catatan:
Materi ini adalah tugas mata kuliah perbandingan politik di jurusan Politik UI 2017 yang ditujukan sebagai latihan penggunaan teori dan pendekatan dalam kaidah ilmu politik. Kekurangan dan kealpaan adalah bagian dari proses ini. Sedangkan, preferensi dan argumentasi adalah bentuk kebebasan akademis yang dijunjung dalam iklim ilmu pengetahun, dengan tetap mengacu pada kaidah dan aturan baku keilmuan.
-----------------------
Kekerasan
atas etnis Rohingya yang kembali “meledak” di penghujung Agustus 2017 lalu
perlu dipandang di luar dimensi krisis kemanusiaan. Cycle of violence ini mempunyai implikasi serius bukan hanya bagi
Myanmar, tetapi turut memengaruhi dinamika politik internal negara-negara
sekitarnya. Panggilan kemanusiaan Rohingya tak bisa terhindarkan adanya
sentimen agama di baliknya. Lewat perspektif ini, cukup masuk akal jika negara-negara
dengan mayoritas muslim di Asia Tenggara seperti Indonesia dan Malaysia
terlihat cenderung lebih proaktif menjalankan fungsi rekonsiliasi dan misi
kemanusiaan. Krisis yang terjadi di Rakhine State tak bisa semata dipandang
sebagai humanitarian policy, tuntutan
civil society terhadap tragedi
Rohingya merupakan aspek pertimbangan penting bagaimana Indonesia dan Malaysia
menjalankan kebijakan internasionalnya.
Menjadi
pengetahuan umum bahwa akar masalah dari kompleksitas dan multidimensinya
krisis Rohingya ialah tidak diakuinya etnis Rohingya sebagai salah satu etnis
di Myanmar. Rohingya disebut sebagai salah satu etnis terbesar yang tak
mempunyai negara (European Commission: 2017). Konsekuensinya mereka cenderung
tak mendapat perlindungan hak-hak asasi. Oleh karenanya tidak benar jika
masalah Rohingya adalah konflik antaragama. Seolah mengambil momentum konflik
sosial yang ada, militer Myanmar melakukan pengusiran dan pembakaran rumah
etnis Rohingya, yang kemudian diduga sebagai tindakan yang mengarah pada ethnic cleansing. Sayangnya persepsi
soal kekerasaan agama justru yang tersebar ke mancanegara, tak terkecuali di
Indonesia dan Malaysia. Sentimen keagamaan pun muncul dari persepsi yang keliru
ini.
Sebagai
negara yang memiliki penduduk muslim terbesar di ASEAN, pemerintah Indonesia
dan Malaysia tercatat memiliki kontribusi dan perhatian paling besar bagi
Rohingya. Tak hanya bantuan resmi negara, sumbangan kemanusiaan oleh masyarakat
Indonesia dan Malaysia punya peran yang cukup signifikan. Oleh karena itu, tingginya
perhatian Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Najib Razak tak bisa
dipisahkan dari bagaimana respons penduduk dalam negeri. Secara praktis, kalkulasi
politik domestik turut mewarnai kebijakan di level negara. Dengan pendekatan
pilihan rasional dan struktural fungsional, setidaknya tulisan ini hendak
membangun rasionalisasi-rasionalisasi kebijakan yang diambil kedua pimpinan negara
tersebut.
Lepas
bahwa perdebatan atas kekurangan-kekurangan pendekatan pilihan rasional, ia
dapat menjelaskan suatu kebijakan politik tingkat tinggi dengan cara sederhana.
Tak ubahnya cara seorang konsumen memilih produk di pasar, kebijakan politik
juga mengaplikasi rasionalitas serupa. Para teorisi pendekatan ini beranggapan
bahwa it has had its broadest impact upon
political analysis... Political actors
consistently choose the most efficient means to achieve their various ends (Heywood:
2004). Dalam kasus dua kepala pemerintahan di atas, Jokowi dan Najib sedari
awal menghitung berapa besar biaya ekonomi-politik yang harus dikeluarkan untuk
mendapat dukungan politik dalam negeri yang besar. Di sisi lain, aspek-aspek
nonrasio juga penting sebagai pertimbangan yang memengaruhi kebijakan. Sebagaimana
kritik John Rawl atas pilihan rasional bahwa konsep basic liberties and fair equality of opportunity sebagai kunci bagi
pertimbangan moral (nonrasional) yang ikut memengaruhi kebijakan politik (A
Theory of Justice: 1999).
Soal sejarah bantuan untuk Rohingya,
pemerintah Indonesia kalah “serius” dibanding Malaysia. Data akumulatif 2013,
mencatat pencari suaka Rohingya di negeri Jiran 80.000 berbanding 1.500 orang
di Indonesia (foreignpolicy.com). Entah fakta tersebut wajar atau tidak,
bagaimanapun jumlah pengungsi Rohingya Indonesia-Malaysia tentu dipengaruhi
berbagai faktor. Lepas soal kritik ‘closing
one eyes’ policy (HPG Working Paper: 2016), Malaysia menjadi suaka sementara
yang secara de facto memberikan
pekerjaan nonformal, akses kesehatan, dan peribadatan bagi etnis Rohingya. Karena
jumlah yang banyak, kehadiran mereka cukup mencolok dalam aktivitas sosial di
Malaysia. Bahkan dalam tragedi Rohingya tahun ini, secara spontan para pekerja asal
Rohingya melakukan demonstrasi di depan Kedubes Myanmar di Kuala Lumpur,
Agustus lalu.
Walaupun tak sesederhana alasan
politik praktis, tentunya kebijakan intensifikasi bantuan pemerintah Jokowi dan
Najib pada tahun ini dipenuhi berbagai pertimbangan politik domestik. Pendapat
itu dikuatkan oleh analisis pengamat dan oposan bahwa sikap reaksioner
pemerintah dibungkus pencitraan demi meraih simpati rakyat dalam negeri. Faktanya,
basis muslim di kedua negara yang besar sangat penting dalam mendukung
pemerintah. Oleh karenanya, kebijakan tersebut tak bisa dilepaskan begitu saja
dengan motif elektoral jelang pemilu nasional tahun depan. Keduanya berkepentingan
untuk meraih dukungan publik untuk mengamankan periode kekuasaan berikutnya.
Dengan
pendekatan pilihan rasional, alasan-alasan kedua kepala pemerintah tentu tak
ada yang keliru. Jokowi dengan pilihannya dianggap lebih berhasil dibanding
langkah Najib. Indonesia menggunakan meja perundingan, sedangkan Malaysia
memakai panggung politik. Menggunakan diplomasi jalan damai, hadirnya asistensi
Indonesia tak memunculkan resistensi dari internal Myanmar. Tak heran,
kebijakan Jokowi banyak mendapatkan apresiasi internasional, dibandingkan Najib
dengan karakter faux naïf politics-nya (thediplomat.com). Lepas dari pandangan
internasional, pilihan-pilihan kebijakan kedua kepala pemerintahan itu
berpulang pada tujuan politik apa yang hendak mereka capai. Sebagaimana
pandangan para pengamat, Najib punya kepentingan besar dalam menjaga
kepercayaan publik di balik isu korupsi 1MDB yang menyeret namanya. Sementara,
posisi Jokowi tak segenting Najib. Kritik politisasi isu Rohingya oleh
pemerintahan Jokowi surut dengan sendirinya seiring strategi dan hasil
diplomasi yang mampu menjawab espektasi publik nasional.
Namun
dalam perspektif lain, kedua kepala pemerintahan ini memperhatikan
desakan-desakan publik. Kemarahan jutaan penduduk muslim Indonesia dan Malaysia
atas tragedi Rohingya menjadi pertimbangan utama Jokowi dan Najib agar potensi
basis muslim tak berubah menjadi ancaman. Hal yang menarik justru muncul dari
perubahan drastis respons pemerintahan Jokowi. Saat tragedi Rohingya tahun lalu
yang tak kalah besar dibanding tahun ini, Indonesia hanya menyampaikan sikap resmi
lewat telepon kepada Menteri Luar Negeri Myanmar. Besar kemungkinan, Presiden
Jokowi belajar banyak dari Aksi Bela Islam pada 2017 yang memantik sentimen umat.
Sejak saat itu, Pemerintah Indonesia terlihat benar-benar serius terhadap isu
agama agar tak berbuah perpecahan di dalam negeri. Tragedi Rohingya termasuk
mendapat kebijakan antisipatif demikian.
Selain
itu, fakta kekerasan dan keterusiran adalah pelanggaran atas basic liberties yang menggugah respons
kemanusiaan Jokowi dan Najib. Selain itu, identitas kedunya sebagai seorang
muslim merupakan motivasi lain kebijakan bagi Rohingya lahir. Lewat mekanisme
sistem politik, D. Easton menjelaskan secara sederhana tentang proses bagaimana
sebuah kebijakan negara (outputs) telah melalui serangkaian pemrosesan kompleks
di dalam black box hingga membuat
Jokowi dan Najib mengambil langkah masing-masing bagi Rohingya. Easton
menganalogikan kebijakan negara dengan tubuh manusia yang dipengaruhi berbagai
faktor eksternal. Model analisis Easton relevan diterapkan dalam sistem
demokrasi seperti Indonesia dan Malaysia di mana unit-unit di luar sistem bisa
terakomodasi ke dalam kebijakan negara.
Secara
hukum, Indonesia dan Malaysia merupakan negara yang tak meratifikasi Konvensi
Pengungsi tahun 1951. Oleh karenanya, pengungsi seperti Rohingya adalah imigran
ilegal dan subjek penahanan. Namun, nampaknya dorongan humanitas lebih
dikedepankan oleh kedua negara. Lembaga pengungsi dunia seperti UNHCR dan IOM
pun menyatakan bertanggung jawab atas para pengungsi. Apalagi, motif utama
etnis rohingya bukan mencari suaka di kedua negara tersebut, melainkan
Australia. Oleh karenanya, tak cukup alasan bagi Indonesia dan Malaysia untuk
memagari wilayahnya terhadap “manusia perahu” asal Rakhine.
Dalam
sebulan terakhir, fungsi diplomasi Indonesia terlihat lebih efektif
dibandingkan Malaysia. Dengan perspektif struktur, pemerintahan Jokowi terlihat
sistematis lewat jajaran Kementerian Luar Negeri yang secara intensif melakukan
komunikasi dengan berbagai pihak, termasuk dengan para pimpinan Myanmar, hingga
menghasilkan “4+1 Formula”. Sistem pemerintahan terlihat berjalan padu ketika
rilis resmi Presiden atas tragedi Rohingya diikuti “marathon diplomacy for humanity” selama tiga hari di Myanmar dan
Bangladesh. Walhasil, Indonesia menjadi negara pertama yang mampu memberikan
bantuan logistik langsung ke berbagai titik di Rakhine. Di sisi lain, Malaysia
terkesan menggunakan megaphone diplomacy
sejak lama dengan menampilkan Najib sebagai sosok terdepan yang mengutuk
kebijakan Myanmar terhadap etnis Rohingya. Ia sendiri pernah memimpin aksi
solidaritas Rohingya di negaranya sendiri pada akhir tahun lalu. Malaysia
terkesan mengedepankan pendekatan sanksi bagi Myanmar atas kejahatan
kemanusiaan kepada Rohingya lewat forum-forum internasional.
Akhirnya,
analisis terhadap kebijakan negara ini tak bisa dilepaskan dari tujuan yang
hendak dicapai masing-masing. Dikarenakan krisis di Rakhine State menyulut
reaksi masyarakat muslim di berbagai negara, tak pelak negara mayoritas muslim
seperti Indonesia dan Malaysia mengambil respons akomodatif terhadap tuntutan
publik domestik. Dengan melihat kebijakan negara dari sisi aktor kepala
pemerintahnya membuat rasionalisasi-rasionalisasi menjadi serba mungkin. Penjelasan
di atas menunjukkan bahwa Jokowi dan Najib punya kepentingan politik di balik humanitarian diplomacy untuk etnis
Rohingya.
Sumber Rujukan:
European Commission. Oktober 2017. Echo Factsheet The Rohingya Crisis. Regional Office Bangkok
Heywood, Andrew. 2004. Political Theory: An Introduction. New York: Palgrave Macmillan.
Najib’s Dangerous and Self-Serving Rohingya Campaign dalam https://thediplomat.com/2016/12/najibs-dangerous-and-self-serving-rohingya-campaign/ diakses pada 1 November 2017 pukul 06.43 WIB
Rawls, John. 1999. A
Theory of Justice: Revised Edition. Massachusetts: Harvard University Press.
Southeast Asia’s Migrant Crisis Explained, in Maps dalam http://foreignpolicy.com/2015/05/18/southeast-asias-migrant-crisis-explained-in-maps-rohingya-boats/ Diakses pada 1 November 2017 pukul 06.36 WIB
Wake, Caitlin. Novembe 2016. ‘Turning a blind eye’ The policy response to Rohingya refugees in
Malaysia. London: Overseas Development Institute.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar