BAB I
PENDAHULUAN
1.
LATAR BELAKANG
Sejarah
pergerakan nasional Indonesia sering dihubungkan dengan Budi Utomo. Organisasi
ini dipandang sebagai organisasi nasional pertama yang lahir di Indonesia. Hari
lahirnya pun, 20 Mei 1908, dijadikan Hari Kebangkitan Nasional Indonesia. Namun
demikian, sebenarnya, organisasi nasional pertama yang berdasarkan politik
adalah Sarekat Islam (Kahin, 1995:85). Budi Utomo dianggap sebagai organisasi
pergerakan kebudayaan yang berorientasi nasionalisme Jawa, dan beranggotakan para
priyayi rendahan (Kahin, 1995:83). Terlepas dari itu semua, yang jelas pada
dekade pertama abad ke-20 M, nasionalisme bangsa Indonesia mulai bangkit.
Faktor
utama yang mendorong bangkitnya nasionalisme tersebut adalah pendidikan yang
mulai dinikmati oleh kaum bumiputera sejak akhir abad ke-19 M, sebagai akibat
dari diberlakukannya politik etis di Hindia-Belanda. Pendidikan itulah yang
kemudian menghasilkan segolongan elit baru yang kelak menjadi motor penggerak
dalam pergerakan nasional indonesia.
Selain
ditandai dengan berdirinya organisai-organisasi nasionalis seperti Budi Utomo,
Sarekat Islam, dan Indische Partij, pergerakan nasional Indonesia juga mencatat
peranan yang cukup besar dari golongan pemuda-pelajar, yang merupakan elite
baru dalam struktur masyarakat Indonesia saat itu. mereka mengawali sepak
terjangnya dalam kancah pergerakan nasional dengan mendirikan berbagai
organisasi pemuda-pelajar yang mulanya bersifat kedaerahan. Organisasi seperti
Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Jong Celebes, Sekar
Rukun, dan sebagainya, adalah beberapa dari organisasi-organisasi pemuda yang
memainkan peran penting dalam pergerakan nasional.
Kelak
golongan pemuda-pelajar tersebut berhasil menyusun suatu konsep nasionalisme
Indonesia melalui pencetusan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Gerakan
pemuda-pelajar ini, ternyata juga mempengaruhi kalangan etnis bukan pribumi,
seperti Arab dan Cina, terutama kaum keturunannya. Kaum keturunan Arab
pendirikan Persatuan Arab Indonesia (PAI) pada tanggal 5 Oktober 1934, setelah
mencetuskan sumpah yang menyatakan Indonesia sebagai tanah air mereka pada
tanggal 4 Oktober 1934 di Semarang.
Sedangkan kaum keturunan Cina membentuk Partai Tionghoa Indonesia (PTI)
pada tahun 1932.
Kaum
keturunan Arab menyatakan Indonesia sebagai tanah airnya meskipun pemerintah
kolonial Belanda memasukkan mereka ke dalam golongan Timur Asing (Vreemde
Oosterlingen), bersama dengan keturunan Cina dan India. Artinya, mereka bukan
pribumi melainkan orang asing, meskipun sebenarnya ibu-ibu mereka adalah orang
Indonesia asli dan mereka hidup mengadopsi budaya Indonesia sepenuhnya. Dengan
demikian, mereka pun diperlakukan berdasarkan peraturan untuk orang asing.
Salah satunya mereka harus tinggal dalam satu wilayah yang telah ditentukan oleh
pemerintah kolonial Belanda, dan jika ingin keluar berpergian dari wilayah
tersebut, mereka diwajibkan membayar pas jalan (Passen wn Wijen Stelsel).
Golongan
elite Arab yang “bermain” dalam pergerakan bukan berasal dari pendidikan Arab
semata. Mereka juga mengenyam pendidikan Barat. Memang pada umumnya, kaum Arab
menganggap pendidikan Barat adalah budaya kolonial. Bahkan, pribumi yang
beragama Islam pun juga berpandangan demikian. Kebanyakan keturunan bukannya
tidak mampu menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah Belanda. Namun, mereka
tidak mau. Berbeda dengan segelintir keturunan yang menanggap bahwa pendidikan
Barat merupakan sebuah pintu wawasan dalam melihat dunia.
Sebagai
keturunan Arab yang taat beragama, pendidikan madrasah tidak ditinggalkan begitu
saja. Mereka mengetatkan pendidikan bagi anak-anak mereka dengan mengisi pulang
sekolah Belanda dengan belajar di madrasah. Sehingga ketika paham reformasi
Mesir dalam menentang penjajahan dipelajari dan diterapkan[1] di tempat
mereka yang mengalami kondisi yang sama, keterjajahan.
Paham-paham
baru tentang Islam, antara lain karangan
Al-Afghani, seorang Afganistan keturunan Arab, mengajur perlawanan Islam
pertama terhadap penjajahan Barat.
A.R
Baswedan, pendiri Persatuan Arab Indonesia (PAI) adalah salah seorang dari
mereka. Seorang jurnalis yang pada perkembangannya ikut sebagai salah satu
perintis kemerdekaan bagi Indonesia. Tokoh lainnya adalah Husain Bafagih,
editor majalah Aliran Baroe, pendobrak kekolotan dan penyebar yang berani dari
gagasan baru dunia Islam. Mereka inilah yang kemudian menjadi pendiri,
pemimpin, dan pendukung PAI yang muncul pada tahun 1934, suatu gerakan
Islam-Nasionalis yang memulai gerakannya dari sumpah pemuda arab, sumpah
mengaku Indonesia sebagai tanah air keturunan Arab.
PAI didirikan
di Semarang tanggal 4 Oktober 1934 dengan dasar bahwa Indonesia adalah tanah
air mereka. Dengan singkat: Keturunan Arab adalah putra dan berbangsa Indonesia
dan harus mengabdi pada tanah airnya, sama dengan suku bangsa Indonesia
lainnya. Gerakan ini yang biasanya dinamakan Gerakan Sumpah Pemuda Keturunan
Arab cepat sekali menyebar di seluruh Indonesia, tidak hanya di Jawa, tetapi
juga di Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, dan lain sebagainya. Di mana terdapat
kelompok keturunan Arab di situ berdiri cabang-cabang dan rantingnya.
Banyak
sambutan pers Indonesia yang penuh simpati dengan sumpah pemuda keturunan dan
PAI. Sejak itu, citra Arab lama terus kian melenyap dan menjadi sempurna ketika
PAI berturut-turut mendukung Petisi Soetardjo, Gerakan Indonesia Berparlemen,
dan diterima sebagai anggota penuh GAPI (Gabungan Politik Indonesia).
2. PERUMUSAN MASALAH
Dari
berbagai penelusuran pustaka yang penulis lakukan, muncul beberapa pertanyaan
yang menjadi rumusan masalah dalam mini skripsi ini. Beberapa pertanyaan
tersebut meliputi:
1) Faktor apa saja yang
melatarbelakangi munculnya nasionalisme Indonesia di kalangan keturunan Arab?
2) Bagaimana peranan PAI
sebagai simbol nasionalisme keturunan Arab dalam kancah pergerakan nasional?
3) Bagaimana reaksi dari
masyarakat Arab, khususnya Arab asli, dan penerimaan dari para pemimpin
pergerakan nasional terhadap nasinalisme keturunan Arab?
3. RUANG LINGKUP
Dalam
mini skripsi ini, ruang lingkup masalah adalah nasionalisme kaum keturunan Arab
di Indonesia dengan studi kasus PAI. Pengambilan PAI sebagai studi kasus
sekaligus juga menjadi batasan masalah yang ada. Jadi, yang akan dibahas dalam
skripsi ini adalah PAI sebagai simbol nasionalisme peranakan Arab dan segala
sesuatu yang berhubungan dengannya.
Sedangkan dalam ruang lingkup waktu yang penulis ambil adalah
antara tahun 1934 hingga 1941. Tahun 1943 dipilih sebagai titik awal pembahasan
dengan pertimbangan bahwa pada tahun itulah diselenggarakannya Kongres Pemuda
Keturunan Arab, 4-6 Oktober 1934 di Semarang, sekaligus pendirian Persatuan
Arab Indonesia. Sementara tahun 1941 dijadikan batas akhir pembahasan, karena
pada tahun tersebut PAI dibubarkan oleh pemerintah pendudukan Jepang.
4. TUJUAN
PENULISAN
Skripsi
ini mengambil tema “Peran Keturunan Arab dalam Pergerakan Nasionalis Indonesia
(1934-1941)” ini memiliki beberapa tujuan, yaitu :
1. memberikan gambaran
tentang latar belakang munculnya nasionalisme keturunan Arab di Indonesia
2. melukiskan peran
serta Partai Arab Indonesia sebagai simbol nasionalisme keturunan Arab dalam
kancah pergerakan nasional
3. menjelaskan reaksi
dari masyarakat Arab Indonesia dan penerimaan para pemimpin pergerakan nasional
Indonesia saat itu terhadap nasionalisme keturunan Arab.
5. METODE
PENULISAN
Dalam
melakukan penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian sejarah. Metode
sejarah memiliki empat tahapan yang meliputi pengumpulan sumber (heuristik),
kritik sumber, interpretasi sumber, dan penulisan sejarah (historiografi).
Pengumpulan
sumber-sumber penelitian penulis lakukan dengan cara menghimpun buku-buku dan
sumber-sumber lainnya yang berkaitan dengan topik pembahasan. Sementara itu,
kritik sumber akan penulis lakukan dengan cara membandingkan data-data dalam
sumber-sumber yang telah dihimpun, satu sama lain. Adapun langkah ketiga,
interpretasi sumber, akan penulis ambil setelah dilakukan kritik sumber.
Subyektifitas tentu tidak dapat dihindari. Namun demikian, penulis akan
berusaha semaksimal mungkin untuk meminimalisir rasa subyektifitas tersebut.
Langkah terakhir, penulisan, akan dilakukan dengan cara deskriptif analisis.
6. SUMBER-SUMBER
PENULISAN
Sumber-sumber
yang penulis gunakan dalam penelitian ini kebanyakan berbentuk buku-buku.
Sumber tersebut penulis dapatkan di Perpustakaan FIB UI, Perpustakaan Pusat UI,
Perpustakaan FISIP UI, dan sumber-sumber dari internet yang berhubungan dengan
penulisan dan dapat dipertanggungjawabkan penulisannya.
7. SISTEMATIKA
PENULISAN
Untuk
memudahkan penulisan mini skripsi ini, penulis membaginya menjadi lima bab yang
saling berkaitan.
Bab I
merupakan pendahuluan yang meliputi
latar belakang masalah, perumusaan
masalah, ruang lingkup masalah, tujuan penelitian, metode penelitian,
sumber-sumber penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab
II membahas keadaan masyarakat Arab di Indonesia sebelum berdirinya PAI dari
sisi sosial, ekonomi, budaya, dan politik yang diperanguhi kebijakan pemerintah
kolonial terhadap keturunan Arab.
Bab
III membahas nasionalisme keturunan Arab yang ditandai oleh sumpah pemuda
keturunan Arab, faktor-faktor penyebab berdirinya PAI, peran serta PAI dalam
pergerakan nasional
Bab
IV membahas reaksi pro-kontra dari masyarakat Arab terhadap nasionalisme
Indonesia keturunan Arab, simpati dan dukungan para pemimpin nasional
pergerakan.
Bab V
penutup yang berisi kesimpulan.
BAB
II
KEADAAN
AWAL MASYARAKAT ARAB DI INDONESIA SEBELUM PAI
Pada
abad pertengahan telah terjalin hubungan dagang yang cukup erat Timur Tengah
dengan Nusantara. Dan, dapat dikatakan bahwa pelayar-pelayar dari sana lah yang
membawa Islam ke Nusantara, pertama di Aceh. Kemdian merambah ke wilayah
sekitar, mulai dari Palembang terus ke arah barat menuju Pulau Jawa, yang nanti
akan menjadi basis kerajaan-kerajaan Islam Jawa. Dari tanah Jawa lah,
penyebaran mulai dimasifkan ke seluruh penjuru Nusantara, termasuk jauh ke
kepulauan-kepulaun di timur.
Pada
masa itu, memang tidak terlihat jejak-jejak perdagangan bangsa Arab. Bahkan, di
zaman modern ini juga sangat sulit melacak artefak-artefak peninggalan bangsa
Arab. Walaupun demikian, para peneliti telah sepakat bahwa sejumlah orang Arab
pernah menetap di pelabuhan-pelabuhan penting Nusantara, bahkan mempunyai
pengaruh politik bagi masyarakat pribumi.[2] Hal itu dilacak
bukti-bukti dokumen sezaman, arsip-arsip pemerintah, dan catatan-catatan
perjalanan bangsa Eropa.
Menurut
LWC. Van Berg, sebelum tahun 1859, tidak tersedia data yang jelas mengenai
jumlah orang Arab yang bermukim di daerah koloni Belanda. Dalam catatan
statistik resmi, mereka dirancukan dengan orang Benggali dan orang asing
lainnya yang beragama Islam. Sejak tahun 1870, pelayaran dengan kapal uap
antara Timur Jauh dengan Arab mengalami perkembangan pesat. Jadi, tahun itulah
awal dari masa yang sepenuhnya baru bagi koloni-koloni Arab di Nusantara.
(Berg, 1989:68)
Koloni
Arab di Jakarta, terhitung baru dibanding koloni di Aceh, Cirebon, dan
Surabaya, sudah merupakan koloni Arab terbesar di Nusantara. Hal ini tidak lain
karena Jakarta adalah pusat pemerintahan dan juga pusat perdagangan. Sehingga
bisa dikatakan, bangsa Arab yang pekerjaan utamanya sebagai pedagang lebih
tertarik ke Jakarta.
Sebelum,
orang Arab dalam koloni koloni kecil menetap di wilayah pribumi, wilayah
Pakojan[3] telah ditempati
orang-orang Benggali. Namun, seiring dengan perkembangannya, orang Benggali
pindah, dan daerah Pakojan menjadi pusat kampung Arab di Jakarta.
a) Kehidupan di Nusantara
Prof LWC van der Berg,
yang juga berprofesi seperti Snouck dalam penelitiannya mengenai asal-usul
keturunan Arab di Nusantara (1884—1889) menyatakan, “Sebelum 1859 tidak
tersedia data yang jelas mengenai jumlah orang Arab yang bermukim di daerah
jajahan Belanda. Mereka dalam statistik itu disamakan dengan orang Benggali
(India) dan orang asing lainnya yang beragama Islam.” Karena itulah, Snouck
yang ‘Arabphobi’ menyatakan, “Islam bukan datang dari Arab, tapi dari India
(Gujarat).” Pendapatnya ditentang keras oleh Hamka dan para ulama dalam
‘Seminar Masuknya Islam di Nusantara’, pada 1963 di Medan. Van der Berg dalam
penelitiannya 113 tahun silam juga menyatakan keturunan Arab hanya dalam satu
generasi sudah lebih banyak yang tidak bisa berbahasa Arab.
(www.alwishahab.wordpress.com)
Mereka datang di
Nusantara tanpa membawa istri, dan kawin dengan wanita setempat. Sehingga
putra-putrinya mengikuti adat istiadat dan budaya ibunya. Hal ini lah yang
menurut bahasa van Berg, “Arab Hadramaut berbeda dengan Keturunan”. Dalam
pelayaran jauh, para migran ini tidak membawa istri dan anak-anak mereka
sehingga kebudayaan perempuan keturunan Arab sama saja dengan perempuan
pribumi. Dalam penelitian Snouck, yang berbeda adalah perempuan-perempuan Arab
keturunan mengenakan kerudung.
b) Pekerjaan
Di
nusantara jarang sekali menemukan orang Arab yang sama sekali tidak meminati
perdagangan. Kalaupun ada orang Arab yang tidak sebagai pedagang, biasanya
mereka adalah seorang pemuka agama. Di Nusantara, Islam berambah sangat cepat,
sehingga keberadaan seorang ahli agama sangat dibutuhkan. Maka tidak heran,
selain pedagang, banyak juga ahli agama datang ke Nusantara untuk berdakwah.
Dalam
tulisan Berg, ia mengatakan bahwa para pedagang Arab dan Cina adalah pedagang
“tangan kedua”, artinya mereka membeli barang dalam jumlah besar dari pedangan
Eropa. Kemudian mereka ecerkan secara langsung di pasar-pasar atau
dipindahtangankan ke orang lain. Meskipun berdagang bersama-sama, umumnya orang
Cina lebih berhasil dalam perdagangannya dibanding orang Arab. Hal itu karena
orang Cina lebih memiliki jiwa dagang yang kuat ketimbang orang Arab. Dalam
kasus pembentukan Sarekat Dagang Islam, merupakan contoh kasus lain di mana
keberhasilan Cina dibanding Arab.[4]
Pertanian
juga merupakan alternatif pekerjaan dipilih golongan Arab. Itu pun hanya
keturunan Arab campuran. Orang Arab migran mengganggap kerja tani tidak sesuai
dengan martabat mereka. Pemikiran semacam ini mereka bawa dari Timur Tengah,
yang memang jarang sekali penduduk yang bertani.
Pertanian
yang mereka kerjakan bukan dalam artian memegang cangkul dan bajak. Mereka
biasanya menguasai sejumlah tanah dan mereka mempekerjakan penduduk pribumi
untuk menggarap lahan.[5] Bahkan di
Pontianak, hampir seluruh tanah dibudidayakan oleh orang Arab. Mereka yang agak
kaya, memiliki perkebunan kelapa yang terletak di tepi Sungai Kapuas dan daerah
sekitar pantai. (Berg, 1989:97)
Di
Pulau Nias, orang Arab bermatapencaharian sebagai nelayan, terutama keturunan
campuran. Hal ini juga merupakan faktor determinisme alam yang mereka jumpai di
sana.
Profesi
pengrajin sebenarnya tidak masuk hitungan. Pekerjaan ini seluruhnya digeluti
oleh orang Arab campuran. Di Jakarta, ada tokoh Arab yang sangat tersohor,
Sayid Usman bin Yahya yang mengeluti bidang percetakan. Itu pun, ia lebih
dikenal sebagai ulama yang menggunakan metode dakwah lewat tulisan. Hal itu lah
yang membuatnya membuka percetakan.
Bekerja
di pemerintahan adalah pekerjaan yang sangat jarang dijumpai oleh orang Arab,
baik itu campuran sekalipun. Karena pandangan mereka adalah tidak boleh bekerja
kepada orang kafir (pemerintah). Biasanya jabatan ini diduduki oleh priagung
pribumi.
Pun
orang Arab yang bekerja dalam pemerintahan baru dimulai ketika pendidikan Barat
telah masuk ke rumah-rumah mereka atau karena alasan strategis pemerintah
kolonial. Mereka yang bekerja di pemerintahan punya alasan sendiri, yakni
mereka ingin masuk ke dalamnya dengan tujuan tidak semata-mata bekerja tetapi
sebagai perwakilan golongan yang menyarakan rakyat. Mereka pun tidak bekerja
dalam pekerjaan yang menzalimi penduduk muslim.
c) Kepercayaan dan
Pengajaran
Telah
disebutkan di atas, orang Arab yang masuk ke Nusantara di antaranya dengan
maksud menyebarkan agama Islam. Namun, Berg menyangkal pendapat tersebut.[6] Tapi telah
disepakati ahli-ahli bersama dengan melihat keadaan sampai sekarang, bahwa
memang benar salah satu tujuan kedatangan mereka adalah dengan membawa misi
agama.
Wilayah-wilayah
di Nusantara yang menjadi tempat ilmu-ilmu Islam dan kesusastraan Arab sejak
lama dipelajari adalah Banten, Palembang,dan Aceh. Di Jakarta, cendekian
pertama adalah Sayid Husain bin Abu Bakar Al-Idrus yang telah mengajar
sepanjang hidupnya. Beliau meninggal tahun 1798 dan dimakamkan di Luar Batang
yang sekarang makamnya dikeramatkan dengan sebutan Keramat Luar Batang dan
menjadi pusat ziarah Nusantara. Tentulah bisa dilihat pengaruh besar sosok
ulama ini hingga masih terus didatangi orang. Dari mana orang-orang mengenal
sosok beliau, bisa diketahui bahwa murid-muridnya yang mengenalkan sosok ulama
Jakarta ini. Sosok ulama Abdulrahman bin Ahmad Al-Misri yang datang dari Mesir,
beliau berdakwah di Palembang dan Jakarta. Disebutkan oleh Berg, ia sangat
dihormati oleh Gubernur Jendral Merkus. Ia adalah sastrawan yang banyak
mendapatkan pengahargaan dari ulama Mekah atas karya-karyanya. Pengajarannya
cenderung ke etika; ia tidak henti-hentinya menunjukkan baaw orang mungkin
tetap setia kepada pemerintah Eropa di Nusantara, sambil menjalankan
ibadah.(Berg, 1989:106). Gerakan Pan-Islamisme, pada akhir abad ke-19
mempengaruhinya dalam penyebaran dakwahnya. Ia juga memerangi pencampuran Islam
dengan mistis.
Kemudian
Sayid Abdulrahman bin Abu Bakar Al-Habsyi yang datang dari Hadramaut tahun 1828
yang jejak pengajaran agamanya masih diteruskan oleh keturunannya generasi
keempat, Habib Abulrahman bin Muhamad bin Ali bin Abdulrahman Al-Habsyi di
daerah Kwitang, Jakarta.
Jamaluddin
Al-Afghani, seorang penyebar Pan-Islamisme dan Pembaru
|
Kemudian tokoh Sayid Usman bin Yahya, tokoh ulama yang disebutkan di atas juga penyebar agama yang tersohor hingga didekati oleh pemerintah dengan alasan strategis.[7]
BAB
III
NASIONALISME
KETURUNAN ARAB
Pemerintah Kolonial Belanda membagi 3 strata masyarakat
di Nusantara. Kelas paling atas adalah warga kulit putih (Eropa, Amerika,
Jepang dll), kelas dua warga Timur Asing (Arab,India, Cina dll) dan kelas tiga
adalah pribumi Indonesia. Orang-orang Arab yang hijrah ke Indonesia mayoritas
berasal dari Hadramauth, Yaman Selatan. Orang-orang arab yang datang ke
Nusantara itu seluruhnya laki-laki dan karena kendala jarak serta karena
tradisi arab (wanita tidak ikut bepergian) maka mereka datang tanpa membawa
istri atau saudara wanita. Orang-orang arab itu menikah dengan wanita pribumi.
Jika orang Eropa menyebut pribumi dengan istilah inlander (bangsa kuli) keturunan Arab
menyebut pribumi dengan istilah ahwal,
yang artinya saudara ibu. Sebab memang seluruh keturunan Arab pasti ibunya
pribumi.
Pada 1 Agustus 1934, Harian
Matahari Semarang memuat tulisan AR Baswedan tentang orang-orang Arab. AR
Baswedan adalah peranakan Arab asal Ampel Surabaya. Dalam artikel itu
terpampang foto AR Baswedan mengenakan blangkon. Dia mengajak keturunan Arab,
seperti dirinya sendiri, menganut asas kewarganegaraan ius soli: di mana saya lahir, di situlah tanah airku. Artikel yang
berjudul “Peranakan
Arab dan Totoknya” berisi
anjuran tentang pengakuan Indonesia sebagai tanah air. Artikel itu juga memuat
penjelasan Baswedan tentang bagaimana sikap nasionalisme yang dianjurkan pada
kaumnya. Pokok-pokok pikiran itu antara lain Tanah air Arab peranakan adalah
Indonesia; Kultur Arab peranakan adalah kultur Indonesia – Islam; Arab peranakan wajib bekerja untuk tanah air dan
masyarakat Indonesia; Perlu didirikan organisasi politik khusus untuk Arab
peranakan; Hindari hal-hal yang dapat menimbulkan perselisihan dalam masyarakat
Arab; Jauhi kehidupan menyendiri dan sesuaikan dengan keadaan zaman dan
masyarakat Indonesia.[8]
Bukan hanya itu, melalui harian Matahari AR Baswedan
secara rutin melontarkan pemikiran-pemikiran tentang pentingnya integrasi,
persatuan orang Arab di Indonesia, untuk bersama-sama bangsa Indonesia yang
lain memperjuangkan kemerdekaan bagi Indonesia.
Timbulnya ide mendirikan Partai Arab Indonesia berkaitan
erat dengan pengajuan prinsip tanah air Indonesia bagi kaum peranakan Arab. Ide
mendirikan Partai Arab Indonesia dengan pengakuannya tentang tanah air bagi
peranakan Arab dicetuskan dan dikembangkan serta juga diperjuangkan. AR
Baswedan juga aktif menyerukan pada orang-orang keturunan Arab agar bersatu
membantu perjuangan Indonesia. Untuk itu, AR Baswedan berkeliling ke berbagai
kota untuk berpidato dan menyebarkan pandangannya pada kalangan keturunan Arab.
(www.kampoengampel.com)
Konferensi Pemuda Keturunan Arab
Pada 4-5 Oktober 1934 para pemuda keturunan Arab dari
berbagai kota di Nusantara berkumpul di Semarang. Pada waktu itu masyarakat
Arab seluruh Indonesia gempar karena adanya Konferensi Peranakan Arab di
Semarang ini. Dalam konferensi PAI di Semarang AR Baswedan pertama-tama
mengajukan pertanyaan di mana tanah airnya. Para pemuda yang menghadiri kongres
itu mempunyai cita-cita bahwa bangsa Arab Indonesia harus disatukan untuk
kemudian berintegrasi penuh ke dalam bangsa Indonesia.
Dalam konferensi itu parap pemuda Indonesia keturunan
Arab membuat sumpah: "Tanah Air kami satu, Indonesia. Dan keturunan Arab
harus meninggalkan kehidupan yang menyendiri (isolasi)”. Sumpah ini dikenal dengan Sumpah Pemuda Indonesia
Keturunan Arab. Menurut AR Baswedan persatuan adalah modal utama bagi Arab
peranakan untuk kemudian bersama-sama kaum pergerakan nasional bersatu melawan
penjajah. Sebelumnya kongres itu seluruh keturunan Arab -biarpun mereka yang
cerdas dan terkemuka- tidak ada yang mengakui Indonesia sebagai tanah airnya.
Mereka berpendapat bahwa tanah airnya adalah di negeri Arab bukan Indonesia.
Salah satu rapat PAI dalam rangka gerakan GAPI
Indonesia Berparlemen, 1941
|
AR Baswedan menjadi pelopor bangkitnya nasionalisme kaum Arab yang awalnya enggan mengakui Indonesia sebagai tanah air. Sejak 4 Oktober 1934 itu keturunan Arab bersatu bersama pergerakan nasional dan meninggalkan identitas ke-Araban, lalu berubah identitas dari semangat kearaban menjadi semangat keIndonesiaan. Sebuah pengakuan yang jelas bagi keturunan Arab bahwa tanah airnya adalah Indonesia. Ketegasan ini pada awalnya banyak yang menentang. Namun perlahan seruan Kongres ini menggema. Banyak peranakan Arab yang mendukung dan mengikuti pergerakan dan gagasan ini. Gagasan sangat berjasa melahirkan kesadaran Indonesia sebagai tanah air bagi orang Arab. Peranakan Arab pada akhirnya diakui sebagai saudara setanah air. Sejarah mencatat pendirian PAI ini selanjutnya memberi efek besar bagi komunitas Arab di Indonesia. Banyak tokoh-tokohnya ikut berjuang saat itu duduk dalam pemerintahan dan aktif dalam masyarakat Indonesia. Anak dan keturunannya di masa sekarang juga tidak sedikit yang berkiprah sebagai
Tokoh-Tokoh
Sumpah Pemuda Keturunan Arab ini dihadiri oleh
tokoh-tokoh pemuda keturunan Arab. Hasil konferensi itu adalah dibentuknya
Persatuan Arab Indonesia yang kemudian menjadi Partai Arab Indonesia. Dalam
konferensi itu disepakati pengurusan PAI sebagai berikut: AR Baswedan (Ketua),
Nuh Alkaf (Penulis I), Salim Maskati (Penulis II), Segaf Assegaf (Bendahara),
Abdurrahim Argubi (Komisaris). Tokoh PAI lainnya adalah Hamid Algadri, Ahmad
Bahaswan, HMA Alatas, HA Jailani, Hasan Argubi, Hasan Bahmid, A. Bayasut,
Syechan Shahab, Husin Bafagih, Ali Assegaf, Ali Basyaib dll.
Pendirian PAI mendapat tantangan keras kondisi
masyarakat Arab pada saat itu. terutama oleh Indo Arabisch Verbond (IAV)[9]
yang disebutkan oleh JM. Pluvier bahwa gerakan IAV bertujuan memperkuat
perasaan ras, di dalam dan di luar partai dan berpendirian bahwa keturunan Arab
adalah orang Arab dan harus tetap tinggal di Arab. (Algadri, 1983:155). Hal ini
sangt berbeda dengan maksud dari pembentukan PAI.
Pada awalnya, PAI bergerak dalam bidang sosial dan
agama.[10]
Namun, pada Kogres PAI tahun 1937 menempatkan arah tujuannya ke bidang politik.
Perkumpulan yang mencita-citakan ide bangsa Indonesia di kemudian hari. Mereka
menginginkan stata pribumi yang setingkat dengan bangsa Belanda di mata hukum
dan penyamaan hukum bagi mereka dengan hukum pribumi yang selama ini
dipisahkan. Padahal, menurut mereka, orang Arab dan pribumi sama, sama-sama
beragama Islam.
Perjuangan penyamaan hukum dengan pribumi mereka bawa
dengan aksi ikut dalam Petisi Sutarjo. Sebuah langkah awal memperjuangkan
status mereka lewat jalur politik. Jalan ini terus diikutinya, dan pada tahun
1939 dan 1940 PAI mendukung sepenuhnya aksi Indonesia Berparlemen dari GAPI.
Tidak kurang dari pentingnya usaha PAI di bidang politik
adalah usahanya mempersatukan keturunan Arab yang sebelumnya terpecah dalam
pertentangan di antara dua golongan Arab, golongan Al-Irsyad dan Arrabitah.
Orang-orang yang semula berada dalam dua golongan tersebut bersama-sama masuk
ke dalam PAI, baik pusat maupun cabang.
Dalam PAI, tidak mempermasalahkan golongan Arab yang
berasal dari mana. PAI mempunyai pandangan bahwa keturunan Arab adalah orang
Indonesia dan mempunyai kewajiban dan hak yang sama dengan orang Indonesia
lainnya. Dengan dasar itu, PAI melepaskan diri dari sistem sosial di Hadramaut
dan mengaitkan diri dengan sistem yang ada di Indonesia.[11]
Dengan pengakuan tegas ini, PAI mendapat simpati dari berbagai kalangan
nasionalis bangsa yang sedang berusaha memperjuangkan hak-hak mereka.
Karena landasannya adalah agama Islam, PAI menggabungkan
diri dalam Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI). Dan mulai mengembangkan paham
Hibul Watan Minal Iman, cinta tanah air bagian dari iman.[12]
PAI, Petisi Sutarjo, dan GAPI
Ketika PAI berdiri tanggal 4 Oktober 1934, PNI telah
membubarkan diri akibat desakan dari pemerintah dan Soekarno dimasukkan ke
dalam penjara. Kemudian PNI-Baru dengan pimpinan Hatta Syahrir[13]
tidak berlangsung lama juga harus bubar dan mereka diasingkan di Digul.
Salah satu rapat umum PAI dalam rangka kongresnya
di Cirebon (sekitar 1940)
|
Demi menghindari pembubaran paksa pemerintah, PAI mengambil jalan koopertif dengan pemerintah. Artinya dalam usaha memperoleh kemerdekaan dilakukan dengan upaya kerjasama dan damai melalui diplomasi.
AS. Alatas, anggota Volksraad, penasihat PB-PAI
(1937), penanda tangan Petisi Sutarjo
|
Walaupun telah aktif dalam bidang politik sejak tahun 1937, PAI tetap sebagai suatu persatuan. Baru pada tahun 1940, dengan melihat kondisi yang terjadi, kata “Persatuan” dalam PAI berubah menjadi “Partai” dalam Kongres Lustrumnya pada tanggal 18—25 April 1940 di Jakarta.
Menjelang Perang Dunia II, timbul Petisi Sutarjo yang
menginginkan status dominion artinya setara dengan Netherland. Untuk maksud
ini, diusulkan untuk diadakan perundingan antara Indonesia dengan Netherland.
PAI adalah salah satu partai yang pertama mendukung Petisi Sutarjo dalam
putusan kongresnya yang kedua di Surabaya pada tanggal 25 Maret 1937.
Tanda tangan dukungan PAI kepada Petisi Sutarjo
diserahkan oleh wakil PAI dalam Volksraad dan Penasihat Pengurus Besar PAI, AS.
Alatas. Namun, Petisi Sutarjo ditolak oleh Pemerintah Belanda. Ketika itu
berkobarlah Perang Dunia kedua yang menghilangka fokus pemerintah dalam
meghalau keganasan Fasis Jerman. Dan hilanglah isu tentang Petisi Sutarjo.
MH. Thamrin seorang politikus asal Jakarta mencetuskan
sebuah gabungan partai-partai politik melihat kebutuhan akan persatuan politik
yang kuat dalam mendukung cita-cita bersama. Maka berdirilah GAPI (Gabungan
Politik Indonesia) yang menuntut Indonesia Berparlemen[14].
Propaganda-propaganda untuk menuntut ada parlemen khusus Indonesia dalam
memperjuangkan kebutuhan rakyat digenjarkan ke seluruh daerah. Di antaranya
terdapat perwakilan PAI yang ikut serta dalam propaganda tersebut. Tuntutan
GAPI pun ditolak oleh Belanda. Namun, bukan berarti tanpa hasil. Propaganda
telah berhasil membakar semangat bangsa dalam melecutkan api nasionalisme.
(Algadri, 1983:170).
AR. Baswedan, perintis
kemerdekaan dan pendiri PAI
|
Dengan cepat Perang Pasifik bergulir. Penyerangan Pearl Harbour merembet ke timur. Dan tanpa perlawanan berarti, Jepang berhasil menundukkan Asia Tenggara termasuk Hindia Belanda. Tentara Belanda pun menyerah tanpa syarat dan itu berarti nasib Nusantara telah pindah ke tangan Jepang.
Propaganda Saudara Tua oleh Jepang melengahkan para
pemimpin nasionalis. Sekejap tingkah manis berubah menjadi represif dan tegas.
Sebuah penjajahan model baru disajikan oleh Jepang di Nusantara. Seluruh partai
politik dibubarkan, termasuk PAI.
Dalam perkembangannya, AR. Baswedan yang berciri
kooperatif dengan pemerintah (baik Belanda maupun Jepang) tetap dipakai untuk
menempati perwakilan Indonesia dalam Cuo Sang In. (Algadri, 1983:170)
BAB IV
PRO DAN KONTRA NASIONALISME INDONESIA KETURUNAN ARAB
Pengakuan nasionalisme Indonesia keturunan Arab pada
paruh pertama abad ke-20 tidak hanya mendapat simpati dari berbagai golongan
yang ada pada masa itu. kebanyakan dari kalangan yang simpati berasal dari
golongan non-Arab.
Di tubuh Arab sendiri menuai kontroversi yang sangat
besar. Ada yang pro terhadapnya dan kontra. perbedaan-perbedaan ini bukan hanya
berasal dari masalah sejak kemunculan PAI ini, bahkan jauh sebelum itu.
Pada dasarnya masyarakat Arab di Nusantara sejak awal
sudah terbagi menjadi dua kelas besar, yaitu golongan Sayid dan bukan
Sayid.(Santoso, 2010: 53)
Golongan Sayid adalah golongan yang mengaku berasal dari
keturunan Nabi Muhamad SAW dari keturunannya yang hijrah ke Hadramaut sejak
awal abad Hijriah.
Kedua golongan ini mengorganisir diri dengan membentuk
wadah perkumpulan masing-masing. Arrabitah adalah organisasi bentukan golongan
Sayid di Nusantara untuk mewadahi setiap kegiatan mereka yang tujuannya bisa
dikatakan mengekslusifkan diri dalam artian mereka ingin memperkuat perasaan
bahwa mereka adalah keturunan Nabi SAW. Berbeda halnya dengan golongan bukan
Sayid yang membentuk Al-Irsyad yang memfokuskan diri dalam bidang sosial
keagamaan. Namun juga, dalam salah satu Anggaran Dasar-nya menyebutkan bahwa,
golongan Sayid tidak diperbolehkan masuk dalam strutur kepengurusan Al-Irsyad.
Sebenarnya, perselisihan-perselisihan tak terlihat ini
berasal dari cara golongan Sayid yang cenderung eksklusif itu. Dalam masyarakat
Arab, keturunan menganut sistem patrilineal yang berimplikasi bahwa wanita
golongan Sayid tidak diperbolehkan untuk menikah dengan pria bukan Sayid. Tentu
kepercayaan golongan Sayid semacam ini mendapat tanggapan yang bersimpangan
dari golongan Arab lainnya, walaupun ini masuk dalam sistem agama Islam.
Syaikh Ahmad Sukati pada kesempatannya berbicara di Solo
mengungkapkan bahwa wanita golongan Sayid diperbolehkan menikah dengan
non-Sayid. (Noer, 1982:72). Ia mengutip pendapat reformis Mesir, Rasyid Ridha
yang mengatakan hukum menikah wanita golongan Sayid dengan golongan luar adalah
jaiz (dibolehkan)[15]
Kemudian, merembet kepada gelar Sayid yang dipakai para
keturunan Nabi yang mulai diprotes oleh golongan non-Sayid sampai pada budaya
taqbil (mencium tangan golongan Sayid yang dilakukan oleh golongan non-Sayid).
Tentu dalam hal ini, isu-isu yang tidak mengenakan terus diangkat dan terus
merembet pada masalah-masalah lainnya. Padahal, pada awal pembentukan
kebudayaan ini merupakan kebiasaan yang dilakukan gologan non-Sayid sendiri
demi menghormati sosok utama Sang Nabi yang membawa agama Tuhan.
Masalah nasionalisme keindonesiaan mendapat kecaman dari
golongan wulaiti, suatu golongan yang menganggap tanah Hadramaut adalah masih
tanah air mereka dan kewajiban adalah pada Hadramaut. Pendapat ini bisa
dikatakan sebagai alat penyucian kepercayaan dari asimilasi bahwa mereka akan
tetap berpegang pada kepercayaan leluhur. Kalau dilihat dari kenyataannya,
mereka adalah keturunan yang dilahirkan di sini, di Nusantara.
Di sisi lain, secara umum kalangan nasionalis pribumi
memandang nasionalisme Indonesia keturunan Arab dengan antusias dan sangat
terbuka.
Mengenang kembali perjuangan PAI di masa lampau, Ki
Hajar Dewantoro, pendiri Taman Siswa, menulis dalam peringatan 20 tahun
berdirinya PAI antara lain sebagai berikut:
“Kesadaran bangsa Indonesia keturunan Arab
pada 4 Oktober 1934 … peristiwa tersebut tidak saja penting bagi saudara bangsa
kita yang berketurunan Arab, namun amat penting pula untuk kita semua, yang
bercita-cita kesatuan bangsa dan negara Indonesia … 4 Oktober yang kini
mendapat julukan “Hari Kesadaran” bagi saudara sebangsa yang berketurunan Arab
itu.”(Algadri, 1983:156)
Ki Hajar berpendapat bahwa PAI lah partai yang dalam
segala sepak terjangnya, selalu sangat berdekatan dengan cita-cita kebangsaan.
Ia juga menambahkan, “dengan begitu maksa salahlah sama sekali, apabila mereka
itu dogerombolkan pada golo ngan yang kini
disebut golongan minoriteit. Mereka tidak mengasingkan diri ...”
Presiden Soekarno
dalam amanatnya tahun 1947 tentang bangsa keturunan Arab mengungkapkan bahwa ia
sangat senang dengan keputusan AR. Baswedan yang mengajak saudara-saudaranya
untuk memilih mencintai Indonesia. Dengan mencintai Indonesia, Soekarno
menganggap dirinya sebagai bapak dan keturunan Arab sebagai putra-putra yang
sama dengan putra-putra keturunan lainnya, semua dicintai Soekarno. Ia juga mengatakan bahwa keputusan
menggabungkan diri dengan Indonesia adalah keputusan diri mereka sendiri dan
merekalah yang menentukan arahan nasib mereka. Biarlah orang lain di luar
berbicara apapun.
Hatta juga menganggapi dengan rasa senang dan bangga
pada Sumpah Pemuda Keturunan Arab 1934. Dalam suratnya kepada AR. Baswedan ia
mengatakan bahwa sumpah itu adalah hal yang tepat dalam memenuhi kewajibannya
terhadap tanah air. Kemudian ia sangat bangga dengan kiprah keturunan Arab yang
berjuang dalam GAPI.
Ia juga mengatakan salah apabila golongan keturunan
disejajarkan dengan keturunan Cina yang dalma praktiknya masih memihak kepada
bangsa RRC.
Jumlah orang Arab tahun 1895—1885
Karesidenan
|
Arab lahir di Arab
|
Arab lahir di Nusantara
|
1885 jumlah di tiap karesidenan
|
1870 jumlah di tiap karedisenan
|
1859 jumlah di tiap karesidenan
|
Banten
|
8
|
14
|
22
|
24
|
?
|
Jakarta
|
526
|
1135
|
1662
|
952
|
312
|
Kerawang
|
13
|
43
|
56
|
?
|
?
|
Priangan
|
26
|
71
|
97
|
8
|
2
|
Cirebon
|
194
|
1016
|
1210
|
816
|
533
|
Tegal
|
154
|
218
|
352
|
204
|
67
|
Pekalongan
|
133
|
624
|
757
|
608
|
411
|
Semarang
|
30
|
643
|
673
|
358
|
540
|
Jepara
|
6
|
71
|
77
|
77
|
89
|
Rembang
|
66
|
266
|
332
|
205
|
74
|
Surabaya
|
300
|
1756
|
2056
|
1626
|
1279
|
Madura
|
109
|
1879
|
1388
|
979
|
961
|
Pasuruan
|
116
|
556
|
672
|
546
|
299
|
Probolinggo
|
85
|
269
|
354
|
231
|
114
|
Besuki
|
151
|
799
|
950
|
685
|
256
|
Banyumas
|
-
|
14
|
14
|
-
|
-
|
Kedu
|
1
|
92
|
93
|
47
|
38
|
Yogyakarta
|
2
|
50
|
52
|
77
|
12
|
Surakarta
|
3
|
68
|
71
|
42
|
?
|
Madiun
|
-
|
-
|
-
|
10
|
5
|
JUMLAH
|
1918
|
8970
|
10888
|
7495
|
4992
|
KESIMPULAN
Sejak awal kedatangan, bangsa Arab diidentikan dengan
penyebaran agama Islam. Tentu tidak salah karena memang pada kenyataannya dapat
dibuktikan bahwa mereka yang datang dari Timur Jauh selain berdagang adalah
juga menyebarkan agama Islam. Bahkan, ada yang benar-benar datang untuk misi
berdakwah.
Catatan panjang kisah bangsa Arab yang menetap dan
menikah di Nusantara menurunkan generasi-generasi baru yang dikenal dengan
sebutan golongan keturunan Arab.
Dari gambaran umum mengenai kehidupan mereka mulai dari
pekerjaan, tokoh-tokoh yang berpengaruh sampai tingkatan mereka dalam strata
sosial yang dibuat pemerintah telah dijelaskan di atas.
Pemerintah Kolonial Belanda menanggapi fenomena derasnya
kedatangan mereka tidak tinggal diam. Diutusnya van Berg sampai pada Snouck
Hurgronje tokoh orientalis yang paling berhasil dalam membendung Islam melalui
kebijakan-kebijakan pemerintah.
Tiba masanya, di mana keturunan Arab mulai
mempertanyakan status mereka yang selama ini dibalut dalam tradisi Arab dalam
bulatan kecil, kemudian dilibat dalam budaya Nusantara dalam bulatan yang lebih
besar. Mereka mempertanyakan bagaimana dengan kondisi yang menimpa mereka.
Mereka sama-sama terjajah dalam dominasi Barat di tanah kelahiran mereka.
Golongan inilah yang mulai mengkritisi dan mencetus ide bertanah air tanah yang
mereka jejaki ini. Ide Nasionalisme Indonesia muncul di antara keturunan Arab
di sela-sela kontra yang besar menentang ide ini. Namun, golongan ini tetap
konsisten
PAI bergerak dengan ketetapan hati untuk ikut membantu
para pemuda-pemuda pribumi yang bercita-cita memberikan kemerdekaan bagi tanah
tempat mereka hidup. Perasaan ini sama dimiliki oleh golongan PAI.
Dukungan dan kebanggaan dari tokoh-tokoh nasionalis
bangsa terhadap perjuangan sungguh-sungguh yang ditampilkan tokoh-tokoh PAI.
dari catatan singkat perjalannya yang hanya tujuh tahun, tidak sedikit torehan
berharga yang membantu proses menuju kemerdekaan.
Yang paling penting dari sumbangsih keturunan Arab ini
hingga kini adalah kejelasan status mereka di tanah lahir mereka. Tidak seperti
keturunan Cina yang sampai kemerdekaan direbut konroversi mengarungi perjalanan
kewarganegaraan mereka.
Kalau tidak ada Sumpah Pemuda Keturunan Arab tahun 1934
mungkin kemerdekaan Indonesia belum bisa terwujud dan kalau tidak ada PAI
mungkin pertentangan di tubuh keturunan Arab tidak akan mereda.
DAFTAR PUSTAKA
Algadri,Hamid. 1983. C. Snouck Hurgronje Politik Belanda
terhadap Islam dan Keturunan Arab. Jakarta: Sinar Harapan.
Berg, LWC van den. 1989. Terj: Hadramaut dan Koloni Arab
di Nusantara. Jakarta: INIS.
Riclefs, MC. Sejarah Modern Indonesia 1200—2008.
Jakarta: Serambi.
http://kampoengampel.com/berita/sejarah/2-sumpah-pemuda-keturunan-arab.pdf diunduh pada tanggal 21 Desember 2010 jam 08.00
http://alwishahab.wordpress.com/2009/08/05/partai-arab-indonesia/ diunduh pada tanggal 21 Desember 2010 jam 10.50
[1]
Sumber-sumber yang mereka
dapatkan berbahasa Arab.
[2]
Secara nyata memang tidak
ditemukan bukti konkret jejak Arab seperti halnya jejak peninggalan bangsa
kolonial berupa benteng, gedung-gedung, dan sebagainya.
[3]
Pakojan berasal dari bahasa
Melayu yang artinya kojah (bahasa Persia) yang artinya; Benggali (dari
Khawajah), atau lebih tepat penduduk asli Hindustan
[4]
Sarekat Dagang Islam dibentuk
di Surabaya atas dasar perdagangan dan agama. Namun, di sisi lain adalah upaya
proteksi dari pedagang Cina dengan membawa nama Agama. Pada saat itu,
orang-orang Cina berhasil memonopoli perdagangan batik di Surabaya. Hal itu
merugikan pedagang batik Islam, termasuk di dalamnya kalangan Arab.
[5]
Disebut dengan tuan tanah.
[6]
Dalam tulisan Berg memang
sangat terlihat sisi propagandanya. Memang kallau dilihat dari latar
belakangnya, ia addalah seorang advisor Pemerintah Kolonial-Belanda yang
ditugaskan meneliti dan menyarankan kebijakan-kebjakan yang tepat bagi orang
Arab di Nusantara. Namun, hasil penelitiannya dapat dikatakan sangat baik dari
data-data statistik yang ia buat dan menjadi rujukan penting dalam penulisan
sejarah mengenai komunitas Arab di Nusantara.
[7]
Sayid Usman dituliskan pula
sebagai salah satu teman Arab Snouck Hurgronje, advisuer pemerintah yang
dikatakan sangat berhasil mempelajari Islam dan menerapkan strategi pengekangan
dan pembendungan arus Arab di Nusantara.
[8] Wadah-wadah komunitas Arab telah
ada sebelum pemikirian Baswedan seperti Al-Irsyad dan Jamiat Kheir. Namun, dua
organisasi itu tidak memikirkan masalah filosofis keberadaan tanah air mereka
dan tidak memfokuskan diri pada bidang politik. Dalam dua organisasi tersebut
paham Pan-Islamisme telah masuk. Namun, tidak memberikan efek nyata dalam
pergerakannya menuju kemerdekaan komunitas pada khususnya dan nasional pada
umumnya.
[9]
IAV meniru nama gerakan
Belanda Indo Europeesch Verbond sebuah gerakan yang sama-sama jelas arah
tujuannya yakni menguatkan diri dari gerusan asimilasi dengan masyarakat
pribumi.
[10]
Memang arah awalnya sama
dengan organisasi Al-Irsyad dan Jamiat Kheir. Namun, menyesuaikan diri dengan
kondisi sosial politik yang terjadi pada masa itu, PAI juga bergerak dalam
bidang politik.
[11]
Gelar “sayid” yang menjadi
diferensiasi sosial dan perpecahan di kalangan Arab mulai dilepaskan. Mereka
menggunakan panggilan “saudara” kepada sesamanya seperti halnya orang-orang
pribumi.
[12]
Paham yang belum umum
diketahui. Namun, atas dasar ini mengubah landasan gerakan PAI menjadi gerakan
nasionalis Islam.
[13]
Hatta dan Syahrir adalah
golongan elite yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia di Negeri Belanda,
ketika mendirikan PNI-Baru yang frontal berhaluan non-kooperasi memancing
tindakan represif pemerintah.
[14]
Tuntutan Indonesia Berparlemen
adalah salah satu aksi kekecewaan politikus nasional yang merasa ditipu dengan
keberadaan Volksraad yang sama sekali tidak imbang anggotanya. Banyak anggota
Volksraad orang Belanda dan jabatan-jabatan tinggi diisi oleh Belanda. Para
politikus mendesak dibuatkan parlemen murni Indonesia yang menyurakan rakyat.
[15]
Pendapat Rasyid didapatnya
dari majalah Al-Manar, media corong kegiatan organisasi reformis di Mesir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar