Partai-partai di luar pemerintah semakin dinamis semenjak regulasi krusial
tentang kepemiluan disahkan DPR RI pekan lalu (21/7/17) . Kubu oposisi yang
terbelah sejak awal terus saling tarik ulur kebersatuannya. Saat koalisi
partai-partai pemerintah mengunci lewat regulasi yang dicurigai menguntungkan
mereka, nilai kegentingan persatuan antarpartai oposisi semakin tinggi.
Kemarin malam, kita disajikan dramaturgi pertemuan Prabowo – SBY yang
menghasilkan sejumlah asa bagi pihak-pihak yang berseberangan dengan pemerintah.
Ramainya sorotan media membuat semakin rumitnya analisis politik yang
mengemuka. SBY dan gerbong Demokrat adalah pihak yang secara konsisten menyebut
diri sebagai partai penyeimbang yang tak berpihak pada kubu koalisi-oposisi (the independent opposition). Dengan
mengandalkan SBY effect, manuver Demokrat cenderung efektif dan menanti tren puncak
eskalasinya. Bagaimanapun, suara Demokrat tetap signifikan dengan personifikasi
SBY-AHY dan yang lainnya. Persuaan Prabowo – SBY menjadi diskursus pada LEVEL
ELITE yang memunculkan berbagai kesimpulan politik, khususnya soal penyatuan
kekuatan-kekuatan oposisi. Mengacu pada agenda serupa di putaran kedua Pilkada
DKI Jakarta 2017 lalu, isu pertemuan mereka yang terus dirawat, klaim soal beroleh
dukungan SBY, serta sikap normatif Demokrat menjadi bukti bahwa situasi itu menjustifikasi
dan memberi keuntungan elektoral bagi Anies-Sandi, juga Prabowo.
Kemarin di salah satu media nasional, analis politik Gun Gun Heryanto
menyoal manuver politik PAN di parlemen yang tak sejalan pada komitmen koalisi.
Terlepas menurutnya PAN akan mendapat disinsentif elektoral akibat sikap yang
mendua, pragmatisme PAN adalah lumrah dalam sistem pemerintahan presidensial
Indonesia. Mekanisme checks and balances
penyelenggaraan negara terjadi penuh negosiasi dan kompromi oleh kubu oposisi. Partai
politik di negeri ini bersatu-berpisah ditentukan oleh kepentingan pragmatis nonideologis.
Bagaimanapun, ini merupakan pilihan realistis yang lebih baik dibanding sistem
parlementer yang pernah diujicoba Indonesia (tahun 1950-9). Parlementaria
dianggap tak mencirikan jiwa bangsa Indonesi—yang sering menjatuhkan kabinet
lewat mosi tidak percaya parlemen. Singkatnya, negeri ini bertujuan menguatkan
sistem presidensial dengan tetap memberi ruang berdinamika bagi pihak oposan.
Menurut pandangan klasik dari Robert A. Dahl, dalam sistem demokrasi, keberadaan
oposisi politik bukan hanya realitas tetapi juga parameter kesehatan negara
demokratis. Namun, peran oposisi lebih dari sekadar konsep checks-balances, ia memaksa hadirnya kerja pemerintah yang
profesional, akuntabel, dan responsif dengan mengutamakan kepentingan rakyat. Sebagai
salah satu upaya konsolidasi demokrasi, penguatan oposisi dalam arti positif menjadi
hal penting agar tak sekadar menjadi penguat posisi tawar untuk membangun
kartel politik (Ambardi: 2009). Sekali lagi, aksi walk out bersama dalam agenda voting RUU Pemilu pada pekan lalu
menjadi kesamaan para oposan parlemen pada LEVEL SUBSTANSI. Namun, posibilitas
kebersamaan mereka perlu diuji kembali dalam agenda-agenda yang akan
menghadapkan pemerintah dengan oposisi (adversarial).
KMP Jilid II
Nostalgia pilpres 2014 dan DPR RI 2014-2015 menciptakan wacana kelahiran
kembali Koalisi Merah Putih (KMP) di bawah pimpinan Partai Gerindra. Masuknya
Demokrat diyakini menambah kekuatan oposisi ketika berhadapan dengan
pemerintah. Namun, di sisa dua tahun pemerintahan Jokowi-JK, memunculkan
pertanyaan relevansi pelembagaan ulang kubu oposisi. Apalagi status KMP pernah
digantung pasca satu per satu partai anggotanya bergabung dalam pemerintah.
Tentang pelembagaan oposisi, Tuswoyo (2016) menjelaskan dengan studi kasus PDIP
di Era SBY periode I. Secara umum, keberadaan oposisi parlemen yang dijalankan
PDIP membuktikan adanya peningkatan kualitas demokrasi Indonesia. Namun, model
demokrasi Indonesia tak cukup optimal mendukung peran oposisi dilihat dari
kualitas kebijakan alternatif oposan, kalah voting, aksi profit taking dalam bentuk KKN oleh legislator PDIP sendiri.
Dalam pertemuan Prabowo – SBY kemarin malam menguatkan potensi merapatnya
Demokrat dalam KMP. Kehadiran Agus H. Yudhoyono (AHY) masuk dalam LEVEL
SIMBOLIS tentang koalisi yang sedang dijajaki. Agus digadang bakal mendampingi
Prabowo di Pilpres 2019. Tak banyak diketahui apa peran AHY dalam agenda
tersebut, pasalnya Demokrat lebih sering menyebutnya sebagai ikon baru partai
dan direktur eksekutif The Yudhoyono Institute. Tak tersiar jabatan struktural
di internal partai baginya. Sebenarnya, sangat beralasan jika Gerindra terus
melobi Demokrat karena kebutuhan syarat dukungan kursi DPR (minimal 20%).
Praktis kombinasi KMP tersisa (Gerindra + PKS) hanya 18.6%. Demokrat adalah
partai yang paling potensial, walaupun masih ada PAN yang mulai menunjukkan
gelagat segera menyeberang dari koalisi pemerintah.
Banyak analis memprediksi fragmentasi basis pemilih Pilpres 2019 akan
menduplikasi komposisi Pilkada DKI Jakarta 2017. Pertarungan adu masif antara
kubu nasionalis dengan agamis akan kembali terhelat. Di LEVEL GRASSROOT,
mayoritas pendukung Gerindra-PKS-PAN-Demokrat mampu membawa kemenangan kepada Anies
& Sandi di Pilkada lalu. Premis ini yang digunakan para analis bahwa ada
upaya pembubaran/penyingkiran ormas-ormas (Islam radikal) lewat Perppu Ormas
yang merupakan lumbung suara bagi kubu KMP. Pemerintah dituding menggunakan
kekuasaan dan regulasi untuk mendisain kemenangan di Pemilu 2019.
Fenomena KMP sejatinya menjadi parameter peningkatan demokrasi Indonesia,
lantaran dalam era presidensial belum ada pelembagaan permanen sebagaimana
model yang dijalankan KMP. Jika merujuk penelitian Tuswoyo, kini representasi
oposisi lebih banyak. Apalagi ada model oposan tunggal yang diperankan oleh
Demokrat. Bahkan, oposisi pernah menjadi mayoritas di awal pemerintahan
Jokowi-JK. Sebuah fenomena yang jarang ditemui dalam sistem proporsionalitas di
mana partai pemenang pemilu justru menjadi minoritas. Ini menjadi fakta adanya
celah dari upaya rekayasa pemilu menuju multi partai sederhana dan sistem
presidensial. Idealnya, kuantitas oposisi terjaga pada batas tertentu agar tidak
memacetkan hubungan politik (political
deadlock) dalam hubungan presiden-DPR. Jika, pada akhirnya “perjuangan” partai
oposisi mampu memenangkan pemilu, mereka telah bekerja efektif yang secara
tidak langsung turut memberi pengaruh positif terhadap pelembagaan partai
oposisi (Tuswoyo: 2016).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar