Negara berikut perangkat pemerintah dan
masyarakatnya memiliki suatu sistem tertentu untuk mencapai keteraturan sosial.
Gagasan ini muncul karena hubungan antara pemerintah dan masyarakat merupakan
unsur resiprokal yang menghasilkan suatu sistem kenegaraan. Asumsinya,
masyarakat membuat kesepakatan bersama yang dijalankan oleh institusi negara
sebagai representasi kepentingan masyarakat. Sebagai produk pasca Abad Skolastik
Eropa, tesis ini muncul sebagai bantahan kepada konsep kekuasaan Tuhan, yang
mana masyarakat hadir lebih dulu dibandingkan kekuasaan.
Dalam sejarah
perkembangan pemikiran politik, Eropa mengalami kemajuan pesat pasca mundurnya
Gereja Roma dari ranah politik. Menurut Dagger, setidaknya percepatan pemikiran
Eropa modern disebabkan oleh “black
death, exploration new world, Renaissance, and Protestant Reformation.”[1] Gerakan
reformasi protestan merupakan suatu peristiwa sejarah yang tak hanya membawa
perubahan sosial politik Eropa, melainkan pula pemikiran politik Barat.
Melaluinya, Eropa berpindah dari Abad Pertengahan yang didominasi doktrin gereja
memasuki era kebebasan berpikir (Age of Enlightenment) yang mendorong
peningkatan kehidupan manusia karena kekuatan pikiran. Di era ini, banyak
melahirkan pemikir dan filsuf yang memberi pandangan mengenai kehidupan sosial
politik dan ilmu pengetahuan. Thomas Hobbes dan John Locke merupakan produk
abad pencerahan (filsuf) yang terkenal dan telah memberi pengaruh signifikan
bagi pemikiran politik dunia. Secara spesifik, tulisan ini akan berfokus pada
periode penting abad pencerahan lewat representasi pemikiran Hobbes dan Locke.
Gagasan
utama dalam pendekatan politik atas pemikiran Hobbes dan Locke bahwa keduanya
menggunakan pendekatan yang sama dalam membangun konsep negara melalui teori state of nature dan social contract. Walaupun hidup sezaman, dua pemikir Inggris ini
tak berinteraksi secara personal maupun pemikiran lantaran kondisi sosial
politik yang tidak kondusif. Kesamaan pembahasan keduanya lebih merupakan
representasi atas fakta sosiohistoris Inggris yang mengalami perang sipil
berkepanjangan. Saat itu terjadi perebutan kekuasaan antara kerajaan yang
didukung oleh geraja dengan parlemen yang disokong oleh kelompok puritan. Peperangan
yang terjadi di level kekuasaan melibatkan faktor sosial, ekonomi, dan agama.
Hobbes
menulis gagasan tentang negara dalam pelariannya di Perancis dengan judul Leviathan, sebuah negara yang dalam
istilah modern disebut pemerintahan absolut. Sedangkan, Locke menulis sebuah
karya fenomenal Two Treaties of Government
yang membangun model pemerintahan monarki konstitusional sebagaimana sistem
pemerintahan Inggris saat ini. Perbedaan kesimpulan kedua tokoh tersebut
sejatinya dibangun lewat premis-premis yang serupa terhadap unit analisis yang
sama, tentang state of nature dan social contract. Oleh karena itu,
setidakanya secara singkat tulisan ini hendak membahas konsep-konsep tersebut
lewat pengontrasan gagasan kedua tokoh di atas.
Sebelum menelaan konsep
state of nature (kondisi alamiah),
pada mulanya kedua pemikir Inggris ini membahas tentang sifat dasar manusia. Mereka
membangun premis-premis yang berseberangan tentang sifat manusia. Sama-sama
sepakat bahwa keadaan alamiah menciptakan kebebasan bagi manusia, namun Hobbes
menilai pada titik tersebut justru menciptakan manusia yang berorientasi
pemenuhan hawa nafsu dan kebahagiaan pribadi hingga berimplikasi sebagai sebab
penderitaan orang lain. Sementara, Locke melihat hal yang berbeda terhadap
sifat alamiah manusia yang sejatinya penuh dengan nilai kebaikan dan
solidaritas sosial. Locke menilai rasionalitas mengarahkan manusia untuk tak
merugikan orang lain. Akal budi merupakan representasi hukum alam yang jika
manusia melanggarnya, maka alam sendiri yang akan mengganjarnya.
Lewat perbedaan
pandangan soal sifat manusia, gagasan tentang state of nature merupakan akibat yang sangat mempengaruhi
pembentukan masyarakat ideal menurut Hobbes dan Locke. Hobbes mengajak para
pembaca bukunya untuk membayangkan kondisi manusia dengan kebebasan sempurna
tanpa negara dan pemerintah. Situasi tersebut menurut Hobbes akan mengarah pada
kondisi manusia yang saling perang (state of war). Tak heran jika Hobbes
menyarankan negara memiliki kekuatan besar untuk mengontrol penuh masyarakatnya
demi menjaga ketertiban sosial. Sementara, menurut Locke bahwa keadaan alamiah manusia
adalah situasi yang penuh dengan kedamaian, kebajikan, saling melindungi, penuh
kebebasan, tak ada rasa takut, dan penuh kesetaraan.[2]
Lebih jauh, Locke menilai hadirnya pemerintahan ditujukan untuk menyempurnakan
keadaan alamiah yang sudah ada. Pemerintah merupakan pihak penengah yang
memediasi hubungan sosial ekonomi di dalam masyarakat. Sekaligus, pemerintah
menjadi penjamin tiga hak dasar kemanusiaan versi Locke: hak hidup, kebebasan, dan
hak kepemilikan (properti) dari sifat buruk manusia yang culas dan curang.
Sepakat
dengan Hobbes, Locke mengakui bahwa sifat proteksi diri (self-preservation)
yang merupakan hukum alam yang dimiliki oleh semua manusia. Konsep inilah yang
mengarahkan pemikiran mereka pada penyusunan teori perjanjian sosial (social
contract) dalam dimensi state of nature
yang berbeda. Hobbes melihat ketakutan atas ancaman dari luar membuat manusia
secara beramai-ramai memberikan mandat kepada “penguasa” dengan menyerahkan
hak-haknya sebagai jaminan. Dengan alasan itulah, manusia bersedia membatasi
kebebasan alami, demi keselamatan jiwanya. Dari perspektif lain, Locke tak memandang
bahwa all war all merupakan keadaan
alamiah manusia. Oleh karenanya, penyerahan kebebasan manusia kepada “pemerintah”
justru untuk menjamin tiga hak dasar kemanusiaan tetap terjaga. Kontrak sosial
versi Locke mengikutsertakan pemerintah untuk tunduk dalam aturan yang dibuat
bersama. Bahkan, Locke menilai masyarakat mempunyai hak untuk menggulingkan
pemerintahan dan membentuk yang baru jika terjadi pelanggaran atas perjanjian
yang sudah disepakati bersama.
Sebagaimana
ide persamaan manusia dan kebebasaan yang berkembang saat itu, Hobbes dan Locke
juga menolak adanya tingkatan status manusia atas dasar fixed or ascribed by nature.
Keduanya juga percaya bahwa pemerintah dibentuk lewat persetujuan rakyat. Jika
Hobbes percaya bahwa implementasi kekuasaan dengan model apapun bermuara pada
ketertiban masyarakat. Sedangkan, Locke tak percaya pada pemerintah yang tak
terbatas. Ia menyatakan rakyat hanya akan patuh pada pemerintahan terbatas
(konstitusional), bahkan rakyat mempunyai right
of revolution.[3]
Paham ini lah yang dipercayai oleh berbagai akademisi, bahwa pemikiran Locke
mengilhami terjadinya Revolusi Perancis dan perang sipil Amerika Serikat.
Thomas Hobbes dan John
Locke merupakan filsuf politik yang memberi kontribusi penting dalam
perkembangan politik Barat pada periode setelah periode Reformasi Protestan dan
masa Renaissance. Pemikiran mereka tentang manusia dan kondisi alamiah manusia
menjembatani lahirnya teori kontrak sosial hingga terbentuknya negara dan
penguasa ideal. Namun, fakta tentang banyaknya model pemerintahan absolut yang
runtuh membuktikan bahwa teori negara versi Hobbes tak empiris. Bahkan Inggris
tak pernah menyentuh level monarki absolut sepeninggal Hobbes. Kekeliruan
Hobbes muncul dari kesalahannya memprediksi konsep altruisme kekuasaan yang
dijalankan penguasa. Alih-alih memberikan rasa aman, model negara absolut
justru menghadirkan rasa ketakutan bagi rakyatnya sendiri. Selain itu, konsep civil society yang diabaikan oleh Hobbes
justru menjadi salah satu aspek determinan dalam perkembangan teori negara
modern.
Daftar Pustaka:
Ball, Terence, Richard Dagger, Daniel
O’neill (2009) Political Ideologies and
The Democratic Ideal. Boston: Pearson.
Suhelmi, Ahmad. (2004) Pemikiran Politik Barat. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar