Sabtu, 25 Agustus 2018

Simposium Kapitalisme, Sosialisme, Demokrasi (Miriam Budiardjo, penyunting)


Latar Belakang
Perdebatan seputar demokrasi sering kali dikaitkan dengan permasalahan sosialisme dan kapitalisme. Dalam diskursus ini, masalah klasik yang sampai sekarang masih diperdebatkan adalah: apakah demokrasi, sebagai sebuah sistem politik, lebih mungkin hidup dalam sistem ekonomi kapitalisme liberal, atau justru dalam sistem ekonomi sosialis.
Dari sejarahnya, gagasan sosialisme merupakan antitesis dari pemikiran kapitalisme di bidang ekonomi. Argumen pokok pada keduanya adalah perbedaan cara pandang terhadap kesempatan ekonomi dan peran pemerintah. penganut pemikiran sosialis percaya bahwa ketidaksetaraan ekonomi yang terjadi di masyarakat merupakan tanggung jawab pemerintah untuk menguranginya lewat program yang menguntungkan golongan lemah/miskin. Sementara itu, penganut kapitalis melihat kesempatan individu untuk menjalankan aktivitas ekonomi perlu dilindungi oleh pemerintah dengan cara menyediakan pasar bebas.
Dalam bunga rampai Simposium Kapitalisme, Sosialisme, dan Demokrasi, Budiardjo (1984) mempertanyakan korelasi antara kapitalisme dengan demokrasi dan sosialisme dengan demokrasi. Buku ini melihat hubungan demokrasi dengan kapitalisme dan sosialisme sebagai konsep-konsep yang saling terkait, namun sekaligus kontradiktif. Semua ini tergantung pada perspektif apa yang digunakan. Dalam tataran keilmuan, kehadiran para intelektual revisionis di setiap pihak turut memperkuat keterkaitan yang pada awalnya merupakan konsep-konsep yang berseberangan.


Permasalahan
Dewasa ini, terdapat fakta yang yang sepertinya tidak bisa dibantah lagi: menyebarnya gelombang demokrasi. Bahkan dapat dikatakan bahwa era modern adalah era demokrasi. Padahal jika ditilik ke belakang, demokrasi sejak pencanangannya berjalan lamban. Pemikiran dan praktik demokrasi di ranah politik cenderung “dikubur” oleh praktik kekuasaan-kekuasaan berikutnya sejak redupnya era Yunani pada awal abad masehi. Barulah sekitar dua puluh tiga abad berikutnya, nilai-nilai demokrasi tersebut mulai “ditemukan” kembali lewat respon kontra atas kekuasaan politik yang dirasakan penuh ketidakadilan kepada masyarakat.
Dalam bukunya, Huntington menjelaskan dengan baik alasan-alasan timbulnya demokrasi era modern. Pada fase ketiga demokratisasi kurun 1970 hingga 1990-an, terjadi tren globalisasi demokrasi dengan sekurangnya terdapat enam puluh dua negara demokratis.[1] Sistem monarki kehilangan fungsi politiknya. Di sisi lain, fasisme dan komunisme yang pada pertengahan abad ke-20 diprediksi bakal mengalami kejayaan, justru ditinggalkan negara-negara penganutnya.
Atas kondisi tersebut, tulisan hendak mempertanyakan, apakah jatuhnya rezim sosialisme di berbagai negara pada akhir pada ke-20 menjadi penanda runtuhnya eksistensi sosialime? Jawaban dari pertanyaan ini selalu berujung pada relativitas jawaban: tergantung ideologi apa yang dipakai oleh pengamat. Seorang sosialis akan membela dengan berbagai cara dan penafsiran. Kalangan liberal pun sama. Bahkan, kini kehadiran para intelektual revisionis menautkan kedua konsep tersebut yang pada awalnya merupakan konsep-konsep yang berseberangan. Oleh karenanya, tujuan penulisan makalah ini diarahkan pada penjabaran fenomena empirik terciptanya sistem sosial demokrasi yang tidak lepas dari cita-cita paham kapitalisme dan sosialisme.  

Pembahasan
Kapitalisme
Dari perspektif historis, kapitalisme muncul dari perkembangan liberalisme di daratan Eropa. Setidaknya ada tiga faktor yang melatarbekalanginya. Faktor pertama, fenomena perkembangan seni dan kreativitas yang berlepas dari dogma-dogma agama Kristen pada abad 14-15 yang dikenal sebagai abad pencerahan (Enlightenment atau Renaissance). Bahkan, semua ciri liberalisme merupakan aspek penting yang diciptakan masa ini.[2] Tradisi pencerahan yang lahir di tanah Italia membawa spirit sekularisme pada perkembangan pemikiran manusia Eropa. Faktor kedua adalah progresivitas penemuan alat-alat mekanis yang sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat dalam satu masa yang dikenal dengan revolusi industri. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat itu membawa perubahan masyarakat secara signifikan dari masyarakat agraris menjadi industri. Sementara, Ball dkk melihat hal ini dari kacamata lain dengan menyebutnya sebagai fase “exploration new world”[3] untuk mencari wilayah kehidupan baru atas penemuan-penemuan penting di bidang transportasi. Fenomena ini menjadi simbol kebebasan berpikir dan memunculkan harapan baru bagi para individu yang menolak nilai-nilai konservativisme di masyarakat dengan cara meninggalkan wilayahnya. Terakhir, faktor ketiga adalah peristiwa sejarah dinamai Reformasi Gereja (Protestant Reformation). Peristiwa tersebut merupakan sebuah gerakan yang menuntut domestifikasi gereja dari urusan-urusan sosial dan politik.[4]
Lahirnya kapitalisme menunggangi paham liberalisme. Atas nama “natural right” dan “human right” pemikiran liberal menyebar ke semua bidang; sosial, ekonomi, dan politik. Dalam bukunya, Schapiro menjelaskan sepuluh bidang turunan liberalisme. Pada poin kesembilan tentang ekonomi, ia mengatakan bahwa kondisi alamiah hukum ekonomi akan membawa manusia pada kekayaan. Manusia dimanapun didorong oleh motif ekonomi yang pada akhirnya menciptakan peningkatan produksi-konsumsi dan secara alamiah menghasilkan kesejahteraan bagi suatu negara.[5] Ball dkk (2014) dengan jelas membagi dua turunan liberalisme ke dalam merkantilisme dan kapitalisme.[6] Sebagaimana pada tulisan Pembelaan untuk Sosialisme, Kenneth J. Arow mengatakan bahwa kapitalisme berarti sistem ekonomi di mana aturan-aturan tentang hak milik pribadi yang terpisah (alienated) sepenuhnya dihormati, dimana produksi berlangung dalam satuan-satuan yang pemilik pribadinya membeli input dan menjual output, dan menggaji buruh melalui kontrak yang dicapai secara bebas.[7] Intinya, kebebasan individu untuk mengejar kepentingan pribadi merupakan gagasan dari liberalisme ekonomi atau kapitalisme liberal.

Sosialisme
Corak pengaturan ekonomi pada sistem kapitalisme tersebut telah dikritisi oleh kalangan sosialis sepanjang sejarah. Hak milik pribadi atas alat-alat produksi justru menghasilkan eksploitasi. Berbagai permasalahan di masyarakat terjadi akibat ketimpangan kepemilikan alat-alat produksi tersebut. Namun, pada awalnya sosialisme menunjukkan sifat alaminya yang nonrevolusioner dan nonradikal. Lewat tokoh-tokoh Saint-Simon, Forier, dan Robert Owen pada abad ke-18, sosialisme dicanangkan lewat pembaruan prosedur konstitusional dan demokratis.[8] Sosialisme terutama sangat kritis terhadap sistem hak milik pribadi dan alat-alat produksi lewat berbagai argumentasi dan pertimbangan moral demi mencapai cita-cita bersama.
Gagasan tersebut direvisi oleh pemikiran revisionis dari Karl Marx pada abad berikutnya yang berusaha merombak struktur sosial yang sudah mapan. Pada tahapan ini, gagasan sosialisme dipertajam. Disebutkan bahwa sosialisme adalah suatu sistem ekonomi yang keputusan di bidang ekonomi diambil dalam satuan-satuan yang dikuasai oleh negara atau oleh para pekerja.[9] Namun, gagasan Marx dikritik balik oleh pemikiran revisionis berikutnya, Eduard Bernstein yang mencanangkan sosialisme demokratik.
Eduard Bernstein dikenal sebagai “the father of revisionism”[10] karena memformulasikan tipe baru sosial demokrasi yang dikombinasikan dengan pembolehan hak-hak privat. Ia membantah prediksi krisis ekonomi Marx dan meminta Partai Sosialis Jerman berputar haluan dengan menempuh jalan konstitusional dalam mengimplementasikan gagasan sosialisme.[11] Bahkan, lewat perspektif yang lebih “kanan”, Bayard Rustin menyebut bahwa makna sosialisme yang sebenarnya adalah bersifat demokratis.[12] Artinya, bukan sosialisme jika gagasan dan program sosialis tak mempertahankan demokrasi.
Pandangan-pandangan tersebut mengoreksi pemikiran Marxist dan praktik sosialisme di Uni Soviet, Cina, dan lain-lain. Kajian revisionis berikutnya terus menguatkan bahwa praktik sosialisme bersesuaian dengan demokrasi. Sebagaimana yang Ball kemukakan bahwa substansi “the true socialism” adalah an equal vioce in decisions. Sosialisme serupa dengan demokrasi bahwa “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”.[13]  Perspektif ini diklaim merupakan pemikiran awal sosialisme tentang hakikat persamaan manusia (equality).



Sosial Demokrasi: Mendekatkan Dua Ideologi
Sosialisme
Pada akhir abad ke-19, para pemikir Marxis mengalami percekcokan internal yang melakukan tafsiran berbeda-beda mengenai ajaran Marx. Perbedaan utamanya adalah soal cara mencapai tujuan (apakah melalui revolusi dan direct action) atau cukup dengan perubahan dan pebaikan (reform) secara partisi.[14] Seorang tokoh sosialis Jerman, Eduard Bernstein (1850-1932), mengkritik dua pilar ortodoks Marxisme—materialisme sejarah dan perjuangan kelas—dan menyodorkan alternatif berdasarkan efektivitas jalur politik dan kerjasama antarkelas.[15] Ia berpendapat bahwa tujuan dapat dicapai tanpa revolusi, yakni lewat jalur parlemen dan koalisi politik.
Dari titik itulah, arah perjuangan sosialisme mulai terbelah. Di pihak lain, kelompok yang memperjuangkan jalan revolusi tetap konsisten, termasuk Lenin yang berhasil menghidupkan cita-cita Marx lewat berdirinya negara Uni Soviet lewat perjuangan partai komunis. Lalu, ia menggabungkan partai-partai di berbagai negara yang sealiran dengan mendirikan Comintern (Komunisme Internasional) sebagai wadah tunggal monolitik yang mengawasi berbagai organisasi komunis di dunia. Saat itu, gagasan sosialisme yang revolusioner dikenal dengan nama komunisme.
Gagasan Bernstein yang bersifat kiri moderat menjadi penanda ciri sosialisme yang tak kontradiktif terhadap sistem politik yang ada. Gagasannya menyebar dalam kelompok kecil di Eropa, yakni golongan yang setuju dengan jalur politik dan kerjasama antarkelas.[16] Momentum keberhasilan partai-partai sosialis di Eropa dalam jalur pemilu membuat mereka semakin yakin bahwa perjuangan demokratis lewat jalur parlementer dapat dimanfaatkan untuk sedikit banyak mengubah masyarakat.[17] Gagasan tentang perjuangan parlemen sebenarnya sudah dimulai di Inggris lewat gerakan Fabian Society (sosialisme Fabian) sejak tahun 1884. Dengan bergabung bersama Partai Buruh, gerakan ini mampu memenangi pemilu 1924 yang mendudukan Ramsay MacDonald sebagai perdana menteri beraliran sosialis pertama di Inggris dengan berbagai kebijakan nasionalisasi aset dan sistem kesejahteraan sosial, termasuk fasilitas kesehatan gratis.[18]
Kapitalisme
Di pihak kapitalis, terdapat pula peninjauan terhadap sistem ekonomi berlandaskan laisser faire. Ekonom John Keynes mengkritik ekses sistem kapitalis yang mengakibatkan pengangguran besar dan menciptakan ketidakstabilan sosial. Oleh karenanya, ia mengajukan peran pemerintah untuk mengendalikan pasar bebas dan menciptakan lapangan kerja (sampai titik full employment). Pada intinya, ia menganjurkan campur tangan pemerintah (intervetionism) di bidang ekonomi untuk mengurangi aspek-aspek negatif dari kapitalisme.[19] Perubahan peran negara jelas membuat prediksi keruntuhan kapitalisme oleh Marx tak bisa terjadi. Wajah kapitalisme telah banyak berubah dibanding dengan kapitalisme pada awal revolusi industri yang dikecam Marx.
Perubahan-perubahan dalam pemikiran ekonomi kedua belah pihak ini telah membantu untuk menjembatani perbedaan-perbedaan yang ada dan menghasilkan model campuran dalam pengelolaan ekonomi. Ekonomi campuran (mixed economy) adalah sistem dimana motivasi untuk meraih keuntungan pribadi dibenarkan dalam usaha untuk meningkatkan produksi serta pertumbuhan ekonomi.[20] Namun, alat-alat produksi penting dikelola dan dikuasai oleh negara. Negara bertanggung jawab memelihara kompetisi ekonomi dan mengantisipasi terjadinya krisis akibat kegiatan ekonomi yang terlalu terbuka bebas.
Sosial demokrasi adalah sebuah ideologi kiri moderat yang muncul pada akhir abad ke-19 yang berakar dari gerakan sosialisme. Konsep tersebut kemudian terlembaga dalam model suatu negara yang dikenal dengan istilah welfare state yang mulai terbentuk di Eropa setelah Perang Dunia II. Pemerintah memberikan berbagai macam pelayanan sosial dengan skema perpajakan progresif sebagai upaya untuk meratakan tingkat ekonomi masyarakat. Di samping itu, pemerintah tetap memberikan kebebasan demokratis seperti kebebasan berbicara dan berorganisasi. Jadi, hak asasi baik ekonomi maupun politik, dapat tetap terselenggara secara seimbang.[21]
Pengimplementasian model sosialisme versi sosial demokrasi tak bisa menghindari kritik. Pengkritik sosial demokrasi yang berhaluan kiri atau kanan akan menuduh soal otentitas ideologinya. Dalam pembelaannya terhadap sosial demokratis, Gershman berpendapat bahwa solusi yang ditawarkan sistem sosialisme demokratis modern tak bisa diwujudkan oleh aliran kiri atau kanan. Lebih jauh ia mengatakan bahwa prospek pembaruan demokratis ini akan cerah karena terus menjadi tumpuan harapan kebangkitan politik yang demokratis.[22]


Kesimpulan
Gambaran di atas menunjukkan bahwa liberalisme dan sosialisme mempunyai variasi pemikiran yang mengalami perubahan dari gagasan awalnya. Pemaparan di atas juga menunjukkan baik sosialisme maupun kapitalisme perlu beradaptasi dengan sistem negara demokrasi sehingga membuat mereka tetap eksis. Berbagai pandangan teorisi revisionis dari kedua ideologi tersebut secara sadar memperkuat keterkaitan yang pada awalnya merupakan konsep-konsep yang berseberangan. Sebagaimana kesimpulan buku Simposium Kapitalisme, Sosialisme, Demokrasi yang menyatakan bahwa hubungan demokrasi dengan kapitalisme dan sosialisme sebagai konsep-konsep yang saling terkait, namun sekaligus kontradiktif. Semua ini tergantung pada perspektif apa yang digunakan.
Keduanya mempunyai kepentingan dengan nilai-nilai demokrasi tentang kebebasan, keadilan, persamaan, dan lainnya. Meskipun demikian, keduanya mempunyai penekanan yang berbeda. Kapitalisme menekankan aspek kebebasan (liberty) dari demokrasi, sementara sosialisme menekankan aspek lain, yakni persamaan (equality). Keduanya sebenarnya adalah dua nilai ideal yang memang dibutuhkan dalam demokrasi.


Referensi:
Budiardjo, Miriam. 1984. Simposium Kapitalisme, Sosialisme, dan Demokrasi. Jakarta: Gramedia.
Huntington, Samuel P. 1997. Gelombang Demokratisasi Ketiga (terj). Jakarta: Grafiti Press.
Ball, Terence, Richard Dagger, Daniel O’neill. 2009. Political Ideologies and The Democratic Ideal. Boston: Pearson.
Schumpeter, Joseph A. 1994. Capitalism, Socialism and Democracy. New York: George Allen & Unwin.
Schapiro, J Salwyn. 1958. Liberalism: History and It’s Meaning.
Bernstein, Eduard. 1993. The Preconditions of Socialism. Cambridge University Press.
Sheri Berman. (tanpa tahun) “Understanding Social Democracy”. New York: Columbia University.

Sumber internet


[1] Samuel Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga (terj). 1997.
[2] Terence Ball, Richard Dagger, Daniel O’neill. 2009, Political Ideologies and The Democratic Ideal (Boston, 2009), hlm. 21
[3] Ibid., hlm. 49.
[4] Ball dan Dagger menambah satu faktor lagi yakni peristiwa wabah kolera luas yang terjadi pada abad ke 14 yang mematikan sepertiga penduduk Eropa atau dikenal sebagai peristiwa Black Death. Pemikiran konservatif banyak terkubur bersama jasad yang tewas, terutama para bangsawasan. Op.cit., hlm. 48.
[5] Salwyn Schapiro. 1958. Liberalism: History and It’s Meaning. Hlm. 22-23
[6] Op.cit., hlm. 61.
[7] Kenneth J. Arow “Pembelaan untuk Sosialisme” dalam Miriam Budiardjo, 1984. Simposium Kapitalisme, Sosialisme, dan Demokrasi. 33.
[8] Ibid, 7.
[9] Ibid, 33.
[10] https://www.britannica.com/biography/Eduard-Bernstein diakses pada 22 Mei 2018 pukul 10.30 WIB
[11] Dalam halaman pengantar buku Eduard Bernstein. 1993. The Preconditions of Socialism. Cambridge University Press (tanpa halaman)
[12] Op.cit., Budiardjo. hlm.  40.
[13] Op.cit., Ball hlm. 194.
[14] Op.cit., Budiardjo. hlm. 12.
[15] Sheri Berman. (tanpa tahun) “Understanding Social Democracy”. Columbia University. hlm. 8.
[16] Ibid, hlm. 9.
[17] Op.cit., Budiardjo. hlm. 13.
[18] Op Cit., Ball, hlm. 186.
[19] Op Cit., hlm. 16.
[20] Ibid.
[21] Op Cit., 17.
[22] Op Cit., 51.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar