Latar Belakang
Sejak awal pertumbuhannya di abad 15, Makassar telah
menunjukkan peran sebagai kota pelabuhan yang penting dalam perdagangan dunia.
Pada saat itu Makassar telah masuk dalam jaringan perdagangan sutera yang
menghubungkan antara dunia niaga Asia dan Eropa. Makassar adalah titik temu
antara jalur niaga di belahan Timur (Maluku, Irian Jaya) dan Barat (Kalimantan,
Malaka, Jawa, Asia Selatan dan juga Eropa), dan antara jalur niaga di belahan
utara (Filipina, Jepang dan Cina) dan selatan (Nusa Tenggara dan Australia).[1]
Pelabuhan harus mempunyai daya tarik yang besar bagi
kapal-kapal dari luar, misalnya pasar yang ramai tempat hasil hutan dari
pedalaman diperdagangkan dan bahan makanan dan air minum disediakan untuk
konsumsi di kapal. Ada korelasi erat antara besarnya volume perdagangan
(termasuk persediaan bahan makanan) dan frekuensi kunjungan serta jumlah kapal
yang singgah di suatu pelabuhan.[2]
Perkembangan
Makassar sebagai bandar niaga tidak dapat dipisahkan dari bandar-bandar lain
khususnya di Nusantara. Perdagangan tidak terlepas dari interaksi para
pelakunya, perorangan maupun antarkelompok. Kota Makassar adalah kota pelabuhan dan
perdagangan, karena letaknya
yang strategis, menjadikan Makassar ramai dikunjungi nelayan dan pedagang yang
mengikuti pelayaran lokal ataupun yang ingin menuju ke kawasan Asia Pasifik dan
Eropa. Karena mempunyai letak yang strategis juga Makassar menjadi sesuatu yang
dipertikaikan untuk kepentingan bangsa-bangsa yang ingin menguasai perdagangan.[3]
Dalam kegiatan ini pentingnya Makassar adalah sebagai
kota pelabuhan dan kota perdagangan. Dalam dua fungsi ini Makassar diuntungkan
oleh letaknya yang sangat strategis. Dalam posisinya yang sedemikian strategis
itu, Makassar menjadi ramai dikunjungi orang baik oleh nelayan dan pedagang
yang mengikuti rute pelayaran lokal maupun mereka yang hendak menuju kawasan
Asia Pasifik dan Eropa. Dengan posisinya yang strategis itu pula, Makassar
menjadi ajang pertikaian antara kepentingan bangsa-bangsa yang ingin menguasai
perdagangan.[4]
Kota
Makassar dimulai dengan ditinggali oleh orang-orang Makasar asli. Petani, pedagang, nelayan adalah mata
pencaharian mereka. Perkampungan Makassar menjadi ramai setelah dibangunnya
benteng-benteng pertahanan Kerajaan Gowa termasuk benteng Ujung Pandang.
Makassar lebih berkembang setelah banyak dikunjungi dan disinggahi
pedagang-pedagang dari luar yaitu Asia, Eropa, dan pedagang dari daerah
Indonesia lainnya.[5]
Makassar
terletak di pesisir pantai sehingga
merupakan kota pantai bercorak maritim pada masa Gowa ataupun sesudahnya.
Sesudah tahun 1667, selain menjadi kota pelabuhan Makassar digunakan pula sebagai pusat pemerintahan kolonial Belanda. Di
dalam benteng Ujung Pandang (Fort Rotterdam) terdapat kantor gubenur. Dari benteng
itu lah kota
diatur.
Sejak VOC dan pada masa Hindia Belanda, Jepang dan Republik Indonesia, Makassar
digunakan pula sebagai ibukota pemerintahan Propinsi Sulawesi, Propinsi
Sulawesi Selatan dan Tenggara, selanjutnya Propinsi Sulawesi Selatan.[6]
Informasi Umum Kota Makassar
Di dalam Kitab Negarakertagama yang berasal dari
abad 14, nama
Makassar telah ditemukan, tetapi belum ada kepastian sejak kapan nama Makassar
digunakan untuk nama tempat atau suku bangsa. Nama Makassar pun belum ada arti
pastinya, tetapi ada beberapa pengertian dari kata Makassar. Pertama, sebagai
nama suku bangsa dan bahasa yang menempati bagian selatan pulau Sulawesi, yang
mempunyai adat-istiadat, bahasa, karakter, dan bentuk atau ciri tubuh sendiri
dan mereka memakai bahasa Makassar. Biasana mereka bertempat di daerah Maros, Gowa, Galesong, Takalar,
Topejawa, Laikang, Cikoang, Jeneponto, dan Bangkala. Kedua, sebagai nama kota
yang terletak di pantai selatan Pulau Sulawesi. Pulau Sulawesi sendiri pulau
besar yang terletak sebelah tenggara Benua Asia dan juga terletak antara
Kalimantan bagian barat dan Kepulauan Maluku sebelah timur dan antara kepulauan
Sulu yang merupakan wilayah negara Filipina dan kepulauan Nusa Tenggara di
bagian Selatan. Ketiga, sebagai nama selat yang terletak antara Sulawesi
Selatan dan pulau Kalimantan. Selat ini dari sejak dulu ramai dilayari
kapal-kapal.[7]
Sejak
abad ke-16, sejarah Kerajaan Gowa ditandai dengan konflik
dan ancaman Belanda, sehingga raja Gowa X, Tunipalangga memperkuat tiga benteng
utama, selain Sombaopu, juga
ada benteng Ujungpandang
di sebelah utara dan benteng Panakukang si sebelah selatan. Pada abad ke-16, Makassar terdapat dua pusat pemerintahan,
yaitu Kale Gowa yang
terdapat di tanah tinggi pinggiran utara sungai Jeneberang, dan yang lain di
muara sungai Tallo.[8]
Untuk keterangan
berkenaan dengan luas wilayah pada abad ke 16 dan 17 sangat sukar diperoleh. Karena waktu itu Makassar
terdiri dari sejumlah perkampungan yang terpencar di sepanjang pantai yang
kira-kira terletak pada tempatnya
sekarang, dengan penambahan ke daerah pedalaman. Di sepanjang pantai,
perkampungan membujur dari Tallo di sebelah utara sampai ke sungai Jeneberang
di sebelah selatan, dan perkampungan Jawa di Timur.[9]
Daerah
perkotaannya tediri dari pusat-pusat perkampungan yang bangunannya terbuat dari bahan yang tidak permanen. Di seluruh daerah tersebar serangkaian
benteng-benteng yang merupakan tempat
tinggal anggota-anggota bangsawan yang dibangun dengan gaya arsitektur yang
kokoh dan permanen. Di belakang
pantai juga terdapat daerah pertanian. Daerah pantai pun penghasil komoditi
perikanan dan terdapat suatu pasar untuk kegiatan perdagangan. Di sekitar itu terdapat bangunan-bangunan yang
didirikan oleh para saudagar yang tinggal di Makassar sebelum dikuasai Belanda.
Letak pantainya pun memudahkan bagi orang yang ingin turun berlayar yang membuat
para pelaut semangat unruk mencari perhubungan keluar melalui lautan. Juga
terdapat sejumlah pelabuhan yang
digunakan sebagai tempat tinggal. Di dalam peta tahun 1605 terlihat bahwa
Benteng Sombaopu menjadi tempat kediaman Raja Gowa dan
keluarganya, para pembesar dan pegawai kerajaan.[10]
Penduduk
negeri pedalaman di bagian
utara biasa disebut orang Bugis dan di selatan
orang Makassar, yang
menjadi pendukung kehidupan kota. Para pedagang dari bagian barat Nusantara
menuju daerah rempah-rempah bagian timur, singgah di Makassar. Terkadang ada
pedagang dari barat dan dari timur bertemu dan melakukan transaksi. Mereka
membentuk perkampungan sendiri di bawah
koordinasi seorah syahbandar
yang dipilih oleh sesama bangsanya yang
bertugas
mewakili mereka. Di antara
kampung-kampung itu sampai sekarang masih ada, seperti kampung Jawa, kampung
Melayu, kampung Baru yang dulunya sebagai tempat penimbun beras dan
rempah-rempah.[11]
Karakter
Orang Makassar dan Kondisi Sosio-Kultural
Mereka
(Orang Makassar) tak beragama, tetapi sangat mudah berhubungan dan hidup
berdampingan dengan mereka, dan menghargai hak, keadilan, serta ketertiban
menurut adat mereka (Hugh Fayne, 1610, dalam LREIC 1:71).[12]
Dunia
mengenal Sulawesi Selatan atas keberhasilannya yang gemilang dalam menghadapi
tantangan kapitalisme dan imperialisme di masa silam. Kejayaannya pada abad 17,
selain karena majunya perdagangan juga didukung oleh faktor-faktor
sosio-kultural yang mendorong Makassar tumbuh menjadi sebuah kekuatan besar. Di
sini, akan diuraikan beberapa watak orang Makassar dan kondisi sosio-kultural
yang mendorong Makassar tumbuh menjadi sebauh kekuatan besar pada abad 17.
Keterbukaan
Awalnya
Makassar membuka diri dan memberlakukan semua pedagang asing dengan sama.
Namun, pertengkaran antara Portugis, Belanda, dan Inggris membuat kebijakan
terbuka ini sulit dipertahankan. Ketika VOC membuka kantor dagang (loji) di
Makassar (1607-1615), berbagai tuntutan untuk memutuskan hubungan dagang dengan
Portugis terus muncul. Untuk menjawab tuntutan-tuntutan semacam ini, Sultan
Alaudin mengelurkan pernyataan terkenalnya “Tuhan menciptakan darat dan laut,
daratan dibagikannya di antara manusia dan laut diberikan-Nya kepada semua
orang. Belum pernah saya mendengar seseorang harus dilarang melayari lautan.”
(Stapel 1922: 44)[13]
Tahun
1672, pimpinan Maskapai Dagang Inggris menuntut agar diambil tindakan yang
lebih keras terhadap orang Portugis. Namun, kuasa dagang Inggris setempat
memaparkan:
“Sang
Raja menghendaki agar keduanya [Inggris dan Portugis] sama-sama bebas di
pelabuhan Makassar, namun karena segan mengusik salah satu di antara keduanya,
dan kebaikannya terhadap Inggris tak pernah luntur, seakan tidak ada lagi
pemimpin politik Eropa yang dapat melebihinya. Akan tetapi negerinya pun sangat
memerlukan pasokan barang dari orang-orang Portugis, sehingga hal terbaik yang
dapat kita lakukan adalah berdiri di tengah-tengah dan tidak akan saling
mengganggu di pelabuhan sang raja, namun begitu, meninggalkan pantai Sulawesi
kita akan berjuang mati-matian melawan mereka.” (Hawley 1627, dalam Sainsbury
1884: 368).[14]
Kebijakan
pintu terbuka ini bisa dipandang tak lebih dari sekedar sikap pragmatis tehadap
kebutuhan perdagangan Makassar. Namun, kebijakan ini disertai dengan kesediaan
yang unik untuk mengadopsi ide-ide segar yang dianggap bermanfaat. Makassar
beralih dari satu keberhasilan ke keberhasilan lain, tidak hanya dalam soal
penaklukan tetapi juga dalam inovasi teknik dan intelektual.
Pluralisme
Konsep
cakrawartin (penguasa-dunia) tampaknya tidak memiliki akar di Sulawesi
Selatan. Kronik dan mitos menunjukkan bahwa asal-usul kerajaan di wilayah ini
berasal dari kebudayaan animis yang masih terus bertahan. Kekuasaan berasal
dari dewa langit, dan menitis ke bumi di berbagai tempat: Luwuq, Bone, Soppeng,
dan Pammana (Wajoq) untuk kalangan Bugis; Goa, Bajeng (Polombangkeng),
Galesong, dan Onto (Bantaeng) untuk Makassar. Semuanya mengklaim bahwa dinasti
mereka berasal dari keturunan dewata tomanurung yang berbentuk benda-benda
magis yang kemudian dijadikan pusaka kerajaan, yang memiliki anak setelah
membumi dangan penduduk setempat kemudian kembali menghilang ke langit, dan
hanya para tomanurung ini yang berhak memerintah. Meski ada sedikit
pengaruh Jawa pada awal berdirinya kerajaan, dan tentunya pengaruh Melayu-Islam
setelahnya, kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan pada dasarnya terbentuk
secara endogenus dan membentuk rasa kemerdekaan mereka sendiri.[15]
Salah
satu contoh menonjol tentang pluralisme ini adalah Talloq. Kerajaan ini berbeda
dari dinasti kecil lainnya yang dikuasai atau berkonsiliasi dengan Goa di awal
abad 16. Kemitraan istimewa dua dinasti yang nyaris sederajat ini tidak akan
mampu mempertahankan kekuasaan Goa yang sedang tumbuh jika tiga rumpun keluarga
Talloq berturut-turut tidak mampu memegang kendali pada saat-saat kritis dan
menegaskan pandangan dualistik mereka.[16]
Hubungan
Patron-Klien
Sejalan
dengan sistem stratifikasi sosial masyarakat yang berdasarkan pada keturunan
dan pengakuan atas kekuasaan raja-raja di unit-unit wilayah, dalam masyarakat
Bugis juga dikenal sistem patron-klien. Jika stratifikasi sosial menyebabkan
tingkat stabilitas sosial, sistem patron-klien juga memungkinkan terjadinya
mobilitas sosial karena adanya persaingan di antara mereka yang sederajat,
kerjasama antarstrata sosial, dan integrasi dalam berbagai kelompok yang
biasanya tidak memperhitungkan batas wilayah.[17]
Jabatan
politis yang ada dalam pemerintahan Bugis tidak berdasarkan pewarisan mutlak
melainkan suksesi kekuasaan yang ‘hanya’ memerlukan status kebangsawanan dan
keanggotaan dalam silsilah yang longgar. Oleh karena itu, nilai lebih mereka
yang bersaing untuk menduduki sebuah jabatan ditentukan pula oleh besarnya
jumlah dan pengaruh pengikutnya. Melalui para pengikut inilah struktur piramida
kekuasaan terbangun dengan beberapa kelompok pengikut bersatu melalui pemimpin
masing-masing di bawah satu patron lebih tinggi. Salah satu buktinya adalah
besarnya pengaruh pemimpin terkenal Arung Palakka di abad ke-17 berakar dalam sistem
semacam ini.[18]
Perjanjian
Tidak
jauh dari wajah pluralistiknya, komunitas Bugis dan Makassar juga memiliki
kesiapan mengatur hubungan mereka lewat perjanjian antara dua pihak, di mana
masing-masing mengakui hak pihak lain. Unit-unit politik yang lebih besar
dibentuk lewat perjanjian semacam ini, yang lebih sering terjadi ketimbang
penaklukan fisik belaka.
Istilah-istilah yang sering digunakan dalam
perjanjian-perjanjian menegaskan kepercayaan mereka terhadap sumpah adat.
Berdasarkan catatan sejarah, istilah-istilah yang paling sering digunakan dalam
bahasa Makassar adalah maqqulukana
(Bugis makkuluada) dan sitalliq
(Bugis sitalliq) yang berarti ‘bersumpah demi kehormatan’ dan ‘sumpah untuk
saling membantu antara dua kerajaan’. Kekuatan pengikat dalam perjanjian ini
berasal dari kepercayaan pada masa pra-Islam, sebuah kepercayaan bahwa arwah
yang telah meninggal dapat melakukan sesutu kepada orang yang masih hidup. Jika
sumpah dilanggar, maka pihak yang melanggar dipercaya akan tertimpa penyakit,
kematian, atau kesialan.
Perjanjian
yang sering terjadi denga pihak-pihak yang sederajat tapi memiliki otonomi
biasanya digambarkan sebagai perjanjian antar dua orang yang bersaudara.
Sedangkan perjanjian yang paling dianggap keramat adalah perjanjian yang berlangsung
antara dua kerajaan berposisi setara dalam berbagai hal. Begian pembukaan
perjanjian seperti ini biasanya mencantumkan dengan jelas ungkapan berikut:
“Kita
adalah saudara, sama-sama hebat, tak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah,
kita berdua sama-sama tunduk hanya di hadapan Déwata. Tak ada yang boleh takluk
terhadap yang lain. Kita akan saling berbicara terbuka, berdiri sama tinggi,
duduk sama rendah” (dikutip dari Andaya: 1981: 10-9).[19]
Model
perjanjian semacam ini terbukti efektif dalam rangka berhubungan dengan
pedagang asing. Misalnya dalam perjanjian antara Raja Tunipalangga (1854-1866)
dan perwakilan dagang Melayu yang akan membuka pangkalan dagang di Makassar.
Para pedagang Melayu ini mendapat jaminan bahwa wilayah yang mereka tempati tidak
akan dimasuki oleh orang Makassar, dan peraturan Makassar tertentu tidak
berlaku bagi mereka dan keluarganya. Dengan demikian, pedagang-pedagang ini
memperoleh semacam wilayah kekuasaan sendiri tetapi dilarang menghukum
pelanggar kejahatan tanpa seizin penguasa setempat.[20]
Perbudakan
dan Kebebasan
Pada
akhir abad ke-18, Bugis mulai dikenal sebagai wilayah di Asia yang paling cinta
kebebasan. Orang-orang Bugis menyusun sejumlah aturan yang meletakkan dewan di
atas penguasa, dan menggunakan prinsip-prinsip pemilihan untuk banyak jabatan.
Perbudakan
menjadi hal yang kurang dominan di Makassar. Pada abad 17, jumlah budak milik
pribadi mecapai angka terendah di Makassar. Pada masa ini pula budak asal
Bugis-Makassar tidak diekspor. Perbudakan di Makassar lebih tidak lazim dari
negara-negara tetangganya.
Namun,
Wajoq dan Makassar tetap merupakan bagian dari satu rangkaian kultural, di mana
hak-hak para aristokrat, dan kendali mereka terhadap orang-orang mereka sendiri
tidak boleh dilanggar demi raison d’etat.[21]
Di Makassar dan Wajoq, kelas Penguasa terdiri dari orang-orang yang bangga akan
status, sadar akan hak dan kewajiban, serta dapat bertindak dan berpikir
sebagai orang merdeka.
Sistem
Tenaga Kerja
Ata
merupakan sebutan bagi pekerja di Makassar. Mereka bekerja sebagai bagian dari
kewajiban terhadap majikan dan tidak mengharapkan upah. Meski begitu, ata
tidak bisa diartikan langsung sebagai budak, karena penghambaan secara pribadi
(private slavery) hanya merupakan salah satu dari banyak kewajiban di
Makassar. Terdapat hubungan antara ata dengan kewajiban bekerja, tetapi ata
lebih merupakan ekspresi sebuah hubungan daripada status sosial.[22]
Dengan
adanya pola seperti ini, banyak pekerjaan besar yang dapat terselesaikan. Hal
ini dapat terlaksana berkat sistem obligasi yang rumit, di mana setiap
bangsawan wajib mengerahkan orang-orangnya (ata) untuk ikut bekerja pada
proyek-proyek besar ini. selain itu beberapa wilayah taklukan diwajibkan oleh
syarat penyerahan diri mereka untuk mengirmkan pekerja ke kota yang biasanya
dilakukan secara bergiliran (rotasi).
Dari
uraian di atas, dapat kita tarik sebuah benang merah faktor-faktor
sosio-kultural yang turut mempengaruhi keberhasilan Makassar pada abad 17. Hal ini antara lain adalah pluralisme yang
mendorong gagasan-gagasan baru, penghargaan lebih terhadap hak-hak adat dan
kerjasama menguntungkan daripada kekuasaan raja, dan sistem yang dapat meminta
tenaga kerja tanpa menekan hak-hak inisiatif. Sistem patron-klien yang berlaku
juga memungkinkan terjadinya mobilitas sosial sehingga meningkatkan persaingan
dalam iklim politik Makassar.
Pelayaran Suku Bugis-Makassar di
Nusantara
Suatu
pelayaran sangat bergantung pada angin. Pelayaran besar yang tergantung pada
tenaga angin tentu memerlukan pengalaman dan pengetahuan tentang sistem angin,
khususnya pelayaran di kepulauan Indonesia. Dengan memanfaatkan perubahan angin
pada musim tertentu—terutama pada bulan Oktober—kapal-kapal berangkat dari
Maluku menuju pusat-pusat perdagangan di Makassar, Gresik, Demak, Banten,
sampai ke Malaka dan kota-kota lain di sebelah barat. Sebaliknya, pada bulan
Maret pelayaran ke timur bisa dilakukan dengan menggunakan angin Barat.[23]
Pada
abad ke-17 atau sebelumnya, pelayaran orang Bugis-Makassar sudah meliputi
hampir seluruh perairan Nusantara. Dari catatan terbaru, seperti hukum laut
Amanna Gappa dan juga dari peta laut Bugis, dapat dilihat bahwa pelayaran
mereka sudah sampai ke Aceh, Kedah, dan Kamboja; ke Timur sampai ke Teluk Kei
dan Ternate; dan ke Utara sampai ke pulau-pulau Filipina (Sulu) dan Kalimantan
Utara (Berau).[24]
Peran
orang-orang Bugis-Makassar dalam pelayaran di Nusantara sudah berlangsung sejak
abad ke-16. Pada waktu itu kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan, seperti Gowa
dengan pelabuhannya di Makassar, Bone, Wajo, Luwu, dan lainnya merupakan
kerajaan dagang yang kuat. Kekuatan perdagangan laut ini didukung oleh penduduk
yang mayoritas hidup dari hasil dan perniagaan di laut. Sudah sejak abad ke-16,
mereka memperdagangkan produk rempah-rempah dari Maluku untuk ditukar dengan
barang-barang yang dibeli dari Jawa dan Malaka, seperti beras, tekstil,
barang-barang logam, sutera, porselain, dan lain-lain.[25]
Persebaran
orang Makassar dan Bugis secara besar-besaran tidak hanya sekedar berdagang,
tetapi juga berpindah tempat tinggal mengakibatkan orang Bugis dan Makassar
menetap di kepulauan Riau, Jawa Timur, dan kepulauan Nusa Tenggara. Keadaan ini
dipicu oleh penaklukan kerajaan Gowa-Tallo yang bersuku Makassar terhadap
kerajaan-kerajaan Bugis, seperti Wajo, Bone, Luwu, dan lainnya. Penaklukan oleh
orang-orang Makassar ini membuat banyak orang Bugis yang pindah dan menyebar ke
seluruh Nusantara, terutama di daerah sekitar Sumatera Timur dan Semenanjung
Malaya. Sementara pengungsian besar-besaran dilakukan oleh orang-orang Makassar
pasca penaklukkan Kerajaan Gowa-Tallo oleh kekuatan militer VOC dalam Perang
Makassar 1666-1669. Dalam catatan sumber-sumber Belanda, sejak Perjanjian
Bongaya, 1667, yang menandai kekalahan Kerajaan Gowa, membuat bangsawan
Makassar dan para pengikutnya merasa terhina dan pergi meninggalkan tanah
Makassar. Pengungsian besar-besaran terjadi pada 1669 ketika secara final VOC
mengalahkan pemberontakan orang Makassar, terlebih lagi ketika Arung Palakka,
penguasa Bone, menjadi pemimpin utama di wilayah Sulawesi Selatan.[26]
Perang
Makassar (1666-1669) sebenarnya dipicu oleh perang dagang antara Kerajaan
Makassar, yang menjadikan pelabuhannya bebas dikunjungi oleh kapal dari Eropa
ataupun dari Asia dan Nusantara, dengan pihak VOC yang ingin memaksakan
monopoli. Pelabuhan Makassar dianggap menyaingi perniagaan VOC. Keinginan VOC
untuk mengontrol jalur perniagaan laut, ditolak oleh Sultan Hasanuddin. Jawaban
ini meneguhkan oleh semangat orang-orang Makassar untuk melawan, karena menurut
mereka sudah sejak lama perniagaan laut di Asia Tenggara berjalan dengan sistem
pasar bebas. Pihak penguasa hanya mengontrol keamanan laut dan pelabuhan dengan
menarik cukai atas bermacam barang dagangan.[27]
Sementara
itu sebagian besar bangsawan Bugis di Wajo yang menjadi sekutu Kerajaan
Gowa-Tallo juga melakukan pengungsian setelah ibukota kerajaan di Tosora
dihancurkan oleh VOC. Namun, para pengungsi Makassar dan Bugis generasi awal
telah beradaptasi dengan baik di lingkungan barunya. Kebanyakan orang Bugis
menetap di wilayah kepulauan Riau dan Semenanjung Malaya, sedangkan orang
Makassar menetap di Jawa dan Madura. Sedangkan dalam jumlah kecil mereka
menyebar hampir di seluruh wilayah kepulauan Indonesia.[28]
Perdagangan
Suku Bugis-Makasar
Sejak
abad 16, Makassar merupakan pelabuhan yang ramai dengan berbagai macam komoditi
dari berbagai daerah yang dapat dibeli seperti barang-barang dari Maluku, Bali,
Lombok, Sumbawa, Sumba, Flores, Timor, Irian, Jawa, Kalimantan dan Philipina
Selatan. Budak, rempah-rempah, prodak dari laut dan juga kayu cendana merupakan
produk utama dari daerah timur. Di Makassar pula diperdagangkan produk-produk
dari India dan Cina yang didapat dari kehadiran kapal asing di Malaka, atau
para pedagang Makasar yang membelinya dari Pelabuhan Malaka. Berdasarkan penggalian
reruntuhan benteng Sumbaopu di Makassar, terukir gambar tripang dalam sisa batu
bata. Hal ini menunjukan sejak abad ke-16 sesuai dengan pembangunan benteng
Sumbaopu, perdagangan tripang sudah ada di Pelabuhan Makassar.
Dalam
sumber-sumber abad ke-17 tercatat tripang sudah menjadi produk perdagangan dan
konsumsi di Cina Utara dan Jepang. Pada tahun 1763 ada satu junk Cina yang
mengunjungi Makassar untuk membeli tripang, jung Cina ini memiliki bobot 600
ton. Sejak itu pelabuhan Makassar tercatat sebagai pasar yang menjual produk
tripang yang didatangkan dari berbagai wilayah.
Di antaranya laporan syahbandar Pelabuhan Makasar 1717-1718 mencatat
adanya tujuh pikul tripang yang datang dari Buton dan Trambora (Sumbawa).[29]
Dalam
kasus perlayaran dan perdagangan tripang orang Bugis-Makassar, pelayaran
penangkap-penangkap tripang ke Marege (yaitu nama penduduk Australia dalam
bahasa Bugis-Makassar) mengambil rute sebagai berikut: Ujungpandang, Salayar,
Wetar, Leti, Moa, selanjutnya ke arah Selatan Tenggara ke Pelabuhan Darwin, dan
seterusnya.[30]
Produk tripang ini biasanya sudaha diolah (dikeringkan atau diasap) dan
dipilah-pilah berdasarkan kualitasnya. Jenis tripang Marege merupakan
produk tripang terbaik yang diperdagangkan dan yang ditangkap di perairan
Australia.
Kondusifnya
Makassar sebagai pelabuhan perdagangan tersebut karena didukung oleh dua faktor
yakni faktor dari dalam dan faktor dari luar[31].
Pertama, tumbuhnya
kerajaan Gowa menjadi kerajaan yang menghimpun dan melindungi negeri-negeri
orang Makassar di sepanjang pesisir selatan jazirah selatan Sulawesi. Kerajaan
ini juga menjadikan Makassar sebagai pusat perdagangannya. Kemudian diikuti
oleh penyusunan sistem administrasi dan birokrasi negara maritim kerajaan Gowa
yang kuat. Kedua, kedatangan
orang-orang bangsa Eropa ke Nusantara yang
meramaikan perdagangan di Makassar. Di samping itu dengan kedatangan
Portugis ke Makassar, orang-orang Makassar belajar dan memperoleh pengalaman
dalam membuat bangunan-bangunan istana yang indah dan mendirikan benteng-benteng
pertahanan di pantai. Kemudian dampak faktor ini terhadap kemajuan Makasar
adalah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis. Jatuhnya Malaka menyebabkan
berpindahnya pusat penyebaran Islam ke bagaian timur Nusantara.
Kondisi
tersebut mampu mencatatkan Makassar menjadi pusat perdagangan di Indonesia
bagian timur pada awal abad 17. Pada masa itu Makassar memegang supermasi
perdagangan sesudah Jawa Timur, yaitu tempat berkumpul barang-barang dagangan
terutama rempah-rempah dari Maluku untuk selajutnya dikrim ke barat melalui
pedagang-pedagang Melayu yang berpusat di Malaka. Kondisi tersebut terus
berlangsung hingga kedatangan VOC di pelabuhan Makassar dan terdiasporanya
orang-orang Makassar dari tanah asalnya.
Perkembangan Agama Islam di Kota Pelabuhan Makassar
Kedatangan dan
penyebaran agama Islam merupakan satu faktor penting bagi perkembangan
bandar-bandar dagang di Nusantara. Kedatangan para “importir” Islam tersebut
dimulai dari ujung Sumatera kemudian merayap dan menyebar sampai ke
pelosok-pelosok Indonesia. Ada banyak teori yang menyebutkan asal dan tahun
kedatangan mereka berdasarkan bukti-bukti yang dimiliki para pengaju teori
masing-masing, teori abad ke-7, ke-11, dan ke-13. Namun, sebenarnya perlu
dipisahkan tiga pengertian yaitu tahap kedatangan, tahap proses penyebaran, dan
tahap perkembangan Islam.[32]
Abad ke-7 digolongkan
sebagai tahap permulaan kedatangan. Hal ini ditandai dengan permukiman Tashih
di Kota Kuala Brang (Sumatera Selatan) yang saat itu berada dalam kekuasaan
Sriwijaya.[33]
Belum dapat dipastikan apakah mereka menyebarkan Islam atau tidak. Abad ke-13
dengan didasarkan data yang lebih konkret dengan lahirnya Kerajaan Islam
pertama, Samudera Pasai. Barulah masa ini digolongkan dalam tahap penyebaran
dan perkembangan Islam di wilayah tersebut, kemudian keluar wilayah dan
merupakan proses penyebaran lagi.[34]
Mengenai dari mana
pembawa Islam, masing-masing teori kuat berdasarkan fakta-fakta sendiri. Karena
itu maka mungkin lebih baik mengatakan Islam disampaikan oleh orang-orang
muslim dari Arab, Persia, dan India (Gujarat, Benggala).[35] Namun, seluruh
pendapat mempunyai persamaan bahwa pembawa Islam adalah golongan pedagang
sehingga motif ekonomi-perdagangan juga merupakan alasan kedatangan mereka ke
Nusantara.
Proses penyebaran Islam
Antara kedatangan
Islam, terbentuknya masyarakat muslim, lebih-lebih munculnya kerajaan-kerajaan
Muslim mengambil proses waktu yang berabad-abad. Dengan demikian pula
proses tersebut melalui bermacam-macam
saluran. Secara garis besar proses penyebaran Islam dapat melalui berbagai
saluran seperti : perdagangan, perkawinan, birokrasi-pemerintahan, pendidikan
(pesantren) tasawuf, cabang-cabang kesenian dan lainnya.[36]
Berbeda dengan
daerah-daerah di Indonesia bagian barat, sentuhan pertama Indonesia Timur
dengan Islam adalah melalui orang-orang Melayu. Interaksi yang dilakukan tidak
hanya terbatas dalam hubungan dagang, melainkan juga dalam penyebaran Islam dan
bahkan dalam birokrasi ketika dalam struktur kerajaan banyak orang Melayu yang
memainkan peranan penting. Bahkan salah satu sumbangan terbesar orang Melayu
untuk Indonesia Timur, khususnya Sulawesi adalah penyebaran agama Islam.
Pada abad ke-15—16
diceritakan oleh Tome Pires bahwa di Sulawesi Selatan terdapat 50 buah kerajaan
yang raja dan rakyatnya masih menyembah berhala.[37] Baru lah pada
tahun 1632 rombongan Melayu dari Patani tiba di Makassar. Rombongan besar ini
dipimpin oleh seorang bangsawan yang bernama Datuk Maharajalela. Kemudian raja
Gowa memberikan tempat permukiman di selatan Sombaopu yang sampai sekarang
dikenal dengan nama Kampung Patani (Salajo).[38]
Dr. Uka Tjandrasasmita
mengatakan bahwa kota-kota muslim mengalami masa pertumbuhan dan perkembangan
kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam di Indonesia dari abad ke-13 sampai abad
ke-18.[39] Dengan demikian
terbentuknya kota-kota muslim adalah akibat kedatangan dan proses penyebaran
Islam. Di Makassar sendiri hal ini terbukti ketika raja Islam pertama Kerajaan
Makassar yakni Sultan Alaudin. Bahwa pada masa kekuasaannya (1591—1638), ia
berhasil menguasai Pulau Sulawesi, kepulauan Timor, dan sebagian Kalimantan
yang menjadikan Makassar menjadi kerajaan Islam terbesar di kawasan Indonesia
Timur. Pada masa pemerintahannya pula, kerajaan menjalin persahabatan dengan
raja Aceh dan Mataram.[40] Kemudian
diteruskan oleh cucu beliau, Sultan Hasanudin, yang di bawah kekuasaanya
Makassar dijadikan pusat perdagangan Indonesia Timur dengan menaklukan sebagain
besar kawasan tersebut.
Islam memberikan
perubahan dalam kehidupan masyarakat di berbagai bidang. Dalam bidang politik
pemerintahan adalah seorang sultan sebagai pemimpin negara merangkap sebagai
pemimpin agama, raja dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi, penggunaan
istilah-istilah Arab dalam jabatan dan pangkat pemerintahan, dan majelis ulama
sebagai lembaga penasihat raja dalam kenegaraan dan keagamaan di Makassar.
Tempat-tempat pesisir
yang didatangi orang-orang muslim dan tempat terjadinya Islamisasi tumbuh
menjadi kota-kota muslim, yang di antaranya berfungsi sebagai kota-kota
pelabuhan dan perdagangan dan apa pula sebagai kota-kota pusat kerajaan (pusat
politik). Di antara kota-kota muslim di pesisir jelas ada yang berfungsi
rangkap yaitu sebagai kota pelabuhan dan pusat pemerintahan.[41] Dengan
demikian corak pemerintahan yang berada di pesisir merupakan kerajaan maritim
dimana pelayaran dan perdagangan sangat diutamakan.
Letak geografisnya yang
sangat menguntungkan, di tengah jalur Malaka-Maluku dan dihalangi gugusan
kepulauan Spermonde dari terpaan ombak besar, membuat Makassar kian berkembang.
Pemanfaatan sebagai bandar dagang dan sebagai pusat pemerintahan. Bahkan,
setelah dikuasai oleh kolonial, Makassar dimanfaatkan dengan baik sebagai
bandar dagang persinggahan kapal-kapal Eropa yang berlayar Batavia-Maluku.
Perubahan-perubahan
yang dibawa oleh para pembawa Islam telah terjadi dalam bidang sosial, politik,
ekonomi, budaya, dan keagamaan melalui proses akulturasi. Oleh karena itu,
cara-cara Islam telah memupuk perkembangan berbagai kota pelabuhan di sepanjang
pantai Nusantara dengan suburnya.
Kesimpulan
Kitab Negarakertagama
(abad 14) telah mecatat nama Makassar. Namun tidak diketahui jelas sejak
kapan nama Makassar digunakan untuk nama tempat atau suku bangsa. Nama Makassar
pun belum ada arti pastinya, tetapi ada beberapa pengertian dari kata Makassar.
Pertama, sebagai nama suku bangsa dan bahasa yang menempati bagian selatan
pulau Sulawesi, yang mempunyai adat-istiadat, bahasa, karakter, dan bentuk atau
ciri tubuh sendiri dan mereka memakai bahasa Makassar. Kedua, sebagai nama kota
yang terletak di pantai selatan Pulau Sulawesi. Ketiga, sebagai nama selat yang
terletak antara Sulawesi Selatan dan pulau Kalimantan. Selat ini dari sejak
dulu ramai dilayari kapal-kapal.
faktor-faktor
sosio-kultural turut mempengaruhi keberhasilan Makassar pada masa itu. Hal ini antara lain adalah pluralisme yang
mendorong gagasan-gagasan baru, penghargaan lebih terhadap hak-hak adat dan
kerjasama menguntungkan daripada kekuasaan raja, dan sistem yang dapat meminta
tenaga kerja tanpa menekan hak-hak inisiatif. Sistem patron-klien yang berlaku
juga memungkinkan terjadinya mobilitas sosial sehingga meningkatkan persaingan
dalam iklim politik Makassar.
Dari sisi aspek pelayaran-perdagangan, wilayahnya yang
kondusif sebagai pelabuhan perdagangan ikut menjadi faktor keberhasilan Makassar sebagai kota
maritim. Hal itu didukung oleh dua faktor yakni faktor
dari dalam dan faktor dari luar. Pertama,
tumbuhnya kerajaan Gowa menjadi kerajaan yang menghimpun dan
melindungi negeri-negeri orang Makassar di sepanjang pesisir selatan jazirah
selatan Sulawesi. Kerajaan ini juga menjadikan Makassar sebagai pusat
perdagangannya. Kedua, kedatangan
orang-orang bangsa Eropa ke Nusantara yang
meramaikan perdagangan di Makassar. Kemudian jatuhnya Malaka ke tangan kolonial menjadi faktor
penting pula. Jatuhnya Malaka menyebabkan berpindahnya pusat
penyebaran Islam ke bagaian timur Nusantara.
Kondisi-kondisi tersebut mampu
mencatatkan Makassar menjadi pusat perdagangan di Indonesia bagian timur pada
awal abad 17. Pada masa itu Makassar memegang supermasi perdagangan sesudah
Jawa Timur, yaitu tempat berkumpul barang-barang dagangan terutama
rempah-rempah dari Maluku untuk selajutnya dikrim ke barat melalui
pedagang-pedagang Melayu yang berpusat di Malaka. Kondisi tersebut terus
berlangsung hingga kedatangan VOC di pelabuhan Makassar dan terdiasporanya
orang-orang Makassar dari tanah asalnya.
Perubahan-perubahan
yang dibawa oleh para pembawa Islam juga menjadi aspek penting dalam mendukung
suksesnya kota maritim Makassar yang telah terjadi dalam bidang sosial,
politik, ekonomi, budaya, dan keagamaan melalui proses akulturasi. Oleh karena
itu, cara-cara Islam telah memupuk perkembangan berbagai kota pelabuhan di
sepanjang pantai Nusantara dengan suburnya.
DAFTAR PUSTAKA
Lapian, A.B. 2008. Pelayaran
dan Perdagangan Nusantara Abad ke-16 dan 17. Jakarta: Komunitas Bambu.
Pradjoko, Didik. 2007. dalam Dari Kurun Niaga hingga Orde Baru: Bunga
Rampai Sejarah Indonesia. Depok: FIB UI.
Paeni, Muchlis, dkk. 1984. Sejarah Sosial Daerah Sulawesi Selatan: Mobilitas Sosial kota
Makasar 1900-1950. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Pelras, Christian. 2005. Manusia Bugis. Jakarta: Penerbit Nalar.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah
Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka.
Rasyid,
Abdul, Restu Gunawan, Moh Hisyam. 2000. Makassar Sebagai Kota Maritim. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Reid, Anthony. 2009. Pluralisme dan Kemajuan Makassar Abad
ke-17
dalam Kuasa dan Usaha di Masyarakat Sulawesi Selatan. Jakarta: KITLV-Jakarta.
Sagimun. 1992. Sultan
Hasanudin. Jakarta: Balai Pustaka.
Tjandrasasmita, Uka. 2000. pertumbuhan dan perkembangan kota-kota muslim di Indonesia. Kudus:
Menara Kudus.
[1]Abdul
Rasjid dan Restu Gunawan, Makassar
sebagai Kota Maritim, 2000, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, hlm. 1
[2] A.B. Lapian,
Pelayaran dan Perniagaan Nusantara abad
ke-16 dan 17, 2008, Jakarta: Komunitas Bambu, hlm. 96
[5] Dr. Muchlis Paeni, dkk, Sejarah Sosial Daerah Sulawesi Selatan:
Mobilitas Sosial kota Makasar 1900-1950, (Jakarta,
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan,
1984),
hlm. 1
[6] Ibid.
[12] Anthony Reid, Pluralisme dan
Kemajuan Makassar Abad ke-17 dalam Kuasa dan Usaha di Masyarakat Sulawesi
Selatan, (Jakarta, KITLV-Jakarta, 2009), hlm. 73
[23] A. B. Lapian, Pelayaran dan Perdagangan Nusantara Abad
ke-16 dan 17, (Jakarta, Komunitas Bambu, 2008), hlm. 4-5
[25]Lihat artikel Didik Pradjoko
dalam tentang Pelayaran dan Perdagangan dalam Dari Kurun Niaga hingga Orde Baru: Bunga Rampai Sejarah Indonesia, Depok,
FIB UI, 2007, hlm.
20
[26] Ibid., hal. 20—21
[27] Ibid., hal. 21
[28] Ibid., hal 22
[30] Marwati Djoened Poesponegoro dan
Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional
Indonesia III, (Jakarta,
Balai Pustaka, 1993),
hlm.
125
[36] Uka
Tjandrasasmita, pertumbuhan dan
perkembangan kota-kota muslim di Indonesia, (Kudus, Menara Kudus, 2000),
hlm.25
Tidak ada komentar:
Posting Komentar