Karl
Marx adalah seorang filsuf, ekonom, sosiolog sekaligus aktivis politik.
Hidupnya tak jauh dari akademik yang membuatnya selalu mengasingkan diri dari
rutinitas kehidupan sosial. Atas berbagai pemikirannya yang radikal, Marx
menghabiskan umurnya migrasi ke berbagai tempat karena pandangan-pandangannya
yang tak diterima oleh penguasa setempat. Lahir hingga besar di Jerman, ia
kemudian berpindah-pindah ke Perancis, Belgia, dan Inggris sebagai rangkaian
perjalanan untuk menyelesaikan karya-karya penting yang sangat berpengaruh bagi
masyarakat.
Dalam
berbagai literatur, buah pemikiran Marx sering disebut merupakan karya bersama
yang ia ciptakan bersama Friedrich Engels. Keduanya menjadi teman sekaligus
kolaborator yang menghasilkan berbagai karya penting selama lebih kurang empat
puluh tahun.[1]
Engels bukanlah tokoh sekreatif Marx, tetapi ia memiliki pengetahuan sejarah
yang luas dan berkepribadian kuat.[2]
Namun dalam pendapat yang lain, Marx disebut tokoh pemikir yang dalam. Sehingga
lewat bantuan Engels, ia mampu menuangkan berbagai pemikirannya ke dalam
tulisan.[3]
Terlepas dari hal tersebut, Engels jelas membantu konsentrasi Marx dalam
pengerjaan karya-karya besarnya lewat pinjaman uang untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya sehari-hari.
Memahami
pemikiran Marx tak bisa dilepaskan dari pemikirannya tentang dialektika dan
materialisme. Konsep ini menempati posisi sentral dalam tradisi pemikiran
Marxis.[4] Pemikirannya tentang dialektika merupakan
inspirasi dari gurunya, Hegel. Antagonisme tesis-antitesis pemikiran milik
Hegel digeser Marx ke dunia nyata yang kemudian menghasilkan teori tentang
konflik. Pemikiran Marx tentang dialektika dan materialisme sebenarnya bukan
merupakan sistem teoritis yang utuh. Bahkan cenderung mendapat perhatian kecil
dari Marx. Dalam karya Das Kapital ia
lebih menjelaskan secara terperinci mengenai capitalist accumulation dan theory
of surplus value.[5]
Dalam
memahami pemikiran Marx, sebenarnya kita harus mengetahui tentang
pemikiran-pemikiran yang ditentangnya. Marx jelas melawan sistem kapitalistis
sebagaimana yang masih bertahan hingga kini. Sebuah sistem ekonomi yang
mengakui hak kepemilikan pribadi. Marx hidup dalam proses industrialisasi masif
di Eropa yang mempromosikan gagasan-gagasan liberalisme, terutama soal hak
milik pribadi. Marx mengkritik habis tentang hak milik karena baginya kebebasan
individu untuk mengumpulkan properti yang dilindungi negara justru akan
berakibat pada perlombaan individu dalam pengumpulan kapital (capitalist accumulation). Pembiaran oleh
negara atas hal itu sama dengan pembiaran negara atas sifat rakus manusia dalam
penumpukan kapital tanpa batas yang berdampak buruk bagi golongan individu lain
yang tak dapat bersaing dalam pengumpulan kapital.
Sebagai
seorang filsuf, Marx membuat keberpihakan kepada golongan yang tertindas oleh
sistem kapitalis. Karena baginya kekuatan moral filsuf adalah bertindak untuk
mengubah sistem salah.[6] Menurutnya,
masyarakat kapitalis justru menghasilkan ketidaksetaraan. Ia melihat sistem
yang demikian membuat golongan miskin akan tetap miskin dan golongan kaya akan
semakin kaya. Lewat cara pandang yang radikal, ia melihat bahwa masyarakat yang
ideal adalah masyarakat dengan kepemilikan bersama atas properti. Sebuah sistem
yang ia kenalkan dengan istilah komunisme.
Gagasan
Marx selanjutnya dikenal dengan istilah “surplus value” atau teori nilai lebih
yaitu pertukaran yang tidak proporsional antara nilai pakai dan nilai tukar. Secara
menarik, McDonald memberikan komparasi antara konsep surplus value dengan labor
value. Merujuk pemikiran Ricardo, labor
value menilai setiap komoditas selalu proporsional antara kuantitas yang
diberikan dengan hasil pendapatan yang diperoleh. Sebagai pemikir liberalisme
awal, Ricardo dkk berasumsi bahwa kompetisi sempurna dapat terjadi secara
alamiah dalam pasar tenaga kerja dan pasar komoditas.[7] Menurut
Marx, fakta yang terjadi justru berkebalikan. Keuntungan yang didapat para
kapitalis lebih tinggi dibanding alat produksi yang diberikan. Kelebihan untung
ini didapat dari kelebihan kerja yang diberikan buruh akibat tidak diberikannya
kompensasi secara setimpal. Konsep inilah yang ia kenalkan dengan istilah surplus value (teori nilai lebih). Tujuan
kapitalis untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya diperoleh dengan cara
memaksimalisasi jam kerja buruh dan menekan rendah kesejahteraan mereka. Dalam
perhitungan ekonomi, teori nilai lebih Marx gunakan sebagai indikator
penindasan yang terjadi di masyarakat kapitalis.
Membaca
riwayat dan pemikiran Marx lewat karya McDonald, setidaknya kita dituntut untuk
mengetahui lebih dahulu tentang gambaran besar tentang tokoh tersebut. Setidaknya
pembaca punya fondasi pengetahuan tentang kondisi sosiohistoris dan pandangan
Marx tentang kapitalisme dan komunisme. Pasalnya, McDonald terlihat mencoba
menguliti ide-ide penting yang ditelurkan Marx dengan cara lugas namun
mendalam.
McDonald
menaruh Marx sebagai tokoh sepertiga akhir dalam bukunya, boleh jadi asumsinya
para pembaca sudah mempunyai latar belakang sejarah pemikiran Eropa yang cukup
ketika masuk dalam pembahasan Marx. Hal yang paling kentara adalah kemunculan
istilah bourgeois dan proletariat yang ia gunakan untuk
membedakan kelas sosial di masyarakat saat itu. Istilah borjuis digunakan Marx
untuk merujuk kepada sebuah kelas sosial baru yang tergolong dalam middle class yang terbentuk lewat
kepemilikan unit industri dalam sistem ekonomi kapitalis. Sementara istilah proletar
ia gunakan untuk menjelaskan kelas sosial rendah yang merupakan pekerja di
pabrik-pabrik milik golongan borjuis. Konteks sosiohistoris sangat penting
untuk menjelaskan munculnya dua istilah tersebut, yang digunakan Marx dalam
menyusun konsep materialisme dialektis.
Sebagaimana
pengertian liberal yang berasal dari gejala sosial, komunis pada mulanya juga
merupakan fenomena sosial yang merujuk pada kelompok tertentu di masyarakat.
Hal ini boleh jadi luput dijelaskan oleh McDonald. Dalam tulisannya, ia
mengatakan bahwa Marx telah dijuluki sebagai kaum komunis[8]
sebelum ia membuat kerangka konseptual yang lebih mendalam tentang pengertian
komunis itu sendiri. Artinya istilah komunis memang telah ada sebelum gagasan
Marx tentang komunisme. Dalam sejarah awalnya, komunisme merupakan faham dan
gerakan penghapusan sistem monarki di Perancis yang berkembang tahun 1830-an.
Istilah ini merujuk pada perkumpulan masyarakat yang menghendaki peran negara
dalam mengampu aktivitas-aktivitas penting manusia di tangan negara.[9]
Daftar Rujukan:
McDonald, Lee
Cameron. (1962) Western Political Theory:
from Its Origins to the Present
Suhelmi, Ahmad.
(2004) Pemikiran Politik Barat.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Ball, Terence, Richard Dagger,
Daniel O’neill (2009) Political
Ideologies and The Democratic Ideal. Boston: Pearson.
Noer, Deliar. (1982)
Pemikiran Politik di Negeri Barat, Jakarta:
Persada.
[1] Terence
Ball dkk, Political Ideologies and The Democratic Ideal (Boston, 2009), 141.
[2] Lee
Cameron McDonald, Western Political
Theory: from Its Origins to the Present (New York, 1962), 489.
[3] Deliar
Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat,
(Persada, 1982), 150-1.
[4]Ahmad
Suhelmi, Pemikiran Politik Barat,
(Gramedia Pustaka Utama, 2004), 282.
[5] Op.
Cit., McDonald, 491.
[6] Ibid.,
492.
[7] Ibid., 499.
[8] Ibid., 489.
[9] Op.
Cit., Noer, 153-4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar