Di antara
macam-macam prosedur formal politik, pemilihan umum diyakini merupakan
mekanisme prosedural paling manipulatif yang mempengaruhi seluruh kelembagaan
negara. Pemilu menjadi satu-satunya prosedur demokrasi yang melegitimasi
tindakan dan wewenang tokoh politik (dalam lembaga eksekutif atau legislatif)
yang awalnya hanya seorang kontestan pemilu. Fungsinya sebagai alat sirkulasi
politik dan regenerasi kekuasaan yang damai diyakini merupakan instrumen yang
paling berpengaruh dari semua institusi politik (ACE Project: 2001).
Pada tingkatan
paling dasar, pemilu merupakan metode translasi suara menjadi “kursi” dalam
sistem demokrasi. Dari pemilu diharapkan proses politik yang berlangsung akan
melahirkan suatu pemerintahan baru yang sah, demokratis dan benar-benar
mewakili pemilih. Secara umum, substansi pemilu sebenarnya terbatas pada
operasionalisasi tiga hal; formulasi elektoral yang membahas sistem pemilihan, besaran daerah pemilihan (district magnitude), dan strukturisasi kertas suara (ballot
structure). Lewat tiga topik tersebut, tulisan ini hendak menguraikan format
kepemiluan nasional yang akan dilaksanakan pada pemilu 2019 berdasarkan perspektif
komparatif historis.
Tahun 2019, Pemilu
di Indonesia akan memilih 575 anggota DPR, 136 anggota DPD, serta anggota DPRD
(Provinsi maupun Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 2019–2024. Dalam kondisi
yang normal, Indonesia menggelar pemilu setiap 5 tahun sekali. Kosekuensinya,
ribuan jabatan publik tersebut hanya berumur 5 tahun, dan dikocok ulang untuk
periode berikutnya. Yang menarik, pemilu
Legislatif tahun depan
dilaksanakan bersamaan dengan Pemilihan umum Presiden Indonesia 2019.
Walaupun tidak
substantif, alasan efisiensi biaya dan efektivitas waktu menjadi faktor yang
cukup besar di balik penggabungan tersebut. Pemilu 2019 diprediksi akan
menghabiskan Rp16 triliun, artinya biaya yang terpangkas setengah dari anggaran
pemilu tahun 2014. Sementara dari sisi waktu, setidaknya proses ini akan
memotong waktu tiga bulan lebih singkat dibanding pemilu 2004-2014. Namun
argumentasi yang paling penting adalah adanya asumsi akademis yang menyatakan
bahwa skenario ini akan membawa tren penguatan sistem presidensial Indonesia.
Sistem Pemilihan
Concurrent election atau lebih dikenal dengan pemilu
serentak dalam konteks Indonesia adalah
penyelenggaraan pemilu legislatif yang
dilakukan secara bersamaan dengan pemilu eksekutif nasional (presiden
dan wakilnya). Cukup beragam model pemilu serentak yang dikenal di dunia,
pemilu serentak bahkan termasuk menyelenggarakan pemilu untuk tingkat
supra-nasional, yakni pemilihan anggota parlemen Eropa secara berbarengan
dengan pemilu nasional, regional atau lokal (Haris: 2014). Dengan beragamnya
faktor yang mempengaruhi pemilu serentak, varian yang sudah diterapkan di luar
menjadi hipotesis model pemilihan serentak yang akan digelar 2019.
Secara format tak
ada perbedaan yang berarti selain poin keserentakan legislatif-eksekutif di
tingkat nasional. Besar kemungkinan fenomena-fenomena Pemilu 2019 akan sama
dengan agenda-agenda sebelumnya. Namun, tentunya banyak implikasi teoritis yang
menjelaskan adanya perbedaan signifikan yang akan terjadi terhadap hasil pemilu
tersebut. Terkait hal-hal di atas, sebenarnya tulisan ini hendak mendiskusikan
seberapa besar dampak yang ingin dihasilkan dari mekanisme elektoral seperti
itu.
Hingga pemilu ke-15
yang akan digelar tahun depan, para pemangku kebijakan tetap sepakat untuk
menerapkan sistem pemilu proporsional (proportional representation) dengan hasil yang diakui kesuksesannya. Berbagai
perubahan yang dilakukan pada gelaran berikutnya dilakukan atas dasar evaluasi
pada pelaksanaan sebelumnya. Namun, perubahan yang dibuat sebatas pada aspek
teknis pada sistem proporsional. Sebagaimana disebut di atas, pemilu
serentak 2019 mempunyai semangat besar terhadap asas pemilu adil-demokratis dan
penguatan sistem pemerintahan RI. Di samping itu, efisiensi dan efektivitas
menjadi pertimbangan lain yang membuat pelaksanaannya pemilu nasional digabung,
sebatas dalam koridor yang diperbolehkan secara hukum yuridis.
Konflik politik
antara eksekutif-legislatif yang berujung pada deadlock merupakan tesis Scott Mainwaring yang tak terbantahkan
akibat kombinasi sulit presidensialisme dan multipartisme. Indonesia menjadi
bukti tentang fenomena keterbelahan politik karena legislatif dan eksekutif
dikuasai oleh partai politik yang berbeda. Dalam perspektif lain, pemilu
Indonesia selalu menghasilkan “the minority president” karena dominannya
kekuatan parlemen atas pemerintah. oleh karena itu, mekanisme perimbangan
penyelenggaraan kekuasaan sering menghasilkan instabilitas dan praktik
transaksional. Dalam konteks ini, hipotesis tentang pemilu serentak mencoba
menawarkan solusi terbaik menuju penguatan sistem presidensial yang efektif.
Kajian-kajian akademis menjadi salah satu rujukan alasan Mahkamah
Konstitusi (MK) mengabulkan usulan menguji materi Undang-Undang No. 42 Tahum
2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lewat keputusan No
14/PUU-11/2013 Tentang Pemilihan Umum Serentak. Sejalan dengan pertimbangan
tersebut, penyelenggaraan Pilpres dan Pemilu Legislatif secara serentak akan
lebih dari sisi anggaran dan singkat dari sisi waktu.
Besaran Daerah Pemilihan
District Magnitude atau lebih dikenal dengan daerah pemilihan
(dapil) dibentuk berdasarkan wilayah administrasi dan/atau jumlah penduduk. Ia
bicara tentang berapa banyak wakil yang dicalonkan untuk dipilih di suatu
daerah pemilihan. Secara umum, di Indonesia, pembagian dapil dilakukan
berdasarkan wilayah administrasi tertentu. Namun, praktik pen-dapil-an pemilu
legislatif dilakukan dengan pertimbangan pemerataan jumlah suara. Pemutakhiran
dapil dilakukan atas kedua aspek tersebut dengan tetap memperhatikan prinsip kesetaraan
nilai dan proporsionalitas.
Regulasi pemilu 2019 tak melakukan modifikasi hal yang prinsipil
terhadap besaran dapil. Rasanya terlalu krusial melakukan perubahan sistem
dapil terhadap konsep tiga jenis pemilu yang akan dilaksanakan. Pada district magnitude anggota DPR, sistem pemilihan
yang
digunakan adalah Sistem Proporsional (daftar terbuka) sehingga menganut prinsip berwakil banyak (multi member constituency). Sedangkan pemilihan DPD menggunakan sistem sistem majoritarian berwakil banyak yang berbasis di provinsi. Sedangkan, pemilihan presiden dan wakil presiden menggunakan sistem yang digunakan adalah plurality (50% + 1) (Haris: 2014).
digunakan adalah Sistem Proporsional (daftar terbuka) sehingga menganut prinsip berwakil banyak (multi member constituency). Sedangkan pemilihan DPD menggunakan sistem sistem majoritarian berwakil banyak yang berbasis di provinsi. Sedangkan, pemilihan presiden dan wakil presiden menggunakan sistem yang digunakan adalah plurality (50% + 1) (Haris: 2014).
Konsep dapil lebih relevan untuk pemilihan DPR dan DPD, karena pilpres
menggunakan district magnitude seluruh wilayah NKRI.
Pembahasan yang menarik muncul perihal pemilihan DPR. Namun, pada intinya penambahan
penambahan atau pengurangan dapil dalam satu provinsi tidak mempengaruhi kursi
yang ada. Hal itu sejalan dengan urutan pembahasan hukum yang mendahulukan alokasi
kursi.
Di level DPR RI, terjadi penambahan 15 dapil untuk menyesuaikan
kebijakan penambahan 15 kursi baru. Paduan angka 15 & 15 sebenarnya hanya
kebetulan, bukan asumsi yang berasal dari penambahan 1 kursi untuk 1 dapil
baru. Sementara, ketentuan dapil DPRD belum rampung dibahas oleh KPU RI dan DPR
RI. Pada prinsipnya, dapil di kabupaten/kota lebih dinamis karena perkembangan
daerah otonomi baru (DOB) dan perubahan penduduk (Surbakti: 2016). Dengan
perubahan kebijakan UU Pemilu 2017 yang lebih sentralistis, harapannya praktik
utak-atik dapil tidak terjadi lagi di daerah. Pasalnya pada UU Pileg lalu,
kebijakan pen-dapil-an menjadi ranah KPU daerah. Sehingga fenomena dapil loncat
(dapil superman) terjadi sebagai siasat pemenangan kandidat-kandidat tertentu.
Pembagian dapil
sebenarnya berkaitan erat dengan mekanisme penentuan pemenang pemilu atau yang
lazim disebut metode konversi suara. Diskusi tentang metode konversi suara mengalami
dinamika yang positif ke arah perbaikan kualitas dan representasi. Sejak
reformasi hingga pileg 2014, model Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) menjadi
prinsip yang terus dipertahankan. Penggunaan BPP bukan berarti tanpa masalah,
sebab kelemahan utamanya, koefisien BPP antar satu daerah pemilihan dengan
daerah pemilihan lainnya nilainya tidak sama (berbeda-beda), ada yang lebih
mahal dan ada yang lebih murah (Haris: 2014). Oleh karenanya, perubahan metode
konversi suara menjadi terobosan yang cukup penting pada pemilu 2019 dengan menggunakan
metode konversi suara “Sainte Lague” murni.
Metode Sainte Lague
termasuk metode penghitungan yang efektif dan efisien. Hal ini dikarenakan oleh
metode penghitungan Sainte Lague ini menyediakan cara perhitungan perolehan
suara kursi partai yang sederhana dan berlangsung dalam satu tahap perhitungan.
Metode ini bisa menghilangkan munculnya potensi adanya sisa kursi yang tidak
terbagi habis dalam satu kali tahap perhitungan (www.britannica.com).
Strukturisasi Kertas Suara
Pakar pemilu menganjurkan
bahwa sebisa mungkin kertas suara dibuat agar mudah mengerti oleh semua
pemilih. Hal ini ditujukan untuk memaksimalkan partisipasi dan mengurangi
risiko suara “tidak sah” (ACE Project: 2001). Oleh karena itu dalam praktiknya sering
memerlukan penggunaan simbol, gambar, foto, dan warna agar menyerhanakan tugas
pemilih suara (voter) dalam menentukan pilihannya.
Salah satu
konsekuensi pemilu model proporsional seperti di Indonesia adalah struktur
kertas suara categorial ballots yang hanya
mewajibkan pemilih untuk memilih satu pilihan. Kondisinya jelas berbeda dengan
model kertas suara di negara yang menggunakan sistem pemilu mayoritas atau
campuran yang memilih lebih dari satu pilihan dalam satu kertas suara (ordinal ballot). Bahkan, saat pemilu
Orde Baru dengan model proporsional dengan daftar tertutup, pemilih hanya
dihadapkan oleh tiga jenis lambang dan warna yang kontras satu dengan lainnya.
Namun, sejak 2009 kertas suara dengan daftar terbuka menjadi tantangan
tersendiri bagi para pemilih.
Tahun 2019 dipastikan
model proporsional dengan daftar terbuka akan tetap digunakan. Namun, isu
krusial terkait surat suara bukan terletak pada kertas pilihan calon
legislatif, melainkan pada kertas suara pemilihan presiden-wakil presiden.
Pasalnya, penyelenggaraan yang diserentakkan berpengaruh besar terhadap pilihan
kandidat dan partai politik. pada poin tersebut, format kertas suara (ballot structure) merupakan bagian yang
mendapat perubahan signifikan atas model pemilu 2019.
Dalam PKPU Nomor 15
Tahun 2018, partai-partai yang lolos parliamentary
treshold 2014 mempunyai hak pencantuman logonya dalam kertas suara calon
presiden dan wakil presiden. Artinya hanya sepuluh partai parlemen yang mempunyai
privilese khusus tersebut. Secara teknis, logo partai-partai itu akan dicetak
di bawah foto pasangan usungan mereka. Sementara, Partai Bulan Bintang dan
partai-partai baru lainnya tak dicantumkan, walaupun mereka mendukung pasangan
tertentu. Dalam perspektif Coattail
Effect theory, konsep ini jelas memberikan insentif bagi partai legislatif
2014. Preferensi pemilih terhadap pasangan capres-cawapres akan berkorelasi
positif terhadap partai-partai pendukungnya.
Konsekuensi
regulasi tersebut jelas bertentangan dengan prinsip kesetaraan di antara
partai-partai yang berkompetesi. Partai-partai nonparlemen tak mendapat
insentif dari format kertas suara walaupun mereka mendukung pasangan calon
tertentu. Dalam penyusunan pasal PKPU tersebut, KPU sebenarnya mengambil aspek
kepastian hukum dari UU Pemilu tahun 2017. Situasi dilematis seperti inilah
yang cukup sering dialami KPU, antara aspek ideal atau formal yuridis.
Sebenarnya, hilangnya akomodasi suara partai baru dalam penyusunan PKPU bisa
diantisipasi lewat mekanisme legislasi. Jika DPR RI memahami prinsip idealitas dalam
kertas suara, tentu regulasi PKPU bisa berkata lain. Namun sayangnya, prinsip
mengikat dalam rapat konsultasi KPU RI dengan DPR RI tak dimanfaatkan stakeholders terkait untuk menyuarakan
kepentingan sebagaimana yang dimaksud di atas.
Referensi:
Ace Project. (2001). Sistem Pemilu (terj). Stockholm:
International IDEA.
Haris, Syamsuddin (ed). (2016). Pemilu Nasional Serentak 2019. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
bekerjasama dengan Electoral Research Institute, Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia.
https://www.britannica.com/topic/election-political-science/Plurality-and-majority-systems diakses pada 5
April 2017 pukul 11.00 WIB.
Surbakti, Ramlan. Penataan Ulang Dapil. Kompas 1 November 2016.