Pentingnya warisan intelektual zaman
Yunani kuno yang berlangsung dari abad 8-6 SM hingga abad 2 M diyakini sebagai
tonggak awal kelahiran berbagai ilmu pengetahuan. Yunani kuno secara tipikal
lebih kita anggap sebagai nenek moyang ‘kita’ dalam lingkungan politik, baik
secara ideologi, mitologi, dan simbolis.[1]
Berbagai istilah yang dikenal lahir di sana seperti monarki, tirani, oligarki,
aristokrasi, demokrasi dan lain sebagainya menjadi legitimasi yang fundamen di
atas bangunan politik sebagai ilmu pengetahuan. Oleh karenanya, tak ada pernah
habis penyampaian kredit dialamatkan kepada peradaban Yunani kuno saat karya
akademis yang membahas asal muasal ilmu pengetahuan.
Setidaknya,
periode pusat peradaban Yunani kuno berlangsung pada abad 5-4 SM saat entitas
masyarakat yang bernama Athena menjadi tempat kontestasi ide dan pengetahuan
yang sangat filosofis. Sejak kelahiran hingga perkembangannya dewasa ini,
pemikiran dan filsafat politik Barat sangat dipengaruhi oleh filsuf Yunani kuno
seperti Plato dan Aristoteles. Jejak pengaruh Aristoteles, misalnya, bisa
dilacak dalam karya The Prince
Marchiavelli, gagasan pemisahan kekuasaan L’esprit
de lois Montesquieu, Teori Hegel tentang konstitusi negara sebagai ekspresi
kesadaran diri negara, gagasan Marx tentang hubungan ekonomi dan politik.[2] Secara
spesifik, tulisan ini akan membahas tentang periode penting lahirnya ilmu
pengetahuan lewat representasi para tokohnya.
Sokrates,
Plato, dan Aristoteles adalah tiga tokoh Yunani kuno masyhur yang paling banyak
diteliti ilmuwan. Representasi atas ketiganya tak lepas dari sumbangan mereka
kepada ilmu pengetahuan lewat tulisan dan institusi pendidikan (akademi) yang
mereka bentuk. Secara genealogis, keterkaitan ketiganya adalah hubungan antara guru
dan murid. Sokrates adalah guru Plato, dan Plato adalah guru Aristoteles. Dalam
berbagai karya akademis, kesinambungan dan kontradiksi pemikiran antara Sokrates,
Plato, dan Aristoteles dijadikan satu sebagai usaha menunjukkan gambaran besar
tentang pemikiran Yunani klasik. Namun, penggandengan antara Plato dan
Aristoteles lebih sering muncul karena beberapa alasan. Selain karena gagasan keduanya
yang lebih kompatibel dan relevan hingga kini dibandingkan Sokrates, faktanya
warisan intelektual Sokrates adalah upaya dokumentasi yang dilakukan oleh
Plato. Oleh karenanya, penceritaan tentang pemikiran Sokrates sering mengalami
pembiasan hingga diimajinasikan sebagai “Sokrates”-nya Plato. Terkait hal itu,
sumbangan Plato dianggap sangat signifikan dengan menyebut seluruh sejarah
filsafat Barat, termasuk pemikiran Aristoteles (serta para filsuf Yunani
setelahnya) hanyalah rangkaian dari catatan kaki Plato.[3] Lepas
dari hal tersebut, sebagaimana judulnya, tulisan ini memang secara spesifik
membahas pemikiran Plato dan Aristoteles.
Gagasan
utama dalam pendekatan politik atas pemikiran Plato dan Aristoteles bahwa kerja
intelektual keduanya adalah upaya untuk mencapai masyarakat yang baik. Konsepsi
virtue (kebajikan) menurut mereka adalah
tujuan eksistensi manusia yang ideal dalam entitas masyarakat tertinggi
(negara). Namun, arah pemikiran Plato bergerak pada relasi pengertian negara
dengan aspek jiwa manusia, sedangkan Aristoteles memandang negara sebagai suatu
bentuk lanjutan dari kumpulan-kumpulan yang ada dan berbentuk kecil.[4] Plato
memberikan pemaknaan mendalam atas prinsip kebajikan, hingga menurutnya
pembentukan negara adalah jalan paling efektif menuju kehidupan manusia yang
penuh dengan kebajikan. Tak heran jika ia memformulasikan konsep raja-filsuf
(the Philospher king) sebagai pemimpin ideal sebuah negara. Istilah negarawan[5]
yang mengandung pengertian lebih dari sekadar seorang kepala negara, setidaknya
mendekati konsep pemimpin yang dibayangkan oleh Plato.
Istilah
manusia zoon politikon bukan sekadar
konsep yang Aristoteles kemukakan, tetapi merupkan premis dasar adanya negara. Bagi
Aristoteles, manusia membutuhkan negara sebagai tempat mereka menjalin kontak,
relasi, interaksi, dan kolaborasi. Menurutnya, orang yang tak memerlukan
masyarakat dan negara, artinya ia tak menjalankan fitrahnya. Ia sepakat dengan
Plato tentang keberadaan negara sebagai penjamin proses kesempurnaan hidup
manusia lewat peran institusi pendidikan.
Dari
pemikiran keduanya, kita dapati bahwa konsep negara adalah unit kekuasaan
tertinggi di mana tiap manusia di dalamnya mendedikasikan diri dan bertukar
kepentingan. Dengan istilah yang berlainan, kedunya menilai negara merupakan wahana
perwujudan nilai-nilai virtue. Mereka
tak melihat kemungkinan pengimpelementasian nilai-nilai virtue: wisdom, courage,
temperance, dan justice[6] di
atas entitas negara. Padahal dalam perkembangan
dunia modern, konsep supranasional yang diperkenalkan oleh ilmuan merupakan proses
alamiah manusia yang saling membutuhkan satu sama lain. Sifat manusia sebagai
makhluk sosial direpresentasikan oleh negara, lalu negara menjalankan sifat
sosialnya dengan melakukan kerjasama antarnegara.
Sebenarnya,
perbedaan sosiohistoris atau state of
nature antara kondisi modern dan masa Yunani kuno yang membuat gagasan
kerjasama internasional tak pernah terbayangkan oleh pemikir Yunani kuno.
Mereka hidup dalam ratapan kehancuran Athena dalam perang Peloponnesos, hingga
membuat proyeksi kontras atas model pemerintahan dan negara sebelumnya. Negara
saat itu bersifat saling invasif untuk mendapatkan keuntungan sendiri. Selain
itu, pesatnya perkembangan teknologi dan industri saat ini mengubah peta global
dari awalnya negara bersifat self-sufficient
berubah menjadi saling bergantung yang mengharuskan mereka bekerja sama untuk meraih
keuntungan masing-masing. Dari pespektif liberal, kerjasama antarnegara
mempromosikan saling pengertian, toleransi, dan saling ketergantungan.[7]
Perihal kerjasama,
sebenarnya Plato telah menyampaikan konsep tentang nilai-nilai kolektivisme. Gagasan
ini adalah akar pemikiran tentang gagasan komunisme dan antiindividualisme
sebagaimana yang dikembangkan oleh Marx dan pengikutnya. Bahkan, pemikiran
Plato bisa disebut lebih ekstrim dengan menyebut istri dan anak adalah bagian
dari common properties. Harapan Plato
bahwa tanggung jawab bersama atas anak-anak negara bisa menjadikan mereka
sebagai manusia unggul yang tak terikat oleh ikatan keluarga dan mempunyai
loyalitas penuh kepada negara.[8]
Walaupun ada alasan-alasan luhur dari gagasan Plato, justru kritik dengan mudah
muncul perihal kekhawatiran jika yang terjadi adalah “pengabaian bersama” oleh
para laki-laki. Terlepas dari hal tersebut, lagi-lagi konsep kolektivisme Plato
terbatas pada skup negara.
Gambaran tentang negara
Yunani kuno jelas sangat berbeda dengan konsep negara modern. Menurut Sabhine,
kunci memahami pemikiran mereka adalah pemahaman tentang konsep the Greek city-states.[9]
Sebagai gambaran, negara Athena saat itu hanya dihuni kurang lebih 100 ribu
jiwa[10] dengan
luas yang lebih kecil dari provinsi Jakarta sekarang[11] yang
memungkinkan setiap orang berinteraksi satu sama lain dan menerapkan sistem
pemerintahan demokrasi langsung. Selain itu, dalam struktur politik mereka tak
dikenal perbedaan antara negara dan masyarakat. Artinya, ketika orang
membicarakan masyarakat, maka ia sedang membicarakan negara. Tak heran, semua
orang terbiasa membangun solusi bagi kemaslahatan negara, sebagaimana contoh
pionir dalam tokoh Plato dan Aristoteles.
Daftar Pustaka:
Heywood, Andrew. (2004) Political Theory: an Introduction. New
York: Palgrave Macmillan.
McDonald, Lee Cameron. (1962) Western Political Theory: from Its Origins
to the Present New York: Harcort,
Brace & World.
Noer, Deliar. (1982) Pemikiran Politik di Negeri Barat, Jakarta:
Persada.
Rowe, Christopher, Malcolm Schofield. (2001)
Sejarah Pemikiran Politik Yunani dan
Romawi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sabhine, George H.(1959) A History of Political Theory London:
George G. Harrap.
Suhelmi, Ahmad. (2004) Pemikiran Politik Barat. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
[1]
Christopher Rowe, Malcolm Schofield, Sejarah
Pemikiran Politik Yunani dan Romawi, (Raja Grafindo Persada: 2001), 5.
[2]
Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat,
(Gramedia Pustaka Utama, 2004), 5.
[3]
Ibid, 36.
[4]
Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri
Barat, (Persada, 1982), 28.
[5]
Merriam-webster dictionary mengartikan statesman sebagai “a wise, skillful, and
respected political leader”. Sedangkan Longman Dictionary menggunakan istilah
“one who is respected as being wise, honourable, and fair”.
[6]
Lee Cameron McDonald, Western Political
Theory: from Its Origins to the Present (New York, 1962), 19.
[7]
Andrew Heywood, Political Theory: an
Introduction (New York, 2004), 105.
[8]
Suhelmi, Opcit, 40
[9]
George H. Sabhine, A History of Political
Theory (London, 1959), 17.
[10]
Noer, Opcit, 3
[11]
Suhelmi, Opcit, 27.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar