Setelah kungkungan Arab Skolastik yang
penuh dengan dogmatisme Gereja, Eropa memasuki fase baru yang memproduksi antitesis
pemikiran sebelumnya. Dalam bab “the Eighteen Century” McDonald menjelaskan
secara kronologis bagaimana pemikiran dan filsafat negara-negara modern saat
ini sangat bergantung pada Perancis, Inggris, Jerman pada masa itu. Dalam
perkembangan teori politik, ia memotret poin-poin pembangunan progresif yang
ditorehkan abad tersebut. Salah satunya adalah perubahan orientasi filsafat
baru yang disebut dengan Pencerahan (the enlightment), dimana pergerakan
kefilsafatan menghasilkan kesadaran tentang penolakan terhadap otoritas agama
terhadap seni, moral, politik, dan pengetahuan.[1]
Pemikiran mengambil alih kewenangan agama dalam sebagai tolok ukur segala hal.
Perkembangan sains dan
teknologi yang begitu cepat mengakibatkan perubahan dalam struktur sosial dan pemikiran
secara radikal. Membawa semangat pelepasan diri dari dogma gereja, manusia
mengukur segala sesuatu, terutama kebenaran, lewat parameter sains dan
teknologi. Kemajuan terjadi di berbagai lini kehidupan. Eropa memulai fase
revolusi pemikiran dimana posisi agama atau kepercayaan yang tak masuk akal
atau dipahami panca indera dinggap hanya mitos belaka. Dalam bahasa McDonald,
segala hal didiskusikan dan dianalisis.[2]
Pada abad ke-18, ketika
Inggris menggagas orientasi negara merkantilisme yang ekspansif, Perancis
muncul sebagai “lahan subur” penciptaan berbagai pemikiran dan filsafat politik
modern yang terkenal hingga saat ini. Tanpa maksud mengabaikan “telur”
pemikiran para filsuf Inggris seperti John Locke dan Thomas Hobbes, setidaknya
daratan Perancis menjadi penerus filsafat politik yang penting hingga kini. Oleh
karena itu, tulisan ini hendak diarahkan pada periode penting tahun 1700-an,
yakni buah pemikiran filsuf-filsuf terkenal Perancis.
The philosophes adalah istilah yang
digunakan untuk merujuk pada filsuf besar Perancis. Montesquieu dan Rousseau
adalah dua nama besar yang tak bisa dilepaskan dari perkembangan pemikiran Abad
Pencerahan. Penyandingan nama mereka terjadi bukan semata soal kesamaan
sosiohistoris, tetapi ide keduanya tentang “kontrak sosial” merupakan diskursus
penting yang terus dipelajari hingga kini.
Gagasan
utama dalam pemikiran politik Montesquieu dan Rousseau adalah tentang
pentingnya kontrak sosial sebagai jalan untuk menghentikan keadaan alamiah agar
dapat mewujudkan sebuah keberlangsungan hidup yang teratur dan damai. Montesquieu
mengonsepsikan dimana adanya pemisahan kekuasaan dengan trias politica (eksekutif, legislatif dan yudikatif), ajaran
Montesquieu bertujuan untuk melindungi kemerdekaan individu terhadap tindakan
sewenang-wenang pemerintah negara. Ide ini merupakan modifikasi dari gagasan
pembagian kekuasaan milik John Locke. Sedangkan, Rousseau melalui bukunya Du Contract Social mencetuskan
pemerintahan harus demokratis dimana kekuasaan berada di tangan rakyat. Namun,
negara sebagai mandataris rakyat hadir sebagai penjamin kehidupan masyarakat dari
anarki sosial. Gagasan Rousseau tampak mirip dengan pemikiran Hobbes tentang
keadaan alamiah manusia pra negara yang mendorong terbentuknya kontrak sosial.
Namun, Rousseau bertentangan dengan premis-premis Hobbes soal sifat-sifat
alamiah manusia. Pada perkembangan selanjutnya, pemikiran Montesquieu dan
Rousseau memberikan dampak yang signifikan dalam kehidupan bernegara, struktur
hukum mulai dibangun dengan adanya hubungan antara yang memerintah dan yang
diperintah, antara kekuasaan negara dan individu.
Rousseau
memberikan argumen dimana kekuasaan dialihkan dari kerajaan kepada kehendak rakyat
yang menghasilkan model demokrasi absolut. Sedangkan Montesquieu tidak
memusatkan pemikirannya kepada siapa yang memegang tampuk pemerintahan. Bagi
Montesquieu, hal yang lebih penting adalah eksistensi sebuah konstitusi yang
akan melindungi negara dari kekuataan despotik, dan hal ini bisa dihindari dengan
adanya pembagiaan kekuasaan. Secara umum, pemikiran Rousseau terlihat
fundamental namun tak teknis. Jika negara menggunakan konsep
eksekutif-legislatif-yudikatif, pemikiran Rousseau tak mampu menjelaskan pembagian
rakyat yang duduk di jabatan-jabatan tersebut. Namun, gagasan Rousseau menjadi
landasan soal tanggung jawab pemerintah kepada rakyatnya, sebagai bagian
penting dari prinsip negara modern. Sementara, gagasan Montesquieu menjadi
panduan aplikatif dalam pembentukan negara dengan mencakup tentang hukum,
pemisahan kekuasaan, bentuk negara, dan lainnya.[3] Namun,
kesamaan keduanya terletak pada model ideal sistem negara yang bergantung pada
jumlah penguasa yang hendak diakomodasikan.[4]
Sebuah pemikiran yang berakar dari gagasan Aristoteles tentang plutokrasi
(monarki, aristokrasi, dan demokrasi).
Di tengah pesatnya
pemikiran Abad Pencerahan, Rousseau justru muncul untuk mengkritiknya. Terlepas
adanya kesamaan dalam filsafat politik di antara mereka, pemikiran Rousseau
merupakan sebuah pemberontakan intelektual terhadap zamannya. Laju sains dan
teknologi dianggapnya telah menyebabkan kerusakan akhlak dan dekadensi
kebudayaan yang berujung pada kehancuran ras manusia. Dikenal sebagai sosok la sensibilite, pemikiran Rousseau
menjadi cikal bakal pemikiran Romantisme Eropa yang muncul kemudian dengan
mengenalkan konsep manusia kembali ke alam. Dalam fitrahnya, manusia perlu
mementingkan emosi dan menekan aspek rasionalitas dalam berpikir. Dari titik
ini, terlihat bahwa ia justru membalikkan optimisme pencerahan menjadi
pesimisme total.[5]
Sebagaimana
dikemukakan dalam berbagai literatur, sumbangan pemikiran Montesquieu dan
Rousseau tentang negara dan kekuasaan sangat berpengaruh pada peristiwa sejarah
besar yang dikenal Revolusi Perancis. Bahkan, gagasan keduanya disempurnakan
dalam prinsip check and balance di
negara-negara demokratis. Dalam sejarah Perancis, pemikiran keduanya tentang “perjanjian
rakyat dengan penguasa” menjadi simbol kemenangan rakyat atas sistem monarki
absolut lewat penggulingan Raja Louis XIV. Namun ada fakta sejarah yang berkata
lain. Kerangka pemikiran mereka tentang konsep kebersamaan justru
diejawantahkan pada makna kebersamaan untuk negara. Jalan pemikiran tersebut
mudah menghasilkan pemerintahan totaliter yang hanya baik untuk kepentingan
negerinya. Revolusi Perancis memunculkan sosok Jenderal Napoleon Bonaparte sebagai
pionir pergerakan nasional yang berciri chauvinistis dan ekspansif.
Semboyan-semboyan nasionalistik Perancis yang terkenal “liberte, egalite, and
fraternite” menjadi legalitas nasional untuk menaklukan Eropa daratan yang
kelak menghancurkan Perancis sendiri akibat kalah perang.
Daftar Pustaka:
McDonald, Lee Cameron. (1962) Western Political Theory: from Its Origins
to the Present
Suhelmi, Ahmad. (2004) Pemikiran Politik Barat. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar