A. Pengantar
Sumbangan Barat
(Eropa) dalam tradisi keilmuan dan pemikiran politik diyakini merupakan tonggak
awal perkembangan faham-faham politik di seluruh dunia. Tanpa mengucilkan
peradaban-peradaban di belahan bumi lainnya pada rentang periode yang sama,
sejarah menunjukkan bahwa tanah Eropa menghasilkan berbagai konsep politik yang
solid dan koheren hingga pada gilirannya pemikiran politik Barat banyak
diadaptasi oleh berbagai entitas politik di berbagai tempat, atau
sekurang-kurangnya sekadar dipelajari. Atas sumbangan tersebut, telah banyak
akademisi mencoba merangkum pemikiran politik Barat sebagai wujud dokumentasi
warisan intelektual agar terus dikaji dan dikembangkan untuk kepentingan ilmu
pengetahuan.
Dalam melacak
pemikiran politik Barat, peran peradaban Yunani kuno memiliki peran yang sangat
penting. Yunani kuno dianggap sebagai nenek moyang ‘kita’ dalam lingkungan
politik, baik secara ideologi, mitologi, dan simbolis.[2]
Berbagai istilah yang dikenal lahir di sana seperti monarki, tirani, oligarki,
aristokrasi, demokrasi dan lain sebagainya menjadi legitimasi yang fundamen di
atas bangunan politik sebagai ilmu pengetahuan. Lewat perspektif yang berbeda,
Suhelmi menilai pemikiran Barat berbeda dengan tradisi pemikiran Yunani kuno.
Pasalnya, ada konsep kelahiran kembali
(rebirth) dari “puing-puing” kehancuran peradaban tersebut. Oleh karenanya, ia
menyebut pemikiran Barat berhutang budi kepada peradaban Yunani—termasuk
Romawi, Judeo-Kristiani, dan Islam.
Salah satu sumbangan pemikiran politik Barat
yang terkenal hingga kini adalah liberalisme. Ia merupakan istilah yang berasal
dari bahasa Latin liber, yang artinya
“bebas”. Dalam sejarah pemikiran politik barat, ideologi liberalisme masuk
kategori yang hadir belakangan di antara berbagai ideologi politik yang lain. Namun,
liberalisme muncul sebagai konsep politik justru pada awal abad ke-19 lewat
nama partai politik Liberales di Spanyol yang membawa misi perubahan sistem
negara menjadi pemerintahan konstitusional.
Liberalisme awalnya dikenal sebagai istilah yang bermakna “murah hati” dan
“toleran” (generous and tolerant) di dalam masyarakat. Ia digunakan untuk
merujuk pada orang yang memperlakukan orang lain dengan cara yang santun
(gentleman).
Pada perkembangan selanjutnya, liberal (dan liberalisme) menjadi sebuah istilah
yang merujuk pada suatu cara pandang dan ideologi dalam pemikiran politik
hingga saat ini.
B. Permulaan Liberalisme
Dalam perkembangan sejarah, liberalisme menjadi
faham yang terkenal dan sangat berpengaruh dalam rentang periode yang panjang.
Liberalisme tidak ditemukan sekaligus dan tak ada tokoh yang mengakuisisi
liberalisme sebagai miliknya pribadi. Sebagaimana disebut di atas, konsep
politik ini lahir dari fenomena di masyarakat yang merujuk pada sikap individu
yang murah hati dan toleran. Oleh karenanya, liberalisme merupakan mozaik
pemikiran yang dikembangkan oleh banyak tokoh dan perkembangannya adalah sebuah
proses dari wacana publik yang berkembang di masyarakat. Sehingga secara umum,
proses keberterimaan faham liberalisme menjadi konsensus alami di masyarakat.
Walau muncul
belakangan, liberalisme merupakan sebuah ideologi politik pertama di dunia. Sebagai
ideologi, liberalisme merupakan seperangkat nilai yang mengendalikan manusia
pada kebenaran mutlak tentang konsep hak asasi manusia yang tak boleh dilanggar
oleh siapapun. Mengutip ball, ideologi adalah seperangkat ide yang koheren dan
komprehensif yang menjelaskan dan mengevalusi kondisi sosial, membantu orang
memahami peran manusia dalam masyarakat, dan menyediakan program sosial dan
tindakan politik.
Oleh karenanya, liberalisme mengatur tindakan manusia untuk bertindak sesuai
kebenaran mutlak yang dipercayainya.
Dari perspektif
historis, perkembangan awal liberalisme di daratan Eropa muncul karena tiga
faktor: Pertama, fenomena perkembangan seni dan kreativitas yang berlepas dari
dogma-dogma agama kristen pada abad 14-15 yang dikenal sebagai abad pencerahan
(Enlightenment atau Renaissance). Bahkan, semua ciri liberalisme merupakan
aspek penting yang diciptakan masa ini. Tradisi
pencerahan yang lahir di tanah Italia membawa spirit sekularisme pada
perkembangan pemikiran manusia Eropa. Faktor kedua adalah progresivitas
penemuan alat-alat mekanis yang sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat
dalam satu masa yang dikenal dengan revolusi industri (scientific revolution).
Perkembangan sain dan teknologi yang cepat saat itu membawa perubahan masyarakat
secara signifikan dari masyarakat agraris menjadi industri. Sementara, Ball
melihat hal ini dari kacamata lain dengan menyebutnya sebagai fase “exploration
new world” untuk mencari wilayah kehidupan baru. Fenomena ini menjadi simbol
kebebasan berpikir dan munculnya harapan baru bagi para individu yang menolak
nilai-nilai konservativisme di masyarakat dengan cara meninggalkan wilayahnya. Terakhir,
adalah peristiwa sejarah dinamai Reformasi Gereja (Protestant Reformation),
sebuah gerakan yang menuntut domestifikasi gereja dari urusan-urusan sosial dan
politik.
Dari faktor-faktor
di atas, fenomena reformasi gereja menjadi peristiwa sejarah yang berdampak
sangat penting terhadap masyarakat Eropa. Lewat konsep “calling” (panggilan
Tuhan), manusia mengubah perspektif
mereka tentang pentingnya konsep determinasi hidup yang mewajibkan manusia
berusaha dalam kehidupannya. Dalam sejarahnya, peristiwa ini bermula saat
seorang pendeta Kardinal Jerman, Martin Luther menempelkan 99 tuntutannya di pintu-pintu
gereja pada tahun 1521. Namun, realitasnya Martin Luther hanyalah merupakan
bagian dari gelombang protes yang sudah muncul sebelumnya. Ia ibarat letupan
besar di antara letupan-letupan kecil, hanya saja pendeta ini melakukan
pembangkangan dalam momentum sejarah yang tepat. Penemuan mesin cetak pada masa
itu dijadikan medium memperluas pemikirannya hingga menghasilkan kesadaran luas
di masyarakat dan memperoleh banyak dukungan pada gerakannya. Perlindungan Raja
Jerman terhadap keselamatan nyawanya menjadikan nafas reformasi bersejarah ini
semakin ekslatif dan mampu mengubah kebijakan gereja yang meyampuri urusan
politik dan keamanan. Namun, pergerakan yang menghasilkan sekte Protestan dalam
agama Kristiani ini bukan peristiwa sederhana. Prosesnya mengorbankan banyak perang
sipil dan menciptakan revolusi di berbagai kerajaan Eropa. Anehnya, tak ada
jejak pemikiran liberal pada sosok religius Luther, bahkan ia sendiri tak
pernah menuntut reformasi pemisahan antara negara dengan gereja. Namun, secara
tidak diinginkan para tokoh reformasi geraja justru menciptakan jalan bagi
terciptanya pemikiran-pemikiran liberalisme di tengah masyarakat.
Lebih dari tiga
abad, gagasan tentang liberalisme berdialektis dengan kondisi politik yang ada
untuk memperjuangkan kebebasan individu. Selama era Kerajaan Suci Romawi, dominasi
gereja telah secara dalam menyetir bagaimana manusia berpikir dan berkehendak.
Kebenaran merupakan monopoli Gereja, dan tak diperbolehkannya penafsiran ajaran
agama. Segala pembangkangan pemikiran dari perspektif yang dimiliki gereja dilabeli
murtad (atau tukang sihir) dan bisa diganjar mati. Membonceng berbagai
peristiwa sejarah yang berdarah sebagaimana dijelaskan di atas, liberalisme
bertransformasi menjadi sebuah gerakan (movement) dengan inti perjuangannya
adalah kebebasan rasionalitas dan kehendak bebas. Namun, proses keduanya tak
berjalan sekaligus. Kehendak bebas (individual conscience) sebagai perwujudan
dari pikiran bebas yang muncul belakangan seiring dengan semangat perlawanan
bersama pada kekuasaan Kristiani.
Gagasan tentang
liberalisme terus berkembang seiring dengan masih relevannya ideologi tersebut
sampai hari ini. Mengingat arah tulisan ini banyak mengutip gagasan
filsuf-filsuf klasik, secara praktis penulis mengambil garis batas untuk mengungkapkan
pemikiran-pemikiran awal tentang liberalisme. Tulisan Schapiro menjadi panduan
yang tepat untuk menjelaskan ciri-ciri gagasan liberalisme. Dalam bukunya yang
berjudul “Liberalis: History and Its Meaning”, Schapiro menggambarkan ciri-ciri
awal pemikiran Liberalisme dari tokoh klasik Sokrates hingga Presiden ke-32
Amerika Serikat Franklin D. Rossevelt. Menurutnya, ada sepuluh konsep kunci
tentang liberalisme yang ditemukan pada semua pemikir liberal. Lantaran
gagasan yang saling berkelindan satu sama lain, secara proporsional penulis
mencoba menggabungkan ciri-ciri yang sebangun agar tak ada kesan konsep yang
terpisah-pisah. Agar tak bias dengan berbagai konsep liberal yang kita kenal
saat ini, secara spesifik tulisan ini hanya membahas tentang liberalisme di
bidang politik.
C.
Ciri Pemikiran Liberal
·
Nature
Para pemikir
liberal berangkat dari kondisi alamiah
manusia (state of nature). Para filsuf dari berbagai era secara khas
membangun hipotesis tentang keadaan manusia tanpa pemerintah (negara) yang
digambarkan dalam versi yang berbeda-beda. Asumsi mereka tentang keadaan
alamiah sangat bergantung pada proses pembelajaran hidup yang mereka alami,
walhasil premis dan kesimpulan pada akhirnya banyak yang saling bertolak
belakang. Misalnya tentang sifat alamiah manusia yang digambarkan secara
kontras oleh Hobbes dan Locke. Filsuf pertama menilai sifat dasar manusia
adalah jahat dan mementingkan diri sendiri. Sedangkan, Locke melihat sebaliknya
yang kemudian diamini dan dilengkapi oleh Rousseau bahwa sifat-sifat buruk
manusia terbentuk akibat struktur sosial. Bahkan, bagi Roussseau manusia
bersifat netral, sifat baik/buruk dipelajarinya dari masyarakat.
Kesamaan pemikir liberal soal alam adalah
tentang hukum alam (law of nature). Bahwasanya, pembentukan institusi politik
merupakan gerak alami yang berasal dari kebutuhan manusia. Meminjam istilah
Yunani, manusia sebagai makhluk sosial saling membutuhkan dan bekerja sama. Namun,
wujud institusi politik yang ideal menurut para pemikir liberal berbeda-beda
didasarkan pada fakta sosiohistoris yang terjadi di wilayah.
·
Rasionalitas
Ciri penting
liberalisme yang kedua adalah akal budi
(reason). Secara umum, akal budi adalah inti pemikiran liberalisme yang
berlepas dari batasan-batasan yang berciri transendental. Secara historis,
gagasan liberalisme adalah gerakan pembangkangan pada doktrin Katolikisme. Sebagaimana
nafas Abad Pencerahan (Rainessance), nalar menjadi pemandu manusia berkehendak.
Gagasan ini diteruskan oleh keyakinan bahwa manusia adalah makhluk yang mampu
menjawab segala persoalan yang dihadapinya dengan kekuatan akal. Manusia
renaisans adalah manusia yang berpikir merdeka (bebas) dan memiliki human dignity dan self-determination.
Gagasan tentang kebebasan berpikir bertalian secara langsung dengan kebebasan bertindak. Atas nama hak
asasi manusia, liberalis memperjuangkan kebebasan individu di bidang sosial,
politik, ekonomi, dan agama.
·
Sekularisme
Berangkat dari
konsep akal budi sebelumnya, progresivitas nalar manusia bisa dikalahkan oleh
fanatisme, dogmatisme, dan ketidakmasukakalan.
Akibat perkembangan ilmu pengetahuan, manusia berlomba menaklukan alam dengan
ilmu pengetahuan. Kebenaran diukur berdasarkan parameter sains dan teknologi.
Manusia mendewakan rasio dan perlahan memitoskan agama. Gagasan ini berhubungan
langsung dengan konsep serba duniawi (worldly) yang kemudian dikenal dengan
istilah sekularisme.
·
Toleransi
Ciri khas lain
yang cukup fundamental dari liberalisme adalah sikap toleransi. Sebagaimana asal kata liber adalah toleran, sikap menghargai kebebasan orang lain
merupakan bagian dari liberalisme itu sendiri. John Locke adalah tokoh pionir
yang menceritakan pentingnya penghargaan kepada orang lain. Atas prakarsanya
yang diakui luas, Locke dikenal sebagai bapak HAM dunia. Dalam esai-esainya
tentang toleransi (Letter Concerning Toleration), ia mencontohkan kebebasan
memeluk agama sebagai sikap yang harus dihargai oleh semua orang. Baginya,
keliru jika pemerintah memaksa seseorang untuk memeluk agama tertentu. Agama
merupakan ranah privat yang tak bisa diintervensi oleh pemerintah.
Serupa dengan
Locke, Voltaire juga mengkritik adanya intoleransi beragama semasa hidupnya. Latar
belakang keduanya yang merupakan seorang penganut Protestan (Calvinis) tentu
menjadi motif penting mengapa kedua filsuf ini perhatian pada kebebasan
beragama. Mereka sepakat bahwa agama lepas dari campur tangan pemerintah
sebatas tak ada kekacauan publik yang ditimbulkannya. Namun yang menarik, pada
masa itu, Voltaire sudah lebih terbuka dengan mengatakan bahwa orang Turki,
China, dan Yahudi adalah saudaranya. Gagasan
tentang kebebasan dari kedua tokoh ini kemudian berkembang pada toleransi dalam
segala hal yang kemudian terkenal dengan jargon “justice for all.”
·
Kebebasan intelektual
Tradisi rasionalisme
Renaissance membawa manusia pada kebebasan untuk memikirkan segala hal.
Sebagaimana pemikiran tentang toleransi beragama, kebebasan intelektual
merupakan upaya perjuangan terhadap pembatasan yang dilakukan negara dan
gereja. Di hampir semua negara Eropa, terjadi penyensoran terhadap materi cetak
yang jelas mengekang kebebasan intelektual. Filsuf yang mengkritik sensor buku
atas nama kebebasan berpikir adalah John Milton dalam karyanya Areopagitica. Milton
menyebut rendah pemerintah dan gereja yang ‘menahan’, ‘memenjarakan’, dan
menganggap buku sebagai penjahat. Milton menganalogikan jika manusia membunuh
manusia artinya mengingakari ciptaan Tuhan. Jika manusia menghancurkan buku
maka ia membunuh rasio sekaligus ciptaan dari ciptaan Tuhan.
Gerakan
pencerahan intelektual yang diprakarsai oleh institusi pendidikan bergerak
lamban akibat pembatasan tersebut. Namun, pendidikan tetap merupakan tempat
orang-orang mencari gagasan liberalisme. Dalam roman Emile, Rousseau menggambarkan pentingnya pendidikan sedari kecil
untuk membentuk sifat alamiah manusia dengan pendidikan natural. Pendapat ini
diteruskan oleh Thomas Jefferson yang menggagas sistem pendidikan dasar, umum,
gratis, dan sekular. Menurutnya, pendidikan dasar menjadi instumen perbaikan
bagi kondisi masyarakat miskin dan menggali talenta berbakat yang terkubur
dalam masyarakat negara.
Selain institusi
pendidikan sebagai wahana diseminasi pemikiran liberal, konsep pendidikan
sendiri yang menganggap manusia sebagai makhluk rational liberal. Dalam pandangan liberalisme, manusia memiliki
potensi yang sama dalam intelektual secara individual. Lewat konsep equal opportunity dalam liberalisme,
setiap orang dipersilakan masuk dalam sistem pendidikan untuk kepentingannya
sendiri.
·
Ekonomi
Ilmuan sosial
Max Weber melihat hubungan antara Protestanisme dengan perkembangan
komersialisme. Dalam konsep “etika
protestan”, Weber menyatakan bahwa gagasan-gagasan puritanisme agama
mempengaruhi pemikiran manusia tentang pengejaran ekonomi. Perwujudan asketisme
pada agama bukan dengan hidup seadanya, tetapi berusaha menjalani kehidupan
dengan sebaik-baiknya merupakan bagian dari nilai keagamaan. Tepat atau
tidaknya kaitan tersebut, faktanya gerakan liberal menyebar ke semua bidang;
sosial, ekonomi, dan politik. Aspek inti dari perjuangan tersebut adalah
pencarian kebebasan ekonomi.
Konsep awal
liberalisme ekonomi adalah masyarakat diberikan kebebasan untuk mengejar
kepentingan pribadi. Gagasan ini dikemukakan oleh kelompok pemikir Perancis
bernama Physiocrats yang meminta pemerintah untuk menghilangkan batasan dan
regulasi, serta membiarkan setiap orang berkompetisi di pasar. Konsep ini
berkembang menjadi sistem ekonomi negara yang dikenal dengan sistem “laissez
faire”. Gagasan ini di sempurnakan
oleh Adam Smith dengan konsep “invisible hands” yang mana peran negara tak
terlihat dalam kegiatan ekonomi. Dengan kata lain, adanya pertemuan
antarkepentingan swasta akan menghasilkan kesejahteraan nasional, yang
menguntungkan bagi pemerintah, bisnis, dan buruh.
·
Pemerintah
Perundang-undangan
atau demokrasi adalah kata kunci dari model pemerintahan yang dijalankan oleh
pemerintahan liberal. Melalui sejarah yang panjang, liberalis menunjukkan bahwa
kebebasan dan hak sipil merupakan prinsip yang harus diakomodasi dalam sistem
pemerintahan. Sebelum menjadi demokratis, negara-negara Eropa merupakan negara
monarki absolut. Dalam memperoleh sistem pemerintahan yang diinginkan, para
pemikir liberal mengajukan berbagai argumentasi dan analisis tentang ide
seputar negara, asal muasal, fungsi, kekuasaan, dalam mencapai tujuan yang
dikehendaki.
Walaupun
sebagian negara Eropa melaksanakan revolusi dalam menerapkan model pemerintahan
liberal, namun sejatinya liberal adalah mekanisme yang melarang kekerasan dan
penuh dengan kebaikan. Para filsuf liberal mengajukan konsep “kontrak sosial”
sebagai wujud komitmen bersama dalam menjaga harmoni bernegara. Inggris dan
Perancis menjadi tanah pertama yang menjalankan kontrak antara rakyat dengan
pemerintah. Di Inggris, John Locke menyampaikan gagasan yang komprehensif
tentang bentuk negara yang terbaik untuk mengakhiri kekacauan dan
ketidaktentuan dalam penyelenggaraan negara. Untuk melindungi hak-hak tersebut,
pemerintah harus dibatasi dan representatif
yang kenal luas dengan nama pembagian kekuasaan, Trias Politica. Locke juga menyampaikan tiga hak dasar kemanusiaan
yang tak bisa dilanggar oleh siapapun: hak hidup, kebebasan, dan hak
kepemilikan (harta). Menariknya, Locke justru menganjurkan kekerasan (revolusi)
jika pemerintah melanggar hak-hak dasar kemanusiaan tersebut, lalu membentuk
pemerintahan baru.
Gagasan utama
dalam pemikiran politik Montesquieu dan Rousseau adalah tentang pentingnya
kontrak sosial sebagai jalan untuk menghentikan keadaan alamiah agar dapat
mewujudkan sebuah keberlangsungan hidup yang teratur dan damai. Serupa dengan
Locke, Montesquieu juga mengonsepsikan pemisahan kekuasaan dengan trias politica (eksekutif, legislatif dan
yudikatif), ajaran Montesquieu bertujuan untuk melindungi kemerdekaan individu
terhadap tindakan sewenang-wenang pemerintah negara. Sedangkan, Rousseau melalui
bukunya Du Contract Social mencetuskan
pemerintahan harus demokratis dimana kekuasaan berada di tangan rakyat. Namun,
negara sebagai mandataris rakyat hadir sebagai penjamin kehidupan masyarakat
dari anarki sosial. Gagasan Rousseau tampak mirip dengan pemikiran Hobbes
tentang keadaan alamiah manusia pra negara yang mendorong terbentuknya kontrak
sosial. Namun, Rousseau bertentangan dengan premis-premis Hobbes soal
sifat-sifat alamiah manusia. Pada perkembangan selanjutnya, pemikiran Montesquieu
dan Rousseau memberikan dampak yang signifikan dalam kehidupan bernegara,
struktur hukum mulai dibangun dengan adanya hubungan antara yang memerintah dan
yang diperintah, antara kekuasaan negara dan individu.
D.
Kesimpulan
Perkembangan
liberalisme mengalami kemajuan pesat setelah periode Reformasi Protestan dan
masa Renaissance. Lewat proses yang panjang, liberalisme merupakan sebuah
gerakan (movement) dengan inti perjuangan tentang kebebasan rasionalitas dan kehendak
bebas. Atas kemuakan bersama terhadap sistem politik yang ada sebelumnya,
walhasil proses keberterimaan faham liberalisme menjadi konsensus alami di
masyarakat.
Sebagai
ideologi, liberalisme merupakan seperangkat nilai yang mengendalikan manusia
pada kebenaran mutlak tentang konsep hak asasi manusia yang tak boleh dilanggar
oleh siapapun. Liberalisme adalah ideologi yang netral, objektif, dan
berdasarkan fakta, oleh karenanya ia menjadi ideologi yang paling adaptif
terhadap perkembangan sosial. Tak heran jika pemikiran liberalisme masih
relevan hingga saat ini.
Liberalisme
adalah antitesis kekangan negara terhadap rakyatnya. Makanya berbagai konsep
yang ia ajukan adalah upaya seminimal mungkin campur tangan negara. Ide ini
terlihat jelas dalam bentuk laissez faire
dan the invisible hand di bidang
ekonomi. Negara mengambil peran minimal dan mengkhususkan diri pada penyediaan
infrastruktur, perlindungan hak asasi manusia, penegakkan hukum, dan pengamanan
negara.
Sebagaimana
dikemukakan dalam berbagai literatur, sumbangan pemikiran Locke, Montesquieu,
dan Rousseau tentang negara dan kekuasaan sangat berpengaruh pada letupan
revolusi sosial di berbagai negara Barat. Bahkan, gagasan ketiganya
disempurnakan dalam penerapan prinsip check
and balance dan akuntabilitas di negara-negara demokratis. Seiring dengan
munculnya kelas sosial baru menggantikan model yang lama, model pemerintahan
liberal demokratis menjadi sistem yang diterima oleh semua dunia Eropa, bahkan
masyarakat global hingga kini.
Referensi
Ball, Terence, Richard Dagger,
Daniel O’neill (2009) Political
Ideologies and The Democratic Ideal. Boston: Pearson.
Heywood, Andrew. (2004) Political Theory: an Introduction. New
York: Palgrave Macmillan.
Rowe, Christopher, Malcolm
Schofield. (2001) Sejarah Pemikiran Politik
Yunani dan Romawi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Schapiro, J Salwyn. Liberalism:
History and It’s Meaning, (-, 1958), hlm. 9.
Suhelmi, Ahmad. (2004) Pemikiran Politik Barat. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.