Senin, 05 Maret 2012

ISLAM DI NUSANTARA: ISLAM HADRAMAUT


ISLAM DI NUSANTARA: ISLAM HADRAMAUT



van Berg dalam karyanya menjadi rujukan utama para akademisi dalam melacak jejak sejarah awal keturunan Arab
 
Perjalanan panjang Hadrami[1] menyebar ke seluruh belahan dunia menegaskan bahwa mereka adalah penakluk luasnya lautan, ger-sangnya gurun, dan dingin-nya pegunungan. Kuatnya mental mereka mengingatkan kita pada kuatnya budaya diaspora suku Bugis-Makasar[2] dan suku Minang. Sebenarnya kondisi masyarakat yang seperti apa yang menyebabkan budaya berhijrah sangat kuat dalam diri mereka? Namun, penulis tidak menaruh perhatian kuat untuk menemukan jawaban ini karena akan keluar dari tujuan penulis-an. Dalam pengetahuan di bangku sekolah, dikisahkan bahwa penyebaran Islam di Nusantara diimpor dari Gujarat, daerah perdagangan internasional yang berada di India. Benar, banyak pe-neliti yang mengatakan demikian. Namun, jika dilihat dalam konteksnya jalur pelayaran dan fungsi Gujarat sendiri sebagai pelabuhan dagang internasional. Pastinya setiap pedagang, bahkan setiap orang, tertarik untuk singgah untuk berbagai keperluan.
Penasihat ahli pemerintahan Hindia Belanda sekaligus doktor (hukum Islam) dari Universitas Leiden, van den Berg melakukan pengkajian fikih, tarekat, dan bahasa Arab. Memang ia kalah terkenal dibandingkan orientalis Dr. Snouck Hukronje yang menggantikannya sebagai penasihat. Rasanya sangat tepat membicarakan karyanya Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara.[3] Dalam tulisannya dikatakan bahwa bangsa Arab yang lain (selain orang Hadramaut) sampai saat penelitiannya akhir tahun 1880-an, tidak ada pengaruhnya sama sekali, baik etnologis maupun kebahasaan, terhadap ciri-ciri koloni Arab di Nusantara. Sayangnya Hadramaut adalah salah satu dari bagian negeri Arab yang jarang dikenal. Untuk menyusuri lebih jauh hasil penelitian yang dilakukan Berg—yang memang memiliki kekurangan, yaitu ia tidak per-nah menginjakkan kakinya ke daratan Hadramaut, dengan kata lain semua informasi yang ia dapatkan berasal dari sumber sekunder—harus ada informasi yang lebih fokus dan akurat yang menjelaskan Hadramaut tersendiri, se-hingga nantinya bisa ditarik kesimpulan yang paling benar asal muasal Islam di Nusantara.
Berangkat dari permasalahan di atas, penulis mencoba menggali sumber mengenai Hadramaut yang bisa memverifikasi tesis Berg bahwa Islam di Nusantara berasal dari Hadramaut yang sekarang meru-pakan salah satu kota di negara Yaman di Timur Tengah. Penulis menghadirkan karya klasik WH Ingrams sebagai pegawai politik pertama, kawasan Protektorat Aden. Data-data dikumpulkannya selama satu tahun mulai 1934 saat ia masih menjabat kemudian rampungkan menjadi satu buku pada tahun 1939.
Ingrams mengambil data statistik pada tahun penelitiannya, sekitar 30% dari 20% penduduk Hadramaut tinggal di luar negeri, menetap di Hindia Timur, Afrika Timur, Mesir dan negara-negara sekitaran Laut Merah. Di Hindia Belanda, di pulau Jawa dan Sumatera dibanjiri oleh Arab Hadramaut. Ia juga membenarkan tulisan van den Berg dan menguatkannya, bahwa jumlah terbesar orang Arab di kepu-lauan Hindia berasal dari Shibam dan Tarim. Komunitas di Singapura juga merupakan orang-orang asli kota Tarim, Seiyun, dan Shibam, dan berasal dari suku Nahd.
Data dari Konsul Jendral Belanda, Dr. L de Vries, menyebutkan bahwa jumlah orang Arab di Hindia Belanda meningkat, tidak terkecuali yang berasal dari Hadramaut. Pada tahun 1860 diper-kirakan jumlah orang Arab mencapai 9000 jiwa dan setelah tahun 1900 diadakan sensus resmi Pemerintah Hindia Belanda. Pe-ningkatan tahun 1920-30 sekitar 4.7% dan sebelumnya pada tahun 1905-20 mengalami peningkatan 2.7%. namun, ada sedikit kelema-han dari sensus tersebut yang tidak menggolongkan orang Arab tersebut dari tempatnya berasal.
Bagaimana pun juga penyusunan sebuah hasil penelitian harus berasal dari berbagai sumber. Di atas, penulis menyajikan tulisan karya bang-sa Eropa, mereka orang-orang akademisi han-dal yang mengecap pendidikan tinggi. Tapi bagaimana pun juga mereka tetap seorang orientalis yang mencoba memaknai penelitiannya secara mendalam.[4] Terlepas dari meragukan kemam-puan analisis mereka, penulis men-coba membandingkan dengan subyek-subyek di dalam Islam itu sendiri. Abdul Qadir Umar Mauladdawilah seorang sayid yang concern menekuni sirah ulama Hadramaut dan seorang ahli Nasab sangat produktif menulis tentang tema-tema tersebut. Dalam salah satu bukunya, Tiga serangkai Ulama Tanah Betawi[5], ia menjelaskan bahwa para Alawiyyin[6] lah yang berdakwah pertama ke Nusantara. Mereka telah sampai ke Asia Tenggara pada masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan. Disebutkan bahwa kalangan Alawiyyin dengan gigih menyebarkan cahaya Islam ke seluruh belahan dunia. Dalam tulisannya, Abdul Qadir banyak mengutip perkataan orang-orang besar seperti Syekh Ar-Rabwah, Asy-Syeikh Shalah Al-Bakri, para orientalis Eropa yang salah satunya adalah L.W.C. van den Berg[7], dan cendikiawan Indone-sia, Buya Hamka.
Di sana telah masuk para kaum Alawiyyin di saat mereka menyelamatkan diri dari kejaran golongan Bani Umayyah dan Al-Hajjaj. Di sana mereka berdakwah, menetap hingga akhir hayat. Mereka juga dimakamkan di kepulauan tersebut (kepulauan Sila, di Filipina). Para Syarif[8] yang datang dari Hadramaut memainkan peranan yang sangat besar dalam dakwah Islamiyah di Asia Tenggara. Baik sejarawan Arab maupun Barat, menyebutkan peranan dan besarnya pengaruh mereka. Hijrahnya mereka dari Hadramaut ke tempat ribuan mil melalui laut, tidak bertujuan kecuali untuk meyebarkan Islam di daerah-daerah terpencil. Mereka sama sekali tidak men-cari keuntungan materiil mau-pun moril. R*D


[1] Orang-orang yang berasal dari Hadramaut
[2] Pada sebelum masuknya Islam di Nusantara samp wai kedatangan bangsa Barat, bahkan bisa dikatakan sampai tahun-tahun berikutnya. Namun, tidak sekuat dahulu.
[3] Terjemahan pusat studi Islam Belanda INIS dengan judul asli “Le Hadramout Et. Les Colonies Arabes Dans L’Archipel Indien”
[4] Latar belakang seorang penulis menjadi sorotan cukup penting dalam melihat sudut pandangnya. Walaupun dalam dunia akademisi sikap subyektivitas berusaha keras dihindari, namun cukup sulit rasanya. Misalkan dalam pengistilahan, kata pemberontak dan pejuang kemerdekaan merupakan dua obyek yang sama, namun berbeda dalam pemaknaannya.
[5] Ini merupakan karya yang paling kontemporer, sumber penulisannya bisa dikatakan berasal dari tangan kesekian. Namun perlu juga disertakan karena tulisan kontemporer semakin kaya akan bahan-bahan yang bisa dibenturkan.
[6] Keturunan Al-Imam Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa
[7] Sebagai catatan bahwa, buku yang ketiga ini mengambil sumber dari tulisan van den Berg. Dengan kata lain, sumber ini telah menyarikan sumber sebelumnya. Namun perlu diingat fungsinya sebagai bahan verifikasi terlebih mereka dengan latar yang berbeda.
[8] Syarif (jamak: Asyraf) mengacu pada keturunan Nabi Muhammmad dari garis Al-Hasan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar