ISLAM DI
NUSANTARA: ISLAM HADRAMAUT
van Berg dalam karyanya menjadi rujukan utama
para akademisi dalam melacak jejak sejarah awal keturunan Arab
Perjalanan panjang Hadrami[1]
menyebar ke seluruh belahan dunia menegaskan bahwa mereka adalah penakluk
luasnya lautan, ger-sangnya gurun, dan dingin-nya pegunungan. Kuatnya mental
mereka mengingatkan kita pada kuatnya budaya diaspora suku Bugis-Makasar[2]
dan suku Minang. Sebenarnya kondisi masyarakat yang seperti apa yang menyebabkan
budaya berhijrah sangat kuat dalam diri mereka? Namun, penulis tidak menaruh
perhatian kuat untuk menemukan jawaban ini karena akan keluar dari tujuan penulis-an.
Dalam pengetahuan di bangku sekolah, dikisahkan bahwa penyebaran Islam di
Nusantara diimpor dari Gujarat, daerah perdagangan internasional yang berada di
India. Benar, banyak pe-neliti yang mengatakan demikian. Namun, jika dilihat
dalam konteksnya jalur pelayaran dan fungsi Gujarat sendiri sebagai pelabuhan
dagang internasional. Pastinya setiap pedagang, bahkan setiap orang, tertarik
untuk singgah untuk berbagai keperluan.
Penasihat
ahli pemerintahan Hindia Belanda sekaligus doktor (hukum Islam) dari Universitas
Leiden, van den Berg melakukan pengkajian fikih, tarekat, dan bahasa Arab.
Memang ia kalah terkenal dibandingkan orientalis Dr. Snouck Hukronje yang menggantikannya
sebagai penasihat. Rasanya sangat tepat membicarakan karyanya Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara.[3]
Dalam tulisannya dikatakan bahwa bangsa Arab yang lain (selain orang
Hadramaut) sampai saat penelitiannya akhir tahun 1880-an, tidak ada pengaruhnya
sama sekali, baik etnologis maupun kebahasaan, terhadap ciri-ciri koloni Arab
di Nusantara. Sayangnya Hadramaut adalah salah satu dari bagian negeri Arab
yang jarang dikenal. Untuk menyusuri lebih jauh hasil penelitian yang dilakukan
Berg—yang memang memiliki kekurangan, yaitu ia tidak per-nah menginjakkan
kakinya ke daratan Hadramaut, dengan kata lain semua informasi yang ia dapatkan
berasal dari sumber sekunder—harus ada informasi yang lebih fokus dan akurat
yang menjelaskan Hadramaut tersendiri, se-hingga nantinya bisa ditarik kesimpulan
yang paling benar asal muasal Islam di Nusantara.
Berangkat
dari permasalahan di atas, penulis mencoba menggali sumber mengenai Hadramaut
yang bisa memverifikasi tesis Berg bahwa Islam di Nusantara berasal dari
Hadramaut yang sekarang meru-pakan salah satu kota di negara Yaman di Timur
Tengah. Penulis menghadirkan karya klasik WH Ingrams sebagai pegawai politik
pertama, kawasan Protektorat Aden. Data-data dikumpulkannya selama satu tahun
mulai 1934 saat ia masih menjabat kemudian rampungkan menjadi satu buku pada
tahun 1939.
Ingrams
mengambil data statistik pada tahun penelitiannya, sekitar 30% dari 20%
penduduk Hadramaut tinggal di luar negeri, menetap di Hindia Timur, Afrika
Timur, Mesir dan negara-negara sekitaran Laut Merah. Di Hindia Belanda, di
pulau Jawa dan Sumatera dibanjiri oleh Arab Hadramaut. Ia juga membenarkan
tulisan van den Berg dan menguatkannya, bahwa jumlah terbesar orang Arab di
kepu-lauan Hindia berasal dari Shibam dan Tarim. Komunitas di Singapura juga merupakan
orang-orang asli kota Tarim, Seiyun, dan Shibam, dan berasal dari suku Nahd.
Data dari
Konsul Jendral Belanda, Dr. L de Vries, menyebutkan bahwa jumlah orang Arab di Hindia
Belanda meningkat, tidak terkecuali yang berasal dari Hadramaut. Pada tahun
1860 diper-kirakan jumlah orang Arab mencapai 9000 jiwa dan setelah tahun 1900
diadakan sensus resmi Pemerintah Hindia Belanda. Pe-ningkatan tahun 1920-30
sekitar 4.7% dan sebelumnya pada tahun 1905-20 mengalami peningkatan 2.7%.
namun, ada sedikit kelema-han dari sensus tersebut yang tidak menggolongkan
orang Arab tersebut dari tempatnya berasal.
Bagaimana
pun juga penyusunan sebuah hasil penelitian harus berasal dari berbagai sumber.
Di atas, penulis menyajikan tulisan karya bang-sa Eropa, mereka orang-orang
akademisi han-dal yang mengecap pendidikan tinggi. Tapi bagaimana pun juga
mereka tetap seorang orientalis yang mencoba memaknai penelitiannya secara
mendalam.[4]
Terlepas dari meragukan kemam-puan analisis mereka, penulis men-coba
membandingkan dengan subyek-subyek di dalam Islam itu sendiri. Abdul Qadir Umar
Mauladdawilah seorang sayid yang concern
menekuni sirah ulama Hadramaut dan seorang ahli Nasab sangat produktif menulis
tentang tema-tema tersebut. Dalam salah satu bukunya, Tiga serangkai Ulama Tanah Betawi[5], ia
menjelaskan bahwa para Alawiyyin[6]
lah yang berdakwah pertama ke Nusantara. Mereka telah sampai ke Asia Tenggara
pada masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan. Disebutkan bahwa kalangan
Alawiyyin dengan gigih menyebarkan cahaya Islam ke seluruh belahan dunia. Dalam
tulisannya, Abdul Qadir banyak mengutip perkataan orang-orang besar seperti
Syekh Ar-Rabwah, Asy-Syeikh Shalah Al-Bakri, para orientalis Eropa yang salah
satunya adalah L.W.C. van den Berg[7],
dan cendikiawan Indone-sia, Buya Hamka.
Di sana
telah masuk para kaum Alawiyyin di saat mereka menyelamatkan diri dari kejaran
golongan Bani Umayyah dan Al-Hajjaj. Di sana mereka berdakwah, menetap hingga
akhir hayat. Mereka juga dimakamkan di kepulauan tersebut (kepulauan Sila,
di Filipina). Para Syarif[8]
yang datang dari Hadramaut memainkan peranan yang sangat besar dalam dakwah
Islamiyah di Asia Tenggara. Baik sejarawan Arab maupun Barat, menyebutkan
peranan dan besarnya pengaruh mereka. Hijrahnya mereka dari Hadramaut ke tempat
ribuan mil melalui laut, tidak bertujuan kecuali untuk meyebarkan Islam di
daerah-daerah terpencil. Mereka sama sekali tidak men-cari keuntungan materiil
mau-pun moril. R*D
[1]
Orang-orang yang berasal dari
Hadramaut
[2]
Pada sebelum masuknya Islam di
Nusantara samp wai kedatangan bangsa Barat, bahkan bisa dikatakan sampai
tahun-tahun berikutnya. Namun, tidak sekuat dahulu.
[3]
Terjemahan pusat studi Islam
Belanda INIS dengan judul asli “Le
Hadramout Et. Les Colonies Arabes Dans L’Archipel Indien”
[4]
Latar belakang seorang penulis
menjadi sorotan cukup penting dalam melihat sudut pandangnya. Walaupun dalam
dunia akademisi sikap subyektivitas berusaha keras dihindari, namun cukup sulit
rasanya. Misalkan dalam pengistilahan, kata pemberontak dan pejuang kemerdekaan
merupakan dua obyek yang sama, namun berbeda dalam pemaknaannya.
[5]
Ini merupakan karya yang
paling kontemporer, sumber penulisannya bisa dikatakan berasal dari tangan
kesekian. Namun perlu juga disertakan karena tulisan kontemporer semakin kaya
akan bahan-bahan yang bisa dibenturkan.
[6]
Keturunan Al-Imam Alwi bin
Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa
[7]
Sebagai catatan bahwa, buku
yang ketiga ini mengambil sumber dari tulisan van den Berg. Dengan kata lain,
sumber ini telah menyarikan sumber sebelumnya. Namun perlu diingat fungsinya
sebagai bahan verifikasi terlebih mereka dengan latar yang berbeda.
[8]
Syarif (jamak: Asyraf) mengacu
pada keturunan Nabi Muhammmad dari garis Al-Hasan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar