Latar
Belakang
Perdebatan
seputar demokrasi sering kali dikaitkan dengan permasalahan sosialisme dan
kapitalisme. Dalam diskursus ini, masalah klasik yang sampai sekarang masih
diperdebatkan adalah: apakah demokrasi, sebagai sebuah sistem politik, lebih
mungkin hidup dalam sistem ekonomi kapitalisme liberal, atau justru dalam
sistem ekonomi sosialis.
Dari
sejarahnya, gagasan sosialisme merupakan antitesis dari pemikiran kapitalisme
di bidang ekonomi. Argumen pokok pada keduanya adalah perbedaan cara pandang
terhadap kesempatan ekonomi dan peran pemerintah. penganut pemikiran sosialis
percaya bahwa ketidaksetaraan ekonomi yang terjadi di masyarakat merupakan tanggung
jawab pemerintah untuk menguranginya lewat program yang menguntungkan golongan
lemah/miskin. Sementara itu, penganut kapitalis melihat kesempatan individu
untuk menjalankan aktivitas ekonomi perlu dilindungi oleh pemerintah dengan
cara menyediakan pasar bebas.
Dalam
bunga rampai Simposium Kapitalisme, Sosialisme, dan Demokrasi, Budiardjo
(1984) mempertanyakan korelasi antara kapitalisme dengan demokrasi dan
sosialisme dengan demokrasi. Buku ini melihat hubungan demokrasi dengan
kapitalisme dan sosialisme sebagai konsep-konsep yang saling terkait, namun
sekaligus kontradiktif. Semua ini tergantung pada perspektif apa yang
digunakan. Dalam tataran keilmuan, kehadiran para intelektual revisionis di setiap
pihak turut memperkuat keterkaitan yang pada awalnya merupakan konsep-konsep
yang berseberangan.
Permasalahan
Dewasa
ini, terdapat fakta yang yang sepertinya tidak bisa dibantah lagi: menyebarnya
gelombang demokrasi. Bahkan dapat dikatakan bahwa era modern adalah era
demokrasi. Padahal jika ditilik ke belakang, demokrasi sejak pencanangannya
berjalan lamban. Pemikiran dan praktik demokrasi di ranah politik cenderung
“dikubur” oleh praktik kekuasaan-kekuasaan berikutnya sejak redupnya era Yunani
pada awal abad masehi. Barulah sekitar dua puluh tiga abad berikutnya,
nilai-nilai demokrasi tersebut mulai “ditemukan” kembali lewat respon kontra
atas kekuasaan politik yang dirasakan penuh ketidakadilan kepada masyarakat.
Dalam
bukunya, Huntington menjelaskan dengan baik alasan-alasan timbulnya demokrasi
era modern. Pada fase ketiga demokratisasi kurun 1970 hingga 1990-an, terjadi
tren globalisasi demokrasi dengan sekurangnya terdapat enam puluh dua negara
demokratis.[1]
Sistem monarki kehilangan fungsi politiknya. Di sisi lain, fasisme dan
komunisme yang pada pertengahan abad ke-20 diprediksi bakal mengalami kejayaan,
justru ditinggalkan negara-negara penganutnya.
Atas
kondisi tersebut, tulisan hendak mempertanyakan, apakah jatuhnya rezim
sosialisme di berbagai negara pada akhir pada ke-20 menjadi penanda runtuhnya
eksistensi sosialime? Jawaban dari pertanyaan ini selalu berujung pada
relativitas jawaban: tergantung ideologi apa yang dipakai oleh pengamat.
Seorang sosialis akan membela dengan berbagai cara dan penafsiran. Kalangan
liberal pun sama. Bahkan, kini kehadiran para intelektual revisionis menautkan
kedua konsep tersebut yang pada awalnya merupakan konsep-konsep yang
berseberangan. Oleh karenanya, tujuan penulisan makalah ini diarahkan
pada penjabaran fenomena empirik terciptanya sistem sosial demokrasi yang tidak
lepas dari cita-cita paham kapitalisme dan sosialisme.
Pembahasan
Kapitalisme
Dari
perspektif historis, kapitalisme muncul dari perkembangan liberalisme di
daratan Eropa. Setidaknya ada tiga faktor yang melatarbekalanginya. Faktor pertama, fenomena perkembangan
seni dan kreativitas yang berlepas dari dogma-dogma agama Kristen pada abad
14-15 yang dikenal sebagai abad pencerahan (Enlightenment atau Renaissance).
Bahkan, semua ciri liberalisme merupakan aspek penting yang diciptakan masa
ini.[2]
Tradisi pencerahan yang lahir di tanah Italia membawa spirit sekularisme pada
perkembangan pemikiran manusia Eropa. Faktor
kedua adalah progresivitas penemuan alat-alat mekanis yang sangat
berpengaruh pada kehidupan masyarakat dalam satu masa yang dikenal dengan
revolusi industri. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat itu membawa
perubahan masyarakat secara signifikan dari masyarakat agraris menjadi
industri. Sementara, Ball dkk melihat hal ini dari kacamata lain dengan
menyebutnya sebagai fase “exploration new world”[3]
untuk mencari wilayah kehidupan baru atas penemuan-penemuan penting di bidang
transportasi. Fenomena ini menjadi simbol kebebasan berpikir dan memunculkan
harapan baru bagi para individu yang menolak nilai-nilai konservativisme di
masyarakat dengan cara meninggalkan wilayahnya. Terakhir, faktor ketiga adalah peristiwa sejarah dinamai Reformasi Gereja (Protestant
Reformation). Peristiwa tersebut merupakan sebuah gerakan yang menuntut
domestifikasi gereja dari urusan-urusan sosial dan politik.[4]
Lahirnya
kapitalisme menunggangi paham liberalisme. Atas nama “natural right” dan “human
right” pemikiran liberal menyebar ke semua bidang; sosial, ekonomi, dan
politik. Dalam bukunya, Schapiro menjelaskan sepuluh bidang turunan
liberalisme. Pada poin kesembilan tentang ekonomi, ia mengatakan bahwa kondisi
alamiah hukum ekonomi akan membawa manusia pada kekayaan. Manusia dimanapun
didorong oleh motif ekonomi yang pada akhirnya menciptakan peningkatan
produksi-konsumsi dan secara alamiah menghasilkan kesejahteraan bagi suatu
negara.[5] Ball
dkk (2014) dengan jelas membagi dua turunan liberalisme ke dalam merkantilisme
dan kapitalisme.[6]
Sebagaimana pada tulisan Pembelaan untuk Sosialisme, Kenneth J. Arow mengatakan
bahwa kapitalisme berarti sistem ekonomi di mana aturan-aturan tentang hak
milik pribadi yang terpisah (alienated) sepenuhnya dihormati, dimana
produksi berlangung dalam satuan-satuan yang pemilik pribadinya membeli input
dan menjual output, dan menggaji buruh melalui kontrak yang dicapai secara
bebas.[7]
Intinya, kebebasan individu untuk mengejar kepentingan pribadi merupakan
gagasan dari liberalisme ekonomi atau kapitalisme liberal.
Sosialisme
Corak
pengaturan ekonomi pada sistem kapitalisme tersebut telah dikritisi oleh
kalangan sosialis sepanjang sejarah. Hak milik pribadi atas alat-alat produksi justru
menghasilkan eksploitasi. Berbagai permasalahan di masyarakat terjadi akibat
ketimpangan kepemilikan alat-alat produksi tersebut. Namun, pada awalnya sosialisme
menunjukkan sifat alaminya yang nonrevolusioner dan nonradikal. Lewat
tokoh-tokoh Saint-Simon, Forier, dan Robert Owen pada abad ke-18, sosialisme
dicanangkan lewat pembaruan prosedur konstitusional dan demokratis.[8] Sosialisme
terutama sangat kritis terhadap sistem hak milik pribadi dan alat-alat produksi
lewat berbagai argumentasi dan pertimbangan moral demi mencapai cita-cita
bersama.
Gagasan
tersebut direvisi oleh pemikiran revisionis dari Karl Marx pada abad berikutnya
yang berusaha merombak struktur sosial yang sudah mapan. Pada tahapan ini,
gagasan sosialisme dipertajam. Disebutkan bahwa sosialisme adalah suatu sistem
ekonomi yang keputusan di bidang ekonomi diambil dalam satuan-satuan yang
dikuasai oleh negara atau oleh para pekerja.[9] Namun,
gagasan Marx dikritik balik oleh pemikiran revisionis berikutnya, Eduard
Bernstein yang mencanangkan sosialisme demokratik.
Eduard
Bernstein dikenal sebagai “the father of revisionism”[10]
karena memformulasikan tipe baru sosial demokrasi yang dikombinasikan dengan
pembolehan hak-hak privat. Ia membantah prediksi krisis ekonomi Marx dan
meminta Partai Sosialis Jerman berputar haluan dengan menempuh jalan
konstitusional dalam mengimplementasikan gagasan sosialisme.[11] Bahkan,
lewat perspektif yang lebih “kanan”, Bayard Rustin menyebut bahwa makna
sosialisme yang sebenarnya adalah bersifat demokratis.[12]
Artinya, bukan sosialisme jika gagasan dan program sosialis tak mempertahankan
demokrasi.
Pandangan-pandangan
tersebut mengoreksi pemikiran Marxist dan praktik sosialisme di Uni Soviet,
Cina, dan lain-lain. Kajian revisionis berikutnya terus menguatkan bahwa
praktik sosialisme bersesuaian dengan demokrasi. Sebagaimana yang Ball
kemukakan bahwa substansi “the true socialism” adalah an equal vioce in
decisions. Sosialisme serupa dengan demokrasi bahwa “pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”.[13] Perspektif ini diklaim merupakan pemikiran
awal sosialisme tentang hakikat persamaan manusia (equality).
Sosial
Demokrasi: Mendekatkan Dua Ideologi
Sosialisme
Pada
akhir abad ke-19, para pemikir Marxis mengalami percekcokan internal yang
melakukan tafsiran berbeda-beda mengenai ajaran Marx. Perbedaan utamanya adalah
soal cara mencapai tujuan (apakah melalui revolusi dan direct action)
atau cukup dengan perubahan dan pebaikan (reform) secara partisi.[14] Seorang
tokoh sosialis Jerman, Eduard Bernstein (1850-1932), mengkritik dua pilar
ortodoks Marxisme—materialisme sejarah dan perjuangan kelas—dan menyodorkan
alternatif berdasarkan efektivitas jalur politik dan kerjasama antarkelas.[15]
Ia berpendapat bahwa tujuan dapat dicapai tanpa revolusi, yakni lewat jalur parlemen
dan koalisi politik.
Dari
titik itulah, arah perjuangan sosialisme mulai terbelah. Di pihak lain,
kelompok yang memperjuangkan jalan revolusi tetap konsisten, termasuk Lenin
yang berhasil menghidupkan cita-cita Marx lewat berdirinya negara Uni Soviet
lewat perjuangan partai komunis. Lalu, ia menggabungkan partai-partai di
berbagai negara yang sealiran dengan mendirikan Comintern (Komunisme
Internasional) sebagai wadah tunggal monolitik yang mengawasi berbagai
organisasi komunis di dunia. Saat itu, gagasan sosialisme yang revolusioner
dikenal dengan nama komunisme.
Gagasan
Bernstein yang bersifat kiri moderat menjadi penanda ciri sosialisme yang tak
kontradiktif terhadap sistem politik yang ada. Gagasannya menyebar dalam
kelompok kecil di Eropa, yakni golongan yang setuju dengan jalur politik dan
kerjasama antarkelas.[16] Momentum
keberhasilan partai-partai sosialis di Eropa dalam jalur pemilu membuat mereka
semakin yakin bahwa perjuangan demokratis lewat jalur parlementer dapat
dimanfaatkan untuk sedikit banyak mengubah masyarakat.[17] Gagasan
tentang perjuangan parlemen sebenarnya sudah dimulai di Inggris lewat gerakan Fabian
Society (sosialisme Fabian) sejak tahun 1884. Dengan bergabung bersama Partai
Buruh, gerakan ini mampu memenangi pemilu 1924 yang mendudukan Ramsay MacDonald
sebagai perdana menteri beraliran sosialis pertama di Inggris dengan berbagai
kebijakan nasionalisasi aset dan sistem kesejahteraan sosial, termasuk fasilitas
kesehatan gratis.[18]
Kapitalisme
Di
pihak kapitalis, terdapat pula peninjauan terhadap sistem ekonomi berlandaskan laisser
faire. Ekonom John Keynes mengkritik ekses sistem kapitalis yang
mengakibatkan pengangguran besar dan menciptakan ketidakstabilan sosial. Oleh
karenanya, ia mengajukan peran pemerintah untuk mengendalikan pasar bebas dan
menciptakan lapangan kerja (sampai titik full employment). Pada intinya,
ia menganjurkan campur tangan pemerintah (intervetionism) di bidang ekonomi
untuk mengurangi aspek-aspek negatif dari kapitalisme.[19]
Perubahan peran negara jelas membuat prediksi keruntuhan kapitalisme oleh Marx
tak bisa terjadi. Wajah kapitalisme telah banyak berubah dibanding dengan
kapitalisme pada awal revolusi industri yang dikecam Marx.
Perubahan-perubahan
dalam pemikiran ekonomi kedua belah pihak ini telah membantu untuk menjembatani
perbedaan-perbedaan yang ada dan menghasilkan model campuran dalam pengelolaan
ekonomi. Ekonomi campuran (mixed economy) adalah sistem dimana motivasi
untuk meraih keuntungan pribadi dibenarkan dalam usaha untuk meningkatkan
produksi serta pertumbuhan ekonomi.[20]
Namun, alat-alat produksi penting dikelola dan dikuasai oleh negara. Negara
bertanggung jawab memelihara kompetisi ekonomi dan mengantisipasi terjadinya
krisis akibat kegiatan ekonomi yang terlalu terbuka bebas.
Sosial
demokrasi adalah sebuah ideologi kiri moderat yang muncul pada akhir abad ke-19
yang berakar dari gerakan sosialisme. Konsep tersebut kemudian terlembaga dalam
model suatu negara yang dikenal dengan istilah welfare state yang mulai
terbentuk di Eropa setelah Perang Dunia II. Pemerintah memberikan berbagai
macam pelayanan sosial dengan skema perpajakan progresif sebagai upaya untuk
meratakan tingkat ekonomi masyarakat. Di samping itu, pemerintah tetap
memberikan kebebasan demokratis seperti kebebasan berbicara dan berorganisasi.
Jadi, hak asasi baik ekonomi maupun politik, dapat tetap terselenggara secara
seimbang.[21]
Pengimplementasian
model sosialisme versi sosial demokrasi tak bisa menghindari kritik. Pengkritik
sosial demokrasi yang berhaluan kiri atau kanan akan menuduh soal otentitas
ideologinya. Dalam pembelaannya terhadap sosial demokratis, Gershman
berpendapat bahwa solusi yang ditawarkan sistem sosialisme demokratis modern
tak bisa diwujudkan oleh aliran kiri atau kanan. Lebih jauh ia mengatakan bahwa
prospek pembaruan demokratis ini akan cerah karena terus menjadi tumpuan
harapan kebangkitan politik yang demokratis.[22]
Kesimpulan
Gambaran
di atas menunjukkan bahwa liberalisme dan sosialisme mempunyai variasi
pemikiran yang mengalami perubahan dari gagasan awalnya. Pemaparan di atas juga
menunjukkan baik sosialisme maupun kapitalisme perlu beradaptasi dengan sistem
negara demokrasi sehingga membuat mereka tetap eksis. Berbagai pandangan
teorisi revisionis dari kedua ideologi tersebut secara sadar memperkuat
keterkaitan yang pada awalnya merupakan konsep-konsep yang berseberangan.
Sebagaimana kesimpulan buku Simposium
Kapitalisme, Sosialisme, Demokrasi yang menyatakan bahwa hubungan demokrasi
dengan kapitalisme dan sosialisme sebagai konsep-konsep yang saling terkait,
namun sekaligus kontradiktif. Semua ini tergantung pada perspektif apa yang
digunakan.
Keduanya
mempunyai kepentingan dengan nilai-nilai demokrasi tentang kebebasan, keadilan,
persamaan, dan lainnya. Meskipun demikian, keduanya mempunyai penekanan yang
berbeda. Kapitalisme menekankan aspek kebebasan (liberty) dari
demokrasi, sementara sosialisme menekankan aspek lain, yakni persamaan (equality).
Keduanya sebenarnya adalah dua nilai ideal yang memang dibutuhkan dalam
demokrasi.
Referensi:
Budiardjo, Miriam. 1984. Simposium
Kapitalisme, Sosialisme, dan Demokrasi. Jakarta: Gramedia.
Huntington, Samuel P. 1997. Gelombang Demokratisasi Ketiga (terj).
Jakarta: Grafiti Press.
Ball, Terence, Richard Dagger,
Daniel O’neill. 2009. Political
Ideologies and The Democratic Ideal. Boston: Pearson.
Schumpeter, Joseph A. 1994. Capitalism,
Socialism and Democracy. New York: George Allen & Unwin.
Schapiro, J Salwyn. 1958. Liberalism: History and It’s Meaning.
Bernstein, Eduard. 1993. The Preconditions of Socialism.
Cambridge University Press.
Sheri Berman. (tanpa tahun)
“Understanding Social Democracy”. New York: Columbia University.
Sumber internet
[1]
Samuel Huntington, Gelombang Demokratisasi
Ketiga (terj). 1997.
[2]
Terence Ball, Richard Dagger, Daniel O’neill. 2009, Political Ideologies and The Democratic Ideal (Boston, 2009), hlm.
21
[3] Ibid.,
hlm. 49.
[4]
Ball dan Dagger menambah satu faktor lagi yakni peristiwa wabah kolera luas
yang terjadi pada abad ke 14 yang mematikan sepertiga penduduk Eropa atau
dikenal sebagai peristiwa Black Death. Pemikiran konservatif banyak
terkubur bersama jasad yang tewas, terutama para bangsawasan. Op.cit., hlm. 48.
[5]
Salwyn Schapiro. 1958. Liberalism:
History and It’s Meaning. Hlm. 22-23
[6]
Op.cit., hlm. 61.
[7]
Kenneth J. Arow “Pembelaan untuk Sosialisme” dalam Miriam Budiardjo, 1984. Simposium Kapitalisme, Sosialisme, dan
Demokrasi. 33.
[8]
Ibid, 7.
[9]
Ibid, 33.
[11]
Dalam halaman pengantar buku Eduard Bernstein. 1993. The Preconditions of Socialism. Cambridge University Press (tanpa
halaman)
[13]
Op.cit., Ball hlm. 194.
[14]
Op.cit., Budiardjo. hlm. 12.
[15] Sheri
Berman. (tanpa tahun) “Understanding Social Democracy”. Columbia University.
hlm. 8.
[16] Ibid,
hlm. 9.
[17]
Op.cit., Budiardjo. hlm. 13.
[18]
Op Cit., Ball, hlm. 186.
[19]
Op Cit., hlm. 16.
[20]
Ibid.
[21]
Op Cit., 17.
[22]
Op Cit., 51.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar