UNIVERSITAS INDONESIA
IKLAN SURAT KABAR DAN
PERUBAHAN MASYARAKAT DI JAWA
MASA KOLONIAL
(1870-1915)
LAPORAN BACAAN
Riyanto, Bedjo. 2000. Iklan
Surat Kabar dan Perubahan Masyarakat di Jawa Masa Kolonial (1870-1915).
Yogyakarta: Penerbit Tarawang.
DISUSUN OLEH:
DIANA NURWIDIASTUTI
(0806343834)
M. RIDHO RACHMAN
(0808343973)
NURUL IMAN (0806462344)
PROGRAM STUDI ILMU
SEJARAH
FAKULTAS ILMU
PENGETAHUAN BUDAYA
Periode tahun 1870—1930-an, kehidupan masyarakat di
pulau Jawa mengalami proses perubahan struktur secara mendasar dan
besar-besaran. Perubahan besar yang terjadi ini mengacu pada pendapat Wertheim,
pertama, disebabkan oleh perubahan yang disebabkan oleh perubahan akibat
merosotnya peranan politik, ekonomi, dan sosial dari kerajaan-kerajaan tradisional,
yang kemudian digantikan oleh kekuasaan birokratis Kolonial Hindia Belanda.
Yang jauh lebih kompleks struktur birokrasinya. Binnenlands-Bestuur adalah
perangkat birokrasi elite tradisional pribumi yang menjalankan kekuasaan
politik pemerintah Kolonial terkait kebijakan suatu sistem pemerintahan tidak
langsung (indirect rule). Kedua, proses perubahan yang diakibatkan oleh
terjadinya perubahan dalam struktur ekonomi yang diakibatkan oleh sistem
perekonomian kapitalistik Barat yang menggantikan perekonomian pribumi yang
bersifat agraris feodal tradisional. Ketiga adalah munculnya golongan baru
dalam stratifikasi sosial akibat diterapkannya sistem pendidikan modern oleh
pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang dikenal sebagai elite modern Indonesia.
Pesatnya modernisasi yang melanda tanah Hindia Belanda
yang ditandai dengan pesatnya pertumbuhan industri maupun perdagangan; pesatnya
pembangunan infrastruktur perkotaan; sarana komunikasi dan transportasi; dan
semakin heterogennya pelapisan sosial di perkotaan yang membentuk suatu
masyarakat konsumen, telah memungkinkan hadirnya sistem komunikasi dengan media
massa secara luas dan cepat. Dengan semakin menyatunya media komunikasi massa
dalam kehidupan masyarakat perkotaan Jawa, maka semakin meluas dan penting pula
peranan media pers (media komunikasi massa cetak) sebagai wahana interaksi
sosial dan sosialisasi nilai bagi masyarakatnya.
Yang sangat penting untuk diamati dalam perkembangan
industri pers pada akhir abad 19 dan awal abad 20, adalah penampilan bentuk
visual iklan surat kabar yang mengalami proses pencanggihan bentuk dan
perumitan wujud dalam bobot artistik yang tinggi, seiring dengan modernisasi
teknologi percetakan. Disain iklan yang semula hanya tampilan rangkaian tulisan
dengan tipografi yang sederhana (iklan baris) yang nyaris tanpa sentuhan rasa
keindahan tahun 1870-an, mulai mengalami transformasi disain menjadi iklan
display yang kompleks dan artistik. Hal
itu lah yang ingin diangkat dalam tulisan ini, yakni mengenai kreativitas yang
dicapai dalam kualitas estetika dari iklan-iklan surat kabar yang dirancang
pada periode waktu tahun 1870—1915. Yang kemudian dilakukan interpretasi sejauh
mana iklan-iklan surat kabar yang terbit pada periode tahun tersebut
mencerminkan adanya proses perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat di
Jawa pada masa itu.
BAB
II
SELINTAS
TENTANG PEKEMBANGAN PERIKLANAN DAN KONSEP PERIKLANAN MODERN DI BARAT
A.
Selintas
Sejarah Periklanan di Barat
Pada masa Yunani Kuno,
praktik periklanan paling awal berupa periklanan lisan (oral) yang dilakukan oleh para penjaja
yang berteriak keliling kota menawarkan barang dagangannya (salesman). Misalnya, menawarkan produk kosmetik merk Aesclyptos dengan menyanyikan semacam puisi sebagai pemikat calon
konsumennya. Sedangkan di zaman Romawi, orang-orang memasang iklan dalam bentuk
tulisan-tulisan papan pengumuman yang ditempelkan pada dinding-dinding kota
untuk mencari budak-budak yang melarikan diri dan juga untuk mengumumkan
pertandingan para Gladiator.
Suatu revolusi penting
yang semakin memicu perkembangan dunia periklanan terjadi ketika ditemukannya
mesin cetak oleh Johannes Gutenberg dari Mainz Jerman pada tahun 1440-an.
Selain itu, pertumbuhan periklanan sebagai industri komunikasi komersial yang
sangat besar terjadi di Amerika Serikat. Tokoh bernama Benjamin Franklin
dijuluki sebagai Bapak Perikalanan Amerika pada tahun 1729 dengan surat
kabarnya yang terkenal, yakni Pennsylvania
Gazette. Beliau menjadi pelopor pemanfaatan gamabar-gambar ilustrasi
sebagai penjelas informasi dan kekuatan daya tarik dalam iklan-iklan surat
kabar, sehingga menjadikan periklanan modern.
B.
Konsep
Periklanan Modern
Pada zaman modern,
peristilahan untuk iklan berbeda-beda. Menurut bahasa Melayu, yakni I’lan. Reklame berasal dari bahasa
Perancis, “reclamare” yang artinya
meneriakkan sesuatu berulang-ulang, sedangkan bahasa Inggrisnya adalah advertising. Istilah iklan pertama kali
diperkenalkan oleh Soedardjo
Tjokrosisworo (tokoh pers nasional 1951).[1]Dalam dunia
periklanan, media sebagai penyampai pesan dibedakan menjadi dua pengertian,
yakni media lini atas (above-the-line media) dan Media lini
bawah (below-the-line media).
Sementara itu, pengertian iklan media cetak adalah pesan-pesan komersial dari
produsen kepada khalayak konsumennya yang disampaikan lewat media cetak.
C.
Kreativitas
dalam Penciptaan Design Iklan Media Cetak
Menurut pendapat David
Ogilvy, seorang pakar periklanan terkemuka di dunia, iklan merupakan media
informasi yang mengandung bobot seni. Menurut pendapat Francis S. King dan Otto
Kleppner, bagian paling penting yang bertanggung jawab terhadap perancangan dan
penentuan suatu iklan adalah bagian kreatif yang mengolah dan menyusun
unsur-unsur iklan menjadi suatu kesatuan bentuk (design) iklan yang disebut layout
atau blue print iklan. Adapun
unsur-unsur layout, yakni naskah dan
ilustrasi.
Naskah, terdiri atas headline, body-copy dan slogan, sedangkan penyajian ilustrasi
dikelompokan menjadi tujuh belas (17) kelompok, tiga diantaranya adalah illustration of the product alone,
illustration off the product in setting, dan illustration of the product in use.
Adapun sarana untuk
menghubungkan unsur-unsur iklan agar tercapai komposisis yang menyenangkan dan
komunikatif sebagaimana patokan-patokan yang dibuat oleh Frank F. Jefkins,
diantaranya adalah The Law of Unity
(kesatuan) sebagai cara pengorganisasian yang membentuk kesatuan di antara
unsur-unsur pendukung layout.
BAB
III
PROSES
INDUSTRIALISASI, TERBENTUKNYA STRATIFIKASI MASYARAKAT BARU, PERKEMBANGAN
PENERBITAN PERS DAN JASA PERIKLANAN DI JAWA TAHUN 1800-1915
A.
Pertumbuhan
Ekonomi dan Proses Industrialisasi di Jawa
Memasuki abad ke-19,
pemerintah kolonial Belanda berkuasa
kembali di Hindia Belanda
setelah sebelumnya dalam beberapa tahun berada di tangan Inggris.
Pemerintah kolonial menerapkan berbagai kebijakan ekonomi, salah satunya dengan
diterapkannya program untuk menggerakan pertumbuhan ekonomi yang disebut Sistem
Tanan Paksa atas prakarsa van
den
Bosch. Sampai pada akhir pelaksanaan sistem ini, yakni pada tahun 1977, negeri
Belanda telah memperoleh keuntungan dari Hindia Belanda sekitar 825 juta
gulden. Selanjutnya diterapkan Undang-undang Agraria 1870, terjadilah
swastanisasi dan modernisasi perekonomian Hindia Belanda. Industri berkembang
pesat dan penanaman modal asing terus meningkat sehingga perekonomian terus
berjalan seiring kebutuhan akan komoditas.
B.
Pertambahan
Jumlah Penduduk Pribumi dan Asing di Jawa
Pertumbuhan jumlah
penduduk mengalami kenaikan cukup signifikan pada abad 19 dan 20. Pada tahun 1817 diperkirakan 4,5
juta jiwa penduduk pribumi. Kemudian tahun 1930 diperkirakan 41 juta jiwa.
Perkembangan yang menakjubkan itu menurut W.F. Wertheim dan Elson, diakibatkan
pengaruhn kebijaksanaan politik dan perekonomian kolonial Belanda. Progran
vaksinasi dan pemberantasan penyakit menular
yang diselenggarakan pemerintah kolonial ikut andil dalam mengurangi
jumlah angka kematian penduduk Hindia Belanda. Sementara itu, untuk laju
pertumbuhan penduduk asing sangat erat berkaitan dengan pasang surut proses
imigrasi penduduk luar negeri yang datang ke Hindia Belanda.
C.
Perkembangan
Pendidikan, Terbentuknya Stratifikasi Sosial Baru, dan Tumbuhnya Masyarakat
Konsumen di Jawa
Perluasan birokrasi
pemerintahan kolonial membutuhkan adanya lapisan pegawai-pegawai rendahan dalam
lembaga Binnenlands Bestuur Negeri
Kolonial Hindia Belanda. Oleh karena itu, pada abad ke-20 mulai bermunculan
sekolah-sekolah pribumi dan desa, sedangkan sekolah-sekolah tingkat menengah
dan tinggi baru pada awal abad ke-20. Penerapan sistem pendidikan Barat semakin
mempercepat laju proses modernisasi yang mengubah secara struktural
lapisan-lapisan sosial masyarakat Jawa. Ikatan komunal dari masyarakat agraris
feodal tradisional berangsur-angsur mulai bergeser ke arah masyarakat dengan
ikatan asosiasonal. Golongan baru ini disebut sebagai golongan priyayi. Bersama
dengan kaum bangsawan (aristokrat) merupakan elite feodal tradisional.
Selain priyayi, ada
juga golongan kelas menengah yang berperan penting dalam perekonomian, yakni
golongan Cina perantauan. Sebagai titik puncak piramida stratifikasi sosial
dalam struktur masyarakat kolonial di Hindia Belanda diduduki oleh golongan
elite Belanda dan Eropa lainnya. Golongan Eropa dan Timur Asing lah yang menciptakan suatu kelas
konsumen dengan gaya hidup dan pola konsumsi modern. Modernisasi di Hindia
Belanda telah memacu lahirnya lapisan masyarakat konsumen yang cukup potensial
sebagai penggerak ekonomi pasar yang berkembang pada masa itu.
D. Perkembangan Pers pada Masa Kolonial
Belanda (1615-1915)
1) Perkembangan
Pers Kolonial Berbahasa Belanda di Jawa
Pers di Indonesia,
khususnya di Jawa berkembang ketika VOC di bawah pemerintahan Gubernur Jenderal
Jan Pieterszoon Coen. Pada masa pemerintahannya (1615), diterbitkan semacam
surat berupa lembaran bertuliskan tangan yang bernama Memorie Der Nouvelles. Surat tersebut berisi kutipan dan salinan
berita surat kabar yang terbit di Eropa. Uji coba penerbitan media komunikasi
massa resmi milik pemerintah pertama kali diterbitkan pada 7 Agustus 1744
dengan nama Bataviaasche Nouvelles. Perjalanan
surat kabar tersebut tidak dapat berjalan lama dan hanya berjalan dua tahun
karena dianggap mengganggu stabilitas politik perdagangan VOC. Oleh karena itu,
pada 20 November 1745, surat kabar tersebut dilarang beredar di Hindia Belanda.
Kemudian pada 1776,
pemerintah Belanda kembali membuat surat kabar untuk kepentingan publikasi
pelelangan perdagangan VOC secara gratis melalui surat kabar Het Vendu-Nieuws (Berita Lelang),
sedangkan iklan diluar VOC dikenakan biaya. Surat kabar tersebut berjalan dari
1776-1809. Pemerintah pun memberlakukan sensor terhadapisi media massa,
terutama pemberitaan tenang pemerintahan, pertahanan, maupun situasi sosial yang berlangsung pada masa kolonial.
Pada awal abad ke-19
(1809) di bawah pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels, percetakan Het Vendu-Nieuws diambil alih pemerintah
dan diberi nama Lands-Drukkerijs (Kantor
Percetakan Negara), sedangkan surat kabarnya diberi nama Bataviaasche Koloniale Courant yang terbit pertama kali pada 5
Januari 1810. Seiring berperan pentingnya media komunikasi massa cetak sebagai
penggalang opini publik terhadap kebijaksanaan dan stabilitas politik, serta
perekonomian pemerintah kolonial, maka dibuatlah undang-undang pemerintah yang
mengontrol penerbitan dan percetakan yang ditetapkan Dewan Hindia. Oleh karena itu,
surat kabar Bataviaasche Koloniale
Courant dengan pegawasan ketat pemerintah menjadi media untuk menyiarkan kebijaksanaan
pemerintah yang menyangkut kepentingan umum. Setelah Daendels digantikan J.W.
Janssens, kondisinya tidak jauh berbeda, yakni menjadi media pemerintah.
Setelah Inggis menjadi penguasa
baru di Hindia Belanda pada tahun 1811 di bawah pemerintahan Gubernur Jenderal Raffles (1811-1816), diterbitkanlah surat kabar
The Java Government Gazette, berbahasa
Inggris dan terbit pertama kali pada 20 Februari 1812. Surat kabar tersebut menjadi
media pemerintah kolonial Inggris. Akan tetapi, hak-hak kebebasan berkomunikasi
maupun persamaan derajat lebih diperhatikan dibandingkan masa pemerintahan kolonial
Belanda, sehingga isinya dapat berupa kritik terhadap kebijaksanaan pemerintah dalam
tradisi penulisan pers kolonial Belanda.
Pada 1816, kekuasaan Belanda
kembali menduduki Hindia Belanda. Gubernur Jendral Baron van Der Capellen
(1816-1826) berinisiatif untuk menerbitkan surat kabar resmi. Maka dibuatlah surat
kabar yang diberi nama De Bataviaasche Koloniale
Courant. Ketika masa pemerintahan Commisioner-General L.P.J. Burggraaf du
Bus Gesignies (1826-1830), menerbitkan surat kabar De Bataviaasche Advertentieblad (1827), lalu diganti menjadi Javasche Courant yang terbit tiga kali
seminggu, sedangkan pada masa pemerintahan Gubernur Jendral van den Bosch, Javasche Courant hanya sekadar berita-berita pemerintah yang kering
dan hambar.
2) Perkembangan
Pers Kolonial Berbahasa Belanda di Hindia Belanda
Pada abad ke-19, ada beberapa
daerah di Hindia Belanda yang terkenal dalam perkembangan pers di Hindia Belanda,
yakni Batavia, Semarang, Vorstenlanden,
maupun Surabaya. Di Batavia, ada seorang
pendeta simpatisan Liberal di Belanda (Van Hoevell) melalui artikel-artikel populernya
di surat kabar melancarkan kritik keras terhadap sistem eksploitasi Tanam Paksa
di Hindia Belanda. Hal tersebut membawa dampak yang justru membuat pemerintah kolonial
Hindia semakin keras dan ketat dalam mengontrol penerbitan. Sebagaimana seorang
tipografer Belanda yang datang ke Batavia harus berjuang keras dalam mendapatkan
izin penerbitan surat kabar mingguan Het
Bataviaasche Advententieblad. Surat kabar ini bertahan dari 1 November 1851—7 Agustus 1852. Kemudian diganti oleh
Java Bode. Sejak 1 Januari 1870, Java Bode menjadi surat kabar harian terpopuler di Batavia. Selain Java Bode, juga ada surat kabar Het Algemeen Dagblad van Nederlandsch-Indie,
tetapi hanya bertahan samapai 31 Desember 1886. Memasuki abad ke-20, di
Batavia berkembang tiga surat kabar yang saling bersaing, yakni Java Bode, Bataviaasch Handelsblad, dan Nieuw
Bataviaasch Handelsblad. Dalam perkembangannya, Java bode-lah yang bisa bertahan.
3) Perkembangan
Pers Kolonial Berbahasa Melayu dan Berbahasa Daerah
Untuk memenuhi kebutuhan
informasi di kalangan pembaca masyarakat terpelajar pribumi, maka muncul lah industri komunikasi massa cetak
(pers) yang menggunakan bahasa pengantar Melayu atau bahasa daerah lainnya yang
menonjol. Di samping
mampu sebagai pembangkit kesadaran kolektif akan persamaan nasib sebagai satu bangsa
(nation), pers tersebut menjadi wahana
yang lebih bebas sebagai penyampai gagasan-gagasan, ideologi, kritik sosial,
dan pembaharuan-pembaharuan yang menggugat ketimpangan sosial, politik, dan ekonomi
akibat kolonialisme. Menurut Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi), pers berbahasa
Melayu lebih dapat menyentuh langsung kalangan bumiputera.
Adapun ciri-ciri pers berbahasa Melayu, antara lain surat kabar yang isinya hanya
ditunjukkan untuk golongan masyarakat Tionghoa. Kemudian, surat kabar berbahasa
Melayu yang diterbitkan dan dibiayai oleh modal orang-orang Tionghoa. Akan
tetapi, ditujukan untuk konsumen pembaca kalangan masyarakat bumiputera dan
yang terakhir adalah surat kabar berbahasa Melayu yang dibaca oleh dua golongan
masyarakat (Tionghoa dan bumiputera).
Beberapa surat kabar bebahasa
Melayu yang diterbitkan di beberapa daerah, yakni surat kabar Pemberita Betawi, Taman Sari dan Medan Prijaji di Batavia. Surat kabar Bintang Soerabaja dan Pewarta Soerabaja di Surabaya. Surat kabar
Sinar Djawa, Bintang Pagi, dan Djawa Tengah di Semarang dan Bromartani, DarmoKondho, dan Retnadumilah (media publikasi organisasi
Budi Utomo) di Vorstenlanden.
E.
Oplah
(tiras) SuratKabar di HindiaBelanda
Menurut Von Faber,
taksiran oplah sirkulasi per hari seluruh surat kabar berbahasa Belanda yang
beredar di Hindia Belanda sekitar 60.000 eksemplar. Berdasarkan perkiraan oplahnya, surat kabar
yang terbit di Hindia Belanda dapat dikelompokan ke dalam tiga kelas, yaitu:
1. Surat
kabar kelas A, dengan oplah 6.000-9.000 eks/hari. Contohnya, surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad dan Java-Bode.
2. Surat
kabar kelas B, dengan oplah 3.000-6.000 eks/hari. Contohnya, surat kabar De Locomotief.
3. Surat
kabar kelas C, dengan oplah 2.000-3.000 eks/hari. Contohnya, surat kabar Mataram dan Nieuwe Vorstenlanden.
Pada
realitanya besaran oplah tidaklah begitu berpengaruh terhadap usaha penerbitan surat
kabar di Hindia Belanda, melainkan pendapatan dihasilkan berasal dari pemasangan iklan. Sehingga isinya banyak berupa iklan
karena dengan pemasangan banyak iklan, maka suatu penerbitan surat kabar dapat bertahan
lama.
F.
Perkembangan
Periklanan Media Cetak di Jawa Pada Masa Kolonial Belanda 1621-1930
Tokoh perintis
periklanan yang pertama di Hindia Belanda adalah Jan Pieterszoon Coen, ia
sekaligus sebagai pendiri perusahaan periklanan. Surat kabarnya adalah Memorie De Nouvelles (1621) dan mesin
cetak pertama di Hindia Belanda
Bataviaasche Nouvelles. Seiring perkembangan surat kabar di Hindia Belanda,
maka bermunculanlah surat kabar yang berbahasa pengantar Belanda, Melayu,
hingga bahasa daerah sehingga pers dapat dibaca oleh semua kalangan di Hindia
Belanda. Untuk mengatur pengelolaan pers dan etika periklanan, maka dibuatlah
undang-undangnya ketika Gubernur Jendral Deandels menerbitkan Bataviasche Koloniale Courant, yang
terdiri atas beberapa pasal. Tokoh-tokoh pers di Hindia Belanda didominasi oleh
orang-orang Belanda. Akan tetapi, perusahaan-perusahaannya banyak mempekerjakan
tenaga profesional orang-orang bumiputra dan Cina. Sementara itu, kebijaksanaan
tarif iklan berpedoman pada jumlah permintaan tiras (oplah) surat kabar yang
akan dicetak oleh pemasang iklan.
BAB IV
JENIS
DAN BENTUK VISUAL IKLAN PADA BEBERAPA SURAT KABAR PENTING YANG TERBIT DI JAWA
PERIODE TAHUN 1870—1915
A. Kota dan Pertokoan di Jawa dalam Iklan dari Berbagai Surat Kabar Penting yang Terbit di Jawa Periode Tahun 1870—1915
Perkembangan periklanan sebagai sebuah komunikasi pada
masa itu adalah ciri khas masyarakat kota. Sebagai suatu simbol budaya,
keberadaan periklanan merefleksikan tingkatan perkembangan kebuadayaan suatu
masyakat kota. Semakin canggih penampilan visual suatu iklan, menunjukkan
kecanggihan dalam penguasaan teknologi, pertumbuhan perekonomian, serta sistem
komunikasi dari masyarakat sebagai pendukungnya.
Kota-kota di Jawa pada akhir abad ke-19 telah menjadi
tempat permukiman penduduk dalam jumlah besar dan ukuran wilayah yang besar
pula dimana sebagian besar penduduknya bekerja pada sektor-sektor non-agraris
(industri atau administrasi pemerintah). Kota di Jawa pada masa itu digolongkan
dalam dua tipe, yaitu: 1). Kota Keraton yang merupakan ibukota dari
negara-negara agraris yang luas (seperti Majapahit, Kediri, Demak, Pajang dan
sebagainya); 2). Kota
Pelabuhan (port) perdagangan seperti Tuban atau Gresik. Kemudian dalam
perkembangan tahun 1500—1800, muncul kota-kota baru seperti Banten dan Cirebon
yang keduanya sebagai kota keraton dan kota pelabuhan sekaligus; kemudian
Batavia sebagai pelabuhan serta pusat permukiman besar VOC di Asia; selanjutnya
Surakarta dan Yogyakarta (Vorstenlanden) kota-kota pecahan negara
agraris pedalaman terbesar Mataram, dan terakhir Semarang dan Surabaya yang
merupakan perpaduan kota pelabuhan perdagangan gaya lama dan permukiman VOC gaya
baru (seperti Batavia).
Ketika dilaksanakan kebijakan Kolonial politik perekonomian Liberal, maka indusrti yang
sesungguhnya berkembang pesat di pulau Jawa. Peranan modal swasta asing mulai
menggantikan peranan perusahaan pemerintah Hindia Belanda. Pada masa itu sampai
awal abad ke-20, terjadi booming
industri dan pertumbuhan ekonomi yang ditandai melonjak besar sektor ekspor
impor barang industri, sarana transportasi, komunikasi, serta barang-barang
manufaktur lainnya.
Besarnya arus perdagangan barang industri, manufaktur,
maupun jasa melahirkan kebutuhan kota akan adanya lembaga distribusi modern di
pusat-pusat pertokoan. Maka di kota-kota besar (Batavia, Bandung, Semarang,
Yogyakarta, Surakarta, Surabaya) muncul toko-toko serba ada (toserba), show
room alat-alat transportasi, agen-agen mesin dan instalasi,
bengkel-bengkel, apotek, toko-toko barang konvenien, dan sebagainya.
Bentuk rancangan arsitektur, interior ruang dalam, serta penampilan etalase
pertokoan di kota-kota besar pada masa
itu mengubah penampilan suatu wajah kota menjadi gemerlap dan megah sebagai
kota-kota industri modern. Pusat-pusat pertokoan atau perdagangan ini biasanya
menempati lokasi strategis di jalan-jalan utama pusat kota.
B. Pengelompokan Jenis Iklan dalam Beberapa Surat Kabar di Jawa Periode 1870—1915
Periode Liberal di Hindia Belanda merupakan penanda
pesatnya perkembangan teknologi komunikasi. Di bawah ini akan dijelaskan
jenis-jenis iklan yang dianalisis dan dikelompokkan oleh penulis dari beberapa
surat kabar terkenal di Jawa yang mewakili wilayahnya masing-masing. Di
Batavia, surat kabar Pemberita Betawi (1884—1916) merupakan surat kabar
yang cukup besar berbahasa Melayu Betawi yang didirikan oleh pengusaha golongan
Indo-Belanda. De Nieuwe Vorstenlanden, Surakarta. Harian Soerabaiasch
Handelsblad dari Surabaya yang memang ditujukan sebagai mediator antara
kepentingan masyrakat produsen dan konsumennya. Kemudian, De Locomotief,
surat kabar yang banyak menyuarakan kepentingan politik, perubahan sosial,
ataupun perubahan nasib masyarakat pribumi yang tertindas di Semarang.
Mengenai
jenis-jenis produk barang dan jasa yang diiklankan masing-masing surat kabar
tersebut dari rentang tahun 1885—1915, maka dapat dikelompokkan sebagai
berikut:
1.
Iklan
Produk Konsumsi (Convecience Goods)
Barang-barang
konsumsi dalam istilah pemasaran disebut
sebagai barang konvenien
adalah barang-barang yang dibeli dengan segera. Barang-barang konvenien
dibagi menjadi: 1) Bahan kebutuhan pokok, yaitu barang yang teratur
dibeli seperti: makanan, minuman, sabun, pasta gigi, dst; 2) Barang impulsif, yaitu barang-barang yang dibeli
tanpa rencana atau usaha mencarinya, misalnya gula, buku, surat kabar, dll; 3) Barang darurat, misalnya obat-obatan, payung, jas
hujan, pemadam api dsb.
2.
Barang
Spesial (Barang Toko) dan Barang Industri
Barang-barang yang dikelompokkan barang spesial adalah
barang-barang yang pembeliannya dipertimbangkan dengan matang di samping itu
juga produki-produk ini memiliki citra merk yang unik seperti misalnya mobil,
peralatan fotografi, mesin-mesin dsb. Dan yang dimaksud barang industri dalam
hal ini dibagi dalam 3 kelompok yaitu: a. barang Modal seperti mesin,
instalasi, atau peralatan pelengkap, b. Bahan dan suku cadang seperti bahan
baku, bahan jadi, dan suku cadang, c. bahan bantu dan jasa.
3.
Jasa,
Hiburan, dan Informasi
Jasa merupakan suatu kegiatan atau manfaat yang
ditawarkan untuk dijual. Sebagai contoh
seperti asuransi, dokter, pertukangan, hiburan, dan lowongan pekerjaan.
BAB V
PERIKLANAN DAN PERUBAHAN MASYARAKAT DI
PULAU JAWA PERIODE TAHUN 1870-1915
Pendudukan Belanda di
Pulau Jawa secara terang telah menunjukkan adanya modernisasi dan akulturasi
dengan kebudayaan setempat. Proses modernisasi yang terjadi karena adanya
kontak secara intensif antar unsur-unsur kebudayaan yang didukung oleh
agen-agen perubahan yaitu elit birokrasi dan elit ekonomi Eropa, serta elit
feodal pribumi yang terdidik secara Barat. Namun, proses akulturasi budaya yang
diakibatkan kontak kebudayaan tersebut membentuk suatu konfigurasi kebudayaan
baru, hasil sintesa antara unsur-unsur kebudayaan Barat modern dengan
unsur-unsur kebudayaan agraris feodal tradisional Jawa yang disebut dengan
kebudayaan Indisch.
Modernisasi dalam
kehidupan masyarakat Jawa antara 1870-1915 juga terekam dalam iklan-iklan surat
kabar yang terbit pada masa tersebut. Sebagai salah satu alat bukti, iklan
surat kabar mempunyai kredibilitas yang tinggi sebagai alat perekam dinamika
kehidupan sosial ekonomi masyarakat sehingga dapat digunakan sebagai sumber
sejarah untuk merekonstruksikan sebuah perubahan kebudayaan yang terjadi dalam
masyarakat.
A. Periklanan dan
Perkembangan Perkotaan Modern di Jawa
Suatu indikator
terjadinya proses modernisasi pada suatu masyarakat diantaranya adalah
terbentuknya kehidupan kota yang bersifat industrial modern. Melalui iklan
kapal-kapal mesin dengan desain perusahaan Djoewana di Semarang pada
Soerabaiasch Handelsblad 1 Maret 1909 misalnya, dapat terlihat bahwa telah
terjadi proses industrialisasi di Jawa. Bentuk-bentuk kegiatan industri yang
diselenggarakan di kota-kota besar seperti Semarang, Surabaya, dan Batavia
bukan lagi merupakan house-hold industry atau bentuk proto-industri yang
merupakan ciri kota pra-industri. Lewat iklan-iklan yang dimuat juga terlihat
bahwa kegiatan-kegiatan investasi dan produksi dalam industri dan perdagangan
didominasi oleh pengusaha-pengusaha Eropa dan sedikit golongan Cina.
Jika ukuran modernitas
suatu kota terkait dengan penggunaan teknologi atau peralatan modern dalam
kehidupan sehari-hari, maka dengan digunakannya mobil, kereta api, kapal mesin,
telepon, telegraf, radio, dan media cetak seperti surat kabar oleh penduduk di
beberapa kota besar di Pulau Jawa membuktikan bahwa kota-kota itu layak diuluki
kota industri modern. Pada 1870-an dibuka perusahaan pelayaran negara bernama Nederlandsch
Indisch Stoomvart Maatschappij (lihat sebuah iklan di De Locomotief
9 Maret 1874). Lalu dibangun juga transportasi kereta api pada tahun 1863.
Kebutuhan akan kereta api dapat terlihat dari sebuah iklan penjualan di De
Locomotief 23 Juni 1894 dan 12 Januari 1895). Kemudian pada akhir abad 19,
muncullah mobil yang semakin memperkuat modernisasi masyarakat Jawa. Hal ini
terlihat antara lain pada iklan-iklan mobil Minerva, Le Gui, dan F. N. model
terbaru 1911/1912 pada Soerabaiasch Handelsblad 27 Mei 1911, dan De
Nieuwe Vorstenlanden 27 Desember 1913.
Modernisasi masyarakat
Jawa pada awal abad 20 juga ditunjukkan dengan pemanfaatan sumber energi
listrik di hampir semua kota besar di Jawa, pemanfaatan sarana komunikasi
modern, serta pemakaian barang-barang produksi industri import seperti mesin
jahit, mesin ketik, sepeda dan sebagainya bagi masyarakat umum. Dalam bidang
pekerjaan, muncul seleksi berdasarkan tingkat pendidikan dan kemampuan
profesional bidang keahliannya. Hal ini telihat pada iklan-iklan lowongan
pekerjaan masinis pelayaran kapal mesin, salesman, dan lainnya (De
Nieuwe Vorstenladen 26 Agustus 1905).
B. Periklanan dan
Modernisasi Gaya Hidup Masyarakat Perkotaan di Jawa
Modernisasi di sisi
lain juga menyebabkan perubahan dunia batin, tata nilai, perilaku maupun gaya
hidup bagi masyarakat di Jawa. Salah satunya adalah gaya rumah loji yang
menjadi trend mode arsitektur yang digemari oleh para pejabat pemerintah
Indo-Eropa, priyayi modern pribumi, dokter pribumi, priyayi keraton, dan
sebagainya. Iklan penjualan dan pengontrakan rumah-rumah loji ditemui di Pemberita
Betawi 14 November 1885, De Locomotief 20 Oktober 1870, dan Soerabaiasch
Handelsblad 24 Juli 1873). Untuk menunjukkan cita rasa kelas atas bagi
penghuninya, maka digunakan perabot rumah tangga modern dari Eropa, Amerika,
atau Jepang (lihat De Nieuwe Vorstenlanden 23 Juli 1897 dan 14 Oktober
1911, Pemberita Betawi 9 Januari 1886, Soerabaiasch Handelsblad 3
Agustus 1897, dan De Locomotief 30 Juni 1894).
Mobilitas yang tinggi dalam
kegiatan bisnis, dan tumbuhnya kebiasaan mengadakan rekreasi sebagai penyegaran
bagi masyarakat elit Jawa telah menimbulkan pertumbuhan yang sangat pesat dalam
jasa perhotelan maupun penginapan. Salah satu contohnya adalah Grand Hotel
Noailles & Metropoly di Surabaya yang dibangun dengan desain arsitektur
bergaya klasik Barok dan bertingkat lima, yang diiklankan di De Nieuwe
Vorstenlanden 12 Agustus 1898, De Locomotief 3 Desember 1908, dan Soerabaiasch
Handelsblad 26 November 1895.
Pengaruh tata cara budaya
borjuasi Eropa juga terlihat dari semakin banyaknya makanan kaleng dan impor
yang beredar. Oleh karena itu, mulailah dikenal berbagai jenis makanan modern
Barat seperti spekkoek, koningskroon, bolu, biskuit, roti
kalengan, tart, beefsteak, sop, frikaddel, sosis, dan
sebagainya. Kesibukan pekerjaan memunculkan jasa-jasa pelayanan makan seperti
katering, toko-toko makanan dan minuman, restoran, cafe, atau rumah
makan, baik yang dikelola orang Eropa maupun Cina.
Selain makanan,
pengaruh budaya Barat dalam kaum elit pribumi adalah minuman keras.
Stratifikasi minuman ini beragam, mulai dari kaum elit pribumi hingga rakyat,
tergantung dari harga yang ditawarkannya. Pada masa itu telah dikenal pula
berbagai minuman keras maupun soft drink yang dikemas dalam botol
seperti whiskey, anggur, cognag, bier, bier hitam, lemonade,
air Belanda, sari buah, siroop, dan sebagainya. Merk minuman bier
yang terkenal dan mampu bertahan hingga sekarang di indonesia adalah Bintang.
Meskipun pada masa ini
liberalisasi telah berpengaruh begitu kuat, politik diskriminasi rasial masih
dipertahankan untuk menegaskan perbedaan status sosial penjajah dan yang
terjajah. Hal ini dapat ditemui dalam tata cara berpakaian golongan elit Eropa
dengan golongan pribumi. Golongan Barat pada masa itu mengenakan busana modern
Barat. Kaum wanitanya berbusana menurut trend Inggris dan Paris. Para wanita
Indo-Eropa yang sudah terpengaruh budaya Indisch mengenakan baju kebaya
panjang atau kebaya pendek dengan bawahan sarung atau kain batik. Golongan pribumi,
baik itu elit maupun rakyat biasa, kebanyakan tetap mempertahankan warna lokal
tradisional dalam tata cara busananya. Pengaruh gaya modern Eropa terhadap tata
busana kaum bangsawan juga ada, tetapi yang terjadi sebenarnya merupakan usaha
kreatif yang bersifat ekletik dengan mencoba memadukan antara cita rasa Barat
dengan kaidah-kaidah magis religius tradisional.
C. Periklanan dan
Perkembangan Kesehatan Masyarakat di Jawa
Pada awal abad ke-19,
tingkat kesehatan dan kesejahteraan masyarakat pribumi di Jawa sangat rendah.
Beban kerja paksa pembuatan Jalan Raya Pos, kelaparan, kemiskinan, perang
Diponegoro, dan wabah penyakit menular seperti cacar, malaria, dan kolera
merupakan faktor-faktor penghambat kesejahteraan. Untuk itu, pada tahun 1850
didirikanlah sekolah Dokter Jawa. Adanya politik diskriminasi rasial
menyebabkan dokter-dokter Eropa hanya mau melayani kepentingan kesehatan
golongan Eropa saja, sedangkan berbagai vaksinasi penyakit menular yang banyak
diderita rakyat pribumi diserahkan pelayanannya kepada dokter Jawa dan
mantri-mantri kesehatan pribumi.
Modernisasi dalam dunia
kedokteran terlihat pada banyaknya dokter-dokter spesialis yang menggunakan
peralatan peralatan laboratorium medis modern, baik dari lembaga pemerintahan
kolonial maupun swasta yang membuka praktik secara komersial untuk masyarakat
umum. Dokter-dokter spesialis seperti dokter gigi, venereologi, gynealogis,
maupun spesialis gizi sudah banyak ditemukan membuka praktik di beberapa kota
besar di Jawa (lihat De Nieuwe Vorstenlanden 20 Juni 1900).
Fasilitas-fasilitas kesehatan modern didirikan dan berbagai obat juga telah
dijual dengan bebas.
D. Periklanan, Hiburan,
dan Rekreasi
Perubahan siklus
kehidupan akibat pekerjaan-pekerjaan modern yang menuntut kedisiplinan waktu di
kota-kota besar telah mengubah selera terhadap jenis hiburan di perkotaan. Oleh
karena itu, bentuk-bentuk kesenian traadisional yang menyita waktu dalam
menikmatinya seperti wayang kulit, ketoprak, tari-tari klasik, dan sebagainya
mulai mendapat saingan kesenian atau hiburan modern kota yang bersifat populer,
komersial, dan dipertunjukkan dalam waktu singkat seperti film bioskop, musik
modern, opera, sirkus, dan sebagainya.
Bentuk-bentuk kesenian
yang dikemas sebagai hiburan atau tontonan komersial untuk dipamerkan atau
dipertunjukkan kepada publik, agaknya telah menjadi fenomena baru dan peluang
pasar baru di Jawa pada masa itu. Namun, meskipun hampir semua industri hiburan
dan kesenian populer ini dikelola secara komersial oleh pengusaha partikelir,
pengacuannya tetap pada garis kebijkasanaan politik pemerintah kolonial Hindia
Belanda yang diskriminatif berdasarkan warna kulit. Sebagai contoh, warga
pribumi hanya diperbolehkan menonton di kelas IV dengan harga karcis masuk
sebesar f. 0,10. Untuk warga kelas putih baik itu Eropa maupun Indo-Eropa dapat
melihat di semua kelas seperti balkon dengan harga karcis f. 2,00; kelas satu
f. 1,50; kelas dua f. 0,75; dan kelas tiga f. 0,50; sesuai dengan keinginan
maupun kemampuan keuangannya. Bagi golongan militer dengan pangkat opsir ke
bawah (prajurit) mendapatkan dispensasi hanya membayar karcis separuh harga
untuk semua kelas (lihat iklan De Nieuwe Vorstenlanden 27 Desember
1913).
E. Periklanan,
Industri, Penerbitan, dan Kesusasteraan
Arus modernisasi yang
menerpa Jawa dengan cepat pada akhir abad ke-19 meningkatkan jumlah penduduk
yang bisa membaca dan menulis sebagai dampak dari diterapkannya politik etis.
Hal ini merupakan peluang pasar yang potensial bagi kalangan penerbit dan
pengusaha percetakan. Dengan dukungan teknologi percetakan yang semakin
canggih, muncullah penerbit-penerbit dengan modal besar dan jangkauan
distribusi luas.
Bertemunya kepentingan
bisnis para pengusaha swasta dengan semangat keterbukaan yang bersifat
kosmopolitan dari kalangan elit keraton, telah memungkinkan dibukanya isolasi
budaya agung keraton dengan diterbitkannya karya-karya kesustraan adiluhung
keraton untuk dipasarkan secara umum. Hal ini kemudian melahirkan lapisan
penulis-penulis kesusatraan Jawa baru yang lahir di luar lembaga keraton. Mereka
terdiri dari kalangan rakyat terpelajar yang dibesarkan dalam tradisi dan
lingkungan keluaraga Jawa tradisional, yang tertarik untuk mendalami
ajaran-ajaran keudayaan Jawa dan meneruskan tradisi penulisan kesusastraan
keraton untuk disesuaikan dengan kemajuan zamannya. Mereka juga banyak
terpengaruh gaya penulisan sastra modern Barat akibat pergaulan intensifnya di
bangku sekolah.
Karya-karya sastra baru
yang dihasilkan kebanyakan ditulis dalam bentuk sastra prosa yang bersifat
naratif dan mulai meninggalkan bentuk-bentuk tembang yang puitis. Tema
penulisan sastra Jawa baru kebanyakan tentang ajaran-ajaran pendidikan moral
dan etika (sastra didaktik), laporan perjalanan, biografi, carita fiksi seperti
roman, dan cerita-cerita yang disadur dari karya sastra Barat. Penerjemahan
karya-karya sastra Barat ke dalam bahasa-bahasa lokal telah mempercepat
penerimaan nilai-nilai didaktik yang terkandung dalam kebudayaan Barat oleh
masyarakat pribumi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar