Sabtu, 28 Juli 2012

Kisah Mula Perintah Berpuasa kepada Manusia

Kisah Mula Perintah Berpuasa kepada Manusia

Dalam sebuah kitab karangan Ustman bin Hasan bin Ahmad Asy-Syakir Alkhaubawiyi, seorang ulama yang hidup pada abad ke-18 H. Ia menerangkan satu kisah mengenai perjumpaan akal dan nafsu menghadap Allah SWT.
Ketika Allah menciptakan akal, kemudian Allah memerintahkan akal.
Allah berfirman : "Wahai akal menghadaplah engkau!"
Maka akal pun menuruti perintah Allah. Dengan segera ia datang menghadap.
Kemudian Allah berfirman : "Hai akal berbaliklah engkau!"
Lalu akal pun berbalik.
Selanjutnya Allah bertanya kepadanya : "Wahai akal, siapakah Aku?"
Lalu akal pun menjawab-Nya dengan penuh takzim : "Engkau (Allah) adalah Tuhan yang menciptakan aku dan segenap makhluk lain, dan aku adalah hamba-Mu yang daif dan lemah"
kemudian Allah mengakhiri dengan perkataan : "Wahai akal, tidaklah Ku-ciptakan makhluk yang lebih mulia daripada engkau".
Di akhir kisah kemudian, Allah SWT memasukkan akal kedalam makhluk-Nya dari golongan manusia.  Sehingga dengan diletakkannya akal ini pada jasad manusia, jadilah manusia semulia-mulianya makhluk yang pernah Allah SWT ciptakan lebih dari mulianya derajat malaikat-malaikat Allah.

Kisah yang kedua ketika Allah menciptakan makhluk yang bernama nafsu kemudian Ia berfirman memerintahkan nafsu untuk menghadap ke hadapan Allah.
"Wahai nafsu, menghadaplah kamu!". Namun, nafsu tidak menjawab dan hanya diam di tempatnya.
Kemudian Allah berfirman lagi : "Wahai nafsu, siapakah engkau dan siapakah Aku?"
Sontak ia langsung menjawab : "aku adalah aku, Engkau adalah Engkau"
Setelah itu Allah langsung memasukkannya kedalam Neraka Jahim selama 100 tahun, setelah itu dikeluarkannya kembali.
Kemudian Allah kembali bertanya dengan pertanyaan yang sama sebelum sang nafsu dimasukkan kedalam neraka. "Siapakah engkau dan siapakah Aku?", Allah berfirman kepadanya.
Nafsu kembali menjawab dengan perkataan yang sama seperti sebelum ia disiksa dalam api neraka, bahwa "aku adalah aku, dan Engkau adalah Engkau."
Lantas kembali Allah menyiksanya ke dalam Neraka Juu' 100 tahun lamanya.
Setelah dikeluarkannya dari api neraka, Allah kembali bertanya dan kembali pula nafsu menjawab bahwa "aku adalah aku, dan Engkau adalah Engkau".
Akhirnya Allah memasukkan nafsu kedalam neraka lapar. Tidak sampai 100 tahun, tidak sampai 10 tahun, pun tidak sampai 1 tahun. Bahkan tidak sampai 1 hari, nafsu meraung-raung memohon ampun dan minta dikeluarkan.
Setelah itu, ia jera dan mengakui dengan berkata, "aku adalah hamba-Mu dan Engkau adalah Tuhan pencipta alam semesta."

Dalam kitab itulah juga diterangkan bahwa dengan sebab kisah di atas maka Allah SWT mewajibkan berpuasa kepada seluruh umat manusia.
Kisah di atas juga menyimpulkan bahwa manusia sebagai makhluk yang dianugerahi akal dan nafsu jika goyah imannya dan hanya menuruti nafsu maka ia akan menjadi makhluk hina lebih dari hinanya setan dan iblis.
Anugerah nafsu yang diberikan Allah SWT mengandung hikmah yang luar biasa bagi manusia sebagai khalifah di alam dunia. Manusia diperintahkan untuk taat menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya.
Dengan berpuasa, manusia diperintahkan untuk menahan segala macam nafsunya yang besar secara kodrati. Dengan lemahnya fisik ketika berpuasa, manusia cenderung untuk beraktivitas minim, sehingga niat berbuat maksiat pun minim.
Maha Mulia Allah yang menempatkan perintah puasa di dalam bulan Ramadan, bulan penuh limpahan nikmat. Kita menjadi lebih giat beribadah kepada Allah dan niat berbuat maksiat berkurang dengan berkahnya bulan Ramadan ini.

Perintah berpuasa telah Allah SWT wajibkan semenjak Nabi Adam hingga Nabi Isa AS. Khusus sejak Nabi Muhammad SAW, perintah ini dijelaskan dengan terang dalam kitab suci Al-Quran. Maka berpuasalah kita, karena perintah berpuasa membuat kita menjadi hamba-hamba Allah yang bertakwa.

Jumat, 27 Juli 2012

Gambaran Struktur Masyarakat Banten Abad ke-19


UJIAN AKHIR SEMESTER
MATA KULIAH SEJARAH MASYARAKAT INDONESIA

Oleh: Muhammad Ridho Rachman, 0806343973
Gambaran Struktur Masyarakat Banten Abad ke-19

1.      Pendahuluan
Banten terletak di bagian paling barat Pulau Jawa, luasnya sekitar 114 mil persegi. Menurut angka statistik resmi, pendudukk Banten tahun 1892 berjumlah 568.935 jiwa; daerah yang paling padat penduduk adalah distrik Cilegon. Berkaitan dengan kepadatan penduduk adalah keadaan penggarapan tanah, yang pada gilirannya sangat bergantung kepada lingkungan fisik. Daerah itu dapat dibagi menjadi dua bagian yang sangat berbeda satu sama lain. Bagian selatan yang merupakan daerah pegunungan, untuk sebagian besar terdiri dari hutan dan sangat jarang penduduknya. Daerah itu jarang menjadi ajang peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah Banten. Sebaliknya, Banten  Utara dalam dasawarsa-dasawarsa terkahir abad XIX tanahnya untuk sebagian besar sudah digarap dan karenanya penduduknya jauh lebih padat. Banyak kota di daerah ini, di antaranya Banten, Tamiang, dan Pontang sudah sangat tua usianya; kelahirannya dapat ditelusuri kembali sampai abad ke XVI.
Kesultanan Banten yang didirikan pada tahun 1520 oleh pendatang dari Kerajaan Demak di Jawa Tengah dan dihapuskan oleh Daendles pada tahun 1808, meliputi daerah pesisir utara sebagai intinya, sedangkan wilayah-wilayahnya terdiri dari daerah pegunungann Banten, bagian barat Bogor dan Jakarta, dan juga Lampung di Pulau Sumatera. Daerah yang oleh pelawat-pelawat Portugis dinamakan Sunda Batam itu, sejak zaman dulu merupakan sebuah pusat perdagangan lada, ia maju pesat setelah direbutnya Malaka oleh orang-orang Portugis pada tahun 1511, namun kemudian memudar dengan pesat sebagai pusat perdagangan sejak Belanda mendirikan Batavia dalam tahun 1619.
Daerah itu dapat dicapai dari banyak jurusan. Postweg (jalan pos) yang terkenal itu, yang dibangun pada tahun 1808, dimulai dari ujung barat Pulau Jawa, yakni Anyer, dan membentang sepanjang pulau itu sampai ke ujung paling timur. Jalan kereta api dibangun pada tahun 1896 dan menghubungkan Banten secara langsung dengan Batavia. Banten mempunyai banyak pelabuhan kecil, yang terpenting di antaranya adalah  Anyer.
Golongan etnik yang terbesar di Banten adalah Sunda yang kebanyakan berdiam di selatan. Orang-orang Jawa terdapat di bagian utara. Sedangkan orang Baduy mendiami daerah pegunungan di selatan. Bagian utara, yang membentang dari Anyer sampai Tanara, secara administratif dibagi menjadi dua afdelingen, yakni Serang dan Anyer. Penduduk daerah itu merupakan keturunan orang-orang Jawa yang datang dari Demak dan Cirebon dan dalam perjalanan waktu berbaur dengan orang-orang Sunda., Bugis, Melayu, dan Lampung. Selain ada perbedaan-perbedaan dalam hal bahasa dan adat istiadat, maka dalam hal penampilan fisik dan watak orang Banten Utara menunjukkan perbedaan yang nyata dengan orang Sunda dan orang Jawa dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di kalangan orang-orang Belanda, orang Banten Utara dikenal fanatik dalam hal agama, bersikap agresif dan bersemangat memberontak. Sesungguhnya mereka bukan semacam petani yang terdapat di Jawa Tengah bagian selatan, melainkan merupakan kelompok perantau yang cerdas. Diantara unsur-unsur yang merupakan ramuan yang membentuk kebudayaan mereka, hampir tak terdapat ciri-ciri peradaban Hindu Jawa. Dalam kenyataannya, penetrasi Islam sangat mendalam.
Perbedaan-perbedaan yang nyata sekali antara orang Banten Utara dan Banten Selatan itu tak disangsikan lagi disebabkan untuk sebagian oleh perbedaan-perbedaan lingkungan alam, satu faktor ekologis juga oleh perbedaan-perbedaan yang bersifat sosio-kultural atau historis. Lingkungan alam menampilkan diri dalam tiga segi. Sebagian besar Banten Selatan terdiri dari pegunungan; di sebelah barat, pegunungan itu dilanjutkan dari gugusan–gunung-gunung di selatan terus menuju ke utara sampai ke Puncak Gunung Gede.




2. Isi
Masyarakat di Banten sejak pada masa kerajaan telah membentuk sebuah struktur masyarakat sendiri yang didasarkan atas kepemilikian tanah. Pada awal dibentuknya kerajaan Banten tahun 1520 oleh para pendatang dari kerajaan Demak telah menerapkan sistem kepemilikan tanah. Kerajaan memiliki seluruh tanah di wilayahnya, dan rakyat sebagai penumpang di kawasan tersebut harus mengolah lahan untuk hidupnya. Sistem ini membentuk struktur masyarakat yang unik di kawasan Banten.
Dari sistem pada masa kerajaan Banten dapat diketahui bagaimana perkembangan yang terjadi pada masa pendudukan Deandles pada awal abad ke-19 yang secara jelas kedatangan mereka membawa perubahan yang signifikan bagi masyarakat Banten.
Kita tidak boleh tidak harus menelusuri kembali perkembangan historis yang merupakan pokok perhatian studi ini sampai ke periode kesultanan Banten, sepanjang dapat diperoleh data yang cukup dapat dipercaya..
Dalam msayarakat agraris, tanah merupakan sumber produksi dan kekayaan yang utama dan kerenanya kepemilikannya membawa prestise yang tinggi sebagian akibatnya maka klasifikasi penduduk desa yang tradisonal didasarkan atas kepemilikan tanah.
Di samping kepemilikan tanah, terdapat berbagai fakor ekologis dan historis yang ikut berperan.
Di Banten, dengan perkonomiannya yang terutama sekali bersifat agraris. Penduduk desa secara pukul rata adalah pertani dan penanam  padi, entah sebagai penggarap pemilik tanah entah sebagai penggarap bagi hasil.
Seperti di banyak masyarakat agraris, dua perangkat fakta mempunyai arti penting yang khas di antara kondisi-kondisi yang menentukan kehidupan dan perburuhan di daerah-daerah pedesaan, yakni yang menyangkut kepemilikan tanah dan penyewa tanah di satu pihak dan tenik bertani di pihak lain.
Sistem hak atas tanah di banten abd XIX berasal dari zaman kesultanan, meskipun mengalami banyak perubahan sebagai akibat dari masuknya administrasi kolonial. Pada bagian akhir tahun-tahun enam puluhan, masalah-masalah yang menyangkut pemilikan tanah dan sewa tanah bersumber pada hadiah-hadiah tanah yang diberikan kepada anggota-anggota kerabat dan  pejabat-pejabat Negara, serta kepada lembaga-lembaga keagamaan, yang tanah-tanah miliknya terutama terletak di daerah inti kesultanan yang lama.
Pada tahun 1808 Daendles menghapuskan tanah-tanah milik sultan serta wajib kerja bakti yang melekat pada tanah-tanah itu, lalu memungut seperlima bagian dari hasil panen sebagi pajak tanah untuk seluruh daerah dataran rendah di  Banten.
Beberapa tahun kemudian Raffles menjadikan sewa tanah sebagai satu-satunya pajak tanah. Para pemegang hak atas tanah pusaka menerima ganti rugi atas kehilangan pendapatan dari upeti, sedangkan pemilik sawah yasa tetap berhak atas pakukusut mereka. Akan tetapi semua ketentuan-ketentuan itu membuka kesempatan berbuat sewenang-wenang yang semakin lama menjadi sumber-sumber korupsi dan penyelewengan di kalangan pamongpraja. Jelaslah bahwa anggota kerabat sultan dan pejabat kesultanan, orang yang paling beruntung di bawah sistem yang lama, cenderung menghendaki kembali pada kebiasaan-kebiasaan tradisional. Menentang mempertahankan hak-hak mereka meski sudah menerima ganti rugi, pejabat kesultanan kehilangan banyak pengaruh politik. Oleh karena itu, ketentuan-ketentuan telah banyak menimbulkan rasa tidak puas yang menjadi pencetus kerusuhan-kerusuhan di Banten sampai  tahun 1830.



3.   Penutup
Banten terletak di bagian barat Pulau Jawa. Pada mulanya penduduk asli Banten telah menetap sejak berabad silam, barulah tahun 1520 didirikan Kesultanan Banten mulai berdiri oleh para pendatang dari Kerajaan Demak. Masyarakat Banten terdiri dari pelbagai etnik yakni Sunda mendiami bagian selatan, etnik Jawa di utara, sedangkan orang Baduy di pegunungan selatan. Dari berbagai tenik tersebut terbentuk pencampuran kebudayaan dengan nilai Islam yang kuat dan perbedaan-perbedaan antara mereka.
Masuknya Kesultanan Banten menimbulkan beberapa kemudharatan bagi penduduk asli terutama masalah kepemilikan tanah, di samping masalah lainnya. Dalam peraturannya sawah negara memberikan kerugian bagi para penduduk asli yang bermata pencaharian sebagai petani. Sesungguhnya sawah negara adalah sawah yang telah dibuka atas perintah sultan atau keluarganya yang telah dihadiahi sawah itu. Namun dalam pelaksanaannya sawah membutuhkan pengolah, sehingga sultan menghadiahi sawah kepada pengolah karena jasanya, akan tetapi memberatkannya dengan kewajiban upeti. Oleh karena fungsi sultan untuk memberikan perlindungan mengakibatkan ia menguasai perekonomian. Dan kebijakan-kebijakan lain yang bersifat menyimpang dan merugikan rakyat.
Sistem politik Belanda yang pro-rakyat dengan menghapus sistem tanah milik sultan seolah menjadi juru selamat, justru menggulingkan Kesultanan Demak dan mempermudah kaum kolonial memperluas daerah jajahannya. Dimulai dari kebijakan Daendles tahun 1808 dan Raffles setelahnya. Muncullah berbagai pemberontakkan dari kalangan keluarga kerajaan dan rakyat.

Kebudayaan Lenong


UJIAN AKHIR SEMESTER

Kebudayaan Lenong 





OLEH:
MUHAMMAD RIDHO RACHMAN
0806343973
ILMU SEJARAH


DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS
MATA KULIAH KEBUDAYAAN INDONESIA
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2009




Pedahuluan

Dilihat dari asal katanya, budaya berasal dari kata budh dalam bahasa Sansakerta yang berarti pencerahan. Oleh karena itu dapat diartikan bahwa budaya merupakan cerminan dari suatu masyarakat yang telah tercerahkan. Adanya budaya dalam masyarakat menunjukkan tingkat peradaban (kecerahan) yang dimiliknya. Dari kajian tentang konsep kebudayaan, Koenjtaraningrat mengembangkan konsep yang dibuat oleh B. Malinowski, dan menggolongkannya kedalam tujuh bentuk yang secara global dimiliki oleh seluruh elemen masyakarat di manapun mereka berada, yakni: (1) bahasa, (2) sistem teknologi, (3) sistem mata pencaharian hidup atau ekonomi, (4) organisasi sosial, (5) sistem pengetahuan, (6) religi, (7) kesenian. Tata urut dari unsur-unsur yang tercantum memiliki maksud tertentu, yaitu berdasarkan teori bahwa bahasa itu rupanya merupakan unsur kebudayaan yang paling terdahulu timbul dalam kebudayaan manusia. Dan selanjutnya diikuti yang lainnya sesuai urutannya. Namun, dalam tulisan ini akan melewati keenam unsur di awal, dan lebih concern kepada kesenian, yang merupakan jantungnya kehidupan suatu mayarakat yang menjadi indikator hidup matinya sebuah kelompok manusia yang disebut masyarakat. Di masyarakat Bali sendiri, dalam tulisannya Clifford Geertz menjelaskan bagaimana kesenian menjadi sebuah pertaruhan penting bagi ada tidaknya kekuasaan sebuah kerajaan dilihat dari kesenian yang berhasil ditampilkannya secara konsisten pada masa itu.

Masyarakat dan kesenian merupakan dua komponen yang satu sama lainnya tidak bisa dipisahkan. Kesenian merupakan buah karya dari budaya masyarakat. Manusia memiliki akal, manusia berkumpul dengan manusia lainnya, mereka berinteraksi dengan bahasa, mereka menciptakan suatu karya bersama yang bermanfaaat bagi mudahnya kehidupan mereka. Inilah hasil dari kebudayaan.

Budaya masyarakat mewadahi pikiran kolektif masyarakat. Apa keinginan mereka dituangkan lewat kebudayaan itu. Dalam kajian ilmu, budaya adalah hasil rasa, karya, karsa masyarakat, selalu memiliki tiga fungsi yaitu ekspresi, gagasan, dan hiburan. Dalam suatu kesenian wayang orang di Jawa, kesenian ini mengekspresikan apa yang dirasakan oleh masyarakatnya, menyampaikan apa yang dipikirkan (gagasan) oleh masyarakatnya, dan juga merupakan suatu sarana hiburan bentukan masyarakat.


Isi
Zaman terus berkembang, perubahan pasti dialami setiap masyarakat. Perubahan pada masyarakat secara otomatis ikut menggoyang berbagai macam hal yang dimilikinya, dalam hal ini kesenian. Entah berapa banyak macam-macam kesenian hilang tak berbekas tersapu arus modernisasi.

Setiap kelompok masyarakat memiliki kebudayaan dan tradisi tertentu sesuai dengan ciri khas masyarakat setempat, kebudayaan tersebut merupakan hasil dari karya, karsa, dan rasa. Dari sinilah sebuah kaum menghasilkan perangkat-perangkat kehidupan untuk memudahkan mereka mengatasi dan menguasai alam semesta serta mengatur kehidupan dengan menyusun norma, etika, dan hukum yang menjadi acuan ketertiban.

Pada konteks mayarakat Betawi banyak melahirkan seni kerakyatan, memang kalau kita telusuri garis sejarah terciptanya tidak terlepas dari proses akulturasi seni yang datang dari luar, sebab secara geografis masyarakat Betawi sejak masa kolonial sampai sekarang menjadi pintu atau corong perdagangan yang akan masuk ke Nusantara sehingga realitas ini mempunyai peran untuk membentuk kesadaran mayarakat yang lebih terbuka terhadap budaya yang datang dari luar, sebab masyarakat yang berada pada jalur perdagangan lebih mudah terjadi penyerapan budaya yang prosesnya nanti akan terjadi proses pembentukan kesenian, ini terjadi pada masyarakat Indonesia secara umum khususnya Betawi.

Salah satu kesenian rakyat yang terjadi akulturasi adalah lenong, untuk saat ini kesenian lenong cukup populer di mata penduduk Jakarta karena sudah terjadi pempublikasian lewat media dan acara-acara pertunjukan dalam ruang lingkup kesejarahan masyarakat Cina mempunyai banyak kontribusi untuk lenong itu sendiri sehingga banyak pencorakan yang bersentuhan dengan ke Cina-an. Hal ini disebabkan  pada awal pertumbuhannya dibina dan dikembangkan oleh masyarakat Cina, walaupun demikian dapat diramu oleh masyarakat Betawi dan menjadikan sebuah kekayaan kebudayaan, jika kita telaah lebih dalam mengenai lenong maka kesenian ini bertujuan menggambarkan sebuah realitas sehari-hari kemasyarakatan, lenong merupakan pematerialan dari teater tutur gambang rancak menjadi teater peran sehingga terbentuklah lenong, dalam pertunjukan lenong diperlukan pendekoran panggung, pemakaian pakaian dan iringan musik sesuai dengan tema yang diangkat, untuk mengawali pertunjukan biasanya dimulai dengan permainan musik gambang kromong untuk memanggil penonton supaya datang, atau dalam pembukaan dimainkan lagu angkat selamat sebagai tanda penghormatan, sementara dalam hal cara esktra dibawakan lagu-lagu khas Betawi seperti jali-jali, persi, stambul, center manis, seret balok, renggong manis dan lain-lain.

Pada zaman dahulu lenong diperuntukkan untuk stratifikasi sosial tertentu yaitu raja dan bangsawan sehingga penyajiannya pun hanya bekutat pada lingkaran kaum tersebut sehingga timbul ungkapan “kaya raja lenong” untuk menunjukan orang yang bergaya feodal. Dalam perkembangan lenong itu sendiri terdapat beberapa macam jenis lenong sesuai dengan tema dan realitas yang mau diangkat diantaranya adalah : Lenong Dines, Wayang Senggol, Wayang Sumedar, Lenong Preman, dan Wayang Si Ronda.

a. Lenong Dines
Pada bentuk penyajian lenong dines menampilkan, menggambarkan dan menceritakan kehidupan para raja dan kaum bangsawan. Oleh sebab itu dinamakan lenong dines, sesuai dengan alur ceritanya yang mengisahkan orang-orang dan tokoh-tokoh yang berkedudukan tinggi sesuai dengan stereotip kebangsawanan, maka perangkat lenong pun disinergiskan dengan pencitraan tersebut, dimulai dari pendekoran panggung serta  penggunaan pakaian yang menggunakan pakaian kerajaan dengan menggunakan bahasa “melayu tinggi” seperti kata-kata: Hamba, Kakanda, Adinda, Beliau, Syahdan, Berdatang Sembah, dsb. Oleh karena itu, sangat sulit dimengerti oleh para penonton bahkan pemain lenong itu sendiri disebabkan oleh penyajian yang sangat kaku sehingga sulit menampilkan guyonan yang diminati oleh khalayak banyak yang dampaknya mengalami kemorosotan peminat untuk menonton lenong.

Sekarang ini lenong dihadirkan kepada seluruh komponen mayarakat dengan tinjauan perspektif ekonomi, hingga saat ini rombongan lenong yang ada antara lain lenong dines pimpinan Rais di Cakung, pimpinan Samad Modo di Pekayon, pimpinan Tohir di Ceger dan pimpinan Mis Bulet Babelan.

b. Wayang Senggol
Pada wayang senggol mempunyai perbedaan tersendiri dengan wayang dines terlihat dari bentuk pembawaannya dengan menggunakan kain sebagai alat pengganti benda-benda pertunjukan seperti golok, gada, dll. Nantinya selendang tersebut hanya disegol-sengol saja dalam bentuk gerak-gerak tari yang luwes terutama pada pembawaan memperagakan perkelahian di atas pentas. Lakon-lakon yang dibawakan oleh wayang senggol terutama diambil dari cerita-cerita panji seperti “Candrakirana” Jaka Sembung, dll. Perlengkapan panggungnya dengan saben yaitu penutup sebelah samping agar penonton tidak dapat melihat ke belakang panggung, layar-layar seperti ini disebut “kere”. Memang jika dilihat untuk saat ini wayang senggol pada tiga dasawarsa ini sudah hampir menghilang dan ada dibeberapa tempat yang masih tetap bertahan seperi wayang senggol pimpinan Seng Lun di Karang Anyar, di Krikut pimpinan Pak Utan, dan di Pasar Baru pimpinan Abdurahman.

c. Wayang Sumedar
Untuk Wayang Sumedar memiliki dekor layar berwarna polos yang dijadikan penghalang antara pentas dengan tempat duduk pemain di belakang panggung, dalam pergelaran Wayang Sumedar kadang kala disajikan cerita-cerita komedi kaum bangsawan seperti : Jula Jali Bintang Tiga, Saiful Muluk, dsb. Sebelum perang dunia kedua Wayang Sumedar masih terdapat di Kebun Jeruk pimpinan Ahmad Batafi, pada dasawarsa ini sulit mengetahui secara lengkap jenis teater seperti ini.

d. Lenong Preman   
Sesuai dengan namanya, lenong ini menampilkan cerita tentang kehidupan sehari-hari  para jagoan jagoan, tuan tanah, drama rumah tangga, dll. Sesuai dengan ceritanya wayang preman menggunakn pakaian pentas pun seperti para jawara berbentuk celana dan baju potong koko serta pangsi, kaos oblong, ikat kepala yang istilah setempat diberi nama ”setangan” dan penggunaan bahasanya pun menggunakan bahasa sehari-hari Betawi, bagi pemain yang memiliki keterampilan silat biasanya acap kali melontarkan kata-kata yang humoris supaya mudah dicerna oleh penonton, untuk pendekoran panggung disesuaikan dengan alur cerita, lenong preman terdapat pada wilayah Kabupaten Bekasi, Tangerang, Bogor dan wilayah DKI Jakarta, diantara rombongan lenong antara lain: Gaya Baru di Gunung Sundar milik Liem Kim Song, di Teluk Gong milik Nion Hak San, Tiga Saudara di Mauk Tangerang milik Pak Ayon, Sinar Subur di Bojong Sari milik Asim.

e. Wayang Si Ronda

Mengenai Wayang Si Ronda ini ada sedikit berdebatan yaitu tentang awal terbentuknya. Ada yang menyatakan bahwa Wanyang Si Ronda merupakan bentuk degradasi dari Lenong Preman akan tetapi pembuktiannya secara ilmiah tidak bisa diungkapkan, yang jelas kesenian ini mempunyai corak dalam pementasannya dengan bermain di atas tanah  serta menggunakan sebuah layar yang menjadi penghalang antar pentas dan bagian belakang panggung untuk mengganti pakaian, berias, dan tempat duduk pemain sambil menunggu maju ke atas panggung. Rombongan lenong jenis ini yang masih ada antara lain: Samad Modo, Amsar, Iman, dan Kami dengan penyebarannya pada wilayah pinggiran Kelapa Dua, Parung dan di Kresek Tangerang.
Seperti teater rakyat lainnya, lenong juga merupakan bagian akrab dari masyarakat. Ia tumbuh bersama unusr-unsur lainnya yang membangun keutuhan dan keseimbangan masyarakat itu. Pada satu waktu, mungkin menjelang awal abad ini (abad ke-20), pada waktu unsur-unsur Cina dan pribumi (yang entah terdiri dari campuran Jawa, Sunda, dan apa lagi) mencapai keseimbangan dalam bentuk musik gambang Kromong pada waktu lingkungan Betawi terbentuk. Pada waktu itu pula lenong muncul, yang merupakan perpaduan landskap, kampung dan kota yang mulai tumbuh.

Dengan sederhana bisa dikatakan: kota mengorganisasikan kembali seni pertujukan. Seni pertujukan sekarang ditempatkan di dalam tempo dan teknik yang lebih padat dan rumit daripada sebelumnya. Khalayaknya pun ditempatkan berlainan dari posisi sebelumnya. Ia berada dalam keadaan yang lebih “terpecah”, perhatiannya dihadapkan ke depan, lurus ke arah panggung, tak lagi berputar ke mana-mana. Penonton itu sekarang perhatiannya banyak dipecah oleh berbagai unsur dalam tontonan di panggung. Yang ditampilkan di panggung itu sekarang adalah berbagai hal secara sekaligus.

Ujian lenong dalam terus mengibarkan bendera kejayaannya terus ditegakkan para pemainnya. Dalam gilasan zaman, lenong bisa termasuk dikatakan berhasil dari berubah-ubah wujud  mengikuti kemauan pasar. Ada faktor yang membuat kelanggengan pesan si Pitung dan Nyai Dasima dalam menghimbau kembali penonton lenong. Sebagai teater rakyat, meskipun mungkin lulus dalam uji kelanggengan pesan ceritanya, namun nampaknya masih harus mengalami ujian lain. Yakni ujian lingkungan.

Kalau tadi di atas sudah disinggung tentang lingkungan yang menumbuhkan lenong sedang mengalami masa pancaroba yang hebat, kita bisa menduga bagaimana lingkungan mengujii “barang lama” seperti lenong ini. Dulu lingkungan itu satu dengan lenong karena lenong adalah penerjemah yang langsung dari kehidupan lingkungan yang utuh. Maka tempat penampilan yang paling logis untuk sang penerjemah itu adalah di tengah lingkungan sendiri.

Perkembangan masyarakat diikuti perkembangan keseniaannya, namun perkembangan masyarakat dan kesenian tidak selalu berbarengan. Ada saat di mana satu kesenian tidak dapat mengimbangi pergerakan cepat dari sang masyakarat. Dari hal itu konsekuensi yang tak terhindarkan adalah kekosongan kesenian itu, tidak pasnya lagi kebutuhan masyarakat terhadap kesenian yang menjadi hak dasar yang dimilikinya.

Kesenian pada hakikatnya tidak langsung kosong, pasti ada satu model kesenian baru yang mengisinya. Ibarat majikan-pembantu, majikan tak akan sendiri mengurusi rumah tangganya, adalah pembantu yang membantunya, siapa pun ia. Begitu juga kesenian mengikuti suatu masyarakat. Ia berubah dari model yang sudah tidak mewakili keinginan dari masyarakat tersebut, entah lahirnya kesenian baru atau adanya modifikasi dari kesenian tersebut mengikuti kemauan dari “tuannya”. Adanya suatu modifikasi seni yang menjadi satu wadah yang sesuai dengan cipta rasa mereka. Suatu seni yang popular yang sesuai dengan selera masyarakat itu.
Kesenian yang berfungsi tidak saja sebagai hiburan tetapi di dalamnya terkandung berbagai kegunaan (dulce et utile) adalah representasi dari ekspresi budaya masyarakat itu sendiri. Norma dan nilai kehidupan disampaikan dan mendapat salurannya melalui kesenian. Artinya, kesenian akan hidup dan berkembang manakala masyarakatnya memelihara, mengembangkan, melakukan secara aktif, dan mengapresiasi. Dalam konteks itulah, secara kritis perlu dilihat bagaimana kesenian tradisional Betawi pada era globalisasi ini.

Pemodernan terhadap kesenian tradisional bukan suatu usaha yang haram, justru dengan pemodernan itu terkandung suatu upaya mengembangkan kesenian itu sejalan dengan pola pikir dan kebutuhan masyarakat Betawi yang semakin modern. Kompetisi kesenian tradisional dengan kesenian modern yang datang kemudian sangat perlu karena salah satu ciri dari masyarakat modern adalah bergerak dalam kompetisi menciptakan inovasi-inovasi yang berorientasi pasar. Nature kesenian tradisional memang bukan berorientasi pasar, tetapi ketika masyarakat dan lingkungan perkotaan menuntut pasar, maka kreativitas seniman tradisional harus pula mempertimbangkannya. Produk-produk budaya modern (budaya popular) dikemas sedemikian rupa sehingga masyarakat berada dalam situasi “demam” secara terus-menerus. Pengemasan produk kesenian yang disesuaikan dengan target pasar menjadi andalan, sehingga semua kelas masyarakat dapat menikmati dan mengapresiasi produk-produk kesenian itu. Selera pasar terbentuk sejalan dengan tawaran produk budaya populer yang dikemas, tidak saja dengan teknologi tinggi tetapi juga dengan variasi yang tinggi. 

Di sisi lain, kesenian tradisional Betawi, seperti lenong, topeng betawi, tanjidor, cokek, dan gambang kromong sedikit demi sedikit terlupakan dan tidak dilihat lagi sebagai media hiburan. Kesan bahwa kesenian tradisional semakin ditinggalkan terlihat dari frekuensi kemunculanya  jika ditinjau dari aspek kuantitatif. Dari aspek kualitas, kesenian-kesenian tersebut dapat dikatakan tidak mengalami perubahan berarti. Hal itu, boleh jadi sebagai sebuah upaya pemeliharaan terhadap kekayaan budaya tradisi. Kontroversi antara konvensi dan inovasi dalam kesenian tradisional sampai sekarang pun senantiasa terus dibicarakan dan memang tidak akan pernah selesai; dan memang bukan untuk diselesaikan. Kreativitas berkesenian akan selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan inovasi. Di situlah denyut nadi dinamika kesenian.
Situasi yang dihadapi kesenian tradisional Betawi itu terutama dipandang oleh masyarakat Jakarta secara umum. Secara khusus, masyarakat Betawi pun sudah mengalihkan perhatiannya ke produk-produk kesenian modern yang relatif mudah diakses. Lalu bagaimana dengan perkembangan yang terjadi dengan kesenian lenong pada khususnya?apakah ia berhasil memodifikasi diri agar sesuai dengan kebutuhan pasar? Atau ia tenggelam tak terlihat lagi dan digantikan oleh kesenian lain?

Akan halnya dengan teater tradisional Betawi—seni pertunjukan—yang mungkin lebih dikenal masyarakat secara umum, sekarang ini nampaknya semakin terkubur oleh arus zaman. Pendekar-pendekar kesenian lenong dan topeng Betawi, seperti Haji Bokir, Nasir, Mpok Siti, dan para pemain lenong “Setia Warga” lainnya yang hampir seluruh hidupnya mengabdikan diri pada kesenian itu, nampaknya tidak diikuti oleh generasi berikutnya. Bahkan, Mandra yang dibesarkan oleh kesenian tradisional itu, kini meloncat ke ekspresi seni modern (film, sinetron, dan musik). Demikian pula setelah kepergian Sumantri Sastrosuwondo dan SM Ardan, misalnya, lenong seolah kehilangan induk semang. Taman Ismail Marzuki dan TVRI yang dahulu secara rutin menayangkan kesenian tradisional Betawi itu, kini tidak lagi rutin. TVRI Stasiun Jakarta yang seharusnya menjadi bagian tak terpisahkan dalam hal promosi budaya Betawi—sebagaimana TVRI stasiun lokal (daerah) lainnya—dirasakan kurang menaruh perhatian pada kebudayaan Betawi.


Dari sisi ini bisa dilihat, fungsi satu kesenian satu waktu tidak akan sama dengan waktu lain. Begitu juga dengan perkembangan lenong sekarang ini. Perkembangan lenong sebagai salah satu seni hiburan telah menjelma menjadi sebuah trendsetter dari seni hiburan lain. Alasan jelasnya karena perkembangannya dan kuatnya bertahan dalam panggung TIM yang mengubah para pejalan-budaya yang rata-rata merupakan anak muda mengikutinya, gaya bicara para lakon di panggung menjadi tiruan bagi para muda-mudi dalam dunia pergaulannya menjadikan orientasi pasar masih menghadapnya dengan berbagai modifikasi di sana-sini.

Teater kontemporer adalah teater kota dan teater Indonesia. Artinya, ia lahir dan dikembangkan di kota dan dijabarkan dan dilaksanakan dalam bangsa Indonesia. Misalnya ia bercerita tentang kondisi kontemporer dari masyarakat kita. Ia dicetak dengan kitsch dan spectacle yang sengaja untuk kantong komersial warga kota yang juga mengerti akan hal itu. Hanya karena package itu package komersial yang berfungsi menghibur, maka penjabaran cerita itu juga menjadi lain.
Teater seperti juga kesusastraan adaah satu cara untuk memahami kehidupan. Maka setiap teater adalah juga wahana untuk memahami kehidupan pada zamannya. Teater kontemporer kita mempunyai satu kedudukan yang istimewa. Ia hidup dalam satu latar belakang kebudayaan pancaroba dan peraliahan. Ia berbeda dari teater tradisional, sedikitnya dalam dua hal. Pertama, ia berbeda dari sudut posisi wahana komunikasi kultur. Kedua, ia berbeda dari sudut pemahaman dan penghayatan.

Dari sudut wahana komunikasi kultur ia mempunyai tugas pembangunan solidaritas yang jauh lebih luas jangkauannya daripada sebelumnya. Teater komtemporer yang dikemukanakan di atas itu adalah teater Indonesia dan teater kota. Ini berarti solidaritas yang dibangunnya adalah solidaritas dari unsur-unsur yang jauh lebih beragam dan yang lebih penting adalah baru. Sebagai teater Indonesia, teater ini bicara tentang idiom kebangasaan, bukan lagi idiom masyarakat lama. Ia menuntut penyesuaian baru dengan nilai-nilai lain yang mulai sekarang diperhitungkan dan diusahakan perangkumannya. Makanya menggunakan bahasa Indonesia, juga dalam teater kontemporer, adalah tidak sekedar penjernihan bahasa daerah ke dalam bahasa baru yang disebut dengan bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa melayu Riau.

Secara struktural kesenian lenong (denes dan preman) memiliki kekhasan dalam pertunjukannya. Lenong preman mungkin dapat dikatakan lebih terpelihara untuk beberapa saat dibandingkan dengan lenong denes. “Kepunahan” lenong denes tidak saja disebabkan oleh lunturnya ingatan tentang cerita-cerita hikayat yang menjadi sumber cerita, tetapi juga penguasaan bahasa Melayu Tinggi dari para pemain yang semakin asing. Dibandingkan dengan lenong preman yang lebih seru ceritanya, bahasa yang lebih ekspresif karena menggunakan bahasa percakapan sehari-hari. Dari segi panggung, lenong menuntut panggung procenium. Lain halnya dengan topeng betawi. Teater tradisional ini lebih menarik karena unsur humor, musik, dan tarian yang dikemas dengan unsur cerita (drama), dan tidak memerlukan panggung procenium, tetapi arena yang dikelilingi oleh penonton. Namun semua itu, kini sangat sulit kita lihat dan apresiasi. Kita sedang kehilangan sebuah kekayaan budaya karena komunitas masyarakatnya sedang melaju dalam era globalisasi, yang merasa tidak lagi perlu membawa warisan leluhurnya.

Sebuah gagasan dari Rendra dalam proses berkeseniannya yang senantiasa mempertimbangkan tradisi (Jawa) telah menciptakan sebuah bentuk kesenian hibrid, yaitu ia memanfaatkan bentuk kesenian ketoprak dengan isi yang modern dan berbahasa Indonesia. Di pihak lain, Timbul mengemas ketoprak sepenuhnya menjadi pertunjukan humor dengan bahasa Indonesia dalam “Ketoprak Humor” yang sudah terbukti diminati pemirsa televisi secara nasional. Dalam hal bahasa, kesenian tradisional tentu sangat erat kaitannya dengan bahasa daerah, sehingga sangat terbatas pada lingkungan budaya asal kesenian itu. Penggunaan bahasa Indonesia untuk pertunjukan kesenian tradisional, seperti ludruk, ketoprak, wayang orang, randai, atau arja akan merusak emosi pemain dan penonton. Namun demikian, pada kesenian-kesenian yang menggunakan dialek Melayu, seperti Lenong (Melayu Betawi), Mamanda (Melayu Banjar), Mak Yong (Melayu Riau)  ketika diubah ke bahasa Indonesia relatif tidak akan terasa perbedaannya.

Avant garde; seni muncul ketika suatu seni tidak lagi memenuhi keinginan dari satu masyarakat, suatu yang masih bisa dikatakan modifikasi dari kesenian yang dahulu ada di masyarakat. Dengan kemasan yang lebih sesuai dengan keinginan pasar, yang secara otomatis menaikkan biayanya, dan masyarakat berani membayar.

Seni pertujukan tetap menjadi primadona bagi kesenian di masyarakat, melalui televisi ia lebih mudah membumi, dikenal oleh seluruh rakyat. Dengan garapan yang berbeda, gaya bahasa lenong tetap dipertahankan dengan berbagai modifikasi yang ada. Lenong tetap ada, dengan modifikasi yang ada, pada awalnya kita bisa lihat eksisnya dua buah Lenong yang memainkan anak-anak sebagai lakonnya seperti lenong bocah dan lenong rumpi. Keduanya sempat berjaya beberapa tahun, namun sempat redup ditinggal beberapa pemainnya yang lebih berhasil dengan bersolo karir ( keluar dari lonong Bocah atau Lenong Rumpi). Sekarang masyarakat lebih menginginkan suatu pertujukkan yang secara ringan menghibur mereka. Melalui studio yang sorot berbagai sinar yang bergemerlapan, properti luar biasa, dan penampilan yang dikemas lebih “menjual”.

Ngelenong nyok, suguhan menarik yang masih menampilkan kelenongannya. EkstraVaganza, empat mata, sampai pada opera van java yang tidak secara khusus menampilakan ciri-ciri kelenongannya. Lebih terlihat menampiklan ciri berbagai jenis hiburan dari indonsia seacara uumun, namun merupakan sebuah jenis wujud lenong gaya baru yang tela bermetamorfosis. Yang sebelumnya didahului oleh warkop DKI yang sempat membooming di era 1980-90an.

Walaupun lebih menampilkan unsur kebudayaan Indonesia secara umum, namun kebudayaan lenong telah menginspirasikan seni pertunjukkan daerah lain untuk mengubah diri seperti lenong dengan bahasa Indonesia agar bisa dinikmati seluruh rakyat Indonesia dan pengemasan yang lebih profesional.


Penutup
Masyarakat dan kesenian merupakan dua komponen yang satu sama lainnya tidak bisa dipisahkan. Zaman terus berkembang, perubahan pasti dialami setiap masyarakat. Perubahan pada masyarakat secara otomatis ikut menggoyang berbagai macam hal yang dimilikinya, dalam hal ini kesenian. Entah berapa banyak macam-macam kesenian hilang tak berbekas tersapu arus modernisasi.

Dari sisi ini bisa dilihat, fungsi satu kesenian satu waktu tidak akan sama dengan waktu lain. Begitu juga dengan perkembangan lenong sekarang ini. Perkembangan lenong sebagai salah satu seni hiburan telah menjelma menjadi sebuah trendsetter dari seni hiburan lain.

Kesenian pada hakikatnya tidak langsung kosong, pasti ada satu model kesenian baru yang mengisinya. Ibarat majikan-pembantu, majikan tak akan sendiri mengurusi rumah tangganya, adalah pembantu yang membantunya, siapa pun ia. Begitu juga kesenian mengikuti suatu masyarakat. Ia berubah dari model yang sudah tidak mewakili keinginan dari masyarakat tersebut, entah lahirnya kesenian baru atau adanya modifikasi dari kesenian tersebut mengikuti kemauan dari “tuannya”. Adanya suatu modifikasi seni yang menjadi satu wadah yang sesuai dengan cipta rasa mereka. Suatu seni yang popular yang sesuai dengan selera masyarakat itu.

Teater kontemporer adalah teater kota dan teater Indonesia. Artinya, ia lahir dan dikembangkan di kota dan dijabarkan dan dilaksanakan dalam bangsa Indonesia. Misalnya ia bercerita tentang kondisi kontemporer dari masyarakat kita. Ia dicetak dengan kitsch dan spectacle yang sengaja untuk kantong komersial warga kota yang juga mengerti akan hal itu. Hanya karena package itu package komersial yang berfungsi menghibur, maka penjabaran cerita itu juga menjadi lain.
Teater seperti juga kesusastraan adaah satu cara untuk memahami kehidupan. Maka setiap teater adalah juga wahana untuk memahami kehidupan pada zamannya. Teater kontemporer kita mempunyai satu kedudukan yang istimewa. Ia hidup dalam satu latar belakang kebudayaan pancaroba dan peraliahan. Ia berbeda dari teater tradisional, sedikitnya dalam dua hal. Pertama, ia berbeda dari sudut posisi wahana komunikasi kultur. Kedua, ia berbeda dari sudut pemahaman dan penghayatan.

Di sisi lain, kesenian tradisional Betawi, seperti lenong, topeng betawi, tanjidor, cokek, dan gambang kromong sedikit demi sedikit terlupakan dan tidak dilihat lagi sebagai media hiburan. Kesan bahwa kesenian tradisional semakin ditinggalkan terlihat dari frekuensi kemunculanya  jika ditinjau dari aspek kuantitatif. Dari aspek kualitas, kesenian-kesenian tersebut dapat dikatakan tidak mengalami perubahan berarti. Situasi yang dihadapi kesenian tradisional Betawi itu terutama dipandang oleh masyarakat Jakarta secara umum. Secara khusus, masyarakat Betawi pun sudah mengalihkan perhatiannya ke produk-produk kesenian modern yang relatif mudah diakses. Lalu bagaimana dengan perkembangan yang terjadi dengan kesenian lenong pada khususnya?apakah ia berhasil memodifikasi diri agar sesuai dengan kebutuhan pasar? Atau ia tenggelam tak terlihat lagi dan digantikan oleh kesenian lain?

Ngelenong nyok, suguhan menarik yang masih menampilkan kelenongannya. EkstraVaganza, Empat Mata, sampai pada Opera Van Java yang tidak secara khusus menampilakan ciri-ciri kelenongannya. Lebih terlihat menampiklan ciri berbagai jenis hiburan dari indonsia seacara umum, namun merupakan sebuah jenis wujud lenong gaya baru yang telah bermetamorfosis. Yang sebelumnya didahului oleh warkop DKI yang sempat membooming di era 1980-90an.

Walaupun lebih menampilkan unsur kebudayaan Indonesia secara umum, namun kebudayaan lenong telah menginspirasikan seni pertunjukkan daerah lain untuk mengubah diri seperti lenong dengan bahasa Indonesia agar bisa dinikmati seluruh rakyat Indonesia dan pengemasan yang lebih profesional.

Review Film “Can We Talk About Self Esteem?” Dalam Perspektif Sosiologi


Review Film “Can We Talk About Self Esteem?” Dalam Perspektif Sosiologi
Muhammad Ridho Rachman, 0806343973

Dalam film kartun yang berjudul “can we talk about self esteem?” diceritakan sebuah masalah dalam keluarga, khususnya mengenai anak-anak yang sedang menginjak masa remaja. Kedua putra dan putrinya mengalami masalah yang sulit mengenai bentuk fisik mereka. Berjerawat, berhidung besar, dan persoalan-persoalan fisik lainnya yang mereka alami. Memang dalam perkembangannya, simbol-simbol berjerawat, berhidung besar, dan masalah fisik lain yang dialami remaja sangat menjadi masalah besar bagi mereka.
Bahkan hal yang sepele dibuat besar ketika mengatakan ingin mati, membenci diri sendiri, merasa sangat aneh, terlihat seperti monster, badan yang gemuk. Sebenarnya yang mereka alami merupakan ketidakpercayaan diri mereka terhadap penampilan. Padahal, belum tentu pandangan seperti itu yang dibuat oleh public terhadap mereka.
Thomas terkenal dengan ungkapannya bahwa seseorang mendefinisikan sesuatu sebagai hal yang nyata, maka konsekuensinya adalah nyata. Sehingga perkataan merasa sangat aneh menjadi nyata dalam pandangannya.
            Krisis kepercayaan diri yang dialami oleh kedua remaja tersebut harus dibantu oleh orang lain di sekitarnya. Oleh orang tuanya yang merupakan orang terdekat mereka. Ketika diceritakan dalam film, ibu merasakan gelagat yang berbeda dari anak-anaknya atau suatu simbol yang oleh White dimaksudkan sesuatu yang nilai atau maknanya diberikan kepadanya oleh mereka yang memepergunakannya. Kemudian ibu tersebut bertanya kepada suaminya yang tidak merasakan hal demikian itu. Bahkan menurut suaminya, anak-anak dalam keadaan baik-baik saja, 100%. Itu lah naluri seorang ibu yang mampu mengerti apa yang sedang dialami oleh anak-anaknya.
            Kemudian, kedua orang tua memanggil kedua anaknya. Mereka bertanya apa yang sedang mereka alami.. Mereka menjawab, baik-baik saja. Namun, kemudain mereka melanjutkan pernyataannya dengan pertanyaan berapa biaya untuk operasi plastik? Dan apakah ada garansinya? Dari pertanyaan tersebut dapat diambil kesimpulan dari konsep dalam sosiologi, expression given off; pernyataan terlepas atau dilepaskan yang mengandung informasi yang menurut orang lain memperlihatkan ciri si pembuat pernyatan. Kedua oranr tuanya menyadari apa yang sebenarnya dialami kedua anaknya. Dan juga orang tuanya mengerti mengenai situasi ketika kedua anaknya berbicara mengenai operasi plastik, yang dalam istilah sosiologi dikenal dengan definisi situasai yang maksudnya suatu tahap penilaian dan pertimbangan yang selalu mendahului tindakan seseorang. Rangsangan dari luar diseleksi melalui proses yang dinamakan definisi atau penafsiran situasi. Dalam proses ini orang yang bersangkutan memberi makna pada rangsangan yang diterimanya itu. Walaupun tanpa kedua anaknya mengatakan permasalahan yang dialami, orang tua sudah bias mengidentifikasi masalah tersebut dari situasi-situasi yang ada.
            Dalam cerita dilajutkan dengan aksi seorang  anjing yang mengatakan, self esteem, i looks fabolous. Dimaknai bahwa seekor anjing merasa percaya diri dengan segala bentuk fisiknya. Hanyalah permasalahan kepercayaan diri yang dialalmi kedua remaja tersebut, yang memang tidak berbeda dengan apa yang dialami remaja-remaja pada umumnya. Tapi kepercayaan diri dibangun dari dalam diri sendiri, jangan hanya karena keadaan fisik yang (sedikit) tidak sempurna samapai-sampai ingin mati atau merasa seperti monster. Hargai diri sendiri dengan merasa paling beruntung walaupun dengan keadaan seperti itu, sehingga semua anugerah yang diberikan bisa menjadi positif bagi kita dalam menjalani kehidupan.

SATU TAHUN SEPEDA KUNING: Keberadaan dan Peminatnya


Muhammad Ridho Rachman

SATU TAHUN SEPEDA KUNING: Keberadaan dan Peminatnya

            Penambahan jumlah mahasiswa harus pula diimbangi dengan penambahan jumlah fasilitas. Layaknya dalam hukum ekonomi, semakin tinggi permintaaan harus juga diimbangi dengan  tingginya penawaran agar tidak terjadi kelangkaan yang menyebabkan inflasi. Berangkat dari hal itu lah, walau bukan alasan utama, dibuat alat transportasi baru di UI: sepeda kuning.
            Tampilnya sepeda kuning dalam kancah dunia kampus cukup menarik perhatian mahasiswa yang biasanya harus dengan pasrah menunggu bis kuning yang tidak tentu waktu keberangkatannya. Di tahun pertamanya, 2008, sepeda kuning menjadi pilihan yang sangat menarik bagi para mahasiswa. Bukan sekedar pergi ke tempat lain, tapi biasanya mereka memilih sepeda kuning untuk melihat-lihat pemandangan di dalam kampus, jalan-jalan bersama teman pastinya. Ketika ditanya mengenai antusiasme terhadap sepeda kuning, Dwi Susilo Qomar mengatakan sangat antusias. Bahkan ketika pertama kali mendapat KTM, mahasiswa antrop 08 ini, yang pertama kali dia lakukan adalah memakai sepeda kuning. Sama halnya tanggapan yang disampaikan oleh Andi Arif, sejarah 06, kesannya mengenai sepeda kuning adalah sangat baik. Ia melihat dari sisi kebersihan lingkungan, menurutnya menggunakan sepeda merupakan salah satu upaya pelestarian lingkungan dengan mengurangi emisi yang dihasilkan kendaraan bermotor. Ia juga sangat setuju dengan keberadaan sepeda kuning ketika harus menunggu lama bikun, ia lebih memilih menggunakannya ketimbang menunggu.
            Pandangan lain disampaikan wakil ketua BEM FIB ini, menurutnya sepeda kuning kurang mengenai sasaran. Banyak mahasiswa menggunakannya hanya untuk sekejar jalan-jalan bersama teman-temannya. Terlepas dari tujuan setiap penggunanya, sepeda kuning cukup memberikan andil bagi kepuasan mahasiswa terhadap fasilitas kampus ini.
            Setelah satu tahun berjalan, apakah masih ada antusias mahasiswa dalam menggunakan sepeda kuning ini? Atau hanya maba saja, ketika di awal, yang lebih sering menggunakannya? Dari hasil survei yang kami lakukan, hari jumat 9 Oktober 2009, ternyata antusias mahasiswa cukup banyak, walau tidak secara jelas menyeleksi peminjam berdasarkan angkatan. Hasil ini diperoleh dari petugas pencatat di berbagai shelter sepeda kuning. Menurut Hasanuddin, 21, biasanya peminjaman ramainya ketika sore, untuk pulang atau jalan-jalan tambahnya. Hasanuddin yang kali itu bergilir menunggu di shelter Perputakaan Pusat, mengatakan “pocin, ekonomi, teknik, stasiun UI biasanya rame.” Menurut Warca, petugas di shelter stasiun UI, jumlah yang meminjam dan yang mengembalikan 210 kali. Bahkan menurutnya, pencatatan bisa sampai tiga kali lipatnya ketika sore. Dan menurutnya, shelter  yang ramai itu adalah yang dekat dengan akses keluar; stasiun UI, BNI, dan teknik.
            Ismail Sunni, maba teknik sipil, merasa cukup senang dengan keberadaan sepada kuning. Walau menurutnya, sepeda kuning tetap tidak bisa menggantikan keberadaan bikun. Senada dengan yang utarakan Andi Arif, sepeda kuning kurang tepat sasaran, hanya digunakan untuk sekedar jalan-jalan. “terlepas dari itu, seneng buat keliling kampus!” Memang, fungsi itu tergantung dari penggunanya, pihak rektorat hanya sekedar memberikan pelayanan yang terbaik untuk mahasiswa.
            Ketika ditanya mengenai kelebihan dan kekurangan sepeda kuning, mereka bertiga secara general sudah cukup puas walau kadang ada kerusakan teknis ketika dikendarai atau sering terjadi penumpukan di satu titik, tapi kosong di titik lain. Menurut Hasanuddin, setiap hari sepeda diservis. “sepeda digilir, 100 dikeluarin, 200 diservis. Suku cadang banyak kok di bengkel (di parkiran sepeda, di rektorat:red).” Kalau kasus penumpukan, sudah ada mobil bak dan motor yang siap mendistribusikan ke titik-titik yang kosong. Pembagian kerja dari petugas sepeda juga sudah teroraganisasikan, selain penjaga shelter ada tim montir yang mereparasi kerusakan, dan patroli yang tanggap ketika terjadi suatu masalah. Misalkan soal kecelakaan, “sering tuh, di UI wood, biasanya anak cewe, tim patroli contact mobil bak untuk bawa mahasiswa yang kecelakaan ke PKM.”
            Sepeda kuning merupakan sebuah kemajuan yang diberikan kampus bagi pelayanan terhadap mahasiswa dan juga merupakan sebuah sumbangsih nyata bagi pelestarian lingkungan. Dan nyatanya, sampai sekarang sepeda kuning masih merupakn pilihan yang baik bagi mahasiswa dengan antusiasnya mereka terhadap fasilitas baru ini. Dengan harapan semoga bentuk sumbangsih kecil yang dilakukan para organ kampus bisa memberikan efek positif di dalam dan menularkan dampaknya yang baik untuk sekitar.

Gabungan Organisasi dan Strategi Kooperasi: Pergerakan Nasional Indonesia Menjelang Runtuhnya Hindia-Belanda (1930-1942)


Gabungan Organisasi dan Strategi Kooperasi: Pergerakan Nasional Indonesia Menjelang Runtuhnya Hindia-Belanda (1930-1942)
LOGO_UI
Disusun oleh:
Griffith Aditya Pamungkas
Indah Farani
Lisan Sulaiman
M. Ridho Rachman


Dalam Rangka Pemenuhan Tugas Mata Kuliah
Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Indonesia


Ilmu Sejarah
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia
Depok, 2009
BAB I
PENDAHULUAN
Perjuangan bangsa Indonesia memasuki era baru pada awal abad ke-20. Era ini ditandai dengan munculnya kesadaran berbangsa di kalangan elit masyarakat pribumi. Secara perlahan kaum elit ini mencoba mempengaruhi masyarakat lewat jalur baru yaitu organisasi modern. Mereka mencoba memberikan pemahaman tentang rasa kebangsaan.[1] Sejak saat itu pola perjuangan bangsa Indonesia berubah, tidak lagi bersifat kedaerahan, namun mulai muncul rasa kebersamaan antar satu sama lain. Alhasil, sejak tahun 1908 sejarah Indonesia memulai babak baru, yaitu babak pergerakan nasional. Hal itu ditandai dengan berdirinya Boedi Oetomo, organisasi yang merupakan wadah pergerakan bagi tokoh-tokoh nasional dalam berinteraksi dan menyalurkan aspirasi di masa awal pergerakan nasional Indonesia.
Berdasarkan periodesasinya, masa pergerakan nasional di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga masa yaitu masa kooperatif,  masa radikal,  dan terakhir disebut masa bertahan. Tiga tahun setelah Boedi Oetomo lahir, tahun 1911 berdiri organisasi bagi orang-orang Islam di Indonesia, yaitu Sarekat Dagang Islam (SDI) di Solo oleh Haji Samanhudi. Lalu namanya diubah menjadi Sarekat Islam untuk menarik anggota lebih banyak. Selain organisasi yang disebut di atas masih banyak organisasi lain yang didirikan baik bersifat kooperatif maupun radikal. Tetapi tujuan dari organisasi tersebut hampir sama yaitu kemerdekaan Indonesia walaupun tidak terang-terangan diungkapkan. Banyak sekali organisasi radikal yang melakukan aksinya. Namun, Gubernur Jenderal pada saat itu sangat reaksioner terhadap pergerakan, maka organisasi-organisasi pada masa itu dinyatakan terlarang dan tokoh-tokohnya diasingkan. PNI merupakan organisasi terakhir yang sekaligus menandai berakhirnya masa pergerakan radikal.
Dalam tulisan ini kami akan mencoba menggambarkan mengenai permulaan sikap lunak kaum nasionalis bangsa dengan mau bekerja sama dengan pemerintah Hindia Belanda (kooperatif). Namun, dengan tujuan yang sama yang tidak tergoyahkan, menuju Indonesia Berparlemen, dan Indonesia merdeka. Berdasarkan buku Sejarah Nasional Indonesia jilid 5 yang kami pakai sebagai rujukan utama, penulisan ini diawali dengan berbagai aktivitas yang dilakukan pada masa bertahan: pembentukan fraksi nasional, sebuah organisasi pergerakan yang berada dalam tubuh organisasi buatan Belanda (volksraad), yang tetap berjuang bagi terciptanya kemerdekaan nasional sesingkat-singkatnya, Petisi Soetardjo yang bertujuan mengusahakan pemberian pemerintahan yang mandiri kepada Indonesia. Dan pembentukan GAPI sebagai Pembina kerja sama antarpartai politik yang dengan semboyannya “Indonesia Berparlemen”. Yang jelas tidak menuntut kemerdekaan penuh, melainkan suatu parlemen yang berdasarkan kepada sendi-sendi demokrasi.[2]


BAB II
ISI
A.         Masa Bertahan
        Pada masa awal tahun 1930-an pergerakan kebangsaan Indonesia mengalami masa krisis. Keadaan seperti itu disebabkan beberapa hal. Pertama, akibat krisis ekonomi atau malaise yang melanda dunia yang memaksa Hindia Belanda untuk bertindak reaksioner dengan tujuan menjaga ketertiban dan keamanan. Dalam rangka kebijakan itu, pemerintah Hindia Belanda membuat peratuaran-peraturan yang digunakan untuk menindas pergerakan nasional:[3]
1. mengeluarkan beberapa pasal karet dari kitab undang-undang pidana yang dapat dengan mudah menjerat pembicara di rapat-rapat atau penulis di surat kabar yang kata-katanya menyindir, samar-samar, dan mengganggu keamanan umum.
2. exorbitante rechten yang artinya hak kekuasaan yang luar biasa dari Gubernur Jendral mengenai externering (mengusir keluar Hindia Belanda), Internering (mengasingkan), dan verbanning (melarang seseorang untuk tinggal). Contohnya seperti pengasingan kepada Soekarno, Hatta, dan Sjahrir.
3. penindasan hak berserikat, yang dimuat dalam Keputusan Raja (Koninklijk Besluit) tanggal 17 Desember 1918, dalam pasal tiga melarang:
a. yang beradanya atau tujuannya dirahasiakan,
b. yang oleh Gubernur Jendral dinyatakan bertentangan dengan keamanan umum. Misalnya PKI dan sarikat Rakyat yang terkena larangan sub.b tahun 1927.
4. Sirkuler-Pemberangusan (Muilkorf-Circulaire), oleh Gubernur Jendral ditetapkan tanggal 27 Septeber 1919 yang  melarang pegawai negeri melahirkan pikirannya dengan lisan dan tulisan. Sanksinya adalah bagi siapa yang melanggar atau dianggap melangggar, ddipindahkan ke tempat terpencil, diturunkan jabatannya, bahkan bisa dicopot jabatannya.
        Hal di atas menjadi semakin parah ketika Hindia Belanda diperintah Gubernur Jenderal yang konservatif dan reaksioner yaitu de Jonge (1931-1936). Periode awal 1932 sampai dengan pertengahan 1933 tidak hanya ditandai oleh perpecahan gerakan nasionalis serta kegagalan usaha pengintegerasian organisasi-organisasi nasionalis, tetapi juga oleh aksi politik yang semakin meningkat terutama sebagai dampak politik agitasi yang dijalankan oleh Soekarno. Tetapi dalam hal ini, Gubernur Jenderal de Jonge secara konsekuen menjalankan politik “purifikasi” atau “pemurnian” artinya menumpas segala kecenderungan ke arah radikalisasi dengan agitasi massa dan semua bentuk nonkooperasi. Dengan tangan besinya, Gubernur Jenderal de Jonge hendak mempertahankan otoritasnya, sehingga setiap gerakan yang bernada radikal atau revolusioner tanpa ampun ditindasnya dengan alasan bahwa pemerintah kolonial bertanggung jawab atas keadaan di Hindia Belanda, dan baginya dibayangkan bahwa pemerintah Belanda telah memerintah selama 300 tahun dan selama 300 tahun berikutnya pemerintah itu masih akan tegak berdiri. Politik represifnya berhasil menghentikan gerakan politik nonkooperasi (radikal-revolusioner) sama sekali.
            Pemerintah Belanda memang tidak secara langsung melarang setiap perkumpulan, namun dengan vergaderverbond (larangan berkumpul) membuat sulitnya memulihkan semangat mengenai cita-cita nasional. Karena terlalu riskan kalau pemerintah mengeluarkan peraturan yang dengan tegas melarang segala bentuk perkumpulan. Ditakutkan akan adanya perebutan secara eksplosif dari rakyat Indonesia. Ditambah lagi di Eropa sedang giat-giatnya paham demokrasi digalakkan.
            Di sisi lain, adanya ancaman dari Jepang yang mulai menjalankan politik ekspansionisme di daerah Pasifik. Maka mulailah melunak hubungan di antara keduanya, di samping soal menjunjung demokrasi, adalah kerja sama dalam mengahadapi ancaman dari fasisme Jepang. Oleh karena itu, mulai timbul kesadaran untuk berkooperasi di pihak kaum nasionalis dengan pemerintah Hindia Belanda. Kesadaran itu muncul lebih dahulu di kalangan Perhimpunan Indonesia yang pada awalnya memang berhaluan kooperatif. Di samping itu pula, adalah menjaga eksistensi perjuangan pergerakan bangsa yang kian terciutkan dengan peraturan-peraturan buatan Belanda. Oleh karena itu, masa pergerakan ini disebut masa bertahan.

B.   Aktivitas Gerakan Selama Masa Bertahan
            Sejak tahun 1930-an, peran lembaga parlemen buatan kolonial (volksraad) makin meningkat. Satu-satunya organisasi yang benar-benar menyuarakan suara tiap-tiap golongan melalui perwakilannya. Dalam kisaran tahun 1930-an Indonesia menjalankan politik yang moderat, yang mulai bersikap lunak terhadap pemerintah dengan mau bekerja sama dengan pemerintah Hindia Belanda. Memang kalau dilihat, hanya organisasi inilah yang bisa lolos dari intaian pengawas-pengawas yang menjalankan peraturan ketat bagi organisasi yang berisikan orang pribumi. Dan memang melalui lobi-lobi politik lah sarana yang tepat bagi waktu itu, ketimbang dengan organisasi yang bermasa besar. Yang mengusahakan perbaikan dengan jalan yang halus dari dalam, ketimbang dengan pengerahan masa pada waktu-waktu sebelumnya.
            Di dalam tubuh oraganisasi itu lah, sebuah fraksi nasional muncul. Fraksi ini ketuai oleh MH. Thamrin yang hanya terdiri dari 10 orang dari wakil tiap golongan di volksraad yang terdiri dari perwakilan daerah Jawa, Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan. Dengan sebuah cita-cita besar yang diusungnya, yaitu menjamin adanya kemerdekaan nasional dalam waktu sesingkat-singkatnya, dengan jalan:
1.      mengusahakan perubahan ketatanegaraan
2.      berusaha menghapus perbedaan-perbadaan politik, ekonomi, dan intelektual sebagai antitesis kolonial
3.      mengusahakan kedua hal tersebut dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum.[4]
            Tindakan pertama yang mereka lakukan adalah upaya pembelaan atas tokoh-tokoh PNI yang ditangkap pemerintah Belanda. Menurut MH. Thamrin penggeledahan dan pengangkapan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan bahkan banyak orang-oarang yang bukan anggota PNI ikut digeledah. Dengan peristiwa ini terbukti bahwa pemerintah tidak adil dan berbuat curang terhadap organisasi pergerakan Indonesia. Segala tindakan preventif pemerintah adalah karena pasal 169 swb, 153 bis, dan 161 bis. Oleh karena itu, ia mengajukan mosi terhadap pasal-pasal tersebut, kemudian ditindaklanjuti dengan pembuatan komisi yang bertugas untuk meninjau kebali pasal-pasal tersebut. Namun, pada akhirnya usul itu ditolak dengan alasan bahwa majelis tertinggi (Hooggerecthscof) tidak menangani bukti-bukti yang sifatnya berkenaan dengan hukum pidana.[5]
            Sementara itu, dalam masalah lain, ada kegiatan penaikkan biaya anggaran di bidanng pertahanan demi meingkatkan system pengamanan. Maksud ini ditentang oleh anggota fraksi nasional karena menurut mereka, penaikkan anggaran itu tidak tepat sasaran karena peningkatan keamanan dari pihak mana sedangkan status Indonesia adalah sebuah wilayah jajahan. Oleh karena itu lebih baik dana tersebut digunakan untuk meingkatkan kesejahteraan sosial. Rencana tersebut sangat bertentangan dengan kondisi yang ada, mengingat pula keadaan dunia yang sedang dalam keadaan malaise.
            Bahkan, Thamrin dan anggota-anggota lain mengancam akan keluar dari volksraad ketika masalah tentang diberlakukannya peraturan mengenai sekolah-sekolah liar oleh pemerintah. Kalau sampai hal itu terjadi, tidak lah lagi berguna parlemen buatan Belanda itu yang tidak diduduki oleh perwakilan pribumi. Pada akhirnya, peraturan tesebut dicabut oleh pemerintah Belanda.
            Peristiwa penting lainnya adalah sebuah gagasan yang dicetuskan oleh Soetardjo Kartohadikusumo, seorang wakil ketua volksraad dan ketua Persatuan Pegawai Bestur/Pamongpraja Bumiputra (PPBB) pada bulan Juli 1936. sebuah usul yang dikenal dengan nama Petisi Soetardjo yang berisi permohonan agar diadakan suatu rapat untuk membicarakan rencana-rencana perkembangan evolusioner untuk Indonesia selama satu periode sepuluhtahunan ke arah pemerintahan sendiri dalam batas undang-undang dasar belanda yang sudah ada.[6] Landasan usul itu adalah pasal 1 undang-undang dasar kerajaan belanda yang berbunyi bahwa kerajaan belanda meliputi Nederland, hindia belanda, suriname, dan curacao; dan yang menurut pendapatnya keempat wilayah tersebut dalam kerajaan Nederland mempunyai derajat yang sama. Dukungan dari banyak golongan suku bangsa dan agama, menurut soetardjo mencerminkan golongan-golongan tersebut.[7]
            Usul mengenai perubahan mengenai susunan ketatanegeraan ini muncul karena adanya perasaan tidak puas rakyat terhadap gubernur jendral de Jonge. Apalagi menurut soetardjo, hubungan yang baik harus terjalin antara hindia dengan pemerintah kerajaan belanda demi menghadapi ancaman perang pasifik.
            Adapun tuntutan-tuntutan perubahan yang diinginkannya adalah sebagai berikut:
-        pulau Jawa dijakdikan satu provinsi, sedangkan daerah-daerah di luar Pulau Jawa dijadikan kelompok-kelompok daerah yang bersifat otonom dan berdasarkan demokrasi.
-        Sifat dualisme dalam peemrintah daerah dihapus.
-        Gubernur jendral diangkat oleh raja dan mempunyai hak kekebalan
-        Direktur depaetemen mempunyai tanggung jawab
-        Volksraad dijadikan parlemen sesungguhnya
-        Raad van Indie: anggota-anggota biasa dan seorang vice president diangkat oleh raja; di samping itu ketua dan wakil volksraad sebagai anggota mempunyai hak suara
-        Dibentuk dewan kerajaan sebagai badan tertinggi antara antara belanda dan Indonesia, yang anggota-anggotanya terdiridari wakil-wakil kedua daerah dengan satu pimpinan yang diangkat, pimpinan mana bukan seorang mentri atau direktur atau salah seorang dari ketua parlemen
-        Penduduk Indonesia adalah orang-orang yang karena kelahirannya, asal-usul dan cita-citanya adalah untuk Indonesia. Terhadap orang asing yang dilahirkan di sini diadaka seleksi yang ketat.[8]
            Usul ini dianggap menyimpang dari cita-cita kalangan pergerkan umumnya mendapat reaksi, baik dari pihak Indonesia maupun pihak Belanda. Golongan reaksioner Belanda, Vaderlandsche Club berpendapat bahwa Indonesia belum mampu unutk berdiri sendiri. Tetapi ada juga pihak-pihak Belanda yang menyutujui petisi dengan mengirimkan surat kepadanya. Di kalangan Indonesia sendiri ada yang pro dan kontra beberapa anggota volksraad berpendapat usul petisi kurang jelas, kurang lengkap, dan tidak memiliki kekuatan.
            Banyak pendapat yang mengiringi perjuangan tuntutan petisi sutardjo ini, tetapi yang dimaksud olehnya adalah keadaan dalam negeri bukanlah masalah primer tetapi sekunder. Masalah yang poko adalah hubungan kerajaan anatara negeri Belanda dengan Indonesia harus berdiri sendiri sehingga dapat berkembang ke arah yang lebih maju. Sedangkan masalah-masalah yang bersifat internasional dan yang menjadi kepentingan bersamaakan tetap diurus oleh kerajaan. Namun pada akhirnya, petisi soetardjo ditolak oleh ratu Belanda pada bulan November 1938.

C.   Strategi Kooperatif Pergerakan Nasional Indonesia
Antara tahun 1930-1936 wajah pergerakan nasional Indonesia memperlihatkan suatu kemerosotan pada aksi-aksinya. Krisis ekonomi karena pecahnya perang pasifik dan tindakan keras dari pemerintah belanda terhadap gerakan non-kooperasi tak lain adalah penyebabnya. Sesudah tahun 1930-an  organisasi-organisasi pergerakan nasional di Indonesia seaakan telah berada pada titik nadirnya. Sehingga, akibat dari Kebijakan-kebijakan dan sikap pemerintah belanda yang sangat reaksioner di bawah kepemimpinan Jendral de Jonge tersebut, golongan kooperator sepakat menciptakan kerjasama yang lebih terorganisir.
Budi Utomo (BU) pada akhir tahun 1920-an menjadi radikal dalam artian bahwa organisasi itu berubah menjadi perkumpulan Indonesia, tidak hanya orang Jawa yang diterima dalam organisasi tersebut, pada tahun 1927 BU menyatakan bahwa yang diterima menjadi angotanya adalah orang-orang Indonesia dari Jawa, Madura, Bali, Lombok, dan rakyat Indonesia lainnya yang mempunyai persamaan kebudayaan. [9] Sangat pesatnya jalan pengaruh aliran persatuan Indonesia dalam kalangan BU (yang antara lainnya menimbulkan cita-cita pemusatan  tenaga kebangsaan dengan lebih sempurna) . Dalam kongres BU tahun 1932, diterima usul untuk mendasarkan fusi pada nasionalisme  Indonesia untuk Indonesia bersatu dan berdaulat. Ternyata pula pada keputusan kongres tersebut memperhasil usulan untuk menerima suatu badan persatuan (fusi) dengan perkumpulan lain-lain yang juga berdasarkan kooperasi.[10] Namun nampaknya baru bulan juli 1934 setelah rapat Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) secara tegas diungkapakan bahwa BU akan berfusi dengan PBI. Akhirnya dalam suatu kongres fusi yang diadakan di Solo, Desember 1935 BU dan PBI berfusi dan lahirlah partai baru yaitu Partai Indonesia Raya (Parindra). Dr. Sutomo berkesempatan menjadi ketua partai baru tersebut. Beberapa pemimpin terkenal seperti MH Thamrin (dari kaum betawi), Mr Sunaryo dan Mr. Iskaq Cokroadisuryo (dari Partindo) masuk dalam partai baru itu.
Seperti halnya organisasi-organisasi yang meleburkan diri tersebut, Parindra menganut politik perjuangan kooperasi. Menurut Anggaran Dasarnya (pasal 2) partai itu bertujuan “Indonesia Raya”[11] dan untuk mencapai tujuan itu berbagai cara dilakukan, antara lain adalah dengan memperkuat semangat persatuan, menjalankan aksi politik untuk memperoleh hak-hak politik seluas-luasnya dan tercapainya suatu sistem pemerintahan yang berdasarkan atas demokrasi dan nasionalisme, dan memajukan peri kehidupan rakyat dalam bidang sosial dan ekonomi.[12]
         
D.   Gabungan Politik Indonesia (GAPI)

GAPI adalah organisasi yang merupakan kerjasama partai-partai politik dan organisasi-organisasi yang terbentuk pada tanggal 21 Mei 1939 atas usul Mohammad Husni Thamrin, dalam rapat pendirian konsentrasi nasional yang diadakan di Jakarta. Anggotanya terdiri dari: Parindra, Gerindo, Pasundan, Persatuan Minahasa, PSII, PII, dan Perhimpunan Politik Katholik Indonesia. Pengurus pertamanya adalah Muhammad Husni Thamrin, Mr Amir Sjarifuddin dan abikusno Tjokrosuyoso. Walaupun GAPI merupakan organisasi kerjsama program kerja tetap berdasarkan partai masing-masing. Karena GAPI hanya merupakan wadah untuk bekerjasama. GAPI tidak menuntut  kemerdekaan penuh terhadap kekuasaan Belanda yang masih menduduki Indonesia pada saat itu, namun  keinginan GAPI dinilai terlalu dini untuk direalisasikan, parlemen Belanda menganggap Indonesia belum siap untuk itu. GAPI dikenal radikal dalam pelaksanaan misinya karena GAPI terdiri dari semua lapisan masyarakat yang tergabung dalam partai-partai politik.
Sebuah gagasan yang lahir dari pemikiran Mohammad Husni Thamrin, di mana berdirinya GAPI disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut:  
1.  Kegagalan Petisi Sutardjo
2.  Kepentingan internasional dalam membendung fasisime
3.  Sikap pemerintah yang dinilai kurang memperhatika kepeningan rakyat Indonesia.
Untuk pertama kalinya pimpinan dipegang oleh Muhammad Husni Thamrin, Mr. Amir SyarifuddinAbikiusno Tjokrosuyoso.
Di dalam anggaran dasar di terangkan bahwa GAPI berdasar kepada:
1.     Hak untuk menentukan diri sendiri
2.     Persatuan nasional dari seluruh, bangsa Indonesia dengan berdasarkan kerakyatan dalam paham politik, ekonomi dan sosial.
3.     Persatuan aksi seluruh pergerakan Indonesia
Di dalam konfrensi pertama GAPI pada tanggal 4 Juli 1939 dibicarakan mengenai semboyan GAPI, yaitu “Indonesia Berparlemen”. GAPI tidak menuntut kemerdekaan penuh seperti apa yang sudah dikatakan di atas, melainkan suatu parlemen yang berdasarkan sendi-sendi demokrasi. GAPI juga mengeluarkan manifest GAPI yang berisikan menolak gerkan fasisime dan mengajak rakyat  Indonesia dan Belanda untuk melawannya. Selanjutnya GAPI membentuk Kongres Rakyat Indonesia (KRI). Kongres Rakyat Indonesia diresmikan sewaktu diadakannya pada tanggal25 Desember 1939 di Jakarta. Tujuannya adalah "Indonesia Raya" bertujuan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia dan kesempatan cita-citanya. Dalam kongres ini berdengunglah suara dan tututan "Indonesia berparlemen".Keputusan yang lain yang penting diantaranya, penerapan Bendera Merah Putih dan Lagu Indonesia Raya sebagai bendera dan lagu persatuan Indonesia dan peningkatan pemakaian bahasa Indonesia bagi rakyat Indonesia. pada tanggal 5 Februari dan 5 Maret 1940 yang menyatakan bahwa tuntutan Indonesia berparlemen akan diteruskan sampai berhasil. Aksi lainnya yang dilakukan GAPI antara lain adalah dengan mengeluarka resolusi yang menuntut diadakannya perubahan ketatanegaraan di Indonesia dengan menggunakan hokum tatanegara dalam masa genting (nood staatsrecht). Isis resolusi tersebut yaitu mengganti volksraad dengan parlemen sejati yang anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat, merubah fungsi kepala-kepala departemen (departemenshoofden) menjadi menteri yang bertanggungjawab kepada parlemen tersebut. Tuntutan ini dikirimkan kepada Gubernur Jenderal, volksraad, Ratu Wilhelmina, dan cabinet Belanda di London. Atas dasar itulah maka pada tanggal 14 September 1940 dibentuklah komisi untuk menyelidiki dan mempelajari perubahan-perubahan ketatanegaraan (Commissie totbestudeering van staatsrechtelijke). Komisi ini diketuai oleh Dr. F.H Visman, selanjutnya dikenal dengan nama Komisi Visman. Pada awal pembentukannya, kalangan pergerakan mempertanyakan keberadaan kegunaan komisi itu. Akhirnya Komisi Visman menghasilkan laporan yang cukup tebal tentang berbagai tuntutan dan harapan-harapan rakyat Indonesia. Laporan itu terbit pada tahun 1942 hanya beberapa minggu sebelum kedatangan tentara Jepang ke Indonesia, sehingga laporan tersebut tidak jelas nasibnya. Pada tanggal 14 Februari 1941 di gedung Raad Van Indie di Jakarta diadakan pertemuan antara wakil-wakil GAPI dengan Komisi Visman yang bertujuan untuk memperjelas tuntutan. Namun pertemuan yang diharapkan menghasilkan sesuatu yang baru ternyata mengecewakan dan tidak menghasilkan apa-apa. Ini menimbulkan tanggapan bahwa GAPI  tidak konsisten dalam mencapai tujuannya.
Pergerakan GAPI makin sulit dengan adanya peraturan wajib bela (inheemse milittie), ditambah lagi pemerintah kolonial memperketat izin mengadakan rapat-rapat.

  1. Sikap Pemerintah Kolonial Di akhir Masa Pendudukannya
            Dalam menanggapi berbagai bentuk petisi dan mosi dari berbagai tokoh pergerakan yang melakukan kooperasi di dalam volksraad, ternyata sikap pemerintahan kolonial sangat mengecewakan. Akibatnya bagi bangsa Indonesia ialah pada satu pihak jurang antara pemerintah dan rakyat semakin besar dan dipihak lain gerakan nasionalis semakin menyadari bahwa tidak dapat lagi orang menaruh harapan kepada penguasa kolonial. Jadi harus semakin berpaling kepada masyarakat sendiri. Pada saat Belanda dikuasai Jerman sedangkan di Asia terhadap ancaman Jepang semakin nyata, ternyata sikap pemrintahan Belanda tetap tidak berubah. Pemerintahan kolonial Belanda ternyata tidaklah sekhawatir yang diduga orang Indonesia mengenai situasi Internasional. Pemerintah kolonial meremehkan ancaman dari Jepang. Andaikata mereka takut kalah, tidak ada kemungkinan ketakutan ini akan mendorong para penguasa kolonial untuk merangkul kaum nasionalis, yang mereka benci dan curigai. Yang paling mungkin dijanjikan Belanda ialah untuk mempertimbangkan perubahan konstistusi setelah perang.














BAB III
PENUTUP
            Kesimpulan


Pada masa awal tahun 1930-an pergerakan kebangsaan Indonesia mengalami masa krisis. Keadaan seperti itu disebabkan beberapa hal. Pertama, akibat krisis ekonomi atau malaise yang melanda dunia yang memaksa Hindia Belanda untuk bertindak reaksioner dengan tujuan menjaga ketertiban dan keamanan.
Sejak tahun 1930-an, peran lembaga parlemen buatan kolonial (volksraad) makin meningkat. Satu-satunya organisasi yang benar-benar menyuarakan suara tiap-tiap golongan melalui perwakilannya. Dalam kisaran tahun 1930-an Indonesia menjalankan politik yang moderat, yang mulai bersikap lunak terhadap pemerintah dengan mau bekerja sama dengan pemerintah Hindia Belanda.
Di dalam tubuh oraganisasi itu lah, sebuah fraksi nasional muncul. Fraksi ini ketuai oleh MH. Thamrin yang hanya terdiri dari 10 orang dari wakil tiap golongan di volksraad yang terdiri dari perwakilan daerah Jawa, Sumatra, Sulawesi, dan Kalim.antan. Dengan sebuah cita-cita besar yang diusungnya.
Peristiwa penting lainnya adalah sebuah gagasan yang dicetuskan oleh Soetardjo Kartohadikusumo, seorang wakil ketua volksraad dan ketua Persatuan Pegawai Bestur/Pamongpraja Bumiputra (PPBB) pada bulan Juli 1936. sebuah usul yang dikenal dengan nama Petisi Soetardjo yang berisi permohonan agar diadakan suatu rapat untuk membicarakan rencana-rencana perkembangan evolusioner untuk Indonesia selama satu periode sepuluhtahunan ke arah pemerintahan sendiri dalam batas undang-undang dasar belanda yang sudah ada. Yang namun pada akhirnya, petisi soetardjo ditolak oleh ratu Belanda pada bulan November 1938.
GAPI adalah organisasi yang merupakan kerjasama partai-partai politik dan organisasi-organisasi yang terbentuk pada tanggal 21 Mei 1939 atas usul Mohammad Husni Thamrin, dalam rapat pendirian konsentrasi nasional yang diadakan di Jakarta. Anggotanya terdiri dari: Parindra, Gerindo, Pasundan, Persatuan Minahasa, PSII, PII, dan Perhimpunan Politik Katholik Indonesia.
Dalam menanggapi berbagai bentuk petisi dan mosi dari berbagai tokoh pergerakan yang melakukan kooperasi di dalam volksraad, ternyata sikap pemerintahan kolonial sangat mengecewakan. Akibatnya bagi bangsa Indonesia ialah pada satu pihak jurang antara pemerintah dan rakyat semakin besar dan dipihak lain gerakan nasionalis semakin menyadari bahwa tidak dapat lagi orang menaruh harapan kepada penguasa kolonial. Jadi harus semakin berpaling kepada masyarakat sendiri.







DAFTAR PUSTAKA

Ingleson, John. 1988. Jalan ke Pengasingan. Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan
            dan Penerangan Ekonomi dan Sosial.
Poesponegoro, Marwati Joened. 1984. Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta:
            Balai Pustaka.
Pringgodigdo, A. K. 1991. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat.
Suharto. 1996. Gerakan Rakyat Indonesia 1937-1942. Depok: Fakultas Sastra
Universitas Indonesia.
Tirtoprodjo, Susanto. 1970. Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia. Jakarta: PT. Pembangunan.



[1] Robert Van Niel, Elit Modern, Jakarta: Pustaka Jaya, 2009
[2] Marwati djoened dan nugroho notosusanto, sejarah nasional Indonesia V (balai pustaka, 1975), 231-232
[3] Susanto tirtoprodjo, sejarah pergerakan nasional Indonesia, cetakan kelima, 1970, 52-56
[4] Ibid. 218.
[5] Ibid. 219.
[6] George mcturnan kahin, nasionalisme dan revolusi di Indonesia (sinar harapan, 1995), 122
[7] Djoened, op. cit, 221
[8] Ibid, 222.
[9] Suharto, Gerakan Rakyat Indonesia 1937-1942, Fakultas Sastra UI Depok, 1966, hlm.16
[10] A.K. Pringdigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, Jakarta: IKAPI, 1991, hlm. 131
[11] Suharto, Op.Cit.
[12] Ibid, A.K. Pringdigdo hlm.134