TUGAS UJIAN AKHIR SEMESTER
Mengulas Buku “Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi”
Karya Heater Sutherland
Mata Kuliah Sejarah Birokrasi
Muhammad Ridho Rachman, 0806343973
PENDAHULUAN
Terbentuknya sebuah
elite birokrasi adalah sebuah kajian penulisan sejarah sosial yang luar biasa
dari sejarawan Belanda, Heather Sutherland. Pada tahun penulisan ini, ia keluar
dari mainstream tulisan sejarah yang
ada. Biasanya tulisan-tulisan populer yang lahir adalah mengenai gerakan
nasionalis, gerakan revolusi, atau masyarakat Asia tanpa kolonialisme di mana
negara-negara Asia tersebut telah merdeka. Rata-rata penulisan dililhat dari
sudut pandang Barat. Namun, dalam kasus tulisannya, Sutherland mencoba
menggalinya dari berbagai sumber yang dikenal dengan Indonesia Sentris.
Sebenarnya Sutherland
hanya mencoba meneruskan aliran penulisan yang telah dirumuskan oleh gurunya,
Harry Benda. Ia meneliti mengenai Pangreh
Praja, elite birokrasi pribumi, yang dibentuk di Hindia Belanda. Adalah
sistem kontrol negara jajahan yang sangat efektif bermula dari pengkajian
mendalam bahwa Hindia Belanda telah memiliki suatu sistem pemerintahan sendiri
yang dengan membiarkannya tetap ada maka kontrol lebih mudah dan efisien.
Dikatakan bahwa sistem
pemerintahan indirect rule oleh
kekuasaan kolonial cukup dengan mendudukan para pangreh praja yang dengan simbol-simbol penguasa tradisional mampu
menjadi kaki tangan yang baik bagi pemerintah kolonial. Tentu sistem yang
diterapkan pada sebuah negeri jajahan merupakan sistem yang sangat berbeda
dengan lainnya yang misalkan di Birma, Inggris menghapus bersih sistem kerajaan
dan elite birokrasi tradisional yang ada yang kini menjadikan Birma seperti
sekarang ini.
Tentu pilihan pada
sistem ini sangat beralasan, VOC yang pada masa itu bukan lah suatu badan
militer yang mempunyai cukup kekuatan untuk menancapkan kekuatan militernya di
seluruh Hindia (Jawa dalam hal ini). Kemudian dengan mendudukan elite birokrasi
pangreh praja, kekuatan kolonial
sangat menyentuh akar rumput dimana elite-elite menjalankan dengan baik
kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial.
Buku ini mencoba
menelaah bagaimana pandangan Belanda mengenai sifat Asia dari tata pemerintahan
Jawa dikombinasikan dengan tujuan-tujuan praktis berjangka pendek untuk merusak
hubungan antara priyayi dan petani. Pemimpin-pemimpin masyarakat dan pejabat-pejabat
kerajaan diubah menjadi sekutu bawahan, kaki tangan, dan akhirnya menjadi alat
politik dan birokrasi kekuatan asing. Dalam proses ini, priyayi kehilangan
fungsi militernya dan pembatasan kegiatan ekonominya, mereka menjadi semakin
bergantung pada kekuatan baru di Batavia daripada kemampuannya sendiri dalam
bekerja.
Karena terikat oleh
pembatasan-pembatasan kolonial dan ketidakmampuan menjawab tuntutan sosial
ekonomi, pejabat pribumi ini pada akhir abad ke-19 merupakan elite yang
tercerabut. Gaya hidup kebudayaannya yang tinggi dan berlebihan itu bisa
dikatakan adalah sebab ketidakmampuan dibanding sebuah peninggalan kebudayaan
Jawa.
Pemerintah sipil
pribumi merupakan penghubung yang efektif antara rakyat dan pemerintah Belanda,
dan bagaimana hubungan ini berjalan adalah masalah penting untuk mengerti
hubungan antara pemerintah kolonial dan penduduk pedesaan. Lebih lagi ternyata
pemerintah pribumi merupakan penerus dan pelindung tradisi-tradisi aristokrat,
mereka adalah kelanjutan dari kelas lama yang berkuasa dan merupakan sumber
utama dari elite Jawa di zaman modern. Dengan demikian maka sipil ini memainkan
peranan yang penting dalam sejarah sosial dan politik Indonesia.
Dalam tulisan ini
kemudian memperlihatkan perkembangan dari elite sipil pribumi tersebut,
bagaimana perannya bergeser dari kekuatan utama di masing-masing wilayah
menjadi kekuatan penyambung bagi kebijakan-kebijakan kolonial dan mereka seakan
menginduk pada kekuatan besar di Batavia yang menjadi pusat kebijakan seluruh
Hindia Belanda.
RINGKASAN
BAB I: POLA-POLA
POLITIK DAN PEMERINTAHAN
Kepegawaian sipil
pribumi pada masa akhir kolonial Hindia Belanda mengalami perubahan yang
mendasar. Pangreh praja “Penguasa
Kerajaan”sebuah kekuasaan yang tidak lagi sekuat dahulu karena dalam artian
kolonial, mereka dianggap sebatas “Inlandsch Bestuur” pemerintahan pribumi,
suatu tingkatan yang lebih rendah dari pemerintah setempat. Pejabat-pejabat
pemerintah itu memang merupakan kelas penguasa yang ditakuti sekaligus
dikagumi, tetapi mereka itu merupakan wakil-wakil bawahan dari sebuah kekuatan
asing.
Masing-masing kelompok
memiliki kepentingan-kepentingan yang sudah mapan, tradisi dan kebijaksanaan
yang diakui kebenarannya, nilai-nilai, persepsi serta prasangkanya sendiri.
Dengan demikian bukan hanya rezim kolonial dan fungsi birokratis kepegawaian
sipil itu saja yang harus dipertimbangkan melainkan juga dasar-dasar budaya dan
intelektual BB dan pangreh praja.
Hubungan antara priyayi
dengan pejabat Eropa tumbuh dari adaptasi sehari-hari terhadap lingkungan VOC
yang mengutamakan masalah ekonomi. Pejabat Belanda menentukan kebijakan,
sedangkan pejabat pribumi bekerja sama dengan rakyat memproduksi barang
dagangan. VOC hanya memiliki kepentingan yang sempit, VOC hanya mendesak keras
agar para bupati mengakui kedaulatannya. Gaya upacara kebesaran
pemimpin-pemimpin pribumi dipertahankan, dan mereka tetap meneruskan tata cara
kehidupan sesuai tradisi.
VOC akhirnya runtuh
pada akhir abad ke-18 karena keadaan keuangan yang parah. Setelah itu nasib
Jawa jatuh ketangan pemerintah Kolonial Belanda. Di bawah Deandles dan Raffles,
gaya kepemimpinan VOC diubah keluar dari tradisi yang sebelumnya. Deandles
menjalankan kebijakan pemusatan kekuasaan di batavia dan perketat administasi
keuangan atas pemimpin pribumi. Raffles melanjutkan dengan penempatan
wakil-wakil pemerintah di tengah-tengah rakyat. Kemudian reformasi kewajiban
pembayaran pajak oleh rakyat menggantikan wajib kerja. Namun, karena waktu yang
pendek memerintah, perubahan kearah revolusioner mengendur kembali. Walaupun
demikian, pada masa kedua gubernur jendral itu, kedudukan bupati berada pada
titiknya yang terendah.
Pada taraf permulaan
menuju birokratisasi ada keyakinan bahwa dengan mempertahankan prestise pejabat
pribumi merupakan unsur kunci dalam kekuatan kontrol di zaman kolonial. Namun,
pendidikan bagi para pejabat pribumi merupakan hal yang penting, yakni bagi
persiapan menuju gaya-gaya birokrasi baru maupun menggerakan mereka lebih erat
dengan pemikiran Batavia dan sikap-sikap Eropa. Mulailah masuk
pendidikan-pendidikan Barat seperti Hoofdenscholen,
Opleidingsscholen voor Inlandsche
Ambtenaren, dan OSVIA.
BAB II: PRIYAYI
PEMERINTAH: GAYA HIDUP DAN KEBUDAYAAN SOSIAL
Di jawa tidak terdapat
satuan tunggal pemerintahan pribumi, terlebih lagi terdapat sekitar dua puluh
badan-badan yang terpisah, seperti setiap karesidenan mempunyai pemerintah
priyayi dengan hierarkinya sendiri. Para bupati dan priyayi sering dilukiskan sebagai
wakil dari kebudayaan kota dan mereka memang membentuk bagian dari lapisan
sosial dan budaya supradesa Jawa ini. Namun, tidak semua para bupati itu
kosmopolitan yang merasa sama seperti di rumah sendiri, baik bila berada di
kota-kota pelabuhan dunia maupun bila berada di keraton yang sangat halus tata caranya.
Kebanyakan mereka lebih menyerupai bangsawan desa daripada aristokrat istana.
Hampir semua bupati di
abad ke-19, melakukan poligami, mempunyai istri utama, raden ayu atau padmi, yang derajatnya setara dengan
sang Bupati dan biasanya putri dari bupati lain. Ia mungkin istri pertama (atau
mungkin tidak), tergantung urutan waktu menikah sang Bupati. Kemudian terdapat
istri-istri kedua yang disebut selir atau ampeyan.
Agama Islam memperbolehkan seorang lelaki beristri empat pada setiap saat, dan
karena perceraian mudah dilakukan maka menjadi sangat mungkin seorang bupati
untuk mempunyai lebih dari empat orang istri selama hidupnya.
Perkawinan antarbupati
adalah hal yang biasa, teristimewa dalam satu karesidenan, sehingga terciptalah
suatu hubungan jaringan kerja yang luas yang berpusat pada bupati. Merupakan
kecenderungan yang umum kalau anak-anak yang lahir dari istri utama dikawinkan
dengan keluarga sesama bupati. Sedangkan anak-anak dari selir biasanya
dikawinkan dengan priyayi yang lebih yunior dalam kedudukannya di karesidenan
itu sendiri.
Di dalam lingkup
kabupaten, para bupati hidup megah, walaupun tidak semegah bupati zaman VOC.
Namun masih mampu mendatangkan kesan bagi pengamat-pengamat Eropa maupun Jawa,
sebagaimana yang memang dikehendaki. Kesempatan pertama para bupati
mempertontonkan kemewahannya adalah saat pesta pelantikan sebagai bupati.
Biasanya dalam pesta tersebut disediakan hidangan makanan minuman dan hiburan
pada suatu resepsi, yang pertama diperuntukan bagi golongan Eropa, orang Cina
dan priyayi, kemudian baru untuk rakyat umum.
Pesta besar tersebut
merupakan awalan dari rentetan pesta besar yang ‘mesti’ dilakukan para bupati
dalam bentuk penyelenggaraan pesta perjamuan. Perayaan besar berikutnya
meliputi perkawinan, khitanan, atau penerimaan gelar—tanda kehormatan baru—dan
keberhasilan-keberhasilan lainnya yang ia capai. Dalam kebudayaan Eropa pun
biasanya para bupati ikut merayakan seperti ulang tahun ratu, kedatangan suatu
tamu kehormatan (Eropa). Semua itu patut diadakan perayaan yang tidak lah
sederhana.
Status sosial priyayi
menengah diperlihatkan dalam bentuk ukuran perayaan yang diselenggarakan seta
hak yang dianggap wajar mesti ia terima. Hal itu terkait kebaikan jasa-jasa
yang telah menyelenggarakan pesta-pesta besar. Biasanya rakyat akan datang guna
dimintai hal-hal yang diinginkan oleh sang Bupati. Misalnya, sepuluh hari
sebelum perkawainan putri Wedana Blora pada tahun 1897, priyayi-priyayi
setempat dan puluhan penduduk desa datang tanpa diminta berkumpul di rumahnya,
petani dari desa membawa daun bambu dan nipa untuk membangun tarub serta
mendiriakn tiang-tiang yang dihiasi lampu-lampu minyak berkaca warna-warni.
Seminggu sebelum perkawinan, gamelan sudah mulai dibunyikan mengalun mengiringi
temu-tamu dari jauh yang sudah mulai berdatangan. Dua hari sebelum perkawinan,
hiburan pun dimulai wayang golek, tari topeng, tayuban, minum-minum, dan
lain-lain.
BAB III: PANGREH PRAJA DAN BINNENLANSCH BESTUUR
Gambaran mengenai
ikatan antara atasan dan priyayi bawahan—juga priyayi dengan rakyat—dikatakan
sebagai kelanjutan dari hubungan kawula-gusti menurut tradisi klasik Jawa. Ini
merupakan suatu ikatan antara perintah dan kepatuhan tanpa syarat, tetapi juga merupakan
suatu ikatan yang bersifat sangat pribadi, yaitu ketergantungan sangat rapat
antara kedua manusia. Teori seperti ini bisa sangat terlihat pada praktik
magang seorang priyayi muda yang mulai memasuki dinas pemerintahan.
Masa magang seorang
priyayi yunior tidak jelas. Ia bekerja tanpa dibayar. Biasanya ia bekerja
sebagai juru tulis, tingkatan terendah dari pangreh
praja. Ikatan yang terjalin antara pemagang kepada seorang pejabat adalah
bagaimana ketulusannya mengabdikan diri. Begitu pula seorang atasan, semakin
banyak orang yang magang kepadanya menunjukkan kewibawaan di mata masyarakat
dan di antara para pangreh praja
lain.
Sistem pendidikan dan
seleksi telah lama berlaku di Jawa. Sistem ini juga berlaku bagi seseorang yang
hendak mengabdikan diri di lingkungan keluarga-keluarga dan lingkungan keraton.
Bagi priyayi, ini dinamakan nyuwita.
Hadirnya sekolah-sekolah Barat dalam keseharian mereka, tidak mengubah pola
tradisional ini. Malah timbul suatu pola kombinasi logis dari keduanya. Bupati
dan priyayi berlomba-lomba menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah Barat,
menitipkan mereka di keluarga Barat selama mereka bersekolah. Tujuannya tetap
sama: untuk menguasai ketrampilan sosial dan kedinasan yang diperlukan bagi
kemajuan dari bangsa Eropa tersebut. Hal ini, bisa dikatakan bahwa tugas yang
diemban seorang nyuwita semakin luas,
pelajaran-pelajaran baru termasuk di dalamnya. Praktis pada abad ke-19,
kenaikan pangkat pangreh praja tidak
menggunakan kriteria obyektif, seperti pendidikan ataupun kesenioran, maka
berbagai bentuk sikap menjilat dan nepotisme berkembang subur.
Pada abad ke-18 dan
ke-19, para pejabat Eropa sangat terpengaruh oleh priyayi, baik dalam kehidupan
profesionalnya maupun dalam kehidupan pribadinya. Rumah, makanan, pakaian, bahasa,
istri, cara penjamuan mereka biasanya mengambil dari tradisi Jawa yang
dikombinasikan dengan gaya mereka sendiri (campuran:mestizo) mengenai cara
kehidupan aristokrat yang nyaman. “Jawanisasi” BB dan westernisasi pangreh praja sampai batas tertentu merupakan
campuran dari dua tradisi.
Secara keseluruhan,
para pejabat Belanda berpendapat bahwa kebiasaan-kebiasaan Jawa adalah cocok,
pejabat VOC mengubah para pengawal-pengawal bersenjata lengkap dengan payung. Para
BB yakin bahwa unsur-unsur tradisional ini diperlukan untuk memelihara
kewibawaan bupati dan priyayi. Namun, ada pula segolongan kecil yang
menginginkan adanya modernisasi. Namun, pada golongan ini muncul tokoh-tokoh
penting seperti Snouck Hurgronje sebagai penasihat-penasihat urusan pribumi.
Snouck merumuskan
kebijakan-kebijakan penting bagi pemerintah, salah satunya ia sangat konsisten
menganjurkan agar dilakukannya pemisahan priyayi muda dengan keluarganya agar
terjadi westernisasi intelektual murni dengan menitipkan mereka pada keluarga Belanda
pada masa studi. Tidak lagi ada campuran. Kemudian, anjurannya agar pribumi
diberi tanggung jawab jabatan yang lebih luas dengan demikian mereka pada
nantinya akan mampu memangku sebagai kontrolir dan asisten residen.
Mengenai hubungan BB
dengan priyayi, Residen H.E. Steinmetz sejalan dengan pikiran Snouck. Ia
memberikan kecaman keras kepada BB, menyalahkan mereka yang menjadi penyebab
menurunnya peran bupati sampai menjadi seperti tak berguna. Ia menunjukkan
bahwa tanggung jawab efektif berada di tangan asisten residen, kontrolir, dan
wedana.
Pada akhir abad ke-19,
mulailah bermunculan kritik keras pejabat Eropa dan Jawa oleh berbagai kalangan
yang pro rakyat kecil. Hal ini pastinya bergerak dari pusat, Belanda, di mana
arus politik di Belanda berubah ke arah kesadaran baru akan kepedulian nasib
rakyat pribumi Jawa dari karya Max Havelaar (1860).
BAB IV: PATRON, KLIEN,
DAN PENDIDIKAN PRIYAYI
Perubahan pola hubungan
semakin kentara di masyarakat pribumi menjelang Perang Dunia pertama. Pola
hubungan antara BB dengan pangreh praja, penduduk desa dengan priyayi
menimbulkan pertentangan-pertentangan baru. Munculnya kelompok baru yang
melepaskan diri dari tradisi patron-klien mereke terhadap Belanda. Mereka
merasa bahwa pemerintah tidak berhasil memenuhi kebutuhan rakyat, mereka
kemudian mencari struktur dan ideologi baru bagi pemenuhan rakyat terhadap
keadilan dan kesejahteraan. Organisasi baru bermunculan: persatuan pedagang,
organisasi buruh, partai politik dan lainnya. Kegiatan ini entah dimengerti
atau tak sengaja disambut dengan kebijakan yang searah yaitu Politik Etis yang diucapkan
oleh Ratu Wihelmina tahun 1901.
Etisi mengenai
pendidikan menjadi satu pilar paling penting bagi golongan baru ini. Para
priyayi besar dari biografi-biografinya memperlihatkan peranan yang sangat
penting dari patron-patron Eropa. Mereka
tinggal di lingkungan Eropa, bahkan ada sebagian kecil yang sampai mendapat
kesempatan bersekolah di luar negeri. Namun, sebagian besar tetap mendapat
porsi Barat di negeri sendiri.
Pendirian sekolah OSVIA
tahun 1900 bagi kalangan priyayi merupakan momentum perubahan bagi mereka.
Mereka menemukan kondisi kebebasan dari kehidupan di asrama dan kota-kota besar
merupakan sesuatu yang baru dan memberi semangat. Lulusan OSVIA merupakan minoritas
kecil, tetapi mereka memainkan peranan pimpinan dalam gerakan-gerakan yang
timbul bagi kalangannya. Hal itu telah membangkitkan perhatian yang lebih luas
seta keterbuakaan bagi perubahan, dan ini membedakan mereka dari teman
sejawatnya yang lain.
BAB V: MOBILITAS SOSIAL
DAN PEMBARUAN POLITIK
Awal abad 20, muncul
suatu unsur baru dalam masyarakat pribumi di kota-kota Hindia Belanda, yaitu
lapisan cendekiawan. Walaupun para anggotanya pada umumnya berasal dari
lingkungan priyayi, namun mereka telah keluar dari kerangka pangreh praja, dan dalam batasan
tertentu, keluar dari kultur tradisional. Mereka hidup di antara perbatasan
masyarakat pribumi dan kolonial, bekerja pada lembaga kota kelas menengah,
sebagai guru atau wartawan, berpindah-pindah pekerjaan dan tepat kerja.
Orang-orang ini tidak lagi senang menduduki tempat yang telah disediakan
baginya dan yang telah mapan di masyarakat Hindia Belanda. Mereka memperoleh
pekerjaan-pekerjaan, sarana penunjang, gagasan, dan informasi yang baru.
Di sisi lain pula,
muncul “priyayi profesional” yang berbeda dengan priyayi yang pemerintah.
Mereka tampil menjadi bagian dari pemerintah dengan kematangan ilmu dalam
bidang yang mereka miliki. Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa pegawai
pribumi tidak lagi satu-satunya sarana mobilitas keatas, bahwa jalan pada
priyayi tradisional bukan lagi satu-satunya bentuk kehidupan yang baik.
Perubahan-perubahan
sosial yang terjadi di masyarakat luas menyebabkan pangreh praja mendapat tekanan dari dua front. Di kota-kota kecil
muncul kalangan elite profesional yang memiliki wibawa cukup dan memungkinkan
adanya peranan lebih dari mereka. Di kota-kota besar, muncul tekanan yang lebih
di kalangan cendekiawan. Mereka secara radikal menolak kekuasaan moral, sosial,
dan politik pangreh praja. Fenomena
ini muncul dari kondisi kekosongan yang ditimbulkan dari kegagalan pejabat
pribumi tradisional dalam menyokong dan membantu nasib rakyat kecil.
Pembentukan Budi Utomo
tahun 1908, biasanya dianggap sebagai pertanda dimulainya gerakan nasionalis.
Walaupun dalam tataran nasionalis belum bisa dikatakan sesuai sebagai
organisasi nasional. Namun, setidaknya sebagai tahapan awal, Budi Utomo
dipandang lebih berhak sebagai perhimpunan nasionalis daripada apa yang
terlihat sebelumnya.
Budi Utomo merupakan
organisasi yang dapat dikatakan “perhimpunan bupati”. Perhimpunan yang merupakan
satu langkah tepat menuju perbaikan dari para bupati, sehingga mereka dapat
memimpin rakyat secara lebih efektif. Setelah BU, berkembanglah
organisasi-organisasi dengan cepat.
Percepatan timbulnya
organisasi-organisasi merupakan suatu kebutuhan masyarakat pribumi yang
menyadari bahwa perkumpulan-perkumpulan gaya Barat adalah landasan terbaik bagi
berbagai kegiatan mereka. Muncullah serikat-serikat pekerja yang diinspirasi
oleh orang Eropa dan Cina, seperti serikat buruh, persatuan guru-guru,
persatuan pegawai dan lainnya. Kemudian peranan pers yang juga mengalami
perkembangan merupakan dinamika positif bagi keadaan yang sedang berlangsung.
Mereka tidak
beranggapan bahwa para pangreh praja
yang sudah ada harus dinasionalisasikan. Mereka berhadap bahwa suatu sistem
kepegawaian yang jujur, rasional, dan efektif akan dapat berfungsi secara
terhormat, baik bagi pemerintah Hindia Belanda maupun rakyat pribumi. Mereka
berpendirian, pangreh praja adalah
pemimpin yang wajar dan terbaik bagi rakyat, oleh karenanya mereka sangat
mengharapkan perubahan kearah yang lebih baik dari para pangreh praja yang ada.
BAB VI: REFORMASI
PEMERINTAH KOLONIAL DAN TANGGAPAN PANGREH PRAJA
Pada peralihan keabad
20, beberapa orang residen mulai mempertegas sistem penerimaan dan kenaikan
pangkat kepegawaian. Diawali oleh karesidenan Cirebon dengan menggunakan daftar
kepangkatan secara umum guna mencegah terjadinya penangkatan secara sesuka
hati, dan klik-klik di dalamnya. Perbaikan ini menunjukkan hasil positif,
barulah yang lainnya mengikuti. Untuk itu Batavia menyambut baik dengan menyeragamkan
seluruh Jawa dengan peraturan-peraturan yang disampaikan lewat BB dan perangkat
lainnya.
Peraturan yang mengarah
pada restrukturisasi pemerintahan ini sampai pada peraturan tentang
pengangkatan bupati. Sedikit demi sedikit diterapkan prasyarat tertentu yang
harus dimiliki seorang bupati. Sekalipun, aspek turun-temurun tetap menjadi
dasar kebijakan Belanda. Ditetapkan bahwa seorang calon harus berpendidikan
sekurang-kurangnya OSVIA dan harus berdinas sekurang-kurangnya dua tahun dengan
predikat memuaskan patih atau wedana, dan harus mengerti bahasa Belanda.
Pada perkembangan
peraturan pemerintah kolonial selanjutnya, penting untuk dikemukakan bahwa pada
tahun 1915 mulai diberlakukannya penghapusan sistem magang. Suatu sistem yang
dianggap memperkenalkan suatu sistem yang terstandarisasi dan berorientasi
efisien, untuk menyalurkan pejabat-pejabat pribumi ke hierarki pemerintahan.
Namun, tidak berarti mengubah lisensi tradisional, hanya membatasinya.
Preferensi keturunan tinggi masih tetap menjadi pertimbangan utama, dan priyayi
masih sangat tergantung dari penilaian pribadi seorang BB dan bupati. Dapat
dikatakan bahwa, sistem ini merupakan usaha mendapatkan yang terbaik dari dua
dunia, dan sama sekali mengherankan bahwa akhirnya terbukti bahwa hal itu tidak
mungkin.
Banyak pejabat Eropa
sendiri yang mengalami kesukaran untuk menyesuaikan diri dengan perubahan, baik
di masyarakat pribumi maupun peraturan pemerintah. Mereka merasa bahwa golongan
pribumi yang selama ini diperas tenaganya oleh Pemerintah Pusat terlalu diberi
hati. Mereka merasa telah dikhianati dan diremehkan oleh pemerintah dengan
memberikan ruang luas kepada kaum nasionalis dan ekstrimis.
Pengaruh timbal balik
antara berbagai pandangan yang timbul, baik pribumi maupun pemerintah,
membentuk latar belakang dari peristiwa-peristiwa setelah Perang Dunia I, pada
saat ketika masalah perubahan administrasi pemerintahan dan hubungan antara
priyayi pemerintah dan gerakan nasionalis menguasai perkembangan pangreh praja.
BAB VII: STRATEGI
KOLONIAL: PEJABAT KONTRA KAUM NASIONALIS, 1918—1927
Satu hal yang jelas
dari berbagai dinamika yang terjadi awal abad 20, bahwa hubungan antara
pemerintah kolonial dan rakyat umum sedang mengalami perubahan. Kebijakan etis
diumumkan, kemajuan dan kesejahteraan menjadi tujuan resmi, kepekaan moral
dikatakan menjadi lebih tajam, dan di samping itu kaum politisi Belanda yang
kritis dan para pemimpin nasionalis sering membuka masalah-masalah tentang itu.
Arena Politik Hindia
Belanda
Peristiwa-peristiwa
yang terjadi sebelum tahun 1920 mendorong terjadinya polarisasi, kemudian
memperkuat tuntutan golongan konservatif agar pemerintah melakukan intervensi
dalam bidang politik di mana masa itu adalah pesatnya berbagai organisasi
politik, terutama Sarekat Islam (pasca keberhasilan Revolusi Rusia). Di negeri
Belanda sendiri, golongan sosial demokrat mulai meyerukan pemerintahan
sosialis. Hal ini menyebabkan kekhawatiran yang meluas di Belanda dan Hindia
Belanda. Dalam Volksraad, Limburg Stirum membacakan “Deklarasi November” guna menghalau pertumbuhan gerakan sosialis
dengan menjanjikan perubahan sosial dan kesejahteraan yang lebih besar.
Hal itu ditanggapi
sikap pesimis dan optimis dari berbagai kalangan. Terutama kalangan nasionalis
yang sangat tertarik dengan isu kesejahteraan dan perubahan sosial, dibuat
lahirnya harapan-harapan besar yang tidak realistis hingga waktu yang
membuktikan. Oleh karenanya, gubernur jendral langsung mendamaikan kalangan
nasionalis, dan orang-orang Belanda semakin yakin bahwa Stirum telah melakukan
tindakan yang terlalu jauh dengan sikapnya mengambil hati kalangan nasionalis.
Polisi dan Penindasan
Garis pertahanan
terakhir pemerintahan kolonial Belanda adalah kekekuatan fisik: polisi dan
tentara. Pembentukan Politieke
Inlichtingen Dients (PID) pada Mei 1916 merupakan kebijakan yang paling
represif dan gambaran ketegangan pemerintah dari berbagai organisasi nasionalis
yang ada. PID adalah kesatuan intelijen yang bertugas mengumpulkan informasi
mengenai partai-partai politik, pribadi-pribadi, dan membuat penilaian mengenai
suasana politik di masyarakat.
Dalam praktik yang
lebih terlihat, pemerintah membentuk polisi lapangan dalam usaha memperbaiki
keamanan di pedesaan. Kebijakan sebelumnya yang keras dari polisi bersenjata
mendapat kecaman dari Volksraad yang mengganggap mereka menyerupai tentara
pendudukan. Maka dari alasan tersebut polisi lapangan dibentuk untuk melindungi
rakyat sekaligus kekuatan antimiliter.
Secara keseluruhan
keresahan itu dapat diatasi oleh usaha bersama antara para pejabat dan polisi.
Kekacauan di pedesaan itu menimbulkan kekhawatiran besar bagi Batavia, yang
merasa tindakan subversif dan pemberantasan para agitator di luar dapat segera
memulihkan rust en orde.
ANALISIS
Dalam rentang waktu
perjalanan birorasi, Indonesia tercatat berbagai sistem telah dilalui. Di awal,
sistem birokrasi adalah sistem monarki dimana sistem kekerabatan (Aescitysm
System) merupakan satu bentuk birokrasi yang bercorak tradisional patrimonial.
Sistem ini berkembang pesat karena dapat dikatakan dianut oleh seluruh kerajaan
yang ada pada masa agama Hindu-Buddha.
Masa selanjutnya
memperlihatkan perubahan sistem birokrasi di Indonesia. Bersamaan dengan
penyebaran pesat agama Islam ke seluruh dunia, termasuk di antaranya Indonesia,
sistem birokrasi yang ada bergeser ke sistem yang dalam kreasi para elitenya
tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Pada masa kerajaan Islam di Indonesia,
dapat digeneralisasikan bahwa birokrasi menganut sistem legal-formal yang
artinya bahwa telah ada penempatan orang-orang ahli dan memiliki prestasi dalam
menduduki jabatan tinggi di pemerintahan (Merit System).
Kedatangan dan dominasi
bangsa Eropa di tanah Indonesia secara langsung mengubah sistem pemerintahan
yang sebelumnya telah bertahan lama. Tata pemerintah masa kolonial melalui
pendekatannya dikelompokkan menjadi empat jenis. Pertama, VOC (1602—1799) yang
sistem pemerintahannya cenderung konservatif (koersif), kedua kekuasaan awal
kolonial (1800—1825) yang cederung liberal, ketiga masa cultuur stelsel
(1825—1870) pendekatan kolonial kembali konservatif, dan terakhir keempat pada
masa liberal (1870—1900) kembali liberal.
Latar belakang VOC
sebagai sebuah perusahaan dagang, mencirikan suatu model yang berbeda sendiri
dengan sistem mengkolonisasi sebuah wilayah. Melihat kawasan Indonesia yang
sangat potensial bagi keuntungan ekonomi membutakan VOC untuk meraup keuntungan
sebesar-besarnya dengan melakukan monopoli perdagangan hingga akhirnya
menguasai wilayah tersebut. VOC tidak memiliki armada militer yang besar dan
tangguh, pun hak mempersenjatai diri sebagai perlindungan diri saja sudah
bagus. Hal ini lah salah satu yang melatarbelakangi sistem kolonialisasi
konservatif yang diterapkan oleh VOC.
Elite penguasa pribumi di
berbagai wilayah dibiarkan tetap pada status sosial yang mereka tempati.
Sebagai penguasa yang telah menjajah, VOC tidak mengubah struktur sosial yang
sudah tetap. Sistem pengaturan kepada rakyat dilakukan melalui sistem yang
disebut indirect rule. Suatu sistem
yang ternyata berhasil. Para pejabat Belanda, mulai dari gubernur, residen,
asisten residen, kontrolir dan lainnya, selalu ada organisasi pejabat-pejabat
pribumi yang terdiri dari bupati, patih, wedana, camat, dan lainnya.
Para peneliti mengagumi
sistem yang diterapkan ini karena dengan adanya pangreh praja “penguasa kerajaan”, tangan-tangan Belanda mampu
menjangkau seluruh rakyat di lapisan terbawah dan kekurangan akan tenaga
personalia dapat dibantu dari keberadaan para pejabat pribumi yang murah.
Ketimbang harus mendatangkan staf dari Belanda kalau ada pemerintahan langsung
(direct rule).
Pangreh praja (Indisch Bestuur) seperti yang dikatakan
di atas berasal dari para penguasa setempat dari sisa-sisa kerajaan-kerajaan
tradisional. Para elite kerajaan ini menjadi kaki tangan kebijakan-kebijakan
kolonial dalam memperoleh tujuan kolonial Belanda.
Kedatangan VOC ke suatu
wilayah, tidak serta-merta langsung menduduki wilayah tersebut. Namun, dari
berbagai wilayah yang telah didudukinya didapat kesamaan cara yang dilakukan.
Tujuan VOC datang ke suatu kawasan adalah jelas untuk menguasai sumber daya
alam. Mereka datang dengan kemudian mengadakan perjanjian dagang, merumuskan
perjanjian untuk memperoleh hak monopoli perdagangan di kawasan tersebut. Yang
cukup penting adalah mereka ikut campur dalam tataran birokratis penguasa
setempat dan mejalankan politik pecah belah bagi pihak-pihak yang sedang
bertikai.
Pangreh praja berasal dari tradisi penguasa tradisional
atau patrimonial yang tidak mengenal pemisahan kepentingan pribadi dan jabatan.
Kepala desa mendapat hak tanah bengkok dan hak mempekerjakan rakyat di bawahnya
sebagai penghasilannya. Dalam masa kolonial VOC contoh-contoh seperti ini
dipertahankan pada kedudukan yang demikian.
Masa kekuasaan VOC
selanjutnya digantikan oleh negeri Belanda. Oleh karena itu, jelas bahwa pada
masa selanjutnya, Indonesia dijajah oleh sebuah negara yang dengan pemikiran
dan struktur sebuah negara mencoba ditanamkan pada jajahannya. Masa awal
pemerintahan Kolonial Belanda, kedudukan seorang gubernur jendral memiliki
peran yang sangat penting dalam menentukan arah kebijakan di wilayah koloni
dibanding masa VOC.
Kondisi yang
menyebabkan keruntuhan VOC adalah kondisi keuangan yang semakin memburuk karena
ketidakberesan administrasi keuangan hingga munculnya berbagai penyelewengan
oleh para administratur dan terjadinya kekacauan dan pemberontakan yang
dipimpin oleh para bupati di banyak wilayah. Kemudian Hindia Belanda diserahkan
kepada negeri Belanda.
Tercatat pada awal abad
ke-19, Belanda telah menggantikan peran VOC menguasai Indonesia. Gubernur
Jendral yang cukup terkenal dengan pembaruannya pada masa kolonial awal adalah
Daendles dan Raffles. Belanda di jajaran bangsa Eropa termasuk dalam bangsa
kecil terbukti dengan dijajahnya negeri tersebut oleh bangsa Prancis saat
Revolusi Prancis pimpinan Napolen. Dengan itu maka seluruh kekuasaan Belanda
termasuk negeri jajahannya jatuh ketangan Prancis. Daendles (1811—1816) seorang
kebangsaan Prancis diutus mengurus Hindia Belanda. Pada masanya tercatat
berbagai revolusi birokrasi dengan tujuan efisiensi.
Paham-paham Revolusi Prancis
(liberte, egalite, fraternite) tergambar dari kebijakan-kebijakannya di Hindia
Belanda. Isu liberalisasi dunia yang sedang berkembang juga masuk ke Indonesia.
Kebijakan oleh para gubernur jendral selanjutnya seperti Raffles, Elout,
Buyskes, Capellen, dan Gisinger juga terlihat liberal karena memiliki pemahaman
yang sama dengan Deandles.
Perubahan ke arah
sistem yang cenderung liberal ini adalah hasil koreksi dari kebijakan-kebijakan
VOC yang dinilai tidak cocok lagi diterapkan di Hindia Belanda. Koreksi yang
paling terlihat adalah dimana tidak lagi digunakan fungsi bupati sebagai wakil
kolonial di daerah, seperti dihapuskannya jabatan gubernur Pantai Timur Laut
Jawa dan membagi wilayah itu kedalam prefektur-prefektur yang masing-masing
dipimpin oleh orang Eropa. Dan diberikan keleluasaan untuk berjalan di bawah
pengawasan langsung gubernur jendral. Pada masanya, Deandles menjadikan Jawa
sebagai pusat pemerintahan dan membaginya dalam beberapa prefektur seperti yang
telah disebutkan di atas.
Hak-hak bangsawan
keraton dikurangi. Sebagai gantinya mereka diangkat sebagai adminitratur daerah
yang menerima gaji dan kedudukan dikorelasikan dengan kepangkatan militer.
Sejak itu, kebanggannya bukan lagi bersumber dari identifikasi diri dengan
kejayaan masa lalu, melainkan denga peranannya sebagai seorang abdi raja baru.
Pada masa akhir-akhir
pemerintahan liberal. Banyak kendala yang muncul khususnya di negeri Belanda
sendiri yang mengalami kekalahan perang dan kemerosotan ekonomi. Maka
dipilihlah kembali menggunakan kebijakan konservatif yang ketat guna mendorong
kelajuan ekonomi yang besar bagi pemulihan negeri Belanda. Kebijakan ini
disebut “Tanam Paksa”. Suatu kebijakan yang mewajibkan para pemilik tanah
menggarap sebagian lahannya untuk tananam ekspor dan ditambah wajib kerja
sebagai ganti pajak yang diterapkan di masa sebelumnya. Kerjasama dengan
pemimpin pribumi adalah sangat penting manakala penduduk pedesaan hendak
dimobilisasi. Demikianlah tujuan praktis yang dikemukakan Gubernur Jendral van
den Bosch (1830—1833) dengan mengembalikan para bupati itu pada kedudukan sebelum
masa Deandles. Namun, dengan kehati-hatian terhadap mengulangnya
pemberontakan-pemberontakan pimpinan bupati kepada pemerintah kolonial.
Kebijakan yang
diterapkan van den Bosch adalah reformulasi dari kebijakan konservatif VOC.
Perlibatan kembali para bupati atau kepala desa yang dikenal dengan istilah Dessa Hoofden. Dalam tataran kebijakan,
cultuur stelsel sistem uji daya tahan tanaman ekspor yang aturan-aturannya
sebenarnya tidak terlalu memberatkan rakyat pribumi. Namun, di tingkat
aplikatif, sistem ini sangat memberatkan dan menyengsarakan pribumi karena
adanya suntikan komisi (cultuur procenten) bagi para karyawan Eropa dan bupati
yang wilayahnya menghasilkan produk tertinggi. Hasilnya, para bupati
berlomba-lomba mencari keuntungan dengan memaksakan rakyatnya bekerja lebih
dari kewajiban seharusnya.
Kebijakan yang lebih
menitikberatkan pada sektor ekonomi ini sangat dipengaruhi oleh kondisi
perekonomian dalam negeri Belanda sendiri. Pada saat itu, Belanda sedang
menghadapi minimnya sumber dana akibat utang perang yang menumpuk. Tanam Paksa
ini lah jawabannya dan merupakan kebijakan politik yang bermotifkan ekonomi
pertama yang diterapkan di Hindia Belanda. Dengan kebijakan ini, Belanda mulai
melakukan eksploitasi kekayaan alam Indonesia untuk menutup utang-utang yang
dimilikinya.
Pada tahun 1870,
Belanda menerapkan kebijakan ekonomi pintu terbuka bagi negara-negara jajahan.
Dengan kebijakan ini, dimulailah era komersialisasi, moneterisasi, dan
industrialisasi di Indonesia. Belanda memberikan kesempatan seluas-luasnya
kepada perusahaan swasta asing untuk masuk ke Indonesia, melakukan perdagangan,
dan menanamkan modalnya di Indonesia. Politik pintu terbuka ini didorong oleh
kebijakan pembukaan Terusan Suez di Mesir pada tahun 1869. Pembukaan terusan ini
semakin memudahkan lalu lintas perdagangan internasional.
Pengaruh gerakan
liberal terhadap Indonesia secara umum adalah: dihapuskannya tanam paksa,
munculnya modal swasta asing, Hindia Belanda menjadi penghasil perkebunan
penting dunia.
Pelaksanaan sistem
liberal ternyata tidak lebih baik dari sistem tanam paksa. Malah pemerasan yang
terjadi oleh dua pihak: swasta pemilik modal dan pemerintah. Pemerintah secara
tidak langsung memeras rakyat dengan pajak tinggi bagi para pemilik perkebunan.
Kemudian pihak swasta demi memperoleh keuntungan besar mengurangi upah buruh
pribumi, tidak memperhatikan kesehatan, dan menyewakan lahan bagi rakyat untuk
membayar hutang.
Di samping itu, para pekerja perkebunan diikat dengan sistem kontrak,
sehingga mereka tidak dapat melepaskan diri. Mereka harus mau menerima semua
yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Mereka tidak berani melarikan diri
walaupun menerima perlakuan yang tidak baik, karena mereka akan kena hukuman
dari pengusaha jika tertangkap. Pihak pengusaha memang mempunyai peraturan yang
disebut Poenale Sanctie (peraturan
yang menetapkan pemberian sanksi hukuman bagi para buruh yang melarikan diri
dan tertangkap kembali). Keadaan yang demikian ini menyebabkan tingkat
kesejahteraan rakyat semakin merosot sehingga rakyat semakin menderita.
Jadi, pada masa tanam paksa rakyat diperas oleh pemerintah Hindia
Belanda, sedangkan pada masa politik pintu terbuka rakyat diperas baik
pengusaha swasta maupun oleh pemerintah. Walaupun pemerintah melakukannya secara
tidak langsung. Kekuatan liberal mendesak pemerintahan kolonial melindungi
modal swasta dalam mendapatkan tanah, buruh, dan kesempatan menjalankan usaha
atau perkebunan. Negara menjadi pelayan modal lewat dukungan infrastruktur dan
birokrasi, dengan menelantarkan pelayanan masyarakat. Dengan demikian politik
kolonial liberal yang semula menghendaki liberalisasi tanah jajahan lalu
berkembang menjadi bagaimana mengatur tanah jajahan untuk memperoleh.
Kekuatan liberal Belanda, didukung pemilik modal dan kelas
menengah, meraih kekuasaan di negeri sendiri, lalu mengontrol perekonomian
Hindia Belanda. Berkredo "kebebasan usaha, kebebasan kerja, dan pemilikan
pribadi", kekuatan liberal mendesak pemerintahan kolonial melindungi modal
swasta dalam mendapatkan tanah, buruh, dan kesempatan menjalankan usaha atau
perkebunan. Negara menjadi pelayan modal lewat dukungan infrastruktur dan
birokrasi, dengan menelantarkan pelayanan masyarakat. Kaum liberal memandang
Hindia Belanda sebagai ladang pihak swasta sehingga dapat menimbulkan
akibat-akibat, diantaranya : 1). Timbulnya urbanisasi. Hal ini dapat terjadi
karena rakyat yang sudah tidak mempunyai tanah, pergi ke kota untuk mencari
kehidupan dengan bekerja pada pabrik-pabrik yang telah didirikan oleh pihak
swasta maupun pemerintah. 2). Penduduk kota semakin bertambah padat. 3).
Timbulnya kaum buruh. 4). Rakyat pedesaan mulai mengenal uang. 5). Tanah perkebunan semakin luas.
PENUTUP
Pangreh praja “Penguasa Kerajaan”sebuah kekuasaan yang
tidak lagi sekuat dahulu karena dalam artian kolonial, mereka dianggap sebatas
“Inlandsch Bestuur” pemerintahan pribumi, suatu tingkatan yang lebih rendah
dari pemerintah setempat.
Pangreh Praja, elite birokrasi pribumi, yang dibentuk di
Hindia Belanda. Adalah sistem kontrol negara jajahan yang sangat efektif
bermula dari pengkajian mendalam bahwa Hindia Belanda telah memiliki suatu
sistem pemerintahan sendiri yang dengan membiarkannya tetap ada maka kontrol
lebih mudah dan efisien.
Dikatakan bahwa sistem
pemerintahan indirect rule oleh
kekuasaan kolonial cukup dengan mendudukan para pangreh praja yang dengan simbol-simbol penguasa tradisional mampu
menjadi kaki tangan yang baik bagi pemerintah kolonial. Tentu sistem yang
diterapkan pada sebuah negeri jajahan merupakan sistem yang sangat berbeda
dengan lainnya yang misalkan di Birma, Inggris menghapus bersih sistem kerajaan
dan elite birokrasi tradisional yang ada yang kini menjadikan Birma seperti
sekarang ini.
Tentu pilihan pada
sistem ini sangat beralasan, VOC yang pada masa itu bukan lah suatu badan
militer yang mempunyai cukup kekuatan untuk menancapkan kekuatan militernya di
seluruh Hindia (Jawa dalam hal ini). Kemudian dengan mendudukan elite birokrasi
pangreh praja, kekuatan kolonial
sangat menyentuh akar rumput dimana elite-elite menjalankan dengan baik
kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial.
Kemudian diperlihatkan
perkembangan dari elite sipil pribumi tersebut, bagaimana perannya bergeser
dari kekuatan utama di masing-masing wilayah menjadi kekuatan penyambung bagi
kebijakan-kebijakan kolonial dan mereka seakan menginduk pada kekuatan besar di
Batavia yang menjadi pusat kebijakan seluruh Hindia Belanda.
Jauh sebelum hadirnya
elite birokrasi pribumi seperti pangreh praja, sistem birokrasi adalah sistem
monarki dimana sistem kekerabatan (Aescitysm System) merupakan satu bentuk
birokrasi yang bercorak tradisional patrimonial yang terdapat pada masa
kerajaan Hindu-Buddha.
Kemudian pada masa
kerajaan Islam di Indonesia, birokrasi menganut sistem legal-formal yang
artinya bahwa telah ada penempatan orang-orang ahli dan memiliki prestasi dalam
menduduki jabatan tinggi di pemerintahan (Merit System).
Setelah kejayaan Islam
dalam struktur birokrasi kerajaan berjaya selama beberapa abad kemudian
digantikan oleh sistem modern Eropa. Tata pemerintah masa kolonial melalui
pendekatannya dikelompokkan menjadi empat jenis. Pertama, VOC (1602—1799) yang
sistem pemerintahannya cenderung konservatif (koersif), kedua kekuasaan awal
kolonial (1800—1825) yang cederung liberal, ketiga masa cultuur stelsel
(1825—1870) pendekatan kolonial kembali konservatif, dan terakhir keempat pada
masa liberal (1870—1900) kembali liberal.
Pada kurun waktu yang
cukup panjang, masa kolonial menerapkan sistem baru yang sama sekali berbeda
pada corak birokrasi sebelumnya. Orang-orang Eropa datang dan memaksakan sistem
birokrasi yang tentunya untuk kepentingan mereka dahulu. Ini lah perbedaan
mendasar dengan sistem-sistem sebelumnya dilihat dari tujuan mereka kemudian
diteruskan dengan aplikasi sistem tersebut yang semakin menunjukkan
perbedaan-perbedaan.
Dalam buku Heater
Sutherland ini, ia secara pandai mampu mengangkat sisi lain dari sebuah
perjalanan sistem kebijakan politik yang diterapkan. Lebih dalam lagi, ia
menyoroti liku perjalanan elite birokrasi kerajaan pada masa kolonial yang
sangat bergolak. Elite pribumi seperti yang telah banyak disebutkan di atas
tetap memegang jabatan penting di wilayahnya. Namun, ia tidak lagi berdiri
paling tinggi dalam kekuasaan. Pada masa kolonial ia dapat disebut sebagai
pegawai pemerintah kolonial.
Pangreh praja sebagai kolaborator kolonial mempunyai
perkembangan sejarahnya sendiri yang tidak dapat dilepaskan dari
kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial di pusat, Batavia. Oleh karenanya,
berbagai perubahan yang terjadi ditataran kebijakan pemerintah. Dari
perubahan-perubahan tersebut yang jelas terjadi adalah bagaimana kekuasaan
elite pribumi diintervensi oleh kekuatan baru yang sangat kuat dan hak-hak
kerajaan dahulu dihapuskan sehingga mereka mencoba bergeliat dengan berbagai
kondisi yang ada. Semua dijelaskan ditulisan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar