KESULTANAN
TERNATE TIDORE: STUDI KASUS AWAL BERDIRI, PERLAWANAN DAN KEMUNDURAN OLEH BANGSA
ASING ABAD 15 SAMPAI 17
MAKALAH
KELOMPOK MATA KULIAH SEJARAH KESULTANAN
Allan
Akbar (0806343784)
Aniek
Nurfitriani (0806343802)
Diemas
Syahputra (0806343840)
Griffith
Aditya Pamungkas (0806462262)
M.
Ridho Rachman (0806343973)
Natasya
Rumondang (0806462325)
Nurul
Iman (0806462344)
Satria
Permana (0806344105)
DEPARTEMEN
ILMU SEJARAH
FAKULTAS
ILMU BUDAYA UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
MEI 2011
BAB
I
PENDAHULUAN
- Latar
Belakang
Pulau Ternate merupakan sebuah pulau
gunung api seluas 40 km persegi, terletak di Maluku Utara, Indonesia.
Penduduknya berasal dari Halmahera yang datang ke Ternate dalam suatu migrasi.
Dalam sejarahnya, Ternate merupakan daerah terkenal penghasil rempah-rempah,
karena itu, banyak pedagang asing dari India, Arab, Cina dan Melayu yang datang
untuk berdagang. Sebagai wakil masyarakat, yang berhubungan dengan para
pedagang tersebut adalah para kepala marga (momole). [1]
Seiring semakin meningkatnya aktifitas perdagangan,
dan adanya ancaman eksternal dari para lanun atau perompak laut, maka kemudian
timbul keinginan untuk mempersatukan kampung-kampung yang ada di Ternate, agar
posisi mereka lebih kuat. Atas prakarsa momole Guna, pemimpin Tobona, kemudian
diadakan musyawarah untuk membentuk suatu organisasi yang lebih kuat dan
mengangkat seorang pemimpin tunggal sebagai raja. Hasilnya, momole Ciko,
pemimpin Sampalu, terpilih dan diangkat sebagai Kolano (raja) pertama pada
tahun 1257 M dengan gelar Baab Mashur Malamo. Baab Manshur berkuasa hingga
tahun 1272 M. Kerajaan Ternate memainkan peranan penting di kawasan ini, dari
abad ke-13 hingga 17 M, terutama di sektor perdagangan. Dalam sejarah
Indonesia, Kesultanan Ternate merupakan salah satu di antara kerajaan Islam
tertua di nusantara, dikenal juga dengan nama Kerajaan Gapi. Tapi, nama Ternate
jauh lebih populer dibanding Gapi.[2]
Diperkirakan, Islam sudah lama masuk secara
diam-diam ke Ternate melalui jalur perdagangan. Hal ini ditandai dengan banyaknya pedagang Arab yang datang ke
wilayah tersebut untuk berdagang, bahkan ada yang bermukim. Selain melalui
perdagangan, penyebaran Islam juga dilakukan lewat jalur dakwah. Muballigh yang
terkenal dalam menyebarkan Islam di kawasan ini adalah Maulana Hussain dan
Sunan Giri
Ada dugaan, sebelum Kolano Marhum, sudah ada Raja
Ternate yang memeluk Islam, namun, hal ini masih menjadi perdebatan. Secara
resmi, Raja Ternate yang diketahui memeluk Islam adalah Kolano Marhum
(1465-1486 M), Raja Ternate ke-18. Anaknya, Zainal Abidin (1486-1500) yang
kemudian menggantikan ayahnya menjadi raja, pernah belajar di Pesantren Sunan
Giri di Gresik. Saat itu, ia dikenal dengan sebutan Sultan Bualawa (Sultan
Cengkeh). Ketika menjadi Sultan, Zainal Abidin kemudian mengadopsi hukum Islam
sebagai undang-undang kerajaan. Ia juga mengganti gelar Kolano dengan sultan.
Untuk memajukan sektor pendidikan, ia juga membangun sekolah (madrasah). Sejak
saat itu, Islam berkembang pesat di Ternate dan menjadi agama resmi kerajaan.
Pada abad ke 12 M, Permintaan akan cengkeh dan Pala
dari negara Eropa meningkat pesat. Hal ini menyebabkan dibukannya perkebunan di
daerah Pulau Buru, Seram dan Ambon. Dengan adanya kepentingan atas penguasa
perdagangan terjadilah persekutuan daerah antara kerajaan. Persekutuan-persekutuan
tersebut adalah Uli Lima (Persekutuan Lima). Yaitu persekutuan antara
lima saudara yang dipimpin oleh Ternate (yang meliputi Obi, Bacan, Seram dan
Ambon, serta Uli Siwa (persekutuan Sembilan) yaitu persekutuan antara
sembilan bersaudara yang wilayahnya meliputi Pulau Tidore, Makyan, Jahilolo
atau Halmahera dan pulau-pulau di daerah itu sampai Papua.[3]
Antara kedua persekutuan tersebut telah terjadi persaingan yang sangat tajam.
Hal ini terjadi setelah para pedagang Eropa datang ke Maluku. Pada tahun 1512,
bangsa Portugis datang ke Ternate, rang Eropa pertama yang datang ke Ternate
adalah Loedwijk de Bartomo (Ludovico Varthema) pada tahun 1506 M. Enam tahun
kemudian, pada 1512 M, rombongan orang Portugis tiba di Ternate di bawah
pimpinan Fransisco Serrao. Ketika pertama kali datang, bangsa kulit putih ini
masih belum menunjukkan watak imperialismenya. Saat itu, mereka masih
menunjukkan itikad baik sebagai pedagang rempah-rempah. Oleh sebab itu, Sultan
Bayanullah (1500-1521) yang berkuasa di Ternate saat itu memberi izin pada
Portugis untuk mendirikan pos dagang.[4]
Sebenarnya, Portugis datang bukan hanya
untuk berdagang, tapi juga menjajah dan menguras kekayaan Ternate untuk dibawa
ke negerinya. Namun, niat jahat ini tidak diketahui oleh orang-orang Ternate.
Ketika Sultan Bayanullah wafat, ia meninggalkan seorang permaisuri bernama
Nukila, dan dua orang putera yang masih belia, Pangeran Hidayat dan Pangeran
Abu Hayat. Selain itu, adik Sultan Bayanullah, Pangeran Taruwese juga masih
hidup dan ternyata berambisi menjadi Sultan Ternate. Portugis segera
memanfaatkan situasi dengan mengadu domba kedua belah pihak hingga pecah perang
saudara. Dalam perang saudara tersebut, Portugis berpihak pada Pangeran
Taruwese, sehingga Taruwese berhasil memenangkan peperangan. Tak disangka,
setelah memenangkan peperangan, Pangeran Taruwese justru dikhianati dan dibunuh
oleh Portugis. Kemudian, Portugis memaksa Dewan Kerajaan untuk mengangkat
Pangeran Tabarij sebagai Sultan Ternate. Sejak saat itu, Pangeran Tabarij menjadi
Sultan Ternate. Dalam perkembangannya, Tabarij juga tidak menyukai
tindak-tanduk Portugis di Ternate. Akhirnya, ia difitnah Portugis dan dibuang
ke Goa-India. Di sana, ia dipaksa menandatangani perjanjian untuk menjadikan
Ternate sebagai kerajaan Kristen, namun, ia menolaknya. Sultan Khairun yang
menggantikan Tabarij juga menolak mentah-mentah perjanjian ini.[5]
Tindak-tanduk Portugis yang
sewenang-wenang terhadap rakyat dan keluarga sultan di Ternate membuat Sultan
Khairun jadi geram. Ia segera mengobarkan semangat perlawanan terhadap
Portugis. Untuk memperkuat posisi Ternate dan mencegah datangnya bantuan
Portugis dari Malaka, Ternate kemudian membentuk persekutuan segitiga dengan
Demak dan Aceh, sehingga Portugis kesulitan mengirimkan bantuan militer ke
Ternate. Portugis hampir mengalami kekalahan. Untuk menghentikan peperangan,
kemudian Gubernur Portugis di Ternate, Lopez de Mesquita mengundang Sultan
Khairun untuk berunding. Berbekal kelicikan dan kejahatan yang memang telah
biasa mereka lakukan, Portugis kemudian membunuh Sultan Khairun di meja
perundingan.
Sultan Babullah (1570-1583 M) kemudian
naik menjadi Sultan Ternate menggantikan Sultan Khairun yang dibunuh Portugis.
Ia segera memobilisasi kekuatan untuk menggempur kekuatan Portugis di seluruh
Maluku dan wilayah timur Indonesia. Setelah berperang selama lima tahun,
akhirnya Ternate berhasil mengusir Portugis untuk selamanya dari bumi Maluku
pada tahun 1575 M. Dalam sejarah perlawanan rakyat Indonesia, ini merupakan
kemenangan pertama bangsa Indonesia melawan penjajah kulit putih.
Setelah 10 tahun berada di Kerajaan
Ternate, bangsa Portugis mendirikan Benteng yang diberi nama Sao Paolo. Menurut
Portugis, benteng tersebut berguna untuk melindungi Ternate dari Kerajaan
Tidore. Namun hal tersebut hanyalah taktik Portugis agar mereka dapat tetap
berdagang dan menguasai Ternate.[6]
Pembangunan Benteng Soa Paolo mendapat perlawanan dan salah seorang yang
menantang kehadiran kekuasaan militer Portugis tersebut yaitu Sultan Hairun.
Beliau berkuasa di kerajaan Ternate sejak tahun 1559. Sultan tidak ingin
perekonomian dan pemerintahan kerajaan di kuasai oleh bangsa lain dan pendirian
benteng tersebut dianggap menunjukkan niat buruk Portugis atas Ternate.
- Permasalahan
Dari latar belakang di atas, pada
makalah ini kelompok kami akan membahas permasalahan sebagai berikut:
Kesultanan
Ternate abad ke-15 sampai 17 ditnjau dari berbagai aspek
Berdasarkan permasalahan tersebut,
kelompok kami membagi dalam beberapa sub bab guna menyelesaikan permasalahan
tersebut:
1.
Daya tarik Ternate
Tidore
2.
Awal berdirinya
kesultanan Ternate Tidore
3.
Sistem politik dan
ekonomi kesultanan
4.
Hubungan Kesultanan
Ternate Tidore dan reaksi terhadap bangsa asing
5.
Perlawanan terhadap
kekuasaan asing
6.
Keruntuhan Kesultanan
Ternate Tidore
BAB
2
ISI
2.1. Rempah-rempah Sebagai Daya Tarik Utama Maluku
Kepulauan
Nusantara dikenal sebagai penghasil rempah-rempah terbesar yang kemudian mampu
menarik berbagai bangsa asing untuk datang untuk mendapatkannya. Pusat
rempah-rempah Nusantara terdapat di kepulauan Maluku. Sejak dahulu Maluku sudah
dikenal sebagai daerah yang sangat kaya akan rempah-rempah yang bernilai
ekonomis tinggi. Dalam gambaran perdagangan Asia Tenggara, rempah-rempah telah
memikat para pedagang dari berbagai benua lain. Rempah-rempah sangat penting
bagi perdagangan karena keuntungan yang besar dari penjualannya.[7]
Sejak masa sebelum abad ke-10, banyak kapal dagang
dari pedagang asing ke kepulauan Nusantara yang datang ke wilayah-wilayah yang
menjadi penghasil rempah-rempah di Maluku. Pedagang yang datang untuk mencari
rempah-rempah di Maluku adalah pedagang dari Eropa, seperti Portugis, Spanyol,
dan Inggris, maupun Arab serta wilayah Asia lainnya. Wilayah-wilayah di Maluku
yang menghasilkan rempah-rempah diantaranya adalah cengkeh yang banyak
dihasilkan dari Ternate, Tidore, Halmahera, Seram dan Ambon, sementara pala dan
bunga pala banyak dihasilkan di kepulauan Banda.[8]
Tome Pires dalam catatan perjalanannya menyebutkan bahwa:
Pedagang Melayu
mengatakan bahwa Tuhan menciptakan Timor untuk kayu cendana dan Banda untuk
bunga pala dan Maluku untuk cengkeh, dan barang dagangan ini tidak dikenal di
tempat lain di dunia kecuali di tempat ini.[9]
Cengkeh yang diperdagangkan adalah putik bunga
tumbuhan hijau tropis yaitu Szygiumaromaticum
atau Caryophullus aromaticus yang dikeringkan. Jika panen, satu pohon dapat
menghasilkan sampai 34 kg cengkeh. Sedangkan untuk pala pala dan bunga pala,
keduanya merupakan dua hal yang berbeda. Pala adalah biji, sedangkan bunga pala
adalah penutup luar biji dari pohon Myristica
fragrans, yang hingga abad ke-18 hanya tumbuh di gugusan pulau-pulau kecil
yang dikenal sebagai Banda. Cengkeh dan bunga pala menurut Anthony Reid sangat
bernilai tinggi dan mahal harganya di Eropa hingga akhir abad ke empat belas.[10]
Pires menjabarkan hasil produk untuk pala dan bunga
pala dalam laporannya. Angka untuk bunga pala berkisar antara 6000 sampai 7000
bahar dengan catatan bahwa angka tersebut hanya berlaku bagi musim panen besar.
Menurut Pires, satu bahar bunga pala berharga 3 dan 3,5 cruzado.[11]
Eksotisme rempah-rempah Maluku terutama cengkeh,
bunga pala, dan pala tercatat dalam buku Iternerario
near Oost ofte Portugaels Indien (Catatan Perjalanan ke Timor atau Hindia
Portugis) karya Jan Huygen van Linschoten yang merupakan seorang pelaut Belanda
yang bekerja pada armada Portugis. Dalam bukunya tersebut ia menuliskan dengan
baik keindahan pohon penghasil rempah-rempah dan keajaiban buah itu, yang
memiliki khasiat penyembuh berbagai macam penyakit. Tulisannya tentang pala,
bunga pala, dan cengkeh diuraikan sebagai berikut:
Pohon-pohon yang
membuahkan pala dan bunga pala itu tidak berbeda dengan pohon bunga pir, tetapi
daunnya lebih pendek dan bundar, baik untuk penyembuh sakit kepala, untuk ibu
dan untuk syaraf. Pala terbalut oleh tiga jenis kulit, yang paling utama dan
paling luar seperti daging kelapa, yang membalut buahnya, adalah bunga pala,
yang berguna bagi obat-obatan. Buah pala menenangkan otak, menajamkan daya
ingat, menghangatkan dan menguatkan tenggorokan, mengusir angin dari tubuh,
menyegarkan nafas, melancarkan kencing dan menghentikan mencret. …bunga pala
terutama baik untuk selesma dan untuk pria yang lemah, menghilangkan rasa marah
dan memudahkan buang angin…. Pohon cengkeh banyak dahannya dan bunganya tidak
sedikit, yang kemudian menjadi buah-buah yang dinamakan ‘cloves’ karena
bentuknya yang mirip cakar atau ‘claws’. Cengkeh banyak digunakan untuk memasak
daging maupun meramu obat. Air cengkeh hijau yang disuling harum baunya, dan
menguatkan jantung, yang sakit cacar menjadi berkeringat dengen cengkeh, bunga
pala, dan cabe hitam….. Cengkeh memperkuat hati, tenggorokan, jantung,
melancarkan perncernaan, memudahkan ke luarnya kencing, dan bila ditaruh di
mata dapat memelihara penglihatan.[12]
Rempah-rempah dari kepulauan Maluku telah menarik
kedatangan pada pedagang, baik pedagang pribumi maupun pedagang asing. Para
pedagang dari Cina, telah mengenal cengkeh dan pala pada masa dinasti Tang.
Perahu-perahu Cina dengan teratur mengunjungi Maluku pada tahun 1340-an untuk
mengangkut sejumlah kecil cengkeh. Ekspor rempah-rempah Maluku ke Cina melonjak
sekitar tahun 1400-an dan pelan-pelan meluas selama abad ke-15.[13]
Pedagang Eropa yang pertama kali datang ke Maluku
adalah bangsa Portugis pimpinan Alfonso de Albuquerque yang sebelumnya telah
menaklukkan Malaka. Selama hampir setengah abad kekuatan Portugis mendominasi
Maluku sebelum akhirnya merosot dan berhasil diusir dari Ternate. Dari tahun
1513-1530 orang Portugis mendominasi pasaran Eropa dengan membawa rata-rata
lebih dari 30 ton cengkeh dan 10 ton pala.[14]
Kemudian selanjutnya pada akhir abad ke-16
orang-orang Belanda mulai berdatangan ke Nusantara untuk mencari rempah-rempah
langsung ke tempat produksinya di Maluku. Mereka pertama kali tiba di Banten
pada 1596 sebelum akhirnya menuju Maluku.[15]
Masuknya bangsa Belanda sejak akhir abad ke-16 di Nusantara kemudian membawa
peubahan besar. Dan untuk memantapkan kedudukannya di Nusantara Belanda
kemudian mendirikan Veerenigde Oost
Indische Compagnie (VOC) pada tahun 1602.[16]
Selain pedagang asing, rempah-rempah di Maluku juga
menarik bagi para pedagang pribumi untuk datang. Mereka membawa rempah-rempah
itu ke pusat-pusat perdagangan di Jawa dan Malaka. Kemudian dari Malaka,
rempah-rempah menyebar ke Cina, India, Asia Barat, dan Eropa.[17]
Ramainya perdagangan rempah-rempah dan berbagai produk lainnya menjadikan
Nusantara menjadi tempat yang menarik namun juga menjadi jalur persilangan yang
sibuk bagi perdagangan dan pelayaran.
Kemahsyuran rempah-rempah Nusantara dengan pusatnya
yaitu Maluku memiliki daya tarik yang luar biasa. Rempah-rempah menjadi
primadona perdagangan karena nilai jualnya yang sangat tinggi disertai
permintaan yang tinggi pula. Para pedagang kemudian berlomba-lomba untuk
mencarinya langsung menuju pusat penghasilnya, yaitu Maluku. Para pedagang dari
Eropa, Arab, dan Cina datang ke Maluku untuk membawa dan menjual di pasaran internasional. Tergiur
dengan keuntungan yang besar, bangsa Eropa berusaha untuk menguasai Maluku demi
mendapatkan hak atas monopoli rempah-rempah. Hal tersebut menandai kekuasaan
asing di tanah Maluku demi menguasai rempah-rempah.
2.2. Awal Berdirinya
Kesultanan Ternate-Tidore dan Proses Islamisasi
Proses Islamisasi
Maluku Utara merupakan salah satu pusat
penyebaran Islam di kawasan timur Indonesia. Sumber-sumber tradisional
mengisyaratkan bahwa Islam telah datang ke daerah ini pada pertengahan abad ke
-13, ketika jaringan lalu lintas perdagangan internal bertambah ramai.[18]
Maluku Utara merupakan satu-satunya pusat niaga cengkih dan pelabuhannya telah
terkenal di kalangan pedagang-pedagang Arab, Persia, India, dan Cina, juga
termasuk pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh para pedagang. Selain para
pedagang, para ulama pun telah datang di Nusantara sejak abad ke-13, mereka pun
telah sampai di Maluku Utara.
Menurut
sejarah lisan setempat, di Maluku Utara telah dayang ulama dari Irak untuk
menyiarkan Islam, keempat ulama itu ialah Syaikh Mansur, Syaikh Ya’kub, Syaikh
Amin, dan Syaikh Umar.[19]
Syaikh Mansur menyiarkan Islam di Ternate dan Halmahera (bagian muka Ternate).
Syaikh Ya’kub menyiarkan Islam di Tidore dan Makian. Sedangkan Syaikh Amin dan
Syaikh Umar berdakwah di daerah bagian Halmahera yang tidak berhadapan dengan
Ternate. Sedangkan dalam Hikayah Ternate,
tidak diceritakan mengenai keempat ulama tersebut, melainkan diceritakan
tentang datangnya seorang keturunan Nabi Muhammad yang bernama Ja’far Shadik.
Kemudian, Ja’far Shadik menikahi Nur Sifa, seorang putrid setempat. Ja’far
Shadik juga terkenal sebagai ayah dari kolano
empat kerajaan yang tergabung dalam Moloku
Kie Raha (Persekutuan Empat Gunung atau Kerajaan), yaitu Makian, Jailolo,
Ternate, dan Tidore. Perkembangan Islam semakin pesat di Ternate pada abad
ke-13, yaitu ketika para kolano mulai memeluk agama Islam (tapi kerajaannya
belum menjadi kerajaan Islam). Pada masa itu pula komunitas muslim semakin
bertambah. Komunitas muslim ini terdiri dari suku bangsa Melayu dan Jawa, juga
orang Arab.
Proses Terbentuknya
Kesultanan Ternate
Penduduk Pulau
Ternate (atau dulu dikenal dengan nama Pulau Gapi) merupakan warga Halmahera
yang bermigrasi. Pada awalnya, di Pulau Ternate ini terdapat empat kampong yang
masing-masing dikepalai oleh seorang momole (persekutuan suku). Letaknya yang strategis dengan jalur perdagangan menjadikan Ternate
bersentuhan dengan para pedagang asing, seperti Arab, Tionghoa, India, dan
Melayu. Para pedagang asing ini datang ke Ternate disebabkan Ternate terkenal
dengan hasil buminya, yaitu rempah-rempah. Kedatangan para pedagang asing ini
menyebabkan penduduk Ternate semakin heterogen.
Aktivitas perdagangan yang semakin ramai berbanding lurus dengan ancaman
yang datang di kawasan ini. Para perompak atau lanun tidak dapat diatasi dengan
baik oleh para momole. Kemudian, atas prakarsa Momole Guna, pemimpin Tobona,
maka diadakanlah musyawarah untuk membentuk organisasi yang lebih kuat dan
mengangkat seorang pemimpin tunggal sebagai raja. Tahun 1257 momole Ciko
pemimpin Sampalu terpilih dan diangkat sebagai Kolano (raja) pertama dengan gelar Baab Mashur
Malamo (1257-1272). Kemudian ketika Islam masuk,
nama kolano ini diganti
menjadi kesultanan. Pengalihan kolano
menjadi Kesultana Ternate ini ditandai dengan pemberian gelar sultan kepada
raja yang berkuasa pada tahun 1486-1500, yaitu Zainal Abidin, murid Sunan Giri.
Proses
Terbentuknya Kesultanan Tidore
Pulau
Tidore dahulu dikenal dengan nama Kie
Duko yang memiliki arti pulau bergunung api. Penamaan ini sesuai dengan
topografi pulau ini yang memang memiliki gunung api. Nama Tidore sendiri
diambil dari gabungan bahasa Tidore dan Arab dialek Irak, yaitu To ado re (Bahasa Ternate) yang berarti
‘aku telah sampai’ dan Bahasa Arab dialek Irak: anta thadore yang berarti ‘kamu datang’. Gabungan ini bermula dari
pertikaian yang sering terjadi antar momole
yang memperebutkan wilayah kekuasaan persukuan. Usaha-usaha untuk mengatasi
pertikaian ini selalu gagal.
Kemudian
sekitar tahun 846 M, datang rombongan Ibnu Chardazabah, utusan Khalifah
al-Mutawakkil dari Kerajaan Abbasiyah. Pada saat itu, sedang terjadi pertikaian
dan utusan Khalifah ini kemudian memfasilitasi perundingan yang disebut Togorebo. [20]
pertemua disepakati di atas sebuah batu besar di kaki gunung Marijang.
Kesepakatannya yaitu, setiap momolo yang datang paling cepat ke lokasi
pertemuan akan menjadi pemenang dan pemimpin pertemuan. Setiap momole yang
datang ke lokasi selalu meneriakkan To do
are, karena merasa dia yang datang tercepat dan menjadi pemenang.
Kerajaan
ini berdiri sejak Jou Kolano Sahjati berkuasa (1108 M). Namun, tidak ada
kejelasan sumber mengenai lokasi pusat kerajaan. Bahkan hingga raja yang ke-4,
pusat kerajaan Tidore masih belum dapat dipastikan. Baru ketika pada masa
kekuasaan Jou Kolano Bungan Mabunga Balibung, informasi mengenai pusat kerajaan
mulai diketahui, walau masih dalam perdebatan. Kemudian pada masa Sultan
Ciriliyati (1495 M) yang memakai gelar sultan untuk pertama kali, pusat
kerajaan Tidazore berada di Gam Tina yang selanjutnya dipindahkan ke Rum Tidore
Utara pada tahun 1512 M oleh Sultan Mansur.
2.3. STRUKTUR BIROKRASI KESULTANAN TERNATE
Sejarah pemerintahan di Ternate
diawali pada tahun 1257 pada masa terbentuknya sebuah kerajaan yang bernama
Moloku (asal mula sebutan pulau tersebut). Pada saat itu kerajaan dipimpin oleh
seorang raja yang bernama Baab Mansur Malamo. Kemudian jauh pada perkembangan
selanjutnya, kerajaan tersebut runtuh yang digantikan oleh masa empat Kerajaan
(Swapraja). Berdasarkan catatan Pemerintah Kolonial Belanda (Zelf Bestuur
Regeling 1938) terdapat kerajaan Tidore, Jailolo, dan Bacan yang berada di
bawah kekuasaan pusat yakni Kerajaan Ternate.[21]
Banyak pelaut asing yang menulis kisah perjalanan
mereka yang menjelaskan tentang struktur Kesultanan Ternate, di antaranya
pelaut terkenal Tome Pires, kemudian Antonio Galvao, Barbarosa, dan Pigafeta.
Pires dan Galvao dalam masing-masing tulisannya menceritakan bahwa Raja
Ternate, Vongi, menikahi anak patih Jawa, kemudian menjadi muslim dan memakai
gelar Kolano atas namanya. Dikatakan pula bahwa Vongi—raja Islam pertama
Ternate—telah berkuasa sejak tahun 1460. [22]
Raja adalah anak tertua dari permaisuri. Galvao
kemudian menceritakan secara terperinci penobatan seorang raja di Kesultanan
Ternate. Sistemnya hampir sama dengan cara-cara yang diterapkan oleh
kesultanan-kesultanan di Indonesia lainnya dan seperti yang ditulis di atas
sistem-sistem Hindu sedikit banyak masih diterapkan di kesultanan-kesultanan
Nusantara.[23]
Sistem pemerintahan kesultanan dibantu oleh dua golongan
Bobato, Pertama, Bobato Dunia yaitu para pembantu sultan di bidang
pemerintahan, ekonomi, pertahanan, serta pelayaran terhadap rakyat. Kedua adalah
Bobato Akhirat yang bertugas menjalankan tugas-tugas di bidang pembinaan,
penguatan, dan penyebaran agama. Setelah kedatangan Islam, sistem pemerintahan
di kawasan Maluku Utara mengalami perubahan mendasar, dari pemerintahan yang
sifatnya sederhana menjadi lebih kompleks, yaitu dari sistem pemerintahan
Momole menjadi sistem pemerintahan kesultanan. Dalam sistem inilah kemudian
lahir jabatan Bobato.[24]
Bentuk pemerintahan yang dijalankan oleh empat kesultanan
di Maluku Utara relatif sama, yaitu dibantu oleh Bobato Dunia dan Bobato
Akhirat. Hal ini karena di antara keempat kesultanan tersebut telah terjalin
persaudaraan dalam ikatan Persekutuan Moti (Motir Verbond) yang juga dikenal
dengan istilah Moloku Kie Raha (persaudaraan empat gunung). Empat kesultanan
tersebut antara lain Kesultanan Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo.
Dalam bidang hukum dan peradilan, tidak terdapat aturan
hukum yang jelas. Keputusan-keputusan peradilan secara sepihak ditentukan oleh
raja melalui menteri-menterinya dengan pertimbangan alasan yang masuk akal.[25]
Oleh karena itu, keputusan raja terhadap peradilan bisa dikatakan mutlak dengan
pertimbangan logika saja.
Secara umum, FSA de Clercq dalam bukunya Bijdragen
tot de Kennis de Residentie Ternate terdapat tiga fase pemerintahan di masa
kerajaan Ternate yaitu: 1257–1486, berdirinya kerajaan–kerajaan dengan beberapa
Kepala Pemerintahan Kerajaan tertentu di Ternate dan Tidore. 1486–1817,
masuknya Agama Islam dan tampilnya Sultan pertama sampai berakhirnya Pemerintah
sementara Inggris 1817–1888, peralihan kekuasaan Belanda.[26]
2.4
Sistem Ekonomi Pada Masa Kesultanan Ternate Tidore
Pada masa kesultanan, berbagai nama tempat seperti
Samudra Pasai, Pidie, Aceh, Malaka, Ternate, Tidore, dan lain-lain sudah dapat
dikatakan sebagai kota. Ada yang berfungsi sebagai kota pusat kerajaan, kota
kadipaten dan ada pula sebagai kota pelabuhan. Sebagai sebuah kota,
masing-masing dari daerah-daerah tersebut pasti memiliki corak kehidupan dan
perekonomian. Pada masa perkembangan Islam, corak kehidupan dan perekonomian
hampir sama antara daerah satu dengan lainnya.
Pertumbuhan kota-kota bercorak
muslim di pesisir utara dan timur Sumatera di Selat Malaka sampai Ternate di
Maluku melalui pesisir utara Jawa ada hubungan dengan faktor ekonomi di bidang
pelayaran dan perdagangan[27].
Karena perdagangan menjadi faktor utama perkembangan kota, maka sebuah pasar
memiliki peran yang sangat penting dalam perekonomian. Hal tersebut juga
berlaku di Ternate, terdapat pasar yang menjadi pusat perekonomian.
Ternate Tidore termasuk kesultanan
tradisional sehingga sistem ekonomi yang berlaku dalam kerajaan ini pun masih
bersifat tradisional. Raja memiliki kekuasaan tertinggi dalam mengatur
perekonomian kesultanan dan menetapkan peraturan-peraturan yang berlaku di
kesultanan. Raja termasuk golongan yang kehidupan ekonominya tertinggi, karena
raja-raja pada zaman tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung,
menentukan nasib perekonomian dan perdagangan dengan segala peraturannya[28].
Selain raja, elite-elite yang memiliki hubungan kekerabatan dengan raja juga
dapat turut mengatur perekonomian di kesultanan.
Sebagai kerajaan yang bercorak
maritim seperti Ternate, dalam kehidupannya tidak membawa basis agraria
melainkan perdagangan dan pelayaran. Oleh sebab itu maka kota-kota pantai
kekuasaan ekonomi maupun politiknya dipegang oleh kaum aristokrat yang
mendominasi perdagangan sebagai pemberi modal atau kadang-kadang sebagai
peserta. Pengawasan terhadap perdagangan dan pelayaran merupakan sendi-sendi
kekuasaan mereka yang memungkinkan kerajaan memperoleh penghasilan dan pajak
yang besar[29].
Perdagangan di Maluku terjadi dengan
pedagang-pedagang dari Cina yang melalui jalur pelayaran dan perdagangan.
Interaksi dengan para pedagang tersebut terjadi sejalan dengan perubahan jalur perdagangan
dunia dari transkontinental ke jalur maritim antara India dan Cina itu membuat
kerajaan-kerajaan di Maluku untuk pertama kalinya dalam sejarah ekonomi dan
maritim dapat hersinggungan secara langsung dan dinyatakan terbuka hubungan
perdagangan dengan dunia luar. Dan untuk pertama kalinya pula kerajaan-kerajaan
di Maluku dapat melakukan kontak perdagangan secara langsung dan terbuka dengan
para pedagang yang herasal dari luar wilayah geografisnya. Pada awal abad VIII,
kerajaan-kerajaan di Maluku masih melakukan hubungan perdagangan secara tidak
laugsung (tatap muka) dengan pedagang-pedagang dari Cina dan India
(Gujarat-Islam) sebatas menggunakan sistem barter, yaitu
pertukaran barang dengan barang[30].
Ketika
kerajaan-kerajaan yang ada di Maluku mulai berinteraksi secara langsung dengan
para pedagang dari Cina dan India, perekonomian khususnya dalam hal perdagangan
tidak lagi hanya diatur oleh raja. pedagang Cina dan India juga dapat
melebarkan jaringan perdagangannya dengan melibatkan juga kaum bangsawan di
Maluku. Dengan demikian pedagang-pedagang Cina dengan leluasa memperkenalkan
dan mempraktekkan mata uang "Fang" mereka kepada bangsawan dan
raja-raja di Maluku untuk dapat digunakan dalam setiap kegiatan perdagangan.
Selanjutnya mata uang Fang itu oleh seluruh kerajaan di Maluku dapat digunakan
sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah dalam kegiatan perdagangan,
khususnya dengan pedagang-pedagang dari Cina[31].
Ketika
kedatangan bangsa Eropa yaitu Portugis membuat perubahan dalam hal
perekonomian. Monopoli perekonomian dipegang oleh Portugis, raja tidak lagi
memiliki wewenang yang besar karena kekuasaan Portugis yang sangat besar di
Maluku. Apabila ada perlawanan dari raja yang berkuasa, bukan tidak mungkin
raja yang sedang berkuasa tersebut akan ditangkap oleh Portugis. Ketika
Portugis pergi meninggalkan Ternate selama-lamanya, VOC kemudian datang dan
melanjutkan monopoli rempah-rempah di Maluku membuat keadaan perekonomian tidak
berubah seperti pada masa kekuasaan Portugis di Maluku terutama Ternate dan
Tidore. Perekonomian di Maluku tetap seperti itu hingga Belanda datang.
BAB 3
ISI
3.1. Hubungan Kesultanan
Ternate Tidore dan Reaksi terhadap Bangsa Asing
Raja-raja tertua di Maluku adalah raja-raja dari
Jailolo akan tetapi karena penduduk Ternate, Tidore dan Bacan lebih banyak dari
Jailolo, maka penguasa dari tiga daerah ini lebih menonjol. Kerajaan Ternate
terjadi kira-kira pada abad ke-13 dan ibukota kerajaan ini ditempatkan di
Sampalu. Di tempat ini pada abad-abad kemudian orang-orang Portugis mencampuri
masalah tahta kerajaan.
Setelah berhasil menduduki Malaka (1511),
orang-orang Portugis tidak tinggal diam, mereka melanjutkan petualangan mereka
dengan mengadakan pelayaran ke timur ke kepulauan rempah-rempah. Pelayaran
dilanjutkan di bawah pimpinan De Abreu. Dalam perjalanannya ini ia singgah di
Gresik dan kemudian melanjutkan perjalanannya ke Maluku, yaitu ke Pulau Banda.
Pulau ini merupakan tempat pengumpulan rempah-rempah Maluku. Di Banda orang
Portugis membeli pala, cengkeh, fuli. Rempah-rempah ini ditukar dengan bahan
pakaian dari India. Dengan ini suasana perdagangan yang ramai timbul di pulau
ini.[32]
Untuk beberapa lama perdagangan antara kedua pihak
ini, yaitu Portugis dan Ternate berjalan dengan tenteram. Ternate meminta
kepada pihak Portugis untuk mendirikan suatu benteng di Ternate untuk
melindungi diri dari serangan-serangan musuh. Permohonan ini diterima dengan
sangat baik oleh pihak Portugis untuk mengajukan pula keinginan mereka, yaitu
monopoli perdagangan cengkeh. Keinginan ini kemudian dituangkan ke dalam suatu
perjanjian. Dengan adanya perjanjian ini, mulailah masuk pengaruh-pengaruh baru
yang membawa bermacam-macam akibat. Rakyat Ternate merasa tertekan, karena
tidak ada lagi persaingan yang bebas. Mereka harus menjual rempah-rempah mereka
dengan harga sangat rendah kepada Portugis. Karena hubungan yang merugikan ini
maka timbul perang. Orang Portugis yang baru dikenal sebagai sahabat berubah
menjadi pemeras dan musuh.[33]
Hubungan Portugis dengan Ternate berubah menjadi
tegang karena upaya (yang agak lemah) Portugis melakukan kristenisasi dan
karena perilaku tidak sopan dari orang-orang Portugis sendiri. Akan tetapi,
Ambonlah yang kemudian menjadi pusat utama kegiatan-kegiatan Portugis di Maluku
sesudah itu. Ternate, sementara itu, menjadi sebuah negara yang gigih menganut
Islam dan anti-Portugis di bawah pemerintahan Sultan Baabullah (1570-83) dan
putranya, Sultan Said ad-Din Berkat Syah (1584-1606).
Pada tahun 1521 orang-orang Spanyol datang dengan
dua buah kapal melalui Filipina Kalimantan Utara ke Tidore, Bacan dan Jailolo.
Mereka diterima dengan baik, ketika mereka pulang, beberapa pedagang mereka
tinggal di Tidore. Akan tetapi nasib mereka kurang baik, karena orang-orang
Portugis kemudian menyerang mereka.[34]
Kedatangan orang-orang Spanyol di Maluku tidak
menggembirakan orang-orang Portugis, karena mereka tidak mau mendapat saingan
dari orang Eropa yang lain yang dapat mengganggu politik monopoli perdagangan
rempah-rempah mereka. Akan tetapi kapal-kapal Spanyol tetap berlayar ke tempat
itu. Karena sikap yang baik, mereka lebih disukai daripada orang-orang
Portugis. Kapal-kapal Spanyol hingga tahun 1534 mengunjungi Maluku. Setelah itu
karena suatu perjanjian dengan orang-orang Spanyol pada tahun itu pula, maka
setelah itu mereka meninggalkan daerah Maluku. Dan sekali lagi orang-orang
Portugis mendapat kebebasan penuh untuk melakukan monopoli perdagangan
rempah-rempah.[35]
Sejak akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 tiba
gilirannya bagi orang-orang Belanda datang ke Indonesia. Motif kedatangan
orang-orang Belanda ini hampir serupa dengan orang-orang Portugis. Apabila
motif kedatangan orang-orang Portugis ada tiga yaitu agama, ekonomi dan
petualangan maka kedatangan orang-orang Belanda mempunyai dua motif yaitu
ekonomi dan petualangan. Kedatangan orang-orang Belanda di pelabuhan Maluku
mendapat sambutan yang baik dari penguasa-penguasa serta rakyatnya. Hampir
setiap pulau di Maluku disinggahi oleh kapal-kapal Belanda, untuk mengadakan
perdagangan dengan penduduk. Kedatangan orang-orang Belanda di Ternate diterima
dengan baik karena pada waktu itu sultan Ternate sedang memusuhi orang-orang
Portugis dan Spanyol. Dengan sikap yang baik dari pihak orang-orang Belanda
maka kembalinya kapal-kapalnya ke negerinya membawa muatan rempah-rempah yang banyak
serta mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.[36]
3.2 Perlawanan bangsa Ternate terhadap kekuatan
asing
Orang asing yang menjejakkan kakinya pertama kali di
wilayah kepulauan Ternate adalah Loedwijk de Bartomo (Lidvico Varthema) di
tahun 1506. Pada tahun 1512, rombongan bangsa Portugis datang ke wilayah
kepulauan Ternate untuk mencari rempah-rempah. Pada saat itu rombongan Portugis
dipimpin oleh Fransisco Serrao. Kedatangan mereka pertama kali awalnya hanya
ingin berdagang rempah-rempah. Oleh karena itu pada awal kedatangannya Sultan
Bayanullah yang berkuasa pada tahun 1500-1521menerima kedatangan mereka dengan
ramah dan mengizinkan bangsa Portugis untuk mendirikan pos dagang di wilayah
Ternate. Sebuah catatan mengatakan bahwa keberhasilan bangsa Portugis diterima
oleh bangsa Ternate adalah dengan membawa saudagar melayu ke dalam kongsi
dagang mereka, sehingga diterima baik oleh pihak Ternate.[37]
Kedatangan bangsa Portugis ke wilayah Ternate membuat bangsa asing lain terpacu
untuk memasuki wilayah Ternate. Focus utama mereka tidak lain dan tidak bukan
adalah mencari rempah-rempah. Seperti telah kita ketahui, kepulauan Ternate dan
Tidore merupakan “gudang” dari rempah-rempah. Pada masa awal, kesultanan
Ternate belum menjalani kerjasama dengan kesultanan Tidore bahkan mereka
bersaing dalam sektor politik dan ekonomi. Keberhasilan kesultanan Ternate
dalam menggandeng kekuatan Portugis ternyata berdampak pada ramainya pasar di
wilayah Ternate. Pada tahun 1521 Portugis mendirikan benteng Sao Paulo di
wilayah Ternate.[38]
Ramainya perdagangan di wilayah
Kepulauan Ternate ternyata membuat gerah pihak kesultanan Tidore. Pihak
kesultanan Tidore mulai membuka jalinan kerjasama dengan pihak Spanyol. Keadaan
ini makin mempeuncing keadaan. Seperti yang telah kita ketahui pada masa
tersebut, persaingan antara Portugis dan Spanyol sangat tajam. Hal ini membuat
keadaan antara kesultanan Ternate dan kesultanan Tidore makin memanas. Solusi
yang diambil adalah membagi daerah kegiatan dagang mereka, yaitu Portugis
mengambil wilayah perdagangan di kepulauan Maluku dan Spanyol berkuasa atas
perdagangan di wilayah Filipina. Portugis datang ke Ternate pada awalnya dengan
itikad untuk berdagang rempah-rempah. Namun pada kenyataannya Portugis memiliki
niat untuk memonopoli perdagangan yang ada di wilayah kepulauan Ternate. Mereka
pun juga memiliki misi keagamaan, yakni menyebarkan agama Katolik ke dalam
kalangan kerajaan dan masyarakat Ternate. Namun sikap Portugis ini ternyata
tidak disenangi oleh pihak kerajaan. Terlebih pada saat kerajaan Ternate
dipimpin oleh Pangeran Tabarij. Portugis yang merasa keadaannya terdesak di
masa kekuasaan Pangeran Tabarij, mengasingkannya ke wilayah Goa-India. Tidak
hanya itu Portugis juga memaksa Tabarij untuk masuk ke dalam agama Kristen dan
mengganti namanya menjadi Manuel. Kesultanan Ternate pun dipaksa untuk menjadi
kerajaan Kristen.
Kekuasaan Tabarij digantikan oleh Sultan Hairun. Dalam
masa kekuasaannya Sultan Hairun sangat menentang kebijakan Portugis dan
mengadakan persekutuan dengan 2 kesultanan lain, yaitu Aceh dan Demak. Namun
dengan akal licik Portugis dapat dengan mudah membunuh Sultan Hairun di meja
perundingan. Kemudian Sulthan Baabullah naik menjadi Sultan (1570-1583 M). Pada
masa kekuasaannya Portugis dibuat tak berkutik. Ia memobilisasi massa untuk
memerangi kekuatan Portugis. Selama lima tahun akhirnya Portugis keluar dari
wilayah Maluku pada tahun 1575 M.
Kekuatan
berikutnya yang masuk ke wilayah Maluku adalah VOC. VOC masuk ke wilayah Maluku
secara penuh pada abad ke-17. Periode awal masuknya VOC ke wilayah Maluku
ditandai dengan penyerangan terhadap wilayah Makian pada tahun 1605. Namun pada
masa awalnya keberadaan VOC masih dibayang-bayangi oleh kekuatan Spanyol. Pada
masa kekuasaan Sultan Mandar Syah, keberadaan VOC mulai stabil. Bulan Juni
1650, Sultan Mandar Syah yang baru berkuasa selama 2 tahun menyerahkan beberapa
negeri di wilayah Seram (Kalibobo, Elepaputi, Amahai, dan Makariki). Reaksi keras dimunculkan dari pihak internal kerjaan,
banyak yang tidak suka oleh kebijakan Sultan Mandar Syah.[39]
Rakyat menentang dan berada di belakan perlindungan kepada VOC. Keluarnya
Mandar Syah dari lingkungan kerajaan, diiringi dengan meletusnya pemberontakan
kecil terhadap kebijakan Mandar Syah. Mengetahui terjadinya pemberontakan,
pihak VOC melaporkan kejadian ini ke Batavia. Lalu Gubernur Jendral
memerintahkan Panglima Militer VOC di Ambon, Arnold de Vlamming, untuk
menggertak para oposan Mandar Syah dan memadamkan pemberontakan agar tidak
menjalar ke wilayah lain.[40]
Dapat dikatakan pemerintahan Mandar Syah menjadi pemerintahan yang sangat lemah
dan sangat bergantung pada kekuatan VOC. Tahtanya digantikan oleh anaknya yang
bernama Sibori Amsterdam. Naiknya Sibori Amsterdam menjadi raja di kerajaan
Ternate didukung oleh pihak VOC, karena ia dianggap dapat diatur sesuai
kehendak VOC.[41] Namun kedudukan Sibori lagi-lagi ditentang oleh para
rakyatnya. Karena pada saat ia menerima bintang penghargaan dari VOC atas
penandatanganan perjanjian dengan VOC di tahun 1676 tepatnya pada tanggal 12
Oktober, Ternate telah melepas seluruh kedaulatannya atas Maluku Tengah.
Dalam
masa ini kedultanan Ternate mulai memasuki masa suramnya. Pada tahun 1680,
Sibori mengutus Pati Lima untuk menyerukan agar kaum muslimin di daerah
tersebut memerangi Belanda terkecuali mereka yang bersedia menjadi sahabat
kesultanan Ternate. Keberadaan Pati Lima yang bermaksud untuk bertemu dengan
Hasan Sulaiman di Hitu segera diburu oleh pihak Gubernur Ambon. Pati Lima
disergap di wilayah Hatuwane, dan ia dikirim ke wilayah benteng Victoria Ambon.
Ia pun diinterogasi oleh pihak Belanda mengenai surat edaran Sibori. Pati Lima
pun mengakui bahwa ia dimandatkan secara penuh untuk membunuh orang-orang
Belanda.
Terbongkarnya
misi Pati Lima membuat bobato kesultanan Ternate untuk menyerah kepada Belanda
di benteng Oranje. Banyak versi yang saling bersinggungan mengenai menyerahnya
para bobato kesultanan Ternate terhadap Belanda. Satu sisi sumber mengatakan
bahwa para Bobato menyerah karena ketidakpuasannya terhadap kebijakan Sibori,
sisi lain mengatakan bahwa mereka menyerah karena keadaan terdesak saat
melakukan perundingan dan mereka ditangkap di wilayah Fort Oranje.[42]
Sibori diminta oleh pihak VOC untuk menyerah dan datang ke wilayah Fort Oranje.
Permintaan ini ditolak mentah-mentah oleh Sibori. Penolakan ini ditenggapi
dengan penyerangan Belanda terhadap istana Ternate dan menembaki negeri Soasio.
Kedatangan kedua Belanda pasca penolakan Sibori, datang dengan kekuatan lebih
besar bermaksud menangkap Sibori. Pihak kesultanan dapat bertahan dan Belanda
mundur ke benteng. Esok harinya keluarga Sultan mengungsi ke wilayah Jailolo
dan ke wilayah Alifuru. Mereka tidak dapat bertahan akibat logistik yang tidak
memadai. Orang-orang kepercayaan Sibori satu demi satu mulai menyebrang ke
pihak Belanda. Mereka merasa tidak dapat bertahan karena keadaan istana yang
tidak kondusif. Terlebih pihak Belanda mulai menjanjikan hadiah kepada siapa
pun yang dapat menangkap Sibori. Pemberontakan yang dilakukan oleh Sibori
terkesan ”setengah hati”, meskipun ia memiliki kuasa penuh dan kekuatan yang
cukup dalam memerangi keberadaan Belanda. Hingga akhirnya Sibori dapat
ditangkap berkat informasi ortang terdekatnya. Ia pun diasingkan ke wilayah
Batavia pada 30 Agustus 1681. Ia diasingkan di Batavia selama beberapa bulan dan
kembali ke Ternate. Pada tahun 1683 tepatnya pada tanggal 7 Juli, Sibori
mengadakan perundingan dengan Belanda yang isinya melemahkan kekuasaan Sibori
dan hanya menjadi boneka Belanda.
3.3. KERAJAAN TERNATE DAN TIDORE
Kerajaan Ternate dan Tidore terletak di
kepulauan Maluku. Maluku adalah kepualuan yang terletak di antara Pulau
Sulawesi dan Pulau Irian.
Gambar 17. Peta Kepulauan Maluku abad 16.
Keadaan Maluku yang subur dan diliputi
oleh hutan rimba, maka daerah Maluku terkenal sebagai penghasil rempah seperti
cengkeh dan pala. Cengkeh dan pala merupakan komoditi
perdagangan rempah-rempah yang terkenal pada masa itu, sehingga pada abad ke-12 ketika permintaan akan rempah-rempah sangat meningkat, maka masyarakat
Maluku mulai mengusahakan perkebunan dan tidak hanya mengandalkan dari hasil
hutan.
Cengkeh banyak terdapat di Pulau Buru, Seram dan Ambon.
Dalam rangka mendapatkan rempah-rempah tersebut, banyak pedagang-pedagang yang datang ke Kepulauan Maluku. Salah satunya adalah pedagang Islam dari Jawa Timur. Dengan demikian melalui jalan dagang tersebut agama Islam masuk ke Maluku, khususnya di daerah-daerah perdagangan seperti Hitu di Ambon, Ternate dan Tidore.
Dalam rangka mendapatkan rempah-rempah tersebut, banyak pedagang-pedagang yang datang ke Kepulauan Maluku. Salah satunya adalah pedagang Islam dari Jawa Timur. Dengan demikian melalui jalan dagang tersebut agama Islam masuk ke Maluku, khususnya di daerah-daerah perdagangan seperti Hitu di Ambon, Ternate dan Tidore.
Selain melalui perdagangan, penyebaran
Islam di Maluku dilakukan oleh para Mubaligh (Penceramah) dari Jawa, salah
satunya Mubaligh terkenal yaitu Maulana Hussain dari Jawa Timur yang sangat
aktif menyebarkan Islam di Maluku sehingga pada abad 15 Islam sudah
berkembang pesat di Maluku.
Dengan berkembangnya ajaran Islam di
Kepulauan Maluku, maka rakyat Maluku baik dari kalangan atas atau rakyat umum
memeluk agama Islam, sebagai contohnya Raja Ternate yaitu Sultan Marhum, bahkan
putra mahkotanya yaitu Sultan Zaenal Abidin pernah mempelajari Islam di
Pesantren Sunan Giri, Gresik, Jawa Timur sekitar abad 15. Dengan demikian di
Maluku banyak berkembang kerajaan-kerajaan Islam.
Dari sekian banyak kerajaan Islam di
Maluku, kerajaan Ternate dan Tidore merupakan dua kerajaan Islam yang cukup
menonjol peranannya, bahkan saling bersaing untuk memperebutkan hegemoni
(pengaruh) politik dan ekonomi di kawasan tersebut.
Kehidupan Politik
Kepulauan Maluku terkenal sebagai
penghasil rempah-rempah terbesar di dunia. Rempah-rempah tersebut menjadi
komoditi utama dalam dunia pelayaran dan perdagangan pada abad 15 – 17. Demi
kepentingan penguasaan perdagangan rempah-rempah tersebut, maka mendorong
terbentuknya persekutuan daerah-daerah di Maluku Utara yang disebut dengan Ulilima
dan Ulisiwa.
Ulilima berarti persekutuan lima
bersaudara yang dipimpin oleh Ternate yang terdiri dari Ternate, Obi, Bacan,
Seram dan Ambon. Sedangkan Ulisiwa adalah persekutuan sembilan bersaudara yang
terdiri dari Tidore, Makayan, Jailolo dan pulau-pulau yang terletak di
kepulauan Halmahera sampai Irian Barat.
Gambar 18. Persekutuan Ulilima dan Ulisiwa.
Antara persekutuan Ulilima dan Ulisiwa
tersebut terjadi persaingan. Persaingan tersebut semakin nyata setelah
datangnya bangsa Barat ke Kepulauan Maluku. Bangsa barat yang pertama kali datang adalah Portugis yang akhirnya
bersekutu dengan Ternate tahun 1512. Karena persekutuan tersebut maka Portugis
diperbolehkan mendirikan benteng di Ternate. Spanyol pun datang ke Maluku pada waktu itu bermusuhan dengan Portugis. Akhirnya Spanyol di Maluku bersekutu dengan Tidore.
Akibat persekutuan tersebut maka persaingan antara Ternate dengan
Tidore semakin tajam, bahkan menyebabkan terjadinya peperangan antara keduanya
yang melibatkan Spanyol dan Portugis. Dalam peperangan tersebut Tidore dapat
dikalahkan oleh Ternate yang dibantu oleh Portugis. Keterlibatan Spanyol dan Portugis pada perang antara Ternate dan
Tidore, pada dasarnya bermula dari persaingan untuk mencari pusat rempah-rempah
dunia sejak awal penjelajahan samudra, sehingga sebagai akibatnya Paus turun
tangan untuk membantu menyelesaikan pertikaian tersebut.
Usaha yang dilakukan Paus untuk menyelesaikan pertikaian antara
Spanyol dan Portugis adalah dengan mengeluarkan dekrit yang berjudul Inter
caetera Devinae, yang berarti Keputusan Illahi. Dekrit tersebut ditandatangani
pertama kali tahun 1494 di Thordessilas atau lebih dikenal dengan Perjanjian
Thordessilas. Dan selanjutnya setelah adanya persoalan di Maluku maka kembali
Paus mengeluarkan dekrit yang kedua yang ditandatangani oleh Portugis dan
Spanyol di Saragosa tahun 1528 atau disebut dengan Perjanjian Saragosa.
Perjanjian Thordessilas merupakan suatu
dekrit yang menetapkan pada peta sebuah garis maya perbatasan dunia yang
disebut Garis Thordessilas yang membentang dari Kutub Utara ke Kutub Selatan
melalui Kepulauan Verdi di sebelah Barat benua Afrika. Wilayah di sebelah Barat
Garis Thordessilas ditetapkan sebagai wilayah Spanyol dan di sebelah Timur
sebagai wilayah Portugis.
Sedangkan Perjanjian Saragosa juga
menetapkan sebuah garis maya baru sebagai garis batas antara kekuasaan Spanyol
dengan kekuasaan Portugis yang disebut dengan Garis Saragosa. Di mana garis tersebut membagi dunia
menjadi 2 bagian yaitu Utara dan Selatan. Bagian Utara garis Saragosa merupakan
kekuasaan Spanyol dan bagian Selatannya adalah wilayah kekuasaan Portugis. Dari
penjelasan tersebut apakah Anda sudah paham? Kalau sudah paham simaklah uraian
materi selanjutnya.
Perjanjian
Saragosa yang ditandatangani pada 22 April 1529 merupakan perjanjian antara Spanyol dan Portugal yang
menentukan bahwa belahan bumi bagian timur dibagi di antara kedua kerajaan tersebut
dengan batasgaris bujur yang melalui 297,5 legua atau
17° sebelah timur Kepulauan Maluku. Perjanjian ini adalah kelanjutan
dari Perjanjian Tordesillas yang membagi belahan bumi barat di antara Spanyol dan Portugal dan
diprakarsai oleh Paus, yang melihat persaingan perebutan koloni yang dilakukan
oleh Portugis dan Spanyol. Oleh karena itu, dibuatlah perjanjian ini. Dalam
perjanjian ini dicapai hasil yang lebih rinci dari dua belah pihak, Spanyol dan
Portugis.
Adapun kesepakatan yang dicapai adalah :
- Bumi dibagi atas
dua pengaruh, yaitu pengaruh bangsa Spanyol dan Portugis.
- Wilayah kekuasaan
Spanyol membentang dari Mexico ke arah barat sampai kepulauan Filipina dan
wilayah kekuasaan Portugis membentang dari Brazillia ke arah timur sampai
kepulauan Maluku. Daerah di sebelah utara garis saragosa
adalah penguasaan portugis. Dan daerah di sebelah selatan
garis saragosa adalah penguasaan spanyol.[43]
Dengan adanya perjanjian Saragosa
tersebut, maka sebagai hasilnya Portugis tetap berkuasa di Maluku sedangkan
Spanyol harus meninggalkan Maluku dan memusatkan perhatiannya di Philipina.
Sebagai akibat dari perjanjian Saragosa, maka Portugis semakin leluasa dan
menunjukkan keserakahannya untuk menguasai dan memonopoli perdagangan
rempah-rempah di Maluku. Tindakan sewenang-wenang Portugis menimbulkan
kebencian di kalangan rakyat Ternate, bahkan bersama-sama rakyat Tidore dan
rakyat di pulau-pulau lainnya bersatu untuk melawan Portugis.
Perlawanan terhadap Portugis pertama kali
dipimpin oleh Sultan Hairun dari Ternate, sehingga perang berkobar dan benteng
pertahanan Portugis dapat dikepung. Dalam keadaan terjepit tersebut, Portugis
menawarkan perundingan. Akan tetapi perundingan tersebut merupakan siasat
Portugis untuk membunuh Sultan Hairun tahun 1570.
Dengan kematian Sultan Hairun, maka rakyat
Maluku semakin membenci Portugis, dan kembali melakukan penyerangan terhadap
Portugis yang dipimpin oleh Sultan Baabullah pada tahun 1575. Perlawanan ini
lebih hebat dari sebelumnya sehingga pasukan Sultan Baabullah dapat menguasai
benteng Portugis. Keberhasilan Sultan Baabullah merebut benteng Sao Paolo
mengakibatkan Portugis menyerah dan meninggalkan Maluku. Dengan demikian Sultan
Baabullah dapat menguasai sepenuhnya Maluku dan pada masa pemerintahannya tahun
1570 – 1583 kerajaan Ternate mencapai kejayaannya karena daerah kekuasaannya
meluas terbentang antara Sulawesi sampai Irian dan Mindanau sampai Bima,
sehingga Sultan Baabullah mendapat julukan sebagai ‘Tuan
dari 72 Pulau’.
Kehidupan Ekonomi
Kerajaan Ternate dan Tidore berkembang
sebagai kerajaan Maritim. Dan hal ini juga didukung oleh keadaan kepulauan
Maluku yang memiliki arti penting sebagai penghasil utama komoditi perdagangan
rempah-rempah yang sangat terkenal pada masa itu. Dengan andalan rempah-rempah
tersebut maka banyak para pedagang baik dari dalam maupun luar Nusantara yang
datang langsung untuk membeli rempah-rempah tersebut, kemudian diperdagangkan
di tempat lain.
Dengan kondisi tersebut, maka perdagangan di Maluku semakin ramai
dan hal ini tentunya mendatangkan kemakmuran bagi rakyat Maluku. Adanya
monopoli dagang Portugis maka perdagangan menjadi tidak lancar dan menimbulkan
kesengsaraan rakyat di Maluku.
Kehidupan
Sosial Budaya
Masuknya Islam ke Maluku maka banyak rakyat Maluku yang memeluk
agama Islam terutama penduduk yang tinggal di tepi pantai, sedangkan di daerah
pedalaman masih banyak yang menganut Animisme dan Dinamisme.
Dengan kehadiran Portugis di Maluku, menyebabkan agama Katholik juga
tersebar di Maluku. Dengan demikian rakyat Maluku memiliki keanekaragaman
agama. Perbedaan agama tersebut dimanfaatkan oleh Portugis untuk memancing
pertentangan antara pemeluk agama. Dan apabila pertentangan sudah terjadi maka
pertentangan tersebut diperuncing oleh campur tangan orang-orang Portugis.
Dalam bidang kebudayaan yang merupakan peninggalan kerajaan Ternate
dan Tidore terlihat dari seni bangunan berupa bangunan Masjid dan Istana Raja
dan lain-lain.
Gambar 19. Bangunan
Masjid di Maluku.
Kemunduran Kerajaan Ternate dan Tidore
1) Kerajaan Ternate
Kerajaan-kerajaan di Maluku, termasuk Ternate dan Tidore mulai mengalami
perpecahan ketika kedatangan orang-orang Barat di tanah Maluku. Portugis di
Ternate dan Spanyol di Tidore yang berebut kekuasaan dalam memonopoli
perdagangan, khususnya rempah-rempah.[44]
Kerajaan Ternate mengalami kemunduran setelah Sibori
Amsterdam naik tahta. Ia menggantikan ayahnya Mandar Syah pada tahun 1675.
Naiknya Sibori menjadi Sultan Ternate sangat didukung oleh VOC. Ia dianggap
oleh VOC sebagai orang yang dapat diatur menurut kehendaknya[45].
Oleh karena itu, VOC dapat memanfaatkan situasi tersebut untuk menguasai
Ternate.
Pada
12 Oktober 1676, suatu perjanjian yang sangat merugikan Ternate ditandatangani
para utusan ternate dengan Gubernur Jenderal Jan Maatsuyker. Inti perjanjian
tersebut adalah wilayah
seberang laut kesultanan Ternate di Kepulauan Ambon digabungkan dalam provinsi
dann diangkatnya penguasa-penguasa khusus di pulau Buru, Ambalau, Buano, dan Kelang.[46]
Akibat dari perjanjian tersebut, Ternate telah melepaskan seluruh kedaulatannya
atas Maluku Tengah. Segera setelah itu daerah-daerah lain di seberang laut yang
memiliki hubungan dengan Ternate melepaskan diri. VOC telah membawa situasi
yang sulit kepada Ternate. Dengan berbagai tekanan, VOC telah menempatkan VOC
dalam kondisi yang tak memiliki banyak pilihan. Setelah menyadari hal tersebut,
Sibori kemudian mengutus Pati Lima untuk membawa surat edaran yang ditujukan
kepada seluruh umat muslim di Ambon, Hitu, Buru, dan Manipa. Dalam surat edaran
tersebut, Sibori menyerukan agar kaum muslim di daerah-daerah tersebut untuk
menyerbu dan membunuh orang-orang Belanda. Namun Gubernur Ambon yang mendengar
perihal surat edaran tersebut segera mengambil tindakan untuk menangkap Pati
Lima dan akhirnya Sultan Sibori berhasil ditangkap oleh VOC dan dibawa ke
Batavia pada 30 Agustus 1681.
Setelah ditangkap dan dibawa ke
Batavia, Sultan Sibori mengalami masa pengasingan sampai akhir tahun 1682. Pada
awal Juli 1683 sebuah perundingan dilakukan antara Sibori dan Gubernur Jendral
yang menghasilkan kesepakatan yang ditandatangani pada 7 Juli 1683 :
1) Hak
Gubernur VOC untuk duduk dalam dewan kerajaan Ternate
2) Semua
eksekusi hukuman mati harus dengan persetujuan VOC
3) Setiap
pergantian Sultan harus dengan persetujuan VOC.[47]
Sejak
berlakunya perjanjian tersebut, Ternate secara otomatis telah kehilangan
kedaulatannya sebagai kerajaan yang merdeka. Oleh karena itu, pada tahun 1683
kerajaan Ternate dipaksakan menjadi “leenstaat”
(negara vassal) dari VOC.[48]
2) Kerajaan Tidore
Kerajaan Tidore merupakan kerajaan yang menjadi sasaran kedatangan bangsa
Barat dalam menguasai perdagangan rempah-rempah, disamping Kerajaan Ternate dan
sekitarnya. Persaingan Portugis dan Spanyol hingga Tidore dikuasai oleh VOC
semata-mata untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah.[49]
Seiring dengan kedatangan bangsa Barat, Kerjaan Tidore mulai mengalami
kemunduran. Kerajaan Kemunduran Kerajaan Tidore terlihat ketika dipimpin oleh Sultan Saifuddin. Ketika
Sultan Tidore ke-12 ini memerintah, pada tahun 1663 secara
mengejutkan Spanyol menarik seluruh kekuatannya dari Ternate, Tidore dan Siau
yang berada di Sulawesi Utara ke Filipina. Gubernur Jenderal Spanyol yang
berada Manila, Manrique de Lara, membutuhkan semua kekuatan untuk
mempertahankan Manila dari serangan bajak laut Cina, Coxeng. Gubernur Spanyol
di Maluku, Don Francisco de Atienza Ibanez, nampak meninggalkan kepulauan
Maluku pada bulan Juni 1663. Maka berakhirlah kekuasaan Spanyol di Kepulauan
Maluku.
Dengan
tiadanya dukungan militer dari Spanyol, otomatis kekuatan Tidore melemah dan
VOC-Belanda menjadi kekuatan militer terbesar satu-satunya di kepulauan yang
kaya dengan rempah-rempah itu. Akhirnya Sultan Saifudin kemudian melakukan
perjanjian dengan Laksamana Speelman dari VOC-Belanda pada tanggal 13 Maret
1667 yang isinya sebagai berikut:
- VOC
mengakui hak-hak dan kedaulatan Kesultanan Tidore atas
Kepulauan Raja Empat dan Papua daratan.
- Kesultanan
Tidore memberikan hak monopoli perdagangan rempah-rempah dalam wilayahnya
kepada VOC.
Batavia
kemudian mengeluarkan ordinansi
untuk Tidore yang membatasi produksi cengkeh dan pala hanya pada Kepulauan
Banda dan Ambon. Di luar wilayah ini,
semua pohon rempah diperintahkan untuk dimusnahkan.
Pohon-pohon rempah yang ‘berlebih’ ditebang untuk mengurangi produksi rempah
sampai seperempat dari masa sebelum VOC-Belanda memegang kendali perdagangan
atas Maluku.
Apa
yang dilakukan oleh VOC-Belanda tersebut, yaitu memusnahkan atau eradikasi
pohon-pohon cengkih di Kepulauan Maluku, disebut sebagai “Hongi Tochten”. Kesultanan Ternate sebenarnya telah terlebih
dahulu mengadakan perjanjian yang berkenaan dengan “Hongi Tochten” pada tahun 1652 kemudian disusul oleh Tidore
beberapa waktu berikutnya setelah Tidore mengakui kekuatan ekonomi-militer
Belanda di Maluku. Pihak kesultanan menerima imbalan tertentu (recognitie penningen) dari pihak VOC
akibat operasi ini. “Hongi Tochten” dilakukan akibat banyaknya penyelundup yang
memasarkan cengkih ke Eropa sehingga harga cengkih menjadi turun drastis.
Sepeninggal
Sultan Saifudin, Kesultanan Tidore semakin melemah. Banyaknya pertentangan dan
pemberontakan di kalangan istana kesultanan menyebabkan Belanda dengan begitu
mudah mencaplok sebagian besar wilayah Tidore.[50] Dengan demikian, Kesultanan Tidore berada dalam pengaruh
Belanda, baik dalam hal ekonomi maupun politik.
Peta
Kepulauan di Nusantara Abad ke-17.[51]
BAB
IV
PENUTUP
Sejak berlakunya perjanjian tersebut,
Ternate secara otomatis telah kehilangan kedaulatannya sebagai kerajaan yang
merdeka. Perjanjian tersebut telah menjadikan Kesultanan Ternate tak lain hanya
merupakan kerajaan vassal VOC. Pada perkembangan selanjutnya perlawanan
terhadap VOC dan Belanda tetap dilakukan. Namun hal tersebut hanya dapat
dilakukan secara terbatas karena kemampuan kerajaan yang minim serta pengaruh
belanda yang kuat.
Sedangkan di tidore kejatuhannya di
latar belakangi Ketika Sultan Tidore ke 12 memerintah yaitu Sultan Saifudin,
pada tahun 1663 secara
mengejutkan Spanyol menarik seluruh kekuatannya dari Ternate,
Tidore dan Siau yang berada di Sulawesi Utara ke Filipina. Gubernur Jenderal Spanyol yang berada Manila, Manrique de Lara,
membutuhkan semua kekuatan untuk mempertahankan Manila dari
serangan bajak laut Cina, Coxeng. Gubernur Spanyol di Maluku, Don
Francisco de Atienza Ibanez, nampak meninggalkan kepulauan
Maluku pada bulan Juni 1663. Maka berakhirlah kekuasaan
Spanyol di Kepulauan Maluku. [52]
Dengan tiadanya
dukungan militer dari Spanyol, otomatis kekuatan Tidore melemah dan VOC-Belanda menjadi kekuatan
militer terbesar satu-satunya di kepulauan yang kaya
dengan rempah-rempah itu.
Akhirnya Sultan Saifudin
kemudian melakukan perjanjian dengan Laksamana Speelman dari
VOC-Belanda pada tanggal 13 Maret 1667 yang mana isinya adalah :
(1) VOC mengakui hak-hak dan kedaulatan Kesultanan Tidore
atas Kepulauan Raja Empat dan Papua daratan (2)
Kesultanan Tidore memberikan hak monopoli perdagangan
rempah-rempah dalam wilayahnya kepada VOC.[53]
Pada tahun 1780, Nuku memproklamasikan dirinya
sebagai Sultan Tidore dan menyatakan bahwa kesultanan-nya sebagai wilayah yang
merdeka lepas dari kekuasaan VOC-Belanda. Kesultanan Tidore yang dimaksudkan
olehnya meliputi semua wilayah Tidore yang utuh yaitu : Halmahera Tengah dan
Timur, Makian, Kayoa, Kepulauan Raja Ampat, Papua Daratan, Seram Timur, Kepulauan Keffing, Geser, Seram Laut,
Kepulauan Garang, Watubela dan Tor. [54]
Setelah berjuang beberapa tahun, Sultan Nuku
memperoleh kemenangan yang gemilang. Ia berhasil membebaskan Kesultanan Tidore
dari kekuasaan Belanda dan mengembalikan pamornya. Penghujung a bad ke- 18 dan
permulaan abad ke-19 adalah era keemasan Tidore di bawah Nuku.
Kemenangan-kemenangan yang diraih Sultan Nuku juga
tidak lepas dari kondisi politik yang terjadi di negeri Belanda. Tahun 1794,
Napoleon Bonaparte menyerbu Belanda yang mengakibatkan Raja Willem V mengungsi
ke Inggris. Selama menetap di Inggris, ia mengeluarkan instruksi ke seluruh
Gubernur Jenderal daerah jajahannya agar menyerahkan daerahnya ke Inggris
supaya tidak jatuh ke tangan Perancis. Tahun 1796, Inggris menduduki. Ditambah
dengan bubarnya VOC pada Desember 1799, maka hal ini semakin memperlemah
kedudukan Belanda di Kepulauan Maluku.
[55]
Tetapi pada tanggal 14 November 1805,
Tidore kehilangan seorang sultan yang pada masa hidupnya dikenal sebagai (Jou Barakati) atau di
kalangan orang Inggris
disapa dengan (Lord of Forrtune). Wafatnya Sultan Nuku dalam usia 67 tahun tidak hanya
membawa kesedihan bagi rakyat Malaku, tetapi juga memberikan kedukaan bagi rakyat Tobelo, Galela dan Lolada yang telah bergabung ke dalam barisan
Nuku sejak awal perjuangannya. Akibat dari hal tersebutlah Voc kembali mulai
menanamkan kedigdayaannya di Tidore di sebabkan hilangnya sosok pemberani
seperti Sultan Nuku.
DAFTAR PUSTAKA
Amal, M. Adnan.
2010. Kepulauan Rempah-Rempah. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia.
Atjo, Rusli Andi.
2008. Peninggalan Sejarah di Ternate.
Jakarta: Cikoro Trirasuandar.
B.Soelarto, sekelumit Monografi Daerah Taernate
Depdikbud. 1977. Sejarah Daerah Maluku. Jakarta:
Depdikbud.
Lapian, A.B. Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad
Ke-16 dan 17, Jakarta: Komunitas Bambu, 2008
Marwati Djoened Poesponegoro &
Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional
Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka. 1993.
Munzirin,
Yusuf (ed), Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, 2006
Poesponegoro, Marwati Djoened
dan Nugroho Susanto. 2008. Sejarah
Nasional Indonesia Jilid III Edisi
Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka.
Pradjoko, Didik. Pelayaran dan Perdagangan di Nusantara pada Abad ke 16-Abad ke-19,
dalam Abdurakhman (ed), Dari Kurun Niaga
Hingga Orde Baru: Bunga Rampai Sejarah Indonesia, Depok: FIB UI, 2007
Putuheha,
Dr. M. Shaleh. 2007. Historiografi Haji
Indonesia. Jakarta, LKIS.
Reid, Anthony. Dari Ekspansi Hingga Krisis II Jaringan Perdagangan Global Asia
Tenggara 1450-1680, Jakarta: Yayasan Obor, 1999.
Ricklefs, M. C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta:
Serambi. 2001
Vlekke,
Bernard H.M.. Nusantara. Kepustakaan Populer Gramedia. 2008.
Willard A. Hanna, Kepulauan
Banda, Kolonialisme dan akibatnya, (Jakarta: Gramedia, 1983).
Internet:
http://history22education.wordpress.com/2010/12/01/perjanjian-saragosa diunduh
pada tanggal 15 Mei 2011 pukul 11:30.
http://sejarah.kompasiana.com/2010/05/17/kesultanan-tidore-dari-caliati-hingga-sultan-nuku diuduh pada tanggal 15 Mei 2011
pukul 11:45.
http://www.melayuonline.com/ind/history/dig/336.
Kerajaan Tidore. Diunduh pada 3 April 2011, 12:37 PM.
http://www.mail-archive.com/artculture-indonesia@yahoogroups.com/msg01420.html
Diakses pada 28 Februari 2011 pukul 21.30 WIB.
http://melayuonline.com/ind/history/dig/456/kesultanan_tidore
Diakses pada 12 mei 2011 pukul 21.45 WIB.
http://melayuonline.com/ind/history/dig/456/kesultanan_ternate
Diakses pada 12 mei 2011 pukul 21.50 WIB.
http://ms.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_ternate
Diakses pada 12 mei 2011 pukul 21.15
WIB.
http://ms.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_tidore
Diakses pada 12 mei 2011 pukul 21.30
WIB.
http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/82072548.pdf diunduh pada tanggal 11 Mei 2011 pukul 21:22
http://melayuonline.com/ind/history/dig/310 diunduh pada tanggal 10 Mei 2011 pukul 18.15 WIB
[3] http://www.wisatanesia.com/2010/08/kesultanan-ternate.html diunduh
pada tanggal 16 Maret 2011 pukul 18.24 WIB
[4] Op cit
[7] Anthony Reid, Dari Ekspansi
Hingga Krisis II Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680,
(Jakarta: Yayasan Obor, 1999), hlm. 4.
[8] Didik Pradjoko, Pelayaran dan
Perdagangan di Nusantara pada Abad ke 16-Abad ke-19, dalam Abdurakhman
(ed), Dari Kurun Niaga Hingga Orde Baru:
Bunga Rampai Sejarah Indonesia, (Depok: FIB UI, 2007), hlm. 9.
[9] Tome Pires, Suma Oriental
dalam Anthony Reid, Op.Cit., hlm. 2
[10] Ibid., hlm. 4.
[11] A.B Lapian, Pelayaran dan
Perniagaan Nusantara Abad Ke-16 dan 17, Jakarta: Komunitas Bambu, 2008),
hlm. 82-83
[12] Laporan van Lindschotten dalam Didik Pradjoko, Op.Cit., hlm. 13.
[13] Anthony Reid, Op.Cit., hlm.
5.
[14] Ibid., hlm. 18.
[15] Didik Pradjoko, Op.Cit.,
hlm. 12.
[16] Ibid., hlm. 14.
[17] Ibid., hlm. 13.
[18] Putuheha, Dr. M. Shaleh. 2007. Historiografi
Haji Indonesia. Jakarta, LKIS. Hal. 99.
[19] Ibid.
[20] http://www.melayuonline.com/ind/history/dig/336.
Kerajaan Tidore. Diunduh pada 3 April 2011, 12:37 PM.
[21] Pada masa penjajahan Belanda, Ternate dibagi atas beberapa distrik,
kemudian setiap distrik tersebut dipecah menjadi beberapa ender distrik.
Diperoleh dari www.kotaternate.go.id/sejarah/
[22] Ibid., hlm. 299
[23] Penobatan memakai pakaian kebesaran sultan, menggunakan mahkota
emas, iring-iringan pengawal, berlututnya para hadirin dan mencium kaki raja
dan lainnya.
[24] Mengenai para Boboto lebih lanjut dijelaskan dalam www.melayuonline.com mengenai kerajaan
di Maluku
[25] Poesponegoro., Op.cit. hlm. 301
[26] Fase pemerintahan Kesultanan Ternate akan dijelaskan dalam
lampiran. Diakses dari www.kotaternate.com
[27] Marwati Djoened, dkk. 1984. Sejarah
Nasional Indonesia III. Jakarta : Balai Pustaka, hlm. 214
[28] Ibid, hlm 234
[29] Ibid, hlm 243
[30] Nani Jafar . Maluku Sebagai Propinsi Maritim di Indonesia:
Perspektif Kajian Sejarah, Ekonomi, dan Modernisasi, hlm. 4.
http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/82072548.pdf diunduh pada tanggal 11 Mei 2011 pukul 21:22
[31] Ibid, hlm 5
[37] Hamka, Sejarah Umat Islam IV, hal. 220
[38] Willard A. Hanna, Kepulauan Banda,
Kolonialisme dan akibatnya, (Jakarta: Gramedia, 1983), hal. 3.
[42] Ibid, hal, 140.
[43] http://history22education.wordpress.com/2010/12/01/perjanjian-saragosa diunduh pada tanggal 15 Mei 2011 pukul 11:30.
[44] Marwati
Djoened Poesponegoro dan Nugroho Susanto, Sejarah
Nasional Indonesia Jilid III Edisi
Pemutakhiran (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hlm. 75.
[45]
M. Adnan Amal, Kepulauan Rempah-Rempah (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010),
hlm. 136-137.
[50] http://sejarah.kompasiana.com/2010/05/17/kesultanan-tidore-dari-caliati-hingga-sultan-nuku diuduh pada tanggal 15 Mei 2011 pukul 11:45.
Peta tersebut
bersumber dari Nusantara, A History of
Indonesia oleh Bernard H. M. Vlekke.
[52] http://melayuonline.com/ind/history/dig/336
[53] Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar