yang meyampuri urusan politik dan keamanan. Namun, pergerakan yang menghasilkan sekte Protestan dalam agama Kristiani ini bukan peristiwa sederhana. Prosesnya mengorbankan banyak perang sipil dan menciptakan revolusi di berbagai kerajaan Eropa. Anehnya, tak ada jejak pemikiran liberal pada sosok religius Luther, bahkan ia sendiri tak pernah menuntut reformasi pemisahan antara negara dengan gereja. Namun, secara tidak diinginkan para tokoh reformasi geraja justru menciptakan jalan bagi terciptanya pemikiran-pemikiran liberalisme di tengah masyarakat.
Lebih dari tiga abad, gagasan tentang liberalisme berdialektis dengan kondisi politik yang ada untuk memperjuangkan kebebasan individu. Selama era Kerajaan Suci Romawi, dominasi gereja telah secara dalam menyetir bagaimana manusia berpikir dan berkehendak. Kebenaran merupakan monopoli Gereja, dan tak diperbolehkannya penafsiran ajaran agama. Segala pembangkangan pemikiran dari perspektif yang dimiliki gereja dilabeli murtad (atau tukang sihir) dan bisa diganjar mati. Membonceng berbagai peristiwa sejarah yang berdarah sebagaimana dijelaskan di atas, liberalisme bertransformasi menjadi sebuah gerakan (movement) dengan inti perjuangannya adalah kebebasan rasionalitas dan kehendak bebas. Namun, proses keduanya tak berjalan sekaligus. Kehendak bebas (individual conscience) sebagai perwujudan dari pikiran bebas yang muncul belakangan seiring dengan semangat perlawanan bersama pada kekuasaan Kristiani.
Gagasan tentang liberalisme terus berkembang seiring dengan masih relevannya ideologi tersebut sampai hari ini. Mengingat arah tulisan ini banyak mengutip gagasan filsuf-filsuf klasik, secara praktis penulis mengambil garis batas untuk mengungkapkan pemikiran-pemikiran awal tentang liberalisme. Tulisan Schapiro menjadi panduan yang tepat untuk menjelaskan ciri-ciri gagasan liberalisme. Dalam bukunya yang berjudul “Liberalis: History and Its Meaning”, Schapiro menggambarkan ciri-ciri awal pemikiran Liberalisme dari tokoh klasik Sokrates hingga Presiden ke-32 Amerika Serikat Franklin D. Rossevelt. Menurutnya, ada sepuluh konsep kunci tentang liberalisme yang ditemukan pada semua pemikir liberal.[9] Lantaran gagasan yang saling berkelindan satu sama lain, secara proporsional penulis mencoba menggabungkan ciri-ciri yang sebangun agar tak ada kesan konsep yang terpisah-pisah. Agar tak bias dengan berbagai konsep liberal yang kita kenal saat ini, secara spesifik tulisan ini hanya membahas tentang liberalisme di bidang politik.
C. Ciri Pemikiran Liberal
·         Nature
Para pemikir liberal berangkat dari kondisi alamiah manusia (state of nature). Para filsuf dari berbagai era secara khas membangun hipotesis tentang keadaan manusia tanpa pemerintah (negara) yang digambarkan dalam versi yang berbeda-beda. Asumsi mereka tentang keadaan alamiah sangat bergantung pada proses pembelajaran hidup yang mereka alami, walhasil premis dan kesimpulan pada akhirnya banyak yang saling bertolak belakang. Misalnya tentang sifat alamiah manusia yang digambarkan secara kontras oleh Hobbes dan Locke. Filsuf pertama menilai sifat dasar manusia adalah jahat dan mementingkan diri sendiri. Sedangkan, Locke melihat sebaliknya yang kemudian diamini dan dilengkapi oleh Rousseau bahwa sifat-sifat buruk manusia terbentuk akibat struktur sosial. Bahkan, bagi Roussseau manusia bersifat netral, sifat baik/buruk dipelajarinya dari masyarakat.[10]
Kesamaan pemikir liberal soal alam adalah tentang hukum alam (law of nature). Bahwasanya, pembentukan institusi politik merupakan gerak alami yang berasal dari kebutuhan manusia. Meminjam istilah Yunani, manusia sebagai makhluk sosial saling membutuhkan dan bekerja sama. Namun, wujud institusi politik yang ideal menurut para pemikir liberal berbeda-beda didasarkan pada fakta sosiohistoris yang terjadi di wilayah.
·         Rasionalitas
Ciri penting liberalisme yang kedua adalah akal budi (reason). Secara umum, akal budi adalah inti pemikiran liberalisme yang berlepas dari batasan-batasan yang berciri transendental. Secara historis, gagasan liberalisme adalah gerakan pembangkangan pada doktrin Katolikisme. Sebagaimana nafas Abad Pencerahan (Rainessance), nalar menjadi pemandu manusia berkehendak. Gagasan ini diteruskan oleh keyakinan bahwa manusia adalah makhluk yang mampu menjawab segala persoalan yang dihadapinya dengan kekuatan akal. Manusia renaisans adalah manusia yang berpikir merdeka (bebas) dan memiliki human dignity dan self-determination.[11] Gagasan tentang kebebasan berpikir bertalian secara langsung dengan kebebasan bertindak. Atas nama hak asasi manusia, liberalis memperjuangkan kebebasan individu di bidang sosial, politik, ekonomi, dan agama.
·         Sekularisme
Berangkat dari konsep akal budi sebelumnya, progresivitas nalar manusia bisa dikalahkan oleh fanatisme, dogmatisme, dan ketidakmasukakalan.[12] Akibat perkembangan ilmu pengetahuan, manusia berlomba menaklukan alam dengan ilmu pengetahuan. Kebenaran diukur berdasarkan parameter sains dan teknologi. Manusia mendewakan rasio dan perlahan memitoskan agama. Gagasan ini berhubungan langsung dengan konsep serba duniawi (worldly) yang kemudian dikenal dengan istilah sekularisme.
·         Toleransi
Ciri khas lain yang cukup fundamental dari liberalisme adalah sikap toleransi. Sebagaimana asal kata liber adalah toleran, sikap menghargai kebebasan orang lain merupakan bagian dari liberalisme itu sendiri. John Locke adalah tokoh pionir yang menceritakan pentingnya penghargaan kepada orang lain. Atas prakarsanya yang diakui luas, Locke dikenal sebagai bapak HAM dunia. Dalam esai-esainya tentang toleransi (Letter Concerning Toleration), ia mencontohkan kebebasan memeluk agama sebagai sikap yang harus dihargai oleh semua orang. Baginya, keliru jika pemerintah memaksa seseorang untuk memeluk agama tertentu. Agama merupakan ranah privat yang tak bisa diintervensi oleh pemerintah.[13]
Serupa dengan Locke, Voltaire juga mengkritik adanya intoleransi beragama semasa hidupnya. Latar belakang keduanya yang merupakan seorang penganut Protestan (Calvinis) tentu menjadi motif penting mengapa kedua filsuf ini perhatian pada kebebasan beragama. Mereka sepakat bahwa agama lepas dari campur tangan pemerintah sebatas tak ada kekacauan publik yang ditimbulkannya. Namun yang menarik, pada masa itu, Voltaire sudah lebih terbuka dengan mengatakan bahwa orang Turki, China, dan Yahudi adalah saudaranya.[14] Gagasan tentang kebebasan dari kedua tokoh ini kemudian berkembang pada toleransi dalam segala hal yang kemudian terkenal dengan jargon “justice for all.”
·         Kebebasan intelektual
Tradisi rasionalisme Renaissance membawa manusia pada kebebasan untuk memikirkan segala hal. Sebagaimana pemikiran tentang toleransi beragama, kebebasan intelektual merupakan upaya perjuangan terhadap pembatasan yang dilakukan negara dan gereja. Di hampir semua negara Eropa, terjadi penyensoran terhadap materi cetak yang jelas mengekang kebebasan intelektual. Filsuf yang mengkritik sensor buku atas nama kebebasan berpikir adalah John Milton dalam karyanya Areopagitica. Milton menyebut rendah pemerintah dan gereja yang ‘menahan’, ‘memenjarakan’, dan menganggap buku sebagai penjahat. Milton menganalogikan jika manusia membunuh manusia artinya mengingakari ciptaan Tuhan. Jika manusia menghancurkan buku maka ia membunuh rasio sekaligus ciptaan dari ciptaan Tuhan.[15]
Gerakan pencerahan intelektual yang diprakarsai oleh institusi pendidikan bergerak lamban akibat pembatasan tersebut. Namun, pendidikan tetap merupakan tempat orang-orang mencari gagasan liberalisme. Dalam roman Emile, Rousseau menggambarkan pentingnya pendidikan sedari kecil untuk membentuk sifat alamiah manusia dengan pendidikan natural. Pendapat ini diteruskan oleh Thomas Jefferson yang menggagas sistem pendidikan dasar, umum, gratis, dan sekular. Menurutnya, pendidikan dasar menjadi instumen perbaikan bagi kondisi masyarakat miskin dan menggali talenta berbakat yang terkubur dalam masyarakat negara.[16]
Selain institusi pendidikan sebagai wahana diseminasi pemikiran liberal, konsep pendidikan sendiri yang menganggap manusia sebagai makhluk rational liberal. Dalam pandangan liberalisme, manusia memiliki potensi yang sama dalam intelektual secara individual. Lewat konsep equal opportunity dalam liberalisme, setiap orang dipersilakan masuk dalam sistem pendidikan untuk kepentingannya sendiri.
·         Ekonomi
Ilmuan sosial Max Weber melihat hubungan antara Protestanisme dengan perkembangan komersialisme.  Dalam konsep “etika protestan”, Weber menyatakan bahwa gagasan-gagasan puritanisme agama mempengaruhi pemikiran manusia tentang pengejaran ekonomi. Perwujudan asketisme pada agama bukan dengan hidup seadanya, tetapi berusaha menjalani kehidupan dengan sebaik-baiknya merupakan bagian dari nilai keagamaan. Tepat atau tidaknya kaitan tersebut, faktanya gerakan liberal menyebar ke semua bidang; sosial, ekonomi, dan politik. Aspek inti dari perjuangan tersebut adalah pencarian kebebasan ekonomi.[17]
Konsep awal liberalisme ekonomi adalah masyarakat diberikan kebebasan untuk mengejar kepentingan pribadi. Gagasan ini dikemukakan oleh kelompok pemikir Perancis bernama Physiocrats yang meminta pemerintah untuk menghilangkan batasan dan regulasi, serta membiarkan setiap orang berkompetisi di pasar. Konsep ini berkembang menjadi sistem ekonomi negara yang dikenal dengan sistem “laissez faire”. Gagasan ini di         sempurnakan oleh Adam Smith dengan konsep “invisible hands” yang mana peran negara tak terlihat dalam kegiatan ekonomi. Dengan kata lain, adanya pertemuan antarkepentingan swasta akan menghasilkan kesejahteraan nasional, yang menguntungkan bagi pemerintah, bisnis, dan buruh.[18]
·         Pemerintah
Perundang-undangan atau demokrasi adalah kata kunci dari model pemerintahan yang dijalankan oleh pemerintahan liberal. Melalui sejarah yang panjang, liberalis menunjukkan bahwa kebebasan dan hak sipil merupakan prinsip yang harus diakomodasi dalam sistem pemerintahan. Sebelum menjadi demokratis, negara-negara Eropa merupakan negara monarki absolut. Dalam memperoleh sistem pemerintahan yang diinginkan, para pemikir liberal mengajukan berbagai argumentasi dan analisis tentang ide seputar negara, asal muasal, fungsi, kekuasaan, dalam mencapai tujuan yang dikehendaki.[19] 
Walaupun sebagian negara Eropa melaksanakan revolusi dalam menerapkan model pemerintahan liberal, namun sejatinya liberal adalah mekanisme yang melarang kekerasan dan penuh dengan kebaikan. Para filsuf liberal mengajukan konsep “kontrak sosial” sebagai wujud komitmen bersama dalam menjaga harmoni bernegara. Inggris dan Perancis menjadi tanah pertama yang menjalankan kontrak antara rakyat dengan pemerintah. Di Inggris, John Locke menyampaikan gagasan yang komprehensif tentang bentuk negara yang terbaik untuk mengakhiri kekacauan dan ketidaktentuan dalam penyelenggaraan negara. Untuk melindungi hak-hak tersebut, pemerintah harus dibatasi dan representatif[20] yang kenal luas dengan nama pembagian kekuasaan, Trias Politica. Locke juga menyampaikan tiga hak dasar kemanusiaan yang tak bisa dilanggar oleh siapapun: hak hidup, kebebasan, dan hak kepemilikan (harta). Menariknya, Locke justru menganjurkan kekerasan (revolusi) jika pemerintah melanggar hak-hak dasar kemanusiaan tersebut, lalu membentuk pemerintahan baru.
Gagasan utama dalam pemikiran politik Montesquieu dan Rousseau adalah tentang pentingnya kontrak sosial sebagai jalan untuk menghentikan keadaan alamiah agar dapat mewujudkan sebuah keberlangsungan hidup yang teratur dan damai. Serupa dengan Locke, Montesquieu juga mengonsepsikan pemisahan kekuasaan dengan trias politica (eksekutif, legislatif dan yudikatif), ajaran Montesquieu bertujuan untuk melindungi kemerdekaan individu terhadap tindakan sewenang-wenang pemerintah negara. Sedangkan, Rousseau melalui bukunya Du Contract Social mencetuskan pemerintahan harus demokratis dimana kekuasaan berada di tangan rakyat. Namun, negara sebagai mandataris rakyat hadir sebagai penjamin kehidupan masyarakat dari anarki sosial. Gagasan Rousseau tampak mirip dengan pemikiran Hobbes tentang keadaan alamiah manusia pra negara yang mendorong terbentuknya kontrak sosial. Namun, Rousseau bertentangan dengan premis-premis Hobbes soal sifat-sifat alamiah manusia. Pada perkembangan selanjutnya, pemikiran Montesquieu dan Rousseau memberikan dampak yang signifikan dalam kehidupan bernegara, struktur hukum mulai dibangun dengan adanya hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah, antara kekuasaan negara dan individu.
D. Kesimpulan
Perkembangan liberalisme mengalami kemajuan pesat setelah periode Reformasi Protestan dan masa Renaissance. Lewat proses yang panjang, liberalisme merupakan sebuah gerakan (movement) dengan inti perjuangan tentang kebebasan rasionalitas dan kehendak bebas. Atas kemuakan bersama terhadap sistem politik yang ada sebelumnya, walhasil proses keberterimaan faham liberalisme menjadi konsensus alami di masyarakat.
Sebagai ideologi, liberalisme merupakan seperangkat nilai yang mengendalikan manusia pada kebenaran mutlak tentang konsep hak asasi manusia yang tak boleh dilanggar oleh siapapun. Liberalisme adalah ideologi yang netral, objektif, dan berdasarkan fakta, oleh karenanya ia menjadi ideologi yang paling adaptif terhadap perkembangan sosial. Tak heran jika pemikiran liberalisme masih relevan hingga saat ini.
Liberalisme adalah antitesis kekangan negara terhadap rakyatnya. Makanya berbagai konsep yang ia ajukan adalah upaya seminimal mungkin campur tangan negara. Ide ini terlihat jelas dalam bentuk laissez faire dan the invisible hand di bidang ekonomi. Negara mengambil peran minimal dan mengkhususkan diri pada penyediaan infrastruktur, perlindungan hak asasi manusia, penegakkan hukum, dan pengamanan negara.
Sebagaimana dikemukakan dalam berbagai literatur, sumbangan pemikiran Locke, Montesquieu, dan Rousseau tentang negara dan kekuasaan sangat berpengaruh pada letupan revolusi sosial di berbagai negara Barat. Bahkan, gagasan ketiganya disempurnakan dalam penerapan prinsip check and balance dan akuntabilitas di negara-negara demokratis. Seiring dengan munculnya kelas sosial baru menggantikan model yang lama, model pemerintahan liberal demokratis menjadi sistem yang diterima oleh semua dunia Eropa, bahkan masyarakat global hingga kini.
Referensi
Ball, Terence, Richard Dagger, Daniel O’neill (2009) Political Ideologies and The Democratic Ideal. Boston: Pearson.
Heywood, Andrew. (2004) Political Theory: an Introduction. New York: Palgrave Macmillan.
Rowe, Christopher, Malcolm Schofield. (2001) Sejarah Pemikiran Politik Yunani dan Romawi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Schapiro, J Salwyn. Liberalism: History and It’s Meaning, (-, 1958), hlm. 9.
Suhelmi, Ahmad. (2004) Pemikiran Politik Barat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.



[1] Sekurang-kurangnya, Sabine dan McDonald, termasuk tulisan ilmuan Indonesia seperti Suhelmi dan Deliar Noer.
[2] Christopher Rowe, Malcolm Schofield, Sejarah Pemikiran Politik Yunani dan Romawi, (Raja Grafindo Persada: 2001), hlm. 5.
[3] Ia mengadaptasi tesis “with disintegration comes rebirth” milik Arnold Tynbee. Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, (Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 1.
[4] J Salwyn Schapiro, Liberalism: History and It’s Meaning, (-, 1958), hlm. 9.
[5] Terence Ball dkk, Political Ideologies and The Democratic Ideal (Boston, 2009), hlm. 44.
[6] Ibid., hlm. 5.
[7] Op.cit., hlm. 21.
[8] Ball menambah satu faktor lagi yakni peristiwa wabah kolera luas yang terjadi pada abad ke14 yang mematikan sepertiga penduduk Eropa atau dikenal sebagai peristiwa Black Death. Pemikiran konservatif banyak terkubur bersama jasad yang tewas, terutama para bangsawasan. Op.cit., hlm. 48.
[9] Op.cit., Schapiro, hlm. 17-26.
[10] Op.cit., Suhelmi, hlm. 247.
[11] Ibid., hlm. 300.
[12] Op.cit., Schapiro, hlm. 18.
[13] Op.cit., Ball, hlm. 54.
[14] Op.cit., hlm. 108.
[15] Ibid., hlm. 101.
[16] Ibid., hlm. 21.
[17] Op.cit., Ball, hlm. 61.
[18] Op.cit., hlm. 23.
[19] Ibid.
[20] Andrew Heywood, Political Theory: an Introduction (New York, 2004), hlm.268.

Konsep Negara dan Kekuasaan oleh Montesquieu dan Rousseau

        Setelah kungkungan Arab Skolastik yang penuh dengan dogmatisme Gereja, Eropa memasuki fase baru yang memproduksi antitesis pemikiran sebelumnya. Dalam bab “the Eighteen Century” McDonald menjelaskan secara kronologis bagaimana pemikiran dan filsafat negara-negara modern saat ini sangat bergantung pada Perancis, Inggris, Jerman pada masa itu. Dalam perkembangan teori politik, ia memotret poin-poin pembangunan progresif yang ditorehkan abad tersebut. Salah satunya adalah perubahan orientasi filsafat baru yang disebut dengan Pencerahan (the enlightment), dimana pergerakan kefilsafatan menghasilkan kesadaran tentang penolakan terhadap otoritas agama terhadap seni, moral, politik, dan pengetahuan.[1] Pemikiran mengambil alih kewenangan agama dalam sebagai tolok ukur segala hal.
Perkembangan sains dan teknologi yang begitu cepat mengakibatkan perubahan dalam struktur sosial dan pemikiran secara radikal. Membawa semangat pelepasan diri dari dogma gereja, manusia mengukur segala sesuatu, terutama kebenaran, lewat parameter sains dan teknologi. Kemajuan terjadi di berbagai lini kehidupan. Eropa memulai fase revolusi pemikiran dimana posisi agama atau kepercayaan yang tak masuk akal atau dipahami panca indera dinggap hanya mitos belaka. Dalam bahasa McDonald, segala hal didiskusikan dan dianalisis.[2]
Pada abad ke-18, ketika Inggris menggagas orientasi negara merkantilisme yang ekspansif, Perancis muncul sebagai “lahan subur” penciptaan berbagai pemikiran dan filsafat politik modern yang terkenal hingga saat ini. Tanpa maksud mengabaikan “telur” pemikiran para filsuf Inggris seperti John Locke dan Thomas Hobbes, setidaknya daratan Perancis menjadi penerus filsafat politik yang penting hingga kini. Oleh karena itu, tulisan ini hendak diarahkan pada periode penting tahun 1700-an, yakni buah pemikiran filsuf-filsuf terkenal Perancis.
            The philosophes adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada filsuf besar Perancis. Montesquieu dan Rousseau adalah dua nama besar yang tak bisa dilepaskan dari perkembangan pemikiran Abad Pencerahan. Penyandingan nama mereka terjadi bukan semata soal kesamaan sosiohistoris, tetapi ide keduanya tentang “kontrak sosial” merupakan diskursus penting yang terus dipelajari hingga kini.
            Gagasan utama dalam pemikiran politik Montesquieu dan Rousseau adalah tentang pentingnya kontrak sosial sebagai jalan untuk menghentikan keadaan alamiah agar dapat mewujudkan sebuah keberlangsungan hidup yang teratur dan damai. Montesquieu mengonsepsikan dimana adanya pemisahan kekuasaan dengan trias politica (eksekutif, legislatif dan yudikatif), ajaran Montesquieu bertujuan untuk melindungi kemerdekaan individu terhadap tindakan sewenang-wenang pemerintah negara. Ide ini merupakan modifikasi dari gagasan pembagian kekuasaan milik John Locke. Sedangkan, Rousseau melalui bukunya Du Contract Social mencetuskan pemerintahan harus demokratis dimana kekuasaan berada di tangan rakyat. Namun, negara sebagai mandataris rakyat hadir sebagai penjamin kehidupan masyarakat dari anarki sosial. Gagasan Rousseau tampak mirip dengan pemikiran Hobbes tentang keadaan alamiah manusia pra negara yang mendorong terbentuknya kontrak sosial. Namun, Rousseau bertentangan dengan premis-premis Hobbes soal sifat-sifat alamiah manusia. Pada perkembangan selanjutnya, pemikiran Montesquieu dan Rousseau memberikan dampak yang signifikan dalam kehidupan bernegara, struktur hukum mulai dibangun dengan adanya hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah, antara kekuasaan negara dan individu.
            Rousseau memberikan argumen dimana kekuasaan dialihkan dari kerajaan kepada kehendak rakyat yang menghasilkan model demokrasi absolut. Sedangkan Montesquieu tidak memusatkan pemikirannya kepada siapa yang memegang tampuk pemerintahan. Bagi Montesquieu, hal yang lebih penting adalah eksistensi sebuah konstitusi yang akan melindungi negara dari kekuataan despotik, dan hal ini bisa dihindari dengan adanya pembagiaan kekuasaan. Secara umum, pemikiran Rousseau terlihat fundamental namun tak teknis. Jika negara menggunakan konsep eksekutif-legislatif-yudikatif, pemikiran Rousseau tak mampu menjelaskan pembagian rakyat yang duduk di jabatan-jabatan tersebut. Namun, gagasan Rousseau menjadi landasan soal tanggung jawab pemerintah kepada rakyatnya, sebagai bagian penting dari prinsip negara modern. Sementara, gagasan Montesquieu menjadi panduan aplikatif dalam pembentukan negara dengan mencakup tentang hukum, pemisahan kekuasaan, bentuk negara, dan lainnya.[3] Namun, kesamaan keduanya terletak pada model ideal sistem negara yang bergantung pada jumlah penguasa yang hendak diakomodasikan.[4] Sebuah pemikiran yang berakar dari gagasan Aristoteles tentang plutokrasi (monarki, aristokrasi, dan demokrasi).
Di tengah pesatnya pemikiran Abad Pencerahan, Rousseau justru muncul untuk mengkritiknya. Terlepas adanya kesamaan dalam filsafat politik di antara mereka, pemikiran Rousseau merupakan sebuah pemberontakan intelektual terhadap zamannya. Laju sains dan teknologi dianggapnya telah menyebabkan kerusakan akhlak dan dekadensi kebudayaan yang berujung pada kehancuran ras manusia. Dikenal sebagai sosok la sensibilite, pemikiran Rousseau menjadi cikal bakal pemikiran Romantisme Eropa yang muncul kemudian dengan mengenalkan konsep manusia kembali ke alam. Dalam fitrahnya, manusia perlu mementingkan emosi dan menekan aspek rasionalitas dalam berpikir. Dari titik ini, terlihat bahwa ia justru membalikkan optimisme pencerahan menjadi pesimisme total.[5]
            Sebagaimana dikemukakan dalam berbagai literatur, sumbangan pemikiran Montesquieu dan Rousseau tentang negara dan kekuasaan sangat berpengaruh pada peristiwa sejarah besar yang dikenal Revolusi Perancis. Bahkan, gagasan keduanya disempurnakan dalam prinsip check and balance di negara-negara demokratis. Dalam sejarah Perancis, pemikiran keduanya tentang “perjanjian rakyat dengan penguasa” menjadi simbol kemenangan rakyat atas sistem monarki absolut lewat penggulingan Raja Louis XIV. Namun ada fakta sejarah yang berkata lain. Kerangka pemikiran mereka tentang konsep kebersamaan justru diejawantahkan pada makna kebersamaan untuk negara. Jalan pemikiran tersebut mudah menghasilkan pemerintahan totaliter yang hanya baik untuk kepentingan negerinya. Revolusi Perancis memunculkan sosok Jenderal Napoleon Bonaparte sebagai pionir pergerakan nasional yang berciri chauvinistis dan ekspansif. Semboyan-semboyan nasionalistik Perancis yang terkenal “liberte, egalite, and fraternite” menjadi legalitas nasional untuk menaklukan Eropa daratan yang kelak menghancurkan Perancis sendiri akibat kalah perang.
           




Daftar Pustaka:
McDonald, Lee Cameron. (1962) Western Political Theory: from Its Origins to the Present
Suhelmi, Ahmad. (2004) Pemikiran Politik Barat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.


[1] Lee Cameron McDonald, Western Political Theory: from Its Origins to the Present (New York, 1962), 339.
[2] Ibid, 340.
[3] Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, (Gramedia Pustaka Utama, 2004), 226.
[4] Ibid, 254.
[5] Ibid, 243.

Politik versi Plato dan Aristoteles

           Pentingnya warisan intelektual zaman Yunani kuno yang berlangsung dari abad 8-6 SM hingga abad 2 M diyakini sebagai tonggak awal kelahiran berbagai ilmu pengetahuan. Yunani kuno secara tipikal lebih kita anggap sebagai nenek moyang ‘kita’ dalam lingkungan politik, baik secara ideologi, mitologi, dan simbolis.[1] Berbagai istilah yang dikenal lahir di sana seperti monarki, tirani, oligarki, aristokrasi, demokrasi dan lain sebagainya menjadi legitimasi yang fundamen di atas bangunan politik sebagai ilmu pengetahuan. Oleh karenanya, tak ada pernah habis penyampaian kredit dialamatkan kepada peradaban Yunani kuno saat karya akademis yang membahas asal muasal ilmu pengetahuan.
            Setidaknya, periode pusat peradaban Yunani kuno berlangsung pada abad 5-4 SM saat entitas masyarakat yang bernama Athena menjadi tempat kontestasi ide dan pengetahuan yang sangat filosofis. Sejak kelahiran hingga perkembangannya dewasa ini, pemikiran dan filsafat politik Barat sangat dipengaruhi oleh filsuf Yunani kuno seperti Plato dan Aristoteles. Jejak pengaruh Aristoteles, misalnya, bisa dilacak dalam karya The Prince Marchiavelli, gagasan pemisahan kekuasaan L’esprit de lois Montesquieu, Teori Hegel tentang konstitusi negara sebagai ekspresi kesadaran diri negara, gagasan Marx tentang hubungan ekonomi dan politik.[2] Secara spesifik, tulisan ini akan membahas tentang periode penting lahirnya ilmu pengetahuan lewat representasi para tokohnya.
            Sokrates, Plato, dan Aristoteles adalah tiga tokoh Yunani kuno masyhur yang paling banyak diteliti ilmuwan. Representasi atas ketiganya tak lepas dari sumbangan mereka kepada ilmu pengetahuan lewat tulisan dan institusi pendidikan (akademi) yang mereka bentuk. Secara genealogis, keterkaitan ketiganya adalah hubungan antara guru dan murid. Sokrates adalah guru Plato, dan Plato adalah guru Aristoteles. Dalam berbagai karya akademis, kesinambungan dan kontradiksi pemikiran antara Sokrates, Plato, dan Aristoteles dijadikan satu sebagai usaha menunjukkan gambaran besar tentang pemikiran Yunani klasik. Namun, penggandengan antara Plato dan Aristoteles lebih sering muncul karena beberapa alasan. Selain karena gagasan keduanya yang lebih kompatibel dan relevan hingga kini dibandingkan Sokrates, faktanya warisan intelektual Sokrates adalah upaya dokumentasi yang dilakukan oleh Plato. Oleh karenanya, penceritaan tentang pemikiran Sokrates sering mengalami pembiasan hingga diimajinasikan sebagai “Sokrates”-nya Plato. Terkait hal itu, sumbangan Plato dianggap sangat signifikan dengan menyebut seluruh sejarah filsafat Barat, termasuk pemikiran Aristoteles (serta para filsuf Yunani setelahnya) hanyalah rangkaian dari catatan kaki Plato.[3] Lepas dari hal tersebut, sebagaimana judulnya, tulisan ini memang secara spesifik membahas pemikiran Plato dan Aristoteles.
            Gagasan utama dalam pendekatan politik atas pemikiran Plato dan Aristoteles bahwa kerja intelektual keduanya adalah upaya untuk mencapai masyarakat yang baik. Konsepsi virtue (kebajikan) menurut mereka adalah tujuan eksistensi manusia yang ideal dalam entitas masyarakat tertinggi (negara). Namun, arah pemikiran Plato bergerak pada relasi pengertian negara dengan aspek jiwa manusia, sedangkan Aristoteles memandang negara sebagai suatu bentuk lanjutan dari kumpulan-kumpulan yang ada dan berbentuk kecil.[4] Plato memberikan pemaknaan mendalam atas prinsip kebajikan, hingga menurutnya pembentukan negara adalah jalan paling efektif menuju kehidupan manusia yang penuh dengan kebajikan. Tak heran jika ia memformulasikan konsep raja-filsuf (the Philospher king) sebagai pemimpin ideal sebuah negara. Istilah negarawan[5] yang mengandung pengertian lebih dari sekadar seorang kepala negara, setidaknya mendekati konsep pemimpin yang dibayangkan oleh Plato.
            Istilah manusia zoon politikon bukan sekadar konsep yang Aristoteles kemukakan, tetapi merupkan premis dasar adanya negara. Bagi Aristoteles, manusia membutuhkan negara sebagai tempat mereka menjalin kontak, relasi, interaksi, dan kolaborasi. Menurutnya, orang yang tak memerlukan masyarakat dan negara, artinya ia tak menjalankan fitrahnya. Ia sepakat dengan Plato tentang keberadaan negara sebagai penjamin proses kesempurnaan hidup manusia lewat peran institusi pendidikan.
            Dari pemikiran keduanya, kita dapati bahwa konsep negara adalah unit kekuasaan tertinggi di mana tiap manusia di dalamnya mendedikasikan diri dan bertukar kepentingan. Dengan istilah yang berlainan, kedunya menilai negara merupakan wahana perwujudan nilai-nilai virtue. Mereka tak melihat kemungkinan pengimpelementasian nilai-nilai virtue: wisdom, courage, temperance, dan justice[6] di atas entitas negara. Padahal  dalam perkembangan dunia modern, konsep supranasional yang diperkenalkan oleh ilmuan merupakan proses alamiah manusia yang saling membutuhkan satu sama lain. Sifat manusia sebagai makhluk sosial direpresentasikan oleh negara, lalu negara menjalankan sifat sosialnya dengan melakukan kerjasama antarnegara.
            Sebenarnya, perbedaan sosiohistoris atau state of nature antara kondisi modern dan masa Yunani kuno yang membuat gagasan kerjasama internasional tak pernah terbayangkan oleh pemikir Yunani kuno. Mereka hidup dalam ratapan kehancuran Athena dalam perang Peloponnesos, hingga membuat proyeksi kontras atas model pemerintahan dan negara sebelumnya. Negara saat itu bersifat saling invasif untuk mendapatkan keuntungan sendiri. Selain itu, pesatnya perkembangan teknologi dan industri saat ini mengubah peta global dari awalnya negara bersifat self-sufficient berubah menjadi saling bergantung yang mengharuskan mereka bekerja sama untuk meraih keuntungan masing-masing. Dari pespektif liberal, kerjasama antarnegara mempromosikan saling pengertian, toleransi, dan saling ketergantungan.[7]
Perihal kerjasama, sebenarnya Plato telah menyampaikan konsep tentang nilai-nilai kolektivisme. Gagasan ini adalah akar pemikiran tentang gagasan komunisme dan antiindividualisme sebagaimana yang dikembangkan oleh Marx dan pengikutnya. Bahkan, pemikiran Plato bisa disebut lebih ekstrim dengan menyebut istri dan anak adalah bagian dari common properties. Harapan Plato bahwa tanggung jawab bersama atas anak-anak negara bisa menjadikan mereka sebagai manusia unggul yang tak terikat oleh ikatan keluarga dan mempunyai loyalitas penuh kepada negara.[8] Walaupun ada alasan-alasan luhur dari gagasan Plato, justru kritik dengan mudah muncul perihal kekhawatiran jika yang terjadi adalah “pengabaian bersama” oleh para laki-laki. Terlepas dari hal tersebut, lagi-lagi konsep kolektivisme Plato terbatas pada skup negara.
Gambaran tentang negara Yunani kuno jelas sangat berbeda dengan konsep negara modern. Menurut Sabhine, kunci memahami pemikiran mereka adalah pemahaman tentang konsep the Greek city-states.[9] Sebagai gambaran, negara Athena saat itu hanya dihuni kurang lebih 100 ribu jiwa[10] dengan luas yang lebih kecil dari provinsi Jakarta sekarang[11] yang memungkinkan setiap orang berinteraksi satu sama lain dan menerapkan sistem pemerintahan demokrasi langsung. Selain itu, dalam struktur politik mereka tak dikenal perbedaan antara negara dan masyarakat. Artinya, ketika orang membicarakan masyarakat, maka ia sedang membicarakan negara. Tak heran, semua orang terbiasa membangun solusi bagi kemaslahatan negara, sebagaimana contoh pionir dalam tokoh Plato dan Aristoteles.


Daftar Pustaka:
Heywood, Andrew. (2004) Political Theory: an Introduction. New York: Palgrave Macmillan.
McDonald, Lee Cameron. (1962) Western Political Theory: from Its Origins to the Present New York: Harcort, Brace & World.
Noer, Deliar. (1982) Pemikiran Politik di Negeri Barat, Jakarta: Persada.
Rowe, Christopher, Malcolm Schofield. (2001) Sejarah Pemikiran Politik Yunani dan Romawi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sabhine, George H.(1959) A History of Political Theory London: George G. Harrap.
Suhelmi, Ahmad. (2004) Pemikiran Politik Barat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
           



[1] Christopher Rowe, Malcolm Schofield, Sejarah Pemikiran Politik Yunani dan Romawi, (Raja Grafindo Persada: 2001), 5.
[2] Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, (Gramedia Pustaka Utama, 2004), 5.
[3] Ibid, 36.
[4] Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat, (Persada, 1982), 28.
[5] Merriam-webster dictionary mengartikan statesman sebagai “a wise, skillful, and respected political leader”. Sedangkan Longman Dictionary menggunakan istilah “one who is respected as being wise, honourable, and fair”.
[6] Lee Cameron McDonald, Western Political Theory: from Its Origins to the Present (New York, 1962), 19.
[7] Andrew Heywood, Political Theory: an Introduction (New York, 2004), 105.
[8] Suhelmi, Opcit, 40
[9] George H. Sabhine, A History of Political Theory (London, 1959), 17.
[10] Noer, Opcit, 3
[11] Suhelmi, Opcit, 27.

Pemikiran Politik Hobbes dan Locke

            Negara berikut perangkat pemerintah dan masyarakatnya memiliki suatu sistem tertentu untuk mencapai keteraturan sosial. Gagasan ini muncul karena hubungan antara pemerintah dan masyarakat merupakan unsur resiprokal yang menghasilkan suatu sistem kenegaraan. Asumsinya, masyarakat membuat kesepakatan bersama yang dijalankan oleh institusi negara sebagai representasi kepentingan masyarakat. Sebagai produk pasca Abad Skolastik Eropa, tesis ini muncul sebagai bantahan kepada konsep kekuasaan Tuhan, yang mana masyarakat hadir lebih dulu dibandingkan kekuasaan.    
Dalam sejarah perkembangan pemikiran politik, Eropa mengalami kemajuan pesat pasca mundurnya Gereja Roma dari ranah politik. Menurut Dagger, setidaknya percepatan pemikiran Eropa modern disebabkan oleh “black death, exploration new world, Renaissance, and Protestant Reformation.”[1] Gerakan reformasi protestan merupakan suatu peristiwa sejarah yang tak hanya membawa perubahan sosial politik Eropa, melainkan pula pemikiran politik Barat. Melaluinya, Eropa berpindah dari Abad Pertengahan yang didominasi doktrin gereja memasuki era kebebasan berpikir (Age of Enlightenment) yang mendorong peningkatan kehidupan manusia karena kekuatan pikiran. Di era ini, banyak melahirkan pemikir dan filsuf yang memberi pandangan mengenai kehidupan sosial politik dan ilmu pengetahuan. Thomas Hobbes dan John Locke merupakan produk abad pencerahan (filsuf) yang terkenal dan telah memberi pengaruh signifikan bagi pemikiran politik dunia. Secara spesifik, tulisan ini akan berfokus pada periode penting abad pencerahan lewat representasi pemikiran Hobbes dan Locke.
            Gagasan utama dalam pendekatan politik atas pemikiran Hobbes dan Locke bahwa keduanya menggunakan pendekatan yang sama dalam membangun konsep negara melalui teori state of nature dan social contract. Walaupun hidup sezaman, dua pemikir Inggris ini tak berinteraksi secara personal maupun pemikiran lantaran kondisi sosial politik yang tidak kondusif. Kesamaan pembahasan keduanya lebih merupakan representasi atas fakta sosiohistoris Inggris yang mengalami perang sipil berkepanjangan. Saat itu terjadi perebutan kekuasaan antara kerajaan yang didukung oleh geraja dengan parlemen yang disokong oleh kelompok puritan. Peperangan yang terjadi di level kekuasaan melibatkan faktor sosial, ekonomi, dan agama.
           Hobbes menulis gagasan tentang negara dalam pelariannya di Perancis dengan judul Leviathan, sebuah negara yang dalam istilah modern disebut pemerintahan absolut. Sedangkan, Locke menulis sebuah karya fenomenal Two Treaties of Government yang membangun model pemerintahan monarki konstitusional sebagaimana sistem pemerintahan Inggris saat ini. Perbedaan kesimpulan kedua tokoh tersebut sejatinya dibangun lewat premis-premis yang serupa terhadap unit analisis yang sama, tentang state of nature dan social contract. Oleh karena itu, setidakanya secara singkat tulisan ini hendak membahas konsep-konsep tersebut lewat pengontrasan gagasan kedua tokoh di atas.
Sebelum menelaan konsep state of nature (kondisi alamiah), pada mulanya kedua pemikir Inggris ini membahas tentang sifat dasar manusia. Mereka membangun premis-premis yang berseberangan tentang sifat manusia. Sama-sama sepakat bahwa keadaan alamiah menciptakan kebebasan bagi manusia, namun Hobbes menilai pada titik tersebut justru menciptakan manusia yang berorientasi pemenuhan hawa nafsu dan kebahagiaan pribadi hingga berimplikasi sebagai sebab penderitaan orang lain. Sementara, Locke melihat hal yang berbeda terhadap sifat alamiah manusia yang sejatinya penuh dengan nilai kebaikan dan solidaritas sosial. Locke menilai rasionalitas mengarahkan manusia untuk tak merugikan orang lain. Akal budi merupakan representasi hukum alam yang jika manusia melanggarnya, maka alam sendiri yang akan mengganjarnya.
Lewat perbedaan pandangan soal sifat manusia, gagasan tentang state of nature merupakan akibat yang sangat mempengaruhi pembentukan masyarakat ideal menurut Hobbes dan Locke. Hobbes mengajak para pembaca bukunya untuk membayangkan kondisi manusia dengan kebebasan sempurna tanpa negara dan pemerintah. Situasi tersebut menurut Hobbes akan mengarah pada kondisi manusia yang saling perang (state of war). Tak heran jika Hobbes menyarankan negara memiliki kekuatan besar untuk mengontrol penuh masyarakatnya demi menjaga ketertiban sosial. Sementara, menurut Locke bahwa keadaan alamiah manusia adalah situasi yang penuh dengan kedamaian, kebajikan, saling melindungi, penuh kebebasan, tak ada rasa takut, dan penuh kesetaraan.[2] Lebih jauh, Locke menilai hadirnya pemerintahan ditujukan untuk menyempurnakan keadaan alamiah yang sudah ada. Pemerintah merupakan pihak penengah yang memediasi hubungan sosial ekonomi di dalam masyarakat. Sekaligus, pemerintah menjadi penjamin tiga hak dasar kemanusiaan versi Locke: hak hidup, kebebasan, dan hak kepemilikan (properti) dari sifat buruk manusia yang culas dan curang.
            Sepakat dengan Hobbes, Locke mengakui bahwa sifat proteksi diri (self-preservation) yang merupakan hukum alam yang dimiliki oleh semua manusia. Konsep inilah yang mengarahkan pemikiran mereka pada penyusunan teori perjanjian sosial (social contract) dalam dimensi state of nature yang berbeda. Hobbes melihat ketakutan atas ancaman dari luar membuat manusia secara beramai-ramai memberikan mandat kepada “penguasa” dengan menyerahkan hak-haknya sebagai jaminan. Dengan alasan itulah, manusia bersedia membatasi kebebasan alami, demi keselamatan jiwanya. Dari perspektif lain, Locke tak memandang bahwa all war all merupakan keadaan alamiah manusia. Oleh karenanya, penyerahan kebebasan manusia kepada “pemerintah” justru untuk menjamin tiga hak dasar kemanusiaan tetap terjaga. Kontrak sosial versi Locke mengikutsertakan pemerintah untuk tunduk dalam aturan yang dibuat bersama. Bahkan, Locke menilai masyarakat mempunyai hak untuk menggulingkan pemerintahan dan membentuk yang baru jika terjadi pelanggaran atas perjanjian yang sudah disepakati bersama.
            Sebagaimana ide persamaan manusia dan kebebasaan yang berkembang saat itu, Hobbes dan Locke juga menolak adanya tingkatan status manusia atas dasar fixed or ascribed by nature. Keduanya juga percaya bahwa pemerintah dibentuk lewat persetujuan rakyat. Jika Hobbes percaya bahwa implementasi kekuasaan dengan model apapun bermuara pada ketertiban masyarakat. Sedangkan, Locke tak percaya pada pemerintah yang tak terbatas. Ia menyatakan rakyat hanya akan patuh pada pemerintahan terbatas (konstitusional), bahkan rakyat mempunyai right of revolution.[3] Paham ini lah yang dipercayai oleh berbagai akademisi, bahwa pemikiran Locke mengilhami terjadinya Revolusi Perancis dan perang sipil Amerika Serikat.
Thomas Hobbes dan John Locke merupakan filsuf politik yang memberi kontribusi penting dalam perkembangan politik Barat pada periode setelah periode Reformasi Protestan dan masa Renaissance. Pemikiran mereka tentang manusia dan kondisi alamiah manusia menjembatani lahirnya teori kontrak sosial hingga terbentuknya negara dan penguasa ideal. Namun, fakta tentang banyaknya model pemerintahan absolut yang runtuh membuktikan bahwa teori negara versi Hobbes tak empiris. Bahkan Inggris tak pernah menyentuh level monarki absolut sepeninggal Hobbes. Kekeliruan Hobbes muncul dari kesalahannya memprediksi konsep altruisme kekuasaan yang dijalankan penguasa. Alih-alih memberikan rasa aman, model negara absolut justru menghadirkan rasa ketakutan bagi rakyatnya sendiri. Selain itu, konsep civil society yang diabaikan oleh Hobbes justru menjadi salah satu aspek determinan dalam perkembangan teori negara modern.

Daftar Pustaka:
Ball, Terence, Richard Dagger, Daniel O’neill (2009) Political Ideologies and The Democratic Ideal. Boston: Pearson.
Suhelmi, Ahmad. (2004) Pemikiran Politik Barat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.



[1] Terence Ball dkk, Political Ideologies and The Democratic Ideal (Boston, 2009), 49.
[2] Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, (Gramedia Pustaka Utama, 2004), 190.
[3] Ibid, 55.

Kamis, 08 Februari 2018

Langkah Responsif Krisis Kemanusiaan Rohingya: Studi Kebijakan Indonesia-Malaysia

catatan: 
Materi ini adalah tugas mata kuliah perbandingan politik di jurusan Politik UI 2017 yang ditujukan sebagai latihan penggunaan teori dan pendekatan dalam kaidah ilmu politik. Kekurangan dan kealpaan adalah bagian dari proses ini. Sedangkan, preferensi dan argumentasi adalah bentuk kebebasan akademis yang dijunjung dalam iklim ilmu pengetahun, dengan tetap mengacu pada kaidah dan aturan baku keilmuan.
-----------------------

Kekerasan atas etnis Rohingya yang kembali “meledak” di penghujung Agustus 2017 lalu perlu dipandang di luar dimensi krisis kemanusiaan. Cycle of violence ini mempunyai implikasi serius bukan hanya bagi Myanmar, tetapi turut memengaruhi dinamika politik internal negara-negara sekitarnya. Panggilan kemanusiaan Rohingya tak bisa terhindarkan adanya sentimen agama di baliknya. Lewat perspektif ini, cukup masuk akal jika negara-negara dengan mayoritas muslim di Asia Tenggara seperti Indonesia dan Malaysia terlihat cenderung lebih proaktif menjalankan fungsi rekonsiliasi dan misi kemanusiaan. Krisis yang terjadi di Rakhine State tak bisa semata dipandang sebagai humanitarian policy, tuntutan civil society terhadap tragedi Rohingya merupakan aspek pertimbangan penting bagaimana Indonesia dan Malaysia menjalankan kebijakan internasionalnya.
Menjadi pengetahuan umum bahwa akar masalah dari kompleksitas dan multidimensinya krisis Rohingya ialah tidak diakuinya etnis Rohingya sebagai salah satu etnis di Myanmar. Rohingya disebut sebagai salah satu etnis terbesar yang tak mempunyai negara (European Commission: 2017). Konsekuensinya mereka cenderung tak mendapat perlindungan hak-hak asasi. Oleh karenanya tidak benar jika masalah Rohingya adalah konflik antaragama. Seolah mengambil momentum konflik sosial yang ada, militer Myanmar melakukan pengusiran dan pembakaran rumah etnis Rohingya, yang kemudian diduga sebagai tindakan yang mengarah pada ethnic cleansing. Sayangnya persepsi soal kekerasaan agama justru yang tersebar ke mancanegara, tak terkecuali di Indonesia dan Malaysia. Sentimen keagamaan pun muncul dari persepsi yang keliru ini.
Sebagai negara yang memiliki penduduk muslim terbesar di ASEAN, pemerintah Indonesia dan Malaysia tercatat memiliki kontribusi dan perhatian paling besar bagi Rohingya. Tak hanya bantuan resmi negara, sumbangan kemanusiaan oleh masyarakat Indonesia dan Malaysia punya peran yang cukup signifikan. Oleh karena itu, tingginya perhatian Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Najib Razak tak bisa dipisahkan dari bagaimana respons penduduk dalam negeri. Secara praktis, kalkulasi politik domestik turut mewarnai kebijakan di level negara. Dengan pendekatan pilihan rasional dan struktural fungsional, setidaknya tulisan ini hendak membangun rasionalisasi-rasionalisasi kebijakan yang diambil kedua pimpinan negara tersebut.
Lepas bahwa perdebatan atas kekurangan-kekurangan pendekatan pilihan rasional, ia dapat menjelaskan suatu kebijakan politik tingkat tinggi dengan cara sederhana. Tak ubahnya cara seorang konsumen memilih produk di pasar, kebijakan politik juga mengaplikasi rasionalitas serupa. Para teorisi pendekatan ini beranggapan bahwa it has had its broadest impact upon political analysis... Political actors consistently choose the most efficient means to achieve their various ends (Heywood: 2004). Dalam kasus dua kepala pemerintahan di atas, Jokowi dan Najib sedari awal menghitung berapa besar biaya ekonomi-politik yang harus dikeluarkan untuk mendapat dukungan politik dalam negeri yang besar. Di sisi lain, aspek-aspek nonrasio juga penting sebagai pertimbangan yang memengaruhi kebijakan. Sebagaimana kritik John Rawl atas pilihan rasional bahwa konsep basic liberties and fair equality of opportunity sebagai kunci bagi pertimbangan moral (nonrasional) yang ikut memengaruhi kebijakan politik (A Theory of Justice: 1999).
         Soal sejarah bantuan untuk Rohingya, pemerintah Indonesia kalah “serius” dibanding Malaysia. Data akumulatif 2013, mencatat pencari suaka Rohingya di negeri Jiran 80.000 berbanding 1.500 orang di Indonesia (foreignpolicy.com). Entah fakta tersebut wajar atau tidak, bagaimanapun jumlah pengungsi Rohingya Indonesia-Malaysia tentu dipengaruhi berbagai faktor. Lepas soal kritik ‘closing one eyes’ policy (HPG Working Paper: 2016), Malaysia menjadi suaka sementara yang secara de facto memberikan pekerjaan nonformal, akses kesehatan, dan peribadatan bagi etnis Rohingya. Karena jumlah yang banyak, kehadiran mereka cukup mencolok dalam aktivitas sosial di Malaysia. Bahkan dalam tragedi Rohingya tahun ini, secara spontan para pekerja asal Rohingya melakukan demonstrasi di depan Kedubes Myanmar di Kuala Lumpur, Agustus lalu.
            Walaupun tak sesederhana alasan politik praktis, tentunya kebijakan intensifikasi bantuan pemerintah Jokowi dan Najib pada tahun ini dipenuhi berbagai pertimbangan politik domestik. Pendapat itu dikuatkan oleh analisis pengamat dan oposan bahwa sikap reaksioner pemerintah dibungkus pencitraan demi meraih simpati rakyat dalam negeri. Faktanya, basis muslim di kedua negara yang besar sangat penting dalam mendukung pemerintah. Oleh karenanya, kebijakan tersebut tak bisa dilepaskan begitu saja dengan motif elektoral jelang pemilu nasional tahun depan. Keduanya berkepentingan untuk meraih dukungan publik untuk mengamankan periode kekuasaan berikutnya.
Dengan pendekatan pilihan rasional, alasan-alasan kedua kepala pemerintah tentu tak ada yang keliru. Jokowi dengan pilihannya dianggap lebih berhasil dibanding langkah Najib. Indonesia menggunakan meja perundingan, sedangkan Malaysia memakai panggung politik. Menggunakan diplomasi jalan damai, hadirnya asistensi Indonesia tak memunculkan resistensi dari internal Myanmar. Tak heran, kebijakan Jokowi banyak mendapatkan apresiasi internasional, dibandingkan Najib dengan karakter faux naïf politics-nya (thediplomat.com). Lepas dari pandangan internasional, pilihan-pilihan kebijakan kedua kepala pemerintahan itu berpulang pada tujuan politik apa yang hendak mereka capai. Sebagaimana pandangan para pengamat, Najib punya kepentingan besar dalam menjaga kepercayaan publik di balik isu korupsi 1MDB yang menyeret namanya. Sementara, posisi Jokowi tak segenting Najib. Kritik politisasi isu Rohingya oleh pemerintahan Jokowi surut dengan sendirinya seiring strategi dan hasil diplomasi yang mampu menjawab espektasi publik nasional.
Namun dalam perspektif lain, kedua kepala pemerintahan ini memperhatikan desakan-desakan publik. Kemarahan jutaan penduduk muslim Indonesia dan Malaysia atas tragedi Rohingya menjadi pertimbangan utama Jokowi dan Najib agar potensi basis muslim tak berubah menjadi ancaman. Hal yang menarik justru muncul dari perubahan drastis respons pemerintahan Jokowi. Saat tragedi Rohingya tahun lalu yang tak kalah besar dibanding tahun ini, Indonesia hanya menyampaikan sikap resmi lewat telepon kepada Menteri Luar Negeri Myanmar. Besar kemungkinan, Presiden Jokowi belajar banyak dari Aksi Bela Islam pada 2017 yang memantik sentimen umat. Sejak saat itu, Pemerintah Indonesia terlihat benar-benar serius terhadap isu agama agar tak berbuah perpecahan di dalam negeri. Tragedi Rohingya termasuk mendapat kebijakan antisipatif demikian.
Selain itu, fakta kekerasan dan keterusiran adalah pelanggaran atas basic liberties yang menggugah respons kemanusiaan Jokowi dan Najib. Selain itu, identitas kedunya sebagai seorang muslim merupakan motivasi lain kebijakan bagi Rohingya lahir. Lewat mekanisme sistem politik, D. Easton menjelaskan secara sederhana tentang proses bagaimana sebuah kebijakan negara (outputs) telah melalui serangkaian pemrosesan kompleks di dalam black box hingga membuat Jokowi dan Najib mengambil langkah masing-masing bagi Rohingya. Easton menganalogikan kebijakan negara dengan tubuh manusia yang dipengaruhi berbagai faktor eksternal. Model analisis Easton relevan diterapkan dalam sistem demokrasi seperti Indonesia dan Malaysia di mana unit-unit di luar sistem bisa terakomodasi ke dalam kebijakan negara.
Secara hukum, Indonesia dan Malaysia merupakan negara yang tak meratifikasi Konvensi Pengungsi tahun 1951. Oleh karenanya, pengungsi seperti Rohingya adalah imigran ilegal dan subjek penahanan. Namun, nampaknya dorongan humanitas lebih dikedepankan oleh kedua negara. Lembaga pengungsi dunia seperti UNHCR dan IOM pun menyatakan bertanggung jawab atas para pengungsi. Apalagi, motif utama etnis rohingya bukan mencari suaka di kedua negara tersebut, melainkan Australia. Oleh karenanya, tak cukup alasan bagi Indonesia dan Malaysia untuk memagari wilayahnya terhadap “manusia perahu” asal Rakhine.
Dalam sebulan terakhir, fungsi diplomasi Indonesia terlihat lebih efektif dibandingkan Malaysia. Dengan perspektif struktur, pemerintahan Jokowi terlihat sistematis lewat jajaran Kementerian Luar Negeri yang secara intensif melakukan komunikasi dengan berbagai pihak, termasuk dengan para pimpinan Myanmar, hingga menghasilkan “4+1 Formula”. Sistem pemerintahan terlihat berjalan padu ketika rilis resmi Presiden atas tragedi Rohingya diikuti “marathon diplomacy for humanity” selama tiga hari di Myanmar dan Bangladesh. Walhasil, Indonesia menjadi negara pertama yang mampu memberikan bantuan logistik langsung ke berbagai titik di Rakhine. Di sisi lain, Malaysia terkesan menggunakan megaphone diplomacy sejak lama dengan menampilkan Najib sebagai sosok terdepan yang mengutuk kebijakan Myanmar terhadap etnis Rohingya. Ia sendiri pernah memimpin aksi solidaritas Rohingya di negaranya sendiri pada akhir tahun lalu. Malaysia terkesan mengedepankan pendekatan sanksi bagi Myanmar atas kejahatan kemanusiaan kepada Rohingya lewat forum-forum internasional.
Akhirnya, analisis terhadap kebijakan negara ini tak bisa dilepaskan dari tujuan yang hendak dicapai masing-masing. Dikarenakan krisis di Rakhine State menyulut reaksi masyarakat muslim di berbagai negara, tak pelak negara mayoritas muslim seperti Indonesia dan Malaysia mengambil respons akomodatif terhadap tuntutan publik domestik. Dengan melihat kebijakan negara dari sisi aktor kepala pemerintahnya membuat rasionalisasi-rasionalisasi menjadi serba mungkin. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa Jokowi dan Najib punya kepentingan politik di balik humanitarian diplomacy untuk etnis Rohingya.

Sumber Rujukan:
European Commission. Oktober 2017. Echo Factsheet The Rohingya Crisis. Regional Office Bangkok
Heywood, Andrew. 2004. Political Theory: An Introduction. New York: Palgrave Macmillan.
Najib’s Dangerous and Self-Serving Rohingya Campaign dalam https://thediplomat.com/2016/12/najibs-dangerous-and-self-serving-rohingya-campaign/ diakses pada 1 November 2017 pukul 06.43 WIB
Rawls, John. 1999. A Theory of Justice: Revised Edition. Massachusetts: Harvard University Press.
Southeast Asia’s Migrant Crisis Explained, in Maps dalam http://foreignpolicy.com/2015/05/18/southeast-asias-migrant-crisis-explained-in-maps-rohingya-boats/ Diakses pada 1 November 2017 pukul 06.36 WIB
Wake, Caitlin. Novembe 2016. ‘Turning a blind eye’ The policy response to Rohingya refugees in Malaysia. London: Overseas Development Institute.


Kamis, 27 Juli 2017

PAN DAN DEMOKRAT: PENYATUAN OPOSISI MENUNGGU MOMENTUM

Partai-partai di luar pemerintah semakin dinamis semenjak regulasi krusial tentang kepemiluan disahkan DPR RI pekan lalu (21/7/17) . Kubu oposisi yang terbelah sejak awal terus saling tarik ulur kebersatuannya. Saat koalisi partai-partai pemerintah mengunci lewat regulasi yang dicurigai menguntungkan mereka, nilai kegentingan persatuan antarpartai oposisi semakin tinggi.

Kemarin malam, kita disajikan dramaturgi pertemuan Prabowo – SBY yang menghasilkan sejumlah asa bagi pihak-pihak yang berseberangan dengan pemerintah. Ramainya sorotan media membuat semakin rumitnya analisis politik yang mengemuka. SBY dan gerbong Demokrat adalah pihak yang secara konsisten menyebut diri sebagai partai penyeimbang yang tak berpihak pada kubu koalisi-oposisi (the independent opposition). Dengan mengandalkan SBY effect, manuver Demokrat cenderung efektif dan menanti tren puncak eskalasinya. Bagaimanapun, suara Demokrat tetap signifikan dengan personifikasi SBY-AHY dan yang lainnya. Persuaan Prabowo – SBY menjadi diskursus pada LEVEL ELITE yang memunculkan berbagai kesimpulan politik, khususnya soal penyatuan kekuatan-kekuatan oposisi. Mengacu pada agenda serupa di putaran kedua Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu, isu pertemuan mereka yang terus dirawat, klaim soal beroleh dukungan SBY, serta sikap normatif Demokrat menjadi bukti bahwa situasi itu menjustifikasi dan memberi keuntungan elektoral bagi Anies-Sandi, juga Prabowo.

Kemarin di salah satu media nasional, analis politik Gun Gun Heryanto menyoal manuver politik PAN di parlemen yang tak sejalan pada komitmen koalisi. Terlepas menurutnya PAN akan mendapat disinsentif elektoral akibat sikap yang mendua, pragmatisme PAN adalah lumrah dalam sistem pemerintahan presidensial Indonesia. Mekanisme checks and balances penyelenggaraan negara terjadi penuh negosiasi dan kompromi oleh kubu oposisi. Partai politik di negeri ini bersatu-berpisah ditentukan oleh kepentingan pragmatis nonideologis. Bagaimanapun, ini merupakan pilihan realistis yang lebih baik dibanding sistem parlementer yang pernah diujicoba Indonesia (tahun 1950-9). Parlementaria dianggap tak mencirikan jiwa bangsa Indonesi—yang sering menjatuhkan kabinet lewat mosi tidak percaya parlemen. Singkatnya, negeri ini bertujuan menguatkan sistem presidensial dengan tetap memberi ruang berdinamika bagi pihak oposan.
Menurut pandangan klasik dari Robert A. Dahl, dalam sistem demokrasi, keberadaan oposisi politik bukan hanya realitas tetapi juga parameter kesehatan negara demokratis. Namun, peran oposisi lebih dari sekadar konsep checks-balances, ia memaksa hadirnya kerja pemerintah yang profesional, akuntabel, dan responsif dengan mengutamakan kepentingan rakyat. Sebagai salah satu upaya konsolidasi demokrasi, penguatan oposisi dalam arti positif menjadi hal penting agar tak sekadar menjadi penguat posisi tawar untuk membangun kartel politik (Ambardi: 2009). Sekali lagi, aksi walk out bersama dalam agenda voting RUU Pemilu pada pekan lalu menjadi kesamaan para oposan parlemen pada LEVEL SUBSTANSI. Namun, posibilitas kebersamaan mereka perlu diuji kembali dalam agenda-agenda yang akan menghadapkan pemerintah dengan oposisi (adversarial).


KMP Jilid II
Nostalgia pilpres 2014 dan DPR RI 2014-2015 menciptakan wacana kelahiran kembali Koalisi Merah Putih (KMP) di bawah pimpinan Partai Gerindra. Masuknya Demokrat diyakini menambah kekuatan oposisi ketika berhadapan dengan pemerintah. Namun, di sisa dua tahun pemerintahan Jokowi-JK, memunculkan pertanyaan relevansi pelembagaan ulang kubu oposisi. Apalagi status KMP pernah digantung pasca satu per satu partai anggotanya bergabung dalam pemerintah. Tentang pelembagaan oposisi, Tuswoyo (2016) menjelaskan dengan studi kasus PDIP di Era SBY periode I. Secara umum, keberadaan oposisi parlemen yang dijalankan PDIP membuktikan adanya peningkatan kualitas demokrasi Indonesia. Namun, model demokrasi Indonesia tak cukup optimal mendukung peran oposisi dilihat dari kualitas kebijakan alternatif oposan, kalah voting, aksi profit taking dalam bentuk KKN oleh legislator PDIP sendiri.  

Dalam pertemuan Prabowo – SBY kemarin malam menguatkan potensi merapatnya Demokrat dalam KMP. Kehadiran Agus H. Yudhoyono (AHY) masuk dalam LEVEL SIMBOLIS tentang koalisi yang sedang dijajaki. Agus digadang bakal mendampingi Prabowo di Pilpres 2019. Tak banyak diketahui apa peran AHY dalam agenda tersebut, pasalnya Demokrat lebih sering menyebutnya sebagai ikon baru partai dan direktur eksekutif The Yudhoyono Institute. Tak tersiar jabatan struktural di internal partai baginya. Sebenarnya, sangat beralasan jika Gerindra terus melobi Demokrat karena kebutuhan syarat dukungan kursi DPR (minimal 20%). Praktis kombinasi KMP tersisa (Gerindra + PKS) hanya 18.6%. Demokrat adalah partai yang paling potensial, walaupun masih ada PAN yang mulai menunjukkan gelagat segera menyeberang dari koalisi pemerintah.

Banyak analis memprediksi fragmentasi basis pemilih Pilpres 2019 akan menduplikasi komposisi Pilkada DKI Jakarta 2017. Pertarungan adu masif antara kubu nasionalis dengan agamis akan kembali terhelat. Di LEVEL GRASSROOT, mayoritas pendukung Gerindra-PKS-PAN-Demokrat mampu membawa kemenangan kepada Anies & Sandi di Pilkada lalu. Premis ini yang digunakan para analis bahwa ada upaya pembubaran/penyingkiran ormas-ormas (Islam radikal) lewat Perppu Ormas yang merupakan lumbung suara bagi kubu KMP. Pemerintah dituding menggunakan kekuasaan dan regulasi untuk mendisain kemenangan di Pemilu 2019.


Fenomena KMP sejatinya menjadi parameter peningkatan demokrasi Indonesia, lantaran dalam era presidensial belum ada pelembagaan permanen sebagaimana model yang dijalankan KMP. Jika merujuk penelitian Tuswoyo, kini representasi oposisi lebih banyak. Apalagi ada model oposan tunggal yang diperankan oleh Demokrat. Bahkan, oposisi pernah menjadi mayoritas di awal pemerintahan Jokowi-JK. Sebuah fenomena yang jarang ditemui dalam sistem proporsionalitas di mana partai pemenang pemilu justru menjadi minoritas. Ini menjadi fakta adanya celah dari upaya rekayasa pemilu menuju multi partai sederhana dan sistem presidensial. Idealnya, kuantitas oposisi terjaga pada batas tertentu agar tidak memacetkan hubungan politik (political deadlock) dalam hubungan presiden-DPR. Jika, pada akhirnya “perjuangan” partai oposisi mampu memenangkan pemilu, mereka telah bekerja efektif yang secara tidak langsung turut memberi pengaruh positif terhadap pelembagaan partai oposisi (Tuswoyo: 2016).