Latar Belakang
Pembahasan
tentang partisipasi politik tak bisa dilepaskan dari keberadaan warganegara
yang mendiami wilayah yuridiksi suatu negara. Warganegara (citizen) merupakan elemen
penting, di samping keberadaan wilayah dan pemerintah, pembentuk struktur
negara. Dengan demikian, partisipasi politik akan menyinggung sistem dan
kehidupan politik pemerintahan di mana sistem politik tersebut berlangsung.
Secara harfiah,
partisipasi politik berarti keikutsertaan dalam proses politik. Menurut Miriam Budiarjo,
partisipasi politik adalah kegiatan
seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan
politik yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara, secara langsung atau tidak
langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (Budiardjo: 1988) Sedangkan menurut
Huntington dan Nelson, Partisipasi Politik yakni kegiatan warganegara yang bertujuan
mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah (Huntington dan Nelson:
1994).
Dari perspektif di
atas, partisipasi politik di Indonesia telah berlangsung jauh sebelum Indonesia
berdiri secara formal. Rakyat (pengertian lain dari warganegara) merupakan
bagian yang terus-menerus diikutsertakan dalam proses politik. Bahkan dalam
sistem pemerintahan kolonial, partisipasi politik juga tampak sebagai bagian
dari usaha-usaha untuk mendapatkan hak politik kemerdekaan. Namun, para ahli
membatasi pembahasan partisipasi politik dalam konteks negara pascakolonial.
Pasalnya pemerintah mewujudkan partisipasi rakyat sebagai bagian dari upaya
pengelolaan negara. Secara umum, partisipasi politik bisa dalam bentuk
terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan
kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif (Huntington dan Nelson:
1994).
Di negara-negara
demokratis, pemikiran yang mendasari konsep partisipasi politik adalah bahwa
rakyat memiliki kedaulatan masing-masing. Hal tersebut diwujudkan melalui
kegiatan bersama untuk nenetapkan tujuan-tujuan serta masa depan masyarakat itu
dan untuk menentukan orang-orang yang akan memegang tampuk pimpinan. Jadi,
partisipasi politik merupakan pengejawantahan dari penyelenggaraan kekuasaan
politik yang absah oleh rakyat (Budiarjo: 3).
Permasalahan
Pascakemerdekaan,
Indonesia menjalankan sistem pemerintahan demokratis sebagai wujud komitmen tinggi
terhadap kedaulatan rakyat. Namun demikian Indonesia telah berulangkali
menyelenggarakan sistem politik bervariasi. Bervariasinya sistem politik
tersebut berpangkal pada perbedaan wawasan tentang bagaimana sistem politik
demokrasi itu seharusnya cukup tangguh untuk melaksanakan pembangunan dengan
partisipasi rakyat seraya menghindarkan timbulnya praktek diktatorial.
Studi sejarah tentang
demokrasi Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan menunjukkan adanya empat model
pelaksanaan yang mempunyai warna tersendiri. Namun, fase proklamasi kemerdekaan
hingga pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda (1945-1949), dimaknai sebagai model
pemerintahan yang tidak murni buatan Indonesia. Sejarah menunjukkan bahwa
Indonesia tak mandiri dalam menyusun model pemerintahan yang efektif bagi
rakyat Indonesia. Saat itu, wacana tentang partisipasi politik jauh dari
pembahasan yang penting. Oleh karenanya, para pakar memasukkan periode
pemerintahan efektif baru benar-benar terjadi saat Indonesia menjalankan
pemerintahan secara mandiri sekitar tahun 1950-an. Yaitu masa demokrasi
konstitusional, yang menonjolkan peran parlemen, serta partai-partai dan yang
karena itu dinamakan Demokrasi Parlementer.
Merasa
bahwa penyelenggaraan negara tak efektif, Presiden Soekarno saat itu mengubah
demokrasi Indonesia yang lebih menguatkan sistem presidensialisme. Baginya,
berbagai krisis sosial disebabkan struktur politik yang terlalu terbuka
(liberal) dalam wujud demokrasi parlementer. Hal itu terjadi karena
kelompok-kelompok politik (dan partai politik) sangat berorientasi pada
kepentingan ideologinya sendiri dan kurang memperhatikan kepentingan politik
nasional secara menyeluruh. Oleh karenanya, Sistem demokrasi liberal dirasa
tidak cocok diterapkan di Indonesia.
Pertanyaan Penelitian
Implementasi
kebebasan berkumpul dan berserikat pada Demokrasi Parlementer terlihat jelas
dengan masifnya aktivitas berbagai partai politik. Euforia sebelum dan sesudah
pemilu pertama Indonesia tahun 1955 menandai tingginya tingkat partisipasi
politik warganegara. Bahkan kesulitan teknis kepemiluan yang diikuti 172 partai
politik dapat diantisipasi oleh peran aktif setiap fungsionaris partai untuk
menjelaskan prosedur pemilu (Feith: X). Namun, prosedur demokrasi yang
terlampau hebat justru berdampak negatif seperti persaingan tidak sehat dan
kekacauan di masyarakat.
Dengan kondisi
parlemen dan masyarat yang terus tak stabil, presiden melakukan tindakan
mengeluarkan keputusan Presiden RI No. 75/1959, sebuah dekrit yang selanjutnya
dikenal dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Tujuan dikeluarkan dekrit adalah
untuk menyelesaikan masalah politik yang semakin tidak menentu dan untuk
menyelamatkan negara. salah satu kebijakan Demokrasi Terpimpin yang kontras
dari sistem parlementer adalah kebijakan penyederhanaan partai politik.
Sebagaimana
diketahui, partai politik merupakan salah satu saluran partisipasi politik warganegara.
Partai politik dibentuk tidak hanya dengan tujuan untuk mendapatkan dan
mempertahankan kekuasaan tetapi juga bertujuan untuk bisa menjadi wadah
penampung aspirasi masyarakat yang dilaksanakan melalui fungsinya sebagai
jembatan antara yang memerintah dan yang diperintah. Oleh karena itu, pasca
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menghasilkan pertanyaan soal bagaimana bentuk
partisipasi politik pada masa Demokrasi Terpimpin?
Landasan Teoritik
Telah
dijelaskan di atas bahwa konsep partisipasi politik adalah proses ikut sertanya
warganegara dalam kehidupan politik di suatu negara. Menurut Miriam, fokus
utamanya adalah usaha-usaha untuk mempengaruhi (Budiardjo: 2). Artinya,
pengertian tersebut berfokus lebih luas dari wujud kegiatan partisipatif dan bersifat
abstrak. Miriam menggunakan istilah “political efficacy” untuk efek dari
kegiatan politik yang dilakukan warganegara. Terlepas bahwa tindakan politik
tersebut sedikit memberi pengaruh atau hanya menjadi perhatian pemangku
kebijakan.
Untuk menjawab pertanyaan
tentang partisipasi politik, tulisan ini akan diarahkan pada karya Huntington
dan Nelson (1994) yang secara spesifik membahas tipikal partisipasi politik di
negara berkembang. Penulis membuat model-model alternatif yang menghubungkan
partisipasi politik dengan variabel-variabel pembangunan lainnya. Model
tersebut tediri dari: model borjuis, otokratis, populis, dan teknokatis.
Mengacu kerangka
teori yang dirumuskan Huntington dan Nelson, tulisan ini hendak menjawab pertanyaan
penelitian dengan cara mencocokkan model partisipasi politik seperti apa yang
diterapkan era Demokrasi Terpimpin. Tinjauan kesejarahan terhadap sistem
pemerintahan pada era Demokrasi Terpimpin menunjukkan tujuan politik yang
berbeda dengan era sebelumnya. Oleh karenanya, ia akan berpengaruh secara
langsung atau tidak langsung terhadap model partisipasi politik pada masa itu.
Uraian
Pelaksanaan
Demokrasi Terpimpin dimulai dengan berlakunya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Sebenarnya, simbol Demokrasi Terpimpin terpimpin mulai dominan sejak
pertengahan tahun 1958 ketika terjadinya pertentangan antara pemerintah pusat
dengan para pemimpin Sumatera yang mendirikan PRRI (Pemerintah Revolusioner
Republik Indonesia) beberapa bulan sebelumnya. Menurut Feith (1988),
pengambilalihan semua hak milik Belanda dalam bulan Desember 1957 menyebabkan
timbulnya susunan politik baru, di mana pemerintah jauh lebih bersifat
otoriter, sedangkan partai-partai dan parlemen sangat lemah. Soekarno dan para
pemimpin Angkatan Bersenjata jauh lebih besar perannya.
Isi Dekrit Presiden adalah:
a. Pembubaran
konstituante
b. Tidak berlakunya
UUDS 1950 dan berlakunya kembali UUD 1945.
c. Pembentukan MPRS
dan DPAS
Dekrit Presiden
mempunyai implikasi luas pada perubahan sistem ketatanegaraan dan peta politik
Indonesia. Pertama, tindakan
tersebut mengakhiri tugas kabinet, parlemen, dan periode sistem parlementer itu
sendiri. Kedua, berakhirnya periode
parlementer tersebut sekaligus mengakibatkan berakhirnya pula periode
pemerintahan oleh partai politik. Ketiga,
berubahnya sistem negara dari model parlementer ke model presidensial di bawah
kekuasaan Presiden Sukarno.
Pandangan negatif
Soekarno terhadap sistem liberal pada akhirnya berpengaruh terhadap kehidupan
partai politik di Indonesia. Partai politik dianggap sebagai sebuah penyakit
yang lebih parah daripada perasaan kesukuan dan kedaerahan. Penyakit inilah
yang menyebabkan tidak adanya satu kesatuan dalam membangun Indonesia. Pendapat
Soekarno banyak diamini oleh berbagai lapisan masyarakat. Fragementasi politik
yang terlalu besar berakibat luas tak hanya di tataran elite, namun juga di
level masyarakat.
Menurut Ricklefs
(2008), upaya ilmuan mendeskripsikan Demokrasi Terpimpin bercorak determinasi
psiko-kultural sosok pemimpin Jawa. Isbodroini (1978) menggunakaan neo
tradisionalisme dalam pemikiran Soekarno dengan corak pemikiran akomododatif
(sinkretik). Soekarno dilihat sebagai pusat legitimasi kekuasaan yang
diperlukan bagi pemimpin lainnya. Walaupun memang terlihat identik, Ricklefs
banyak menganulir identifikasi yang tak sama antara Soekarno dengan raja-raja
Jawa.
Struktur Politik
Dalam pidatonya
pada peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus 1959, Sukarno menguaraikan ideologi
Demokrasi Terpimpin yang kemudian dinamakan Manipol (Manifestasi Politik) yang
isinya berintikan USDEK (Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia,
Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia). Sebagai
konsep politik negara, Manipol-USDEK harus diterima dan dijalankan dalam setiap
aktifitas berbangsa dan bernegara. MPRS
(Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) yang merupakan institusi bentukan
presiden menetapkan Manipol USDEK sebagai GBHN (Garis Besar Haluan Negara).
GBHN menjadi alat pemersatu dalam upaya pembangunan nasional tanpa lagi melihat
perbedaan ideologi politik dan identitas primordial. Temasuk dalam berbagai
tingkatan pendidikan dan kantor pemerintahan.
Suatu badan lain
yaitu Dewan Pertimbangan Agung (DPA)
yang diketuai oleh Presiden Soekarno yang fungsinya memberi masukan atau
pertimbangan kepada presiden. sementara, DPR hasil Pemilu tahun 1955 tetap
menjalankan tugasnya dengan landasar UUD 1945 dan dengan menyetujui segala
perombakan yang dilakukan pemerintah, hingga dibentuk DPR baru. Namun, insiden
penolakan RAPBN 1960 oleh DPR justru membuat Soekarno langsung menyusun
komposisi DPR baru yang bernama DPR-GR (Gotong Royong). Melihat komposisinya,
perbandingan perwakilan golongan Nasionalis, Islam, dan Komunis adalah 44, 43,
30 orang. Jika dibandingkan komposisi pemilu 1955, terjadi peningkatan untuk
golongan Nasionalis dan Komunis. Kerugian bagi kelompok Islam. keputusan ini
jelas mencerminkan salah satu ciri Demokrasi Terpimpin lewat perimbangan
ideologi (Nasakom).
Soal perwakilan
partai, terdapat variasi sikap dan pendapat. Mr Ishaq (tokoh senior PNI)
mengatakan bahwa anggota partai mereka yang duduk di DPR-GR bukalah wakil PNI
karena hubungan antara mereka dan PNI tidak ada lagi, sebab mereka duduk dalam
DPR-GR itu atas hasil penunjukkan (Poesponegoro dan Notosusanto, 1993). Salah
satu bentuk perlawanan elite politik atas DPR-GR adalah “Liga Demokrasi” yang
tersusun dari kelompok partai yang tak setuju dengan ide nondemokratis
Soekarno.
Organisasi
selanjutnya yang dibentuk Soekarno adalah Front
Nasional yang dijadikan sebagai basis massa Soekarno dalam menggaungkan
semangat nasionalisme dan revolusi. Selain itu Front Nasional dijadikan alat
mobilisasi politik untuk pengerahan massa dalam menerima tamu negara,
perayaan-perayaan hari bersejarah dan mengadakan kursus-kursus kader.
Kursus-kursus kader ini dianggap penting karena merupakan usaha indoktrinasi
yang paling ampuh (Febriani, 1990). PKI dan
ideologi komunis yang merupakan bagian dari ideologi Nasakom mendapat
keuntungan yang besar atas indoktrinasi ini dan melakukan berbagai infiltasi
kader ke berbagai institusi/lembaga politik dan masyarakat.
Sebenarnya hanya di
sebagian masyarakat politik saja Manipol-USDEK diterima sepenuh hati, sedangkan
di sebagian yang lain menaruh kecurigaan dan kekhawatiran. Manipol-USDEK itu
sendiri tidaklah begitu jelas. Selain itu, bukan pula suatu upaya untuk
menyelaraskan semua pola penting dari orientasi politik yang ada di Indonesia.
Ideologi negara apapun belum mampu menjembatani perbedaan-perbedaan besar
orientasi politik kutub aristokratis Jawa dan kutub kewiraswastaan Islam. Pada
pelaksanaannya, Manipol-USDEK tidak mampu mengatasi permasalahan tersebut.
Jadi, banyak kalangan Islam yang kuat keyakinannya, khususnya dari suku bukan
Jawa, melihat rumusan baru itu sebagai pemikiran yang asing. Karena itulah maka
pelaksanaan manipol Usdek dapat disimpulkan dilakukan dengan paksaan.
Berdasarkan
pemikiran tersebut maka langkah yang diambil pemerintah Sukarno adalah
melakukan seleksi dan penyederhanaan partai politik. Dengan dikeluarkanya
Pen-pres No.7 1959 pada tanggal 31 Desember 1959 tentang syarat-syarat dan
penyederhanaan partai maka menjadi pertanda dimulainya intervensi politik
pemerintah terhadap partai-partai. Pemerintah hanya mengakui adanya 10 partai
politik yaitu : PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partai Indonesia, Murba, PSII, IPKI, Partai Kristen Indonesia
(Parkindo) dan Persatuan Tarbiyah Islam.
Soekarno berusaha
mengumpulkan seluruh kekuatan politik yang saling bersaing dari Demokrasi
Terpimpin dengan jalan turut membantu mengembangkan kesadaran akan
tujuan-tujuan nasional. Ia menciptakan suatu ideologi nasional yang mengharapkan
seluruh warga negara memberi dukungan kesetiaan kepadanya. Pancasila ditekankan
olehnya dan dilengkapi dengan serangkaian doktrin seperti Manipol-Usdek dan
Nasakom.
Pada masa Orde
Lama, fungsi pers secara tersurat
terkandung dalam ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960 yakni sebagai alat membangun
kesadaran revolusi. Surat Ijin Terbit (SIT) diperketat dengan ketentuan 19
pasal yang msengandung janji pertanggungjawaban surat kabar atau majalah
tersebut dalam mendukung Manipol Usdek. (Poesponegoro dan Notosusanto, 1993).
Lembaga Ekonomi
Sebagaimana yang
termaktub dalam Manipol Demokrasi Terpimpin, pemerintah mengambil beberapa
kebijakan ekonomi penting guna menanggulangi keadaan ekonomi dan keuangan
Indonesia mengalami masa suram. Untuk melaksanakan pembangunan Ekonomi
Terpimpin, Kabinet Karya membentuk Dewan
Perancang Nasional (Depernas) yang dipimpin oleh Muh. Yamin dengan anggota
berjumlah 50 orang. Dalam waktu singkat, Depernas berhasil menyusun Rancangan
Dasar Undang-Undang Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan tahun
1961-1969. Tahun 1963, Depernas diganti oleh Badan Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas) yang dipimpin
langsung oleh Presiden Soekarno. Bappenas bertugas menyusun rencana jangka panjang
dan rencana tahunan, baik nasional maupun daerah, mengawai dan menilai
pelaksanaan pembangunan dan menyiakan dan menilai mandataris untuk MPRS (Poesponegoro
dan Notosusanto: 1993).
Dalam perjalanan
pembangunan ekonomi, tim ekonomi Soekarno melihat bahayanya peredaran uang yang
terlalu banyak di masyarakat. Untuk itu, upaya pemerintah untuk mengatasi
inflasi adalah dengan cara melakukan sanering
yang berlaku tanggal 25 Agustus 1959 pukul 06.00 pagi. Peraturan ini bertujuan
mengurangi banyaknya uang yang beredar yang mengakibatkan tingginya angka
inflasi untuk kepentingan perbaikan keuangan dan perekonomian negara.
Salah satu
kebijakan Ekonomi Terpimpin adalah perjuangan reformasi agraria. Pada era yang lebih dikenal sebagai Demokrasi
Terpimpin inilah lahir momen yang sangat bersejarah, yakni diundangkannya UU
No. 5 tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA). Reformasi agraria ini menegaskan
fungsi sosial dari tanah serta larangan dominasi pihak swasta dalam sektor
agraria. Ini merupakan kemenangan kecil bagi kaum tani miskin. “Molornya” waktu
pelaksanaan reformasi agraria itu, antara lain, karena perjuangan merebut
kembali Irian Barat dari tangan kolonialis Belanda pada kurun waktu 1961-1963.
Selain itu, ketidaksiapan birokrasi dan belum dicabutnya status negara dalam
keadaan darurat perang (SOB) oleh militer turut memperlambat jalannya land
reform.
Dalam tataran politik, model pembangunan Demokrasi
Terpimpin mendekati jenis partisipasi politik otokrasi, dimana sumber kekuatan
politik terletak pada satu orang yaitu pemimpin negara (pemusatan kekuasaan). Konsep nasakom ialah konsep mempersatukan
tiga ideologi yang sebenarnya memiliki landasan epistemologi berbeda, tapi berusaha
disatukan sebagai ladasan philosofis kebangsaan.
Demokrasi terpimpin
yang lahir sebagai antitesa dari kegagalan demokrasi liberal pada akhirnya
menjadi sebuah sistem politik yang totaliter, otoriter dan bersifat diktaktor,
begitu juga dengan konsep nasakom yang pada awalnya diciptakan untuk
mempersatukan semua kekuataan-kekuatan politik yang ada, menjadi paham yang
memaksakan homogenitas pemikiran, pihak-pihak yang tidak setuju dengan
demokrasi terpimpin dan nasakom akan dijustifiaksi sebagai antek-antek neo
imperialisme kolonialisme dan kontra revolusi.
Pemusatan kekuasaan di tangan Soekarno menjadikan
dirinya seorang tiran yang memberangus kebebasan berdemokrasi, lembaga-lembaga
negara yang tidak sehaluan dengan arah kebijakanya kemudian dibubarkan.
Demokrasi Terpimpin menutup partisipasi
politik kelompok menengah. Beberapa tokoh politik tidak luput dari
represifnya, mereka yang berasal dari Masyumi dan PSI, menjadi sasaran
kebijakan demokrasi terpimpinya, mereka banyak dijebloskan ke penjara karena
sikap politiknya yang bersebrangan dengan yang digariskan oleh penguasa.
Strategi kebijakan
ekonomi Demokrasi Terpimpin sebenarnya mirip dengan model otokratis dengan
mengedepankan upaya pertumbuhan dan pemerataan ekonomi. Untuk mencapai
kesejahteraan rakyat jelata, tidak bisa hanya dengan mengandalkan demokrasi
politik saja. Akan tetapi perlu diadakannya pendemokrasian dalam segala bidang,
terutama dalam bidang ekonomi. Lewat doktrin Ekonomi Terpimpin, Soekarno
membangun tim-tim yang bekerja untuk membangkitkan
perekonomian Indonesia. Keberadaan Bappenas mengawali konsep strategi
pembangunan ekonomi tahunan dan jangka panjang pemerintah.
Implementasi reformasi agraria merupakan ciri
penting dari model partisipasi politik otokratik. Usaha untuk meningkatkan
perekonomian rakyat sekaligus menghapus tanah partikelir dan desa perdikan. Jika
pemerintah mampu melaksanakan land reform itu, kecenderungan ke arah
ketimpangan ekonomi akan diakibatkan pertumbuhan ekonomi akan bisa diatasi.
Untuk mencapai hasil tersebut diperlukan konsentrasi kekuasaan negara dan
pelaksanaan kebijakan pemerintah oleh birokrasi.
Pelaksanaan
kebijakan ekonomi Demokrasi Terpimpin tak mampu memberikan dampak positif yang
berarti terhadap pertumbuhan ekonomi. Bahwa segala tindakan moneter tak
berhasil mencapai sasarannya karena pemerintah tidak mempunyai kemauan politik
untuk menahan diri dalam pengeluaran-pengeluarannya (Poesponegoro dan
Notosusanto: 1993). Proyek infrastruktur Mercusuar Ganefo dan Conefo tak mampu
menahan laju inflasi yang terus meningkat setiap tahunnya.
Persatuan yang
dislogankan melalui beberapa media propaganda ternyata hanya mampu
mempersatukan elemen-elemen politik ditingkat permukaan saja, terbukti setelah
pecah tragedi 30 September 1965 persatuan yang selama ini dipropagandakan
pemerintah tidak mampu mencegah pembantaian terhadap jutaan orang-orang yang
dituduh komunis. Konsep integralistik beberapa aliran ideologi yang dirumuskan
oleh Soekarno terbukti telah gagal mempersatukan masyarakat Indonesia.
Kesimpulan
Dekrit Presiden
mempunyai implikasi luas pada perubahan sistem ketatanegaraan dan peta politik
Indonesia. Dalam tataran politik, model pembangunan Demokrasi Terpimpin
mendekati jenis partisipasi politik otokrasi, dimana sumber kekuatan politik
terletak pada satu orang yaitu pemimpin negara (pemusatan kekuasaan). Konsep nasakom ialah konsep
mempersatukan tiga ideologi yang sebenarnya memiliki landasan epistemologi
berbeda, tapi berusaha disatukan sebagai ladasan philosofis kebangsaan.
Implementasi
reformasi agraria merupakan ciri penting dari model partisipasi politik
otokratik. Selain itu, ciri khas doktrin Ekonomi Terpimpin, Soekarno membangun
tim-tim yang bekerja untuk membangkitkan perekonomian Indonesia. Keberadaan
Bappenas mengawali konsep strategi pembangunan ekonomi tahunan dan jangka
panjang pemerintah. Sehingga, upaya total dalam membangun ekonomi terlihat
masif dengan struktur lembaga-lembaga ekonmi yang dibuat.
Temuan Penelitian
Diskursus penting
tentang partisipasi politik soal keikutsertaan dalam konteks proses politik. Ia
adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif
dalam kehidupan politik yaitu dengan jalam memilih pimpinan negara, secara
langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah. Namun, fakta
tentang partisipasi politik pada masa Demokrasi Terpimpin dilakukan dengan cara
otoriter lewat aksi represi memberangus kebebasan berdemokrasi dan membubarkan
lembaga-lembaga negara yang tidak sehaluan dengan arah kebijakanya.
Lewat perspektif
Huntington Nelson, pembangunan politik yang dilakukan Soekarno memang searah
dengan model otokrasi. Secara sepihak, Soekarno melakukan satu perubahan
penting di bidang politik dengan mengubah sistem pemerintahan parlementer ke
sistem presidensial. Lewat berbagai institusi negara yang dibentuknya—termasuk
orang-orang pilihanya, Soekarno melakukan penertiban politik lewat dokrin
Manipol Usdek. Kemudian, ia menjalankan partipasi politik berdasarkan kerangka
model otokratik di tahap pertama.
Implikasi Teori
Jika penggambaran
di atas tepat, maka model pembangunan politik yang masa Demokrasi Terpimpin
adalah otokratis. Partisipasi rakyat lebih banyak bersifat digerakkan
(mobilized). Bahkan lebih jauh, doktrin politik Manipol Usdek menjadi wahana
manipulasi yang sebenarnya kebijakan yang keliru yang dilakukan pemerintah
Demokrasi Terpimpin, atau setidak-tidaknya belum dibutuhkan oleh masyarakat
saat itu.
Kerangka analisis
Huntington Nelson terhadap model partisipasi politik kemudian menimbulkan
pertanyaan dalam konteks sejarah Indonesia. Dalam mengidentifikasi tipe
partisipasi, sebenarnya apakah satu periode kekuasaan harus berangkat dari
tahap satu lalu secara perlahan masuk ke tahap dua. Padahal, bisa saja
pergantian penguasa bukan berarti harus mengulang lagi dari pertama.
Sebagaimana temuan penelitian di atas, periode kekuasaan Demokrasi Terpimpin
cocok dengan tahap satu model otokratik, namun tak bisa berlanjut pada tahap
kedua karena terjadi tragedi sosial politik yang mengakibatkan runtuhnya
kekuasaan Demokrasi Terpimpin.
Referensi
Argenti Gili, Dini Sri Istiningdias. 2017. Pemikiran Politik
Soekarno tentang Demokrasi Terpimpin. Karawang: Jurnal Politikom Indonesiana.
Budiardjo, Miriam (ed). 1998. Partisipasi dan Partai
Politik. Jakarta: Obor Indonesia.
Feith, Hebert, Lance Castle, 1988. Pemilkiran Politik
Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Huntington, Samuel, Joan Nelson. Partisipasi Politik.
Jakarta: Rikena Cipta Press.
Poesponegoro Marwati, Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional
Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka.
Ricklefs. 2008. Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: Serambi
Zesfi Febriani Front Nasional pada masa demokrasi terpimpin
(1959-1965) 1990
Tidak ada komentar:
Posting Komentar