Tampilkan postingan dengan label sistem pemilu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sistem pemilu. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 25 Agustus 2018

Selintas: Gambaran Sistem Pemilihan Umum Nasional 2019 (studi keilmuan)



Di antara macam-macam prosedur formal politik, pemilihan umum diyakini merupakan mekanisme prosedural paling manipulatif yang mempengaruhi seluruh kelembagaan negara. Pemilu menjadi satu-satunya prosedur demokrasi yang melegitimasi tindakan dan wewenang tokoh politik (dalam lembaga eksekutif atau legislatif) yang awalnya hanya seorang kontestan pemilu. Fungsinya sebagai alat sirkulasi politik dan regenerasi kekuasaan yang damai diyakini merupakan instrumen yang paling berpengaruh dari semua institusi politik (ACE Project: 2001).
Pada tingkatan paling dasar, pemilu merupakan metode translasi suara menjadi “kursi” dalam sistem demokrasi. Dari pemilu diharapkan proses politik yang berlangsung akan melahirkan suatu pemerintahan baru yang sah, demokratis dan benar-benar mewakili pemilih. Secara umum, substansi pemilu sebenarnya terbatas pada operasionalisasi tiga hal; formulasi elektoral yang membahas sistem pemilihan, besaran daerah pemilihan (district magnitude), dan strukturisasi kertas suara (ballot structure). Lewat tiga topik tersebut, tulisan ini hendak menguraikan format kepemiluan nasional yang akan dilaksanakan pada pemilu 2019 berdasarkan perspektif komparatif historis.
Tahun 2019, Pemilu di Indonesia akan memilih 575 anggota DPR, 136 anggota DPD, serta anggota DPRD (Provinsi maupun Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 2019–2024. Dalam kondisi yang normal, Indonesia menggelar pemilu setiap 5 tahun sekali. Kosekuensinya, ribuan jabatan publik tersebut hanya berumur 5 tahun, dan dikocok ulang untuk periode berikutnya. Yang menarik, pemilu Legislatif tahun depan dilaksanakan bersamaan dengan Pemilihan umum Presiden Indonesia 2019.
Walaupun tidak substantif, alasan efisiensi biaya dan efektivitas waktu menjadi faktor yang cukup besar di balik penggabungan tersebut. Pemilu 2019 diprediksi akan menghabiskan Rp16 triliun, artinya biaya yang terpangkas setengah dari anggaran pemilu tahun 2014. Sementara dari sisi waktu, setidaknya proses ini akan memotong waktu tiga bulan lebih singkat dibanding pemilu 2004-2014. Namun argumentasi yang paling penting adalah adanya asumsi akademis yang menyatakan bahwa skenario ini akan membawa tren penguatan sistem presidensial Indonesia.

Sistem Pemilihan
Concurrent election atau lebih dikenal dengan pemilu serentak dalam konteks Indonesia adalah penyelenggaraan pemilu legislatif yang dilakukan secara bersamaan dengan pemilu eksekutif nasional (presiden dan wakilnya). Cukup beragam model pemilu serentak yang dikenal di dunia, pemilu serentak bahkan termasuk menyelenggarakan pemilu untuk tingkat supra-nasional, yakni pemilihan anggota parlemen Eropa secara berbarengan dengan pemilu nasional, regional atau lokal (Haris: 2014). Dengan beragamnya faktor yang mempengaruhi pemilu serentak, varian yang sudah diterapkan di luar menjadi hipotesis model pemilihan serentak yang akan digelar 2019.
Secara format tak ada perbedaan yang berarti selain poin keserentakan legislatif-eksekutif di tingkat nasional. Besar kemungkinan fenomena-fenomena Pemilu 2019 akan sama dengan agenda-agenda sebelumnya. Namun, tentunya banyak implikasi teoritis yang menjelaskan adanya perbedaan signifikan yang akan terjadi terhadap hasil pemilu tersebut. Terkait hal-hal di atas, sebenarnya tulisan ini hendak mendiskusikan seberapa besar dampak yang ingin dihasilkan dari mekanisme elektoral seperti itu.    
Hingga pemilu ke-15 yang akan digelar tahun depan, para pemangku kebijakan tetap sepakat untuk menerapkan sistem pemilu proporsional (proportional representation) dengan hasil yang diakui kesuksesannya. Berbagai perubahan yang dilakukan pada gelaran berikutnya dilakukan atas dasar evaluasi pada pelaksanaan sebelumnya. Namun, perubahan yang dibuat sebatas pada aspek teknis pada sistem proporsional. Sebagaimana disebut di atas, pemilu serentak 2019 mempunyai semangat besar terhadap asas pemilu adil-demokratis dan penguatan sistem pemerintahan RI. Di samping itu, efisiensi dan efektivitas menjadi pertimbangan lain yang membuat pelaksanaannya pemilu nasional digabung, sebatas dalam koridor yang diperbolehkan secara hukum yuridis.
Konflik politik antara eksekutif-legislatif yang berujung pada deadlock merupakan tesis Scott Mainwaring yang tak terbantahkan akibat kombinasi sulit presidensialisme dan multipartisme. Indonesia menjadi bukti tentang fenomena keterbelahan politik karena legislatif dan eksekutif dikuasai oleh partai politik yang berbeda. Dalam perspektif lain, pemilu Indonesia selalu menghasilkan “the minority president” karena dominannya kekuatan parlemen atas pemerintah. oleh karena itu, mekanisme perimbangan penyelenggaraan kekuasaan sering menghasilkan instabilitas dan praktik transaksional. Dalam konteks ini, hipotesis tentang pemilu serentak mencoba menawarkan solusi terbaik menuju penguatan sistem presidensial yang efektif.
Kajian-kajian akademis menjadi salah satu rujukan alasan Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan usulan menguji materi Undang-Undang No. 42 Tahum 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lewat keputusan No 14/PUU-11/2013 Tentang Pemilihan Umum Serentak. Sejalan dengan pertimbangan tersebut, penyelenggaraan Pilpres dan Pemilu Legislatif secara serentak akan lebih dari sisi anggaran dan singkat dari sisi waktu.

Besaran Daerah Pemilihan
District Magnitude atau lebih dikenal dengan daerah pemilihan (dapil) dibentuk berdasarkan wilayah administrasi dan/atau jumlah penduduk. Ia bicara tentang berapa banyak wakil yang dicalonkan untuk dipilih di suatu daerah pemilihan. Secara umum, di Indonesia, pembagian dapil dilakukan berdasarkan wilayah administrasi tertentu. Namun, praktik pen-dapil-an pemilu legislatif dilakukan dengan pertimbangan pemerataan jumlah suara. Pemutakhiran dapil dilakukan atas kedua aspek tersebut dengan tetap memperhatikan prinsip kesetaraan nilai dan proporsionalitas.
Regulasi pemilu 2019 tak melakukan modifikasi hal yang prinsipil terhadap besaran dapil. Rasanya terlalu krusial melakukan perubahan sistem dapil terhadap konsep tiga jenis pemilu yang akan dilaksanakan. Pada district magnitude anggota DPR, sistem pemilihan yang
digunakan adalah Sistem Proporsional (daftar terbuka) sehingga menganut prinsip berwakil banyak (multi member constituency). Sedangkan pemilihan DPD menggunakan sistem sistem majoritarian berwakil banyak yang berbasis di provinsi. Sedangkan, pemilihan presiden dan wakil presiden menggunakan sistem yang digunakan adalah plurality (50% + 1) (Haris: 2014).
Konsep dapil lebih relevan untuk pemilihan DPR dan DPD, karena pilpres menggunakan district magnitude seluruh wilayah NKRI. Pembahasan yang menarik muncul perihal pemilihan DPR. Namun, pada intinya penambahan penambahan atau pengurangan dapil dalam satu provinsi tidak mempengaruhi kursi yang ada. Hal itu sejalan dengan urutan pembahasan hukum yang mendahulukan alokasi kursi.
Di level DPR RI, terjadi penambahan 15 dapil untuk menyesuaikan kebijakan penambahan 15 kursi baru. Paduan angka 15 & 15 sebenarnya hanya kebetulan, bukan asumsi yang berasal dari penambahan 1 kursi untuk 1 dapil baru. Sementara, ketentuan dapil DPRD belum rampung dibahas oleh KPU RI dan DPR RI. Pada prinsipnya, dapil di kabupaten/kota lebih dinamis karena perkembangan daerah otonomi baru (DOB) dan perubahan penduduk (Surbakti: 2016). Dengan perubahan kebijakan UU Pemilu 2017 yang lebih sentralistis, harapannya praktik utak-atik dapil tidak terjadi lagi di daerah. Pasalnya pada UU Pileg lalu, kebijakan pen-dapil-an menjadi ranah KPU daerah. Sehingga fenomena dapil loncat (dapil superman) terjadi sebagai siasat pemenangan kandidat-kandidat tertentu.
Pembagian dapil sebenarnya berkaitan erat dengan mekanisme penentuan pemenang pemilu atau yang lazim disebut metode konversi suara. Diskusi tentang metode konversi suara mengalami dinamika yang positif ke arah perbaikan kualitas dan representasi. Sejak reformasi hingga pileg 2014, model Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) menjadi prinsip yang terus dipertahankan. Penggunaan BPP bukan berarti tanpa masalah, sebab kelemahan utamanya, koefisien BPP antar satu daerah pemilihan dengan daerah pemilihan lainnya nilainya tidak sama (berbeda-beda), ada yang lebih mahal dan ada yang lebih murah (Haris: 2014). Oleh karenanya, perubahan metode konversi suara menjadi terobosan yang cukup penting pada pemilu 2019 dengan menggunakan metode konversi suara “Sainte Lague” murni.
Metode Sainte Lague termasuk metode penghitungan yang efektif dan efisien. Hal ini dikarenakan oleh metode penghitungan Sainte Lague ini menyediakan cara perhitungan perolehan suara kursi partai yang sederhana dan berlangsung dalam satu tahap perhitungan. Metode ini bisa menghilangkan munculnya potensi adanya sisa kursi yang tidak terbagi habis dalam satu kali tahap perhitungan (www.britannica.com).

Strukturisasi Kertas Suara
Pakar pemilu menganjurkan bahwa sebisa mungkin kertas suara dibuat agar mudah mengerti oleh semua pemilih. Hal ini ditujukan untuk memaksimalkan partisipasi dan mengurangi risiko suara “tidak sah” (ACE Project: 2001). Oleh karena itu dalam praktiknya sering memerlukan penggunaan simbol, gambar, foto, dan warna agar menyerhanakan tugas pemilih suara (voter) dalam menentukan pilihannya.
Salah satu konsekuensi pemilu model proporsional seperti di Indonesia adalah struktur kertas suara categorial ballots yang hanya mewajibkan pemilih untuk memilih satu pilihan. Kondisinya jelas berbeda dengan model kertas suara di negara yang menggunakan sistem pemilu mayoritas atau campuran yang memilih lebih dari satu pilihan dalam satu kertas suara (ordinal ballot). Bahkan, saat pemilu Orde Baru dengan model proporsional dengan daftar tertutup, pemilih hanya dihadapkan oleh tiga jenis lambang dan warna yang kontras satu dengan lainnya. Namun, sejak 2009 kertas suara dengan daftar terbuka menjadi tantangan tersendiri bagi para pemilih.
Tahun 2019 dipastikan model proporsional dengan daftar terbuka akan tetap digunakan. Namun, isu krusial terkait surat suara bukan terletak pada kertas pilihan calon legislatif, melainkan pada kertas suara pemilihan presiden-wakil presiden. Pasalnya, penyelenggaraan yang diserentakkan berpengaruh besar terhadap pilihan kandidat dan partai politik. pada poin tersebut, format kertas suara (ballot structure) merupakan bagian yang mendapat perubahan signifikan atas model pemilu 2019.
Dalam PKPU Nomor 15 Tahun 2018, partai-partai yang lolos parliamentary treshold 2014 mempunyai hak pencantuman logonya dalam kertas suara calon presiden dan wakil presiden. Artinya hanya sepuluh partai parlemen yang mempunyai privilese khusus tersebut. Secara teknis, logo partai-partai itu akan dicetak di bawah foto pasangan usungan mereka. Sementara, Partai Bulan Bintang dan partai-partai baru lainnya tak dicantumkan, walaupun mereka mendukung pasangan tertentu. Dalam perspektif Coattail Effect theory, konsep ini jelas memberikan insentif bagi partai legislatif 2014. Preferensi pemilih terhadap pasangan capres-cawapres akan berkorelasi positif terhadap partai-partai pendukungnya.
Konsekuensi regulasi tersebut jelas bertentangan dengan prinsip kesetaraan di antara partai-partai yang berkompetesi. Partai-partai nonparlemen tak mendapat insentif dari format kertas suara walaupun mereka mendukung pasangan calon tertentu. Dalam penyusunan pasal PKPU tersebut, KPU sebenarnya mengambil aspek kepastian hukum dari UU Pemilu tahun 2017. Situasi dilematis seperti inilah yang cukup sering dialami KPU, antara aspek ideal atau formal yuridis. Sebenarnya, hilangnya akomodasi suara partai baru dalam penyusunan PKPU bisa diantisipasi lewat mekanisme legislasi. Jika DPR RI memahami prinsip idealitas dalam kertas suara, tentu regulasi PKPU bisa berkata lain. Namun sayangnya, prinsip mengikat dalam rapat konsultasi KPU RI dengan DPR RI tak dimanfaatkan stakeholders terkait untuk menyuarakan kepentingan sebagaimana yang dimaksud di atas.

Referensi:
Ace Project. (2001). Sistem Pemilu (terj). Stockholm: International IDEA.
Haris, Syamsuddin (ed). (2016). Pemilu Nasional Serentak 2019. Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Electoral Research Institute, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Surbakti, Ramlan. Penataan Ulang Dapil. Kompas 1 November 2016.