Polis
(negara kota) Yunani pada kisaran abad kelima sebelum masehi dipercayai
merupakan peletak dasar demokrasi sebagai sebuah sistem politik. Sekelompok
masyarakat madani yang dikenal dengan tradisi pemikiran dan kebijaksanaan
hendak menjawab pertanyaan: bagaimana pengorganisasian kekuasaan dapat
mengakomodasi kepentingan dan kesejahteraan bersama. Namun, pemikiran dan
praktik demokrasi di ranah politik cenderung “dikubur” oleh praktik
kekuasaan-kekuasaan berikutnya sejak redupnya era Yunani pada awal abad masehi.
Barulah sekitar dua puluh tiga abad berikutnya, nilai-nilai demokrasi tersebut
mulai “ditemukan” kembali lewat respons kontra atas kekuasaan politik yang
dirasakan penuh ketidakadilan kepada masyarakat.
Gelombang
demokrasi pasca Yunani mempunyai pendekatan yang berbeda dari kondisi sosial
politik di negara Athena. Barrington Moore Jr dalam Amien Rais (1986) menyebut
jalan demokrasi (the democratic route) tersebut lahir lewat rangkaian revolusi
politik yang kini merupakan bagian dari pilar-pilar demokrasi seperti
kebebasan-kemerdekaan, pengangungan harkat martabat, rule of law, dan lembaga-lembaga perwakilan. Pembahasan tentang
asal usul demokrasi menjadi topik penting untuk melihat mengapa demokrasi
menjadi jawaban yang seragam di seluruh darataan Eropa akibat kemiskinan dan
keterbelakangan yang dialami masyarakat secara luas. Oleh karenanya, pada
pertemuan awal mata kuliah “Demokrasi dan Demokratisasi” diisi oleh materi
tentang sejarah awal mengenai spirit sosial demokrasi. Secara spesifik, bahasan
ini diarahkan kepada ceramah Prof. Dr. Maswadi Rauf tentang “Dasar-Dasar Sosial
dari Demokrasi”.
“Kedaulatan
rakyat” merupakan konsep kunci sistem demokrasi yang tak bergeser hingga kini.
Oleh karenanya, pemikir politik yang punya sumbangan pemikiran penting untuk
demokrasi seperti Machiavelli, Rousseau, Hobbes dan lainnya tak bisa disebut
pemikir demokrasi. Walaupun menawarkan konsep moralitas sekuler dan hakikat
hukum dalam politik (Amien Rais, 1986: xii) yang merupakan esensi penting
demokrasi, mereka masih melegitimasi absolutisme dan monarki. Prinsip tersebut lah
yang kontadiktif terhadap konsep kedaulatan rakyat. Tradisi intelektual pada
zaman Pencerahan (Enlightenment) baru benar-benar menyumbangkan ide-ide tentang
hakikat kekuasaan rakyat. Terkait hal itu, Maswadi menarik benang merah bahwa
para pemikir demokrasi menyampaikan gagasan tentang “rasa ketidakpercayaan lagi
pada penguasa (pemerintah)”. Jelas sekali pemikiran ini berakar dari gagasan
liberalisme tentang kekuatan individu. Bahwasanya, kepercayaan umum atas
kemampuan setiap individu dalam menentukan nasibnya sendiri harus dihargai.
Gagasan
tentang “ketidakpercayaan pada penguasa” merupakan elaborasi yang cerdas dalam
ceramahnya soal dasar sosial demokrasi. Hal ini sejalan dengan kondisi alamiah seorang
penguasa yang cenderung egois. Dampak yang paling ekstrim dari sifat egoistis
tersebut menghasilkan kemiskinan, kesengsaraan, dan kebodohan pada rakyat
biasa. Sepanjang sejarah dunia, komitmen penguasa yang mementingkan rakyat
hanyalah slogan kekuasaan yang memberikan bukti nyata. Rakyat hanya
terombang-ambing dari penguasa satu ke penguasa berikutnya. Maswadi mengkritik
istilah-istilah utopis tentang “benevolent dictatorship” atau “philosopher king”
yang muncul pada masa itu karena secara dominan penguasa mementingkan dirinya
sendiri. Hal itulah yang mendorong public
distrust lewat inisiasi para filsuf.
Hermeneutika
menjadi kemahiran Maswadi dalam interpretasi kondisi sosial demokrasi. Hal ini
jelas menunjukkan ketekunannya terhadap subjek tertentu. Dalam bahasanya, para
filsuf menghasilkan “ide gila” lewat pewacanaan mekanisme-mekanisme kontrol
penguasa. Hal yang menarik, seni kontekstualisasi ke suasana kontemporer
Indonesia gaya Maswadi cukup memberikan gambaran jelas atas peristiwa-peristiwa
sejarah. Misalnya, betapa akan menghebohkan jika seorang warga Bantul
menyampaikan ide kontrol atas kekuasaan Raja Jogja. Atau, fenomena empiris
seorang mantan Presiden RI yang mengatakan dirinya begitu terkekang atas sistem
kontrol kekuasaan di Indonesia. Tentu penggambaran ini relevan dengan konteks
sejarah saat demokrasi mulai dicetuskan. Intinya, pengenalan mekanisme kontrol
penguasa jelas menunjukkan bahwa demokrasi memang tidak percaya bahwa penguasa
akan berbuat baik terhadap rakyat.
Bagi
Maswadi, lahirnya revolusi politik menuju demokrasi merupakan kerja berat para
filsuf dengan idealisme nalar yang mencarikan jalan untuk perbaikan masyarakat.
Dalam kacamata Moore Jr, the democratic
route menunggangi pemikiran kapitalisme sehingga menghasilkan model
demokrasi yang terwujud lembaga perwakilan (parlemen) untuk mengakomodasi suara
kelompok menengah, pemilik kekuatan kapital. Yang harus diperjelas adalah bahwa
pemikiran demokrasi Barat dan liberalisme-kapitalisme merupakan buah pemikiran orang-orang
yang sama. Hal itu disampaikan dengan jelas oleh Ball, Dagger, O’Neill (2014)
dalam Bab Liberalism yang mengaitkan liberalism, human nature, and freedom (hlm 45-46). Agaknya deskripsi mengenai
hal ini terlewatkan dalam penjelasan Maswadi. Namun, tentu dapat dipahami bahwa
ceramahnya lebih diarahkan pada gambaran umum dan poin utama pemikiran
demokrasi para filsuf.
Hingga
kini, demokrasi merupakan sebuah proses mengangkat kedaulatan rakyat di atas
segalanya. Proses tersebut dimakna sebagai suatu jalan panjang menuju
konsolidasi demokrasi. Dalam ceramahnya, Maswadi menjelaskan bahwa pada awalnya
demokrasi berupaya mengubah secara keseluruhan struktur dan kultur politik yang
ada. Ia meyakini bahwa dalam rentang panjang sejarah stuktur kekuasaan dunia
diisi oleh model monarki absolut dengan kultur yang bercorak feodalistik. Walaupun
memang ada variasi lain, seperti model kekuasaan di Amerika Serikat pada
awalnya diisi oleh kelompok-kelompok aristokrasi. Lewat komparasi tiga negara,
Tocqueville melihat keberhasilan konsolidasi demokrasi Amerika Serikat akibat
politik dari sistem desentralisasi administrasi negara yang bersesuaian dengan
budaya politik yang berkembang (2005: 67). Intinya, kemenangan demokrasi di
manapun adalah keberhasilannya menggantikan absolutisme dan feodalisme.
Jalan
menuju konsep demokrasi ideal merupakan sebuah proses panjang bagi semua negara
di dunia yang menerapkannya. Konsep demokrasi menurut Ball (2014) adalah
“essentially contested concept” sehingga penjelasan terhadapnya disesuaikan
dengan konteks zamannya. Seringkali menjadi legitimasi (lip service) penguasa
dengan klaim diri sebagai seorang demokrat namun meraih dan menjalankan kekuasaan
dengan cara-cara nondemokratis. Lebih jauh, Robert Dahl menyampaikan bias dari
demokrasi dengan konsep “diktator mayoritas” dan “tirani mayoritas”. Pada poin
ini, pandangan Maswadi jelas menunjukkan keberpihakannya pada demokrasi. Tak
terlihat, apa sebenarnya kritik Maswadi terhadap demokrasi itu sendiri. Bahkan
lebih jauh, menurutnya, fenomena “kegagalan demokrasi” dalam suatu negara
justru karena ketidakmampuan warganegara menjalankan praktik-praktik demokrasi
dalam negara. Lepas dari hal tersebut, bagaimanapun, demokrasi memang bukan
alat untuk mencapai kesejahteraan. Ia merupakan instrumen yang mengangkat
daulat rakyat dalam tataran negara. Sebagaimana menurut Winston Churcill, “No
one pretends that democracy is perfect or all-wise. Indeed, is has been said
that democracy is the worst form of Government except all those other forms
thath have been tried from time to time” (Ball, 2014: 17).
Referensi
Ball, Terence, Richard Dagger, Daniel
O’neill. 2009. Political Ideologies and
The Democratic Ideal. Boston: Pearson.
Rais, Amien (Ed). 1989. Demokrasi dan Proses Politik. Jakarta: LP3ES.
Tocqueville,
Alexis de. 2005. Tentang Revolusi,
Demokrasi, dan Masyarakat. Jakarta: Buku Obor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar